Pewaris - Fielmaa Retniee Rednivd


Pewaris
Fielmaa Retniee Rednivd

Ada yang menggoyang lenganku. Terkejut, aku menoleh ke samping kiri. Kudapati sepasang mata Mak Rusna membuka lebar. Sekilas, ia terlihat menatapku.

Bukan, ia bukan menatapku.

"Ada apa, Mak?" tanyaku dengan suara rendah. Sejenak, aku berhenti membaca surah Yasin.

Belum sempat adik kandung mertuaku itu membuka mulut, aku kembali dikagetkan oleh teriakan orang-orang. Bahkan, beberapa di antaranya berlari ke luar.

"Astaghfirullah. Ha … hantu!"

"Mayatnya hidup!"

Kutolehkan kepala dengan cepat ke arah jenazah ibu mertua.

Wanita yang telah melahirkan suamiku itu mendadak meninggal sekitar jam sembilan pagi tadi. Saat itu, ia sedang menikmati sarapan. Baru beberapa suapan, ia mengeluh dan mengatakan kalau perutnya terasa sangat sakit seolah ada ribuan jarum yang menusuknya. Beberapa menit kemudian, tubuhnya terkulai lalu terjatuh dari kursi. Aku sempat melompat dan meraih tubuhnya sebelum kepalanya menyentuh lantai.

Dan lihatlah, sekarang, wanita 70 tahun itu dalam posisi duduk. Selendang yang tadi menjadi penutup mukanya terjatuh ke pangkuan. Matanya terbuka, dengan tatapan kosong. Rambutnya yang disanggul tampak agak kusut dan hampir tergerai.

Beberapa orang yang tadinya duduk mengelilingi jenazah tampak berdiri dan menjauh, menciptakan jarak yang cukup lebar. Hanya aku yang masih duduk di tempat semula, tidak bisa bergeser satu senti pun karena tubuh ini terasa kaku dan berat. Jantungku berdetak dengan sangat cepat.

Mataku membeliak saat wajah Mak berpaling. Manik hitamnya menatapku. Aku tidak tahu harus bagaimana. Menghindari tatapannya juga takmampu. Sebelah tanganku menggapai ke kiri, berharap Mak Rusna masih ada di samping. Namun, tanganku hanya bertemu dengan udara kosong. Entah sejak kapan ia tidak lagi berada di sebelahku.

"Mak! Mak!"

Tiba-tiba suamiku datang, menghambur, dan memeluk tubuh ibunya. Seketika rasa kaku dan berat yang tadi kurasakan perlahan hilang dan digantikan oleh kesadaran penuh.

Aku memandang berkeliling. Ruangan 4x7 meter itu tampak lapang. Hanya segelintir orang yang masih bertahan di sana. Sementara itu, beberapa lainnya terlihat berdesakan di pintu masuk dan jendela yang terbuka lebar. Sepertinya, mereka merasa takut sekaligus penasaran. Begitu juga denganku.

Tak sengaja, mataku terpaku pada jam dinding yang ada di hadapan. Pukul 12 tepat.

"Ajeng, jangan bengong! Ayo, bantu, Mas!" seru suamiku.

***

Hari beranjak senja. Suara tonggeret dan jangkrik dari kebun belakang mulai terdengar ramai. Saat ini, rumah telah sepi. Hanya tinggal keluarga kami: aku, Tiara, Mas Rama, dan tentu saja Mak. Para pelayat, sepertinya, telah kembali ke rumah masing-masing atau mungkin berhenti di kedai-kedai untuk membicarakan peristiwa kembalinya Mak dari kematian. Sebuah kejadian langka yang membuat geger perkampungan.

Bidan desa telah memastikan bahwa Mak benar-benar hidup. Jantungnya berdetak normal seperti biasa. Padahal, bidan itu juga yang tadinya mengumumkan kematian Mak.

