Neraka Dunia - Yuli Wahyudi
Neraka DuniaYuli Wahyudi
Mimpi burukku bermula di rumah ini. Rumah dengan pilar-pilar kokoh bercat
putih yang menjadi saksi bisu dosa beserta kebiadaban orang-orang di dalamnya.
Setahun lalu, setelah bapakku gugur dalam pertempuran, disusul Biyung yang meninggal akibat terjangkit
busung lapar, seseorang datang mencariku di kamp pengungsian. Pria paruh baya
itu mengaku sebagai kawan lama bapakku, dan mengatakan bahwa sebelum menghembuskan napas
terakhir, Bapak menitipkan aku padanya.
"Ikutlah bersama Paman sesuai
amanat bapakmu, Nduk. Rumah Paman di kampung
seberang, kamu akan aman bersama istri dan anak Paman. Anak Paman juga seumuran kamu
lho," katanya.
Tawaran kawannya bapak laksana oase di tengah gurun. Sepercik harapan berpendar dalam benak.
Tidak bisa tidak, aku pun menerima tawarannya. Tak ada lagi yang kutunggu di
sini setelah Bapak tiada. Lagi pula, selain tidak ada masa depan yang pasti, aku bersama pengungsi lain yang kebanyakan
wanita dan anak-anak sering kali terpaksa menahan lapar. Makan sehari tiga kali
adalah kemewahan bagi perut kami yang telah akrab
dengan menu nasi jagung dijatah sehari sekali.
Hari itu juga kawan bapak membawaku pergi diiringi tatapan kosong
wajah-wajah dekil yang sempat menjadi teman berebut makanan, menjadi saudara
bertukar penyakit. Wajah-wajah getir penuh keputusasaan, sebab seluruh harapan
di dada mereka telah dikeruk habis oleh cakar-cakar bengis penjajahan.
Namun, aku tak pernah sampai di kampung yang dijanjikan, apalagi berjumpa
dengan istri dan anaknya. Kawan bapak justru membawaku ke tempat lain. Di depan
sebuah rumah besar bergaya Eropa, dia berhenti
lalu mengetuk pintunya yang bercat putih. Pintu terkuak, menampakkan sesosok
pria tambun berwajah oriental yang memperkenalkan dirinya sebagai Koh Liem.
Kawan bapak berbincang-bincang dengan pria itu, sesekali kudengar namaku
disebut. Koh Liem mengangguk-angguk dengan pandangan menyisir tubuhku dari
ujung hingga ke ujung. Aku cepat menunduk, risih. Namun, meski tertunduk aku masih bisa melihat Koh Liem mengeluarkan
sesuatu dari saku bajunya, lalu diberikannya kepada kawan bapak.
Kudengar kawan bapak mengucapkan terima kasih berulang kali. Aku mendongak,
rupanya beberapa lembar gulden dalam genggamannya menyebabkan pria itu
membungkukkan badan berulang-ulang. Setelah itu dia berkata kepadaku agar tetap
tinggal, sedangkan dirinya beranjak pergi dengan senyum lebar. Dia pergi begitu
saja meninggalkan aku dalam kebingungan dan ketakutan di tempat yang sama
sekali asing.
Sekuat tenaga aku menahan tangis hingga kemudian Koh Liem setengah
menyeretku masuk. Tidak ada pilihan lain kecuali
menurut, meskipun pertanyaan demi
pertanyaan terus berpendar layaknya laron beterbangan seusai hujan. Tempat apa
ini, dan mengapa aku ditinggalkan di sini?
"Nah, sekalang lu olang boleh mandi dan ganti pakaian,"
perintahnya setelah kami telah berada di dalam rumah.
Kemudian Koh Liem memanggil seorang wanita bernama Yance dan menyuruhnya
mengurus segala keperluanku. Yance, memandikanku dengan paksa, menggosok
seluruh tubuhku, kemudian mendandaniku sedemikian rupa sehingga Galuh yang
dekil menjelma menjadi Galuh yang tak hanya bersih dan wangi, tapi juga cantik.
Namun, tak seorang pun memberi tahu mengapa
aku diperlakukan demikian. Tidak juga Karsini, perempuan berambut ikal yang
menjadi teman sekamarku. Dia tak pernah menjelaskan secara gamblang. Jawabannya
selalu saja sama, "Nanti kau akan
tau sendiri." Begitu katanya.
Sebenarnya ada banyak orang yang menghuni rumah yang menurut cerita Karsini
dulunya adalah milik seorang Belanda ini. Ada beberapa pria berwajah sangar,
juga perempuan-perempuan muda dan semuanya cantik-cantik yang jika ditilik dari
wajahnya sepertinya berasal dari Negeri Sakura. Tidak satu pun yang kukenal kecuali Koh Liem dan Karsini.
Belakangan baru kuketahui semenjak jatuh ke tangan Koh Liem, rumah ini
kemudian beralih fungsi menjadi tempat pelesiran, dan pria singkek itu
merupakan induk semangnya. Mendengar cerita tersebut, aku mencoba melarikan
diri. Sialnya aku tertangkap oleh centeng-centeng Koh Liem, lalu diseret ke
hadapan pria itu. Aku dicambuk, kemudian dikurung di gudang tanpa diberi makan.
Sejak saat itu, aku takberani
kabur-kaburan lagi.
Memasuki rumah ini membuatku seperti lalat terjerat jaring laba-laba. Tak
ubahnya daun kering yang dicampakkan angin, kemudian jatuh dalam pusaran air.
Kegelapan seolah menghisap seluruh hidupku, ketika dengan keji Koh Liem memuntahkan nafsu binatangnya ke dalam
rahimku.
Aku benci Koh Liem. Tatapan menelanjangi dan liur yang menetes itu ... Ah!
Aku jijik! Jijik padanya, juga pada diriku sendiri.
Berbulan-bulan tua bangka yang sangat mencintai uangnya itu menjadikanku
budak nafsunya. Setelah bosan dicampakkannya aku, lalu dijual kepada pria
hidung belang, tamu-tamu pelesiran yang kebanyakan adalah serdadu Jepang. Sama
seperti Karsini dan lainnya. Kami semua hanyalah sapi perah, atau umpan yang
sengaja dilemparkan demi menjaring pundi-pundi
Koh Liem.
Setahun sudah aku menjalani hidup tanpa harga diri. Pelesiran ini nyaris
tak pernah sepi. Setiap hari ada saja yang datang untuk sekadar minum, berjudi,
lalu berakhir dengan memesan kamar. Pelanggan yang datang ke tempat ini
kebanyakan adalah serdadu Jepang.
Entah kapan kesengsaraan ini akan berganti dengan kebahagiaan. Aku mulai
berhenti mengharapkan keajaiban dan mencoba berdamai dengan takdir. Mengeluh
pun tak akan mengubah apa-apa. Namun, sepertinya takdir tak pernah puas
bermain-main. Hal yang paling ditakutkan dalam dunia pelacuran terjadi.
Penyakit mematikan itu, kini bersemayam dalam tubuhku.
Sengaja kurahasiakan perihal penyakit itu. Koh Liem tak boleh tahu atau
nasibku akan sama seperti Mei Ling. Gadis bermata sipit itu dicambuk hingga
pingsan sebelum dipulangkan ke negaranya karena ketahuan tertular sipilis.
Posisi kami sebagai wanita penghibur memang serba sulit, kapan saja bisa
dibuang seperti sampah bila sudah tak dibutuhkan.
Tak biasanya, beberapa hari ini pelesiran sepi pelanggan. Kabar simpang
siur yang kudengar, Jepang dikalahkan oleh Sekutu sehingga sebagian besar
tentara yang masih tinggal di Indonesia ditarik pulang ke negaranya. Aku dan
Karsini sangat senang mendengar kabar itu, tetapi tidak dengan Koh Liem dan
yang lain.
Koh Liem sering marah dan uring-uringan. Pasalnya, pelanggan yang datang
merosot tajam. Pria itu jelas khawatir rumah pelesirannya gulung tikar jika
Jepang angkat kaki dari negeri ini. Dia mengumpat sana sini, kemudian menghabiskan waktu dengan berjudi dan menenggak
berbotol-botol anggur.
Ketika pelesiran semakin sepi dan nyaris tak ada pelanggan datang sama
sekali, teman-temanku sesama penghuni pelesiran mulai resah. Mereka sedih jika
harus pergi dari pelesiran Koh Liem, sebab belum tentu ada majikan yang
bersedia menampung. Aku hanya bisa menelan ludah, orang-orang seperti kami
benar-benar lemah dan tanpa masa depan.
Aku sendiri pun belum tahu akan bagaimana. Hari esok masih abu-abu.