Aku menghela napas panjang. Benakku dipenuhi oleh berbagai pikiran buruk. Dulu, sebelum menikah dengan Mas Rama, aku sempat mendengar selentingan kabar jika Mak memiliki peliharaan tak kasat mata, warisan dari bapaknya. Aku tidak begitu paham maksudnya. Konon, Mak tidak akan bisa mati jika peliharaannya itu belum diwariskan kepada orang yang bersedia menerima.

Selama menikah, aku sama sekali tidak melihat keanehan Mak. Semua tampak wajar. Mak yang sudah tidak bekerja sehari-hari hanya tinggal di rumah. Ia merawat kebun kecil yang ada di belakang. Selain itu, Mak juga senang bersosialisasi dan ikut pengajian di masjid. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk tidak percaya dengan kabar yang beredar, layaknya sebuah mitos belaka.

"Jeng, kok, malah bengong di sini. Tutup jendelanya, kamu gak dengar azan Magrib?" Mak Rusna yang bersiap menuju masjid menegurku.

Rumah Mak Rusna terletak bersebelahan dengan rumah mertuaku. Ia tinggal sendiri semenjak kematian suami dan tiga anaknya puluhan tahun lalu. Entah kenapa ia memilih tetap sendiri sampai usia senja.

Aku mengangguk kecil dan gegas menutup jendela. Sebenarnya, ada hal yang ingin aku tanyakan kepada Mak Rusna. Namun, ada secuil keraguan di hatiku.

"Mak, nanti tidur di sini, 'kan?" Aku kembali membuka jendela untuk memastikan jawaban Mak Rusna.

"Iya, pulang dari masjid, Mak langsung ke sini."

Aku lega mendengar jawaban Mak Rusna. Entah kenapa, sejak tadi firasatku tidak enak. Detak jantung tidak mau normal, terus berpacu dengan cepat.

Aku berlalu menuju sumur sekaligus kamar mandi dan toilet yang terletak di bagian belakang rumah. Tidak terpisah dengan rumah induk, tetapi belum memiliki atap. Sebelum sampai di sana, aku harus melewati kamar Mak. Pintunya terbuka, begitu juga dengan gorden cokelat yang terpasang di sana. Sejenak, aku berdiri di ambang pintu. Ternyata, kamar Mak masih gelap. Ragu, aku menggapai dinding di sebelah kanan tempat sakelar berada.

Tiba-tiba, tanganku merasakan sesuatu yang dingin, sedikit kasar seperti jemari yang keriput. Tubuhku menegang, jantung terus berpacu, dan napas mulai memburu.

A-apa ini?

Saat sibuk menerka-nerka, tiba-tiba ….

"Kamu ngapain, Dek?"

Aku terlonjak saat mendengar suara Mas Rama dari belakang. Secepat kilat tangan aku tarik, lalu berbalik menghadap ke arah suamiku itu.

"Ma … Mas? Dari mana?"

"Dari nutup kandang ayam, terus wudu." Pria 36 tahun itu menggeser tubuhku sedikit, lalu menekan sakelar lampu kamar Mak.

Seketika, ruangan 3 x 3 meter itu menjadi remang. Mak tidak terlalu suka kamar yang terang benderang, tetapi tidak suka juga terlalu gelap sehingga di kamarnya hanya dipasang lampu pijar lima watt.

Kamar yang remang malah membuat bulu kudukku berdiri. Padahal, sejak pertama melangkah ke rumah ini, tidak pernah hal seperti ini terjadi. Aku memperhatikan pembaringan Mak yang tertutup kelambu putih. Tidak terlihat ia di sana.

"Mak tidur. Sebentar lagi biar Mas bangunkan. Kamu salat, gih."

Suara Mas Rama menarikku dari pikiran yang semakin liar. Ia menatap sejenak, kemudian berlalu dari hadapanku.

Melihat Mas Rama pergi, buru-buru aku beranjak dari depan kamar Mak. Apalagi, aku sempat melihat kelambunya bergoyang cukup kencang. Entah apa penyebabnya.

Derit pintu kamar mandi yang terbuat dari kayu-kayu sisa yang digabungkan terdengar nyaring di telinga. Sepertinya, Mas Rama masih belum sempat memberikan pelumas pada engselnya yang berkarat. Aku masuk ke kamar mandi dengan cepat. Tujuh tahun pernikahan, baru kali ini aku merasa ketakutan berada di rumah ini. Seolah ada yang mengawasi dari balik rimbunnya daun rambutan yang batangnya tumbuh tepat di belakang dinding kamar mandi.

Aku menatap langit yang semakin gelap. Beberapa ekor kelelawar tampak beterbangan, sepertinya mulai mencari makan.

Tak mau berlama-lama, aku berwudu dengan cepat. Namun, saat akan kembali ke dalam rumah, aku mendengar suara berisik dari balik daun rambutan.

Aku menelan ludah. Ingin beranjak, tetapi kaki mulai terasa berat. Mataku terpaku ke arah suara. Ingin memejam, tetapi tidak bisa. Seolah mataku dipaksa melotot ke sana.

Dahan rambutan yang menjulur mendekati dinding kamar mandi mulai bergoyang naik turun. Cahaya lampu kamar mandi yang terpasang pada dinding membuat aku bisa melihat dengan cukup jelas. Pada awalnya gerakan dahan rambutan itu pelan dan lama kelamaan semakin cepat, seolah ada yang sedang bermain-main di sana.

Seketika, rasa takut menjalari tubuhku. Napasku memburu sementara jantung terus berpacu dengan cepat.

Ada apa di sana?

"Ma, aku mau pipis!"

Aku terlonjak mendengar gedoran pada pintu kamar mandi. Sepertinya, Tiara, gadis kecilku itu telah pulang dari masjid. Setiap hari ia mengaji di masjid setelah Asar, lalu akan pulang sesudah salat Magrib berjamaah.

Gegas, aku membuka pintu. Tiara langsung meloncati satu anak tangga. Sepertinya, gadis yang berusia enam tahun itu kebelet buang air kecil.

Kembali aku mengarahkan pandangan ke arah dahan rambutan yang tadi bergoyang. Namun, semua kembali terlihat normal. Tidak ada gerakan sama sekali. Aku menarik napas lega, tetapi juga penasaran. Apa aku berhalusinasi?

"Ma, nenek gak jadi mati, ya?" tanya Tiara polos sekali.

Aku diam sejenak sebelum menjawab. Peristiwa ini sangat aneh bagi kami.

"Alhamdulillah, enggak, Sayang. Allah masih beri nenek kesehatan."

Tiara tampak manggut-manggut, entah mengerti atau berusaha mengerti.

Aku buru-buru mengikuti Tiara yang telah berlari mendahului. Namun, saat melewati kamar Mak, aku mendengar ada yang sedang berbincang di dalamnya. Pintunya tidak tertutup rapat. Karena penasaran, aku mencoba menguping.

"Aku ndak mau, Mbak."

Itu suara Mak Rusna.

"Tolong, kasihanilah aku, Na. Aku ndak sanggup lagi."

Kali ini suara Mak. Sejak peristiwa tadi siang, baru sekarang aku mendengar lagi suaranya. Ada nada getir di setiap tuturnya.

"Aku sudah ndak punya keturunan. Kelak, jika aku seharusnya mati, kepada siapa akan kuwariskan? Selamanya aku akan menjadi budak makhluk itu. Aku ndak mau menggadaikan jiwaku pada iblis, Mbak."

Mendengar ucapan kedua saudara itu aku bergidik. Apa maksud mereka sebenarnya?

Setelah beberapa saat, hening, tidak kudengar lagi ada yang berbicara. Dengan hati-hati, aku berniat mendorong pintu kamar sedikit lagi agar bisa mengintip. Namun, pintu itu membuka dengan cepat, lantas tampaklah wajah Mak Rusna.

Pasti wajahku pias saat ini karena baru saja ketahuan tidak sopan. Aku menggigit bibir menunggu omelan Mak Rusna. Namun, wanita yang lima tahun lebih muda dari Mak itu hanya berlalu dari hadapanku dengan wajah datar.

***

Aku terbangun karena cairan dari kantung kemih yang mendesak keluar. Aku raih ponsel dan melihat angka 00:00 di sana. Sebelum beranjak, aku mengangkat kedua sudut bibir saat melihat Tiara yang tidur di sebelah kananku. Selimut kutarik menutupi seluruh tubuhnya.

Aku mengalihkan pandangan ke sebelah kiri. Ada Mak Rusna yang juga sedang terlelap. Ya, semalam wanita yang masih energik itu memintaku untuk menemaninya tidur di depan televisi. Sementara itu, Mas Rama tidur sendiri di dalam kamar.

Aku mengembuskan napas kuat, rasa penasaran akan pembicaraan Mak dan saudara satu-satunya ini kembali menggelayut di benakku. Tadi, aku tidak sempat bertanya lebih jauh karena tidak enak dengan Mas Rama.

Apa maksud pembicaraan mereka tadi? Apa semua berkaitan dengan peliharaan gaib, Mak? Apa benar kabar yang dulu pernah kudengar? Lalu, apakah Mas Rama yang harus menerima warisannya itu?

Capek dengan pikiran sendiri, gegas aku ke belakang untuk menuntaskan desakan alam. Kali ini, pintu kamar Mak tertutup rapat. Entah kenapa, aku malah merasa lega. Sejujurnya aku mulai takut setiap kali melewati kamar Mak sejak kejadian tadi siang.

Aku menghidupkan lampu dapur lalu segera melesat menuju kamar mandi. Aku berusaha untuk tidak melihat ke arah dahan rambutan karena takut kejadian saat Magrib terulang kembali.

Suara lolongan anjing yang saling bersahutan membuat bulu kudukku berdiri. Dingin seketika menusuk ke tulang. Semilir angin yang membelai bagian tubuhku yang terbuka membuat aku sedikit menggigil. Gegas aku keluar dari kamar mandi.

Namun, langkahku terhenti saat melihat pintu yang mengarah ke kebun belakang sedikit terbuka. Aku tidak bisa memastikan apakah pintu itu telah terbuka saat aku baru masuk ke kamar mandi tadi.

Dengan langkah pelan dan jantung yang berdebar kencang, aku mendekati pintu yang terbuka. Aku tarik pintu itu lebih lebar agar leluasa melihat.

Lampu belakang menyala, berarti ada seseorang di sini.

"Mak?"

Kira-kira dua meter dari pintu keluar agak ke kanan, aku melihat Mak. Aku yakin sekali. Daster cokelat kesukaannya menjadi penanda. Ia berdiri membelakangi pintu dan mengarah ke kandang ayam. Rambutnya yang berwarna kelabu dibiarkan terurai dan dipermainkan oleh angin yang terasa sedikit kencang.

Aku mengusap tengkuk yang terasa dingin. Masih berdiri di ambang pintu, aku memanggil Mak. Namun, wanita itu seolah tidak mendengar.

Mak menarik pintu kandang ayam yang terletak pada bagian atas kandang. Anehnya, ayam-ayam itu tidak berisik sama sekali. Semuanya tenang seolah tidak ada yang terjadi. Mak mengambil beberapa ekor ayam berwarna putih lalu menutup kembali pintunya.

Kali ini, Mak menghadap ke arah pokok rambutan yang terlihat cukup jelas dari tempat aku berdiri. Aku terus memperhatikannya. Wanita tua itu mengacungkan ayam ke arah pohon kemudian mulai tertawa.

Suara tawa Mak terdengar sangat menakutkan sehingga membuat seluruh persendianku lemas. Aku berpegangan pada pintu agar tidak terjatuh. Aku ingin beranjak, tetapi seluruh anggota tubuh terasa semakin berat.

"Aku sudah menemukannya. Kau harus melepaskanku," ujar Mak entah kepada siapa.

Tiba-tiba dari atas pohon, aku mendengar suara berisik disertai gerakan dahan yang kencang. Sesuatu melompat setelahnya.

Aku membeliak. Sesosok makhluk berwarna kuning kecokelatan berdiri di depan Mak. Aku perkirakan tingginya dua kali manusia normal