Andaikan pelesiran ini tutup dan Koh Liem dengan sukarela membebaskanku, aku
akan sangat berterima kasih. Namun, jika dia tetap meneruskan usahanya, nasibku
tinggal menunggu bom waktu. Mati oleh penyakit ini, atau mati di tangan Koh
Liem yang tak akan memberi ampun jika mengetahui anak asuhnya berpenyakit.
Hari ini Jumat, 17 Agustus 1945, bertepatan dengan bulan suci Ramadan, dan
pelesiran masih sepi. Ingin rasanya aku ikut menunaikan ibadah puasa seperti
umat muslim lainnya. Namun, apa pantas? Lagi pula, apa mungkin Tuhan mau menerima ibadah dari seorang
pelacur sepertiku?
Hatiku mulai dikepung gelisah. Pikiranku mulai dipenuhi
pertanyaan-pertanyaan, sampai kapan akan hidup dalam cengkeraman Koh Liem. Di
tangannya kami tak hanya kehilangan harga diri, tetapi juga hak untuk hidup
bebas.
Malam belum beranjak terlalu jauh, tetapi entah mengapa aku disergap rasa
kantuk. Aku pun bergegas ke kamar, selagi pelesiran sepi aku ingin tidur cepat.
Namun, mendadak terdengar ribut-ribut dari luar. Aku terlonjak, kemudian
berlari ke ruang depan. Ternyata bukan hanya aku yang terkejut, Karsini dan
yang lainnya sudah lebih dulu berada di sana.
"Merdeka, Koh! Indonesia merdeka! Jepang sudah minggat, angkat kaki!
Tadi pagi Bung Karno membacakan proklamasi!" Karman, centeng Koh Liem
berbicara dengan napas tersengal-sengal.
Koh Liem mengumpat, lalu beranjak dengan wajah masam. Tak ada yang tampak
gembira mendengar berita ini, kecuali aku dan Karsini. Entah mengapa mendengar
Indonesia merdeka seperti ada sesuatu yang meruap-ruap, mengalir dalam dada
hingga tak terasa aku menitikkan air mata.
Negeriku kini telah bebas, merdeka. Lalu bagaimana denganku? Akankah
kemerdekaan benar-benar bisa memberikan kebebasan bagi perempuan-perempuan
seperti kami?
"Galuh! Lu olang cepat ke kamal saya!"
Aku tersentak mendengar perintah Koh Liem yang entah sejak kapan sudah
kembali ke ruangan ini lagi. Dia lantas pergi ke kamarnya lebih dulu sementara
aku ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Aku tak habis pikir, bisa-bisanya Koh Liem meminta jatah di saat genting
seperti ini. Sebelum menyusulnya di kamar, aku pergi ke dapur untuk menyeduh
teh. Tiba-tiba sebuah rencana melintas begitu saja dalam benakku. Aku tersenyum
getir, kemudian bergegas menyusul Koh Liem di kamarnya dengan membawa dua
cangkir teh manis.
Koh Liem tampak sudah taksabar. Dia hendak langsung menubruk saat aku baru
saja meletakkan teh di meja. Aku menekan dadanya, membimbingnya duduk di tepi
ranjang, memintanya untuk bersabar.
"Mari habiskan dulu tehnya karena minuman ini bisa melepaskan segala
beban dan kesusahan," ucapku dengan senyum tersungging.
Koh Liem menurut, lalu menyeruput teh. Begitu juga aku. Tergesa-gesa sekali
dia menghabiskan minumannya, kemudian dengan senyum yang membuatku muak
direbahkannya tubuhku. Aku menahan napas ketika tubuh gempal itu mulai
merangkak naik. Namun, tiba-tiba Koh Liem tersentak, tersedak-sedak, lalu
tubuhnya merosot ke samping sebelum kemudian jatuh ke ubin dengan mata
membelalak dan tangan mencengkeram lehernya sendiri.
Tubuh penuh lemak itu menggelepar sekarat, matanya nyalang menatapku seolah
meminta penjelasan. Kubalas tatapannya dengan senyum kemenangan, sekaligus
kekalahan.
Namun sayang, aku takbisa menyaksikan tontonan itu hingga benar-benar
tuntas, sebab kini aku pun harus merasakan apa yang dialami Koh Liem. Aku
tersedak hebat saat kurasakan sesuatu yang panas dan runcing mencekik leherku
dari dalam. Perlahan namun pasti, sekeliling mulai tampak buram dan semakin
buram. Cahaya yang semula terang benderang terus mengecil dan semakin kecil
sebelum benar-benar lenyap diserap pekat.[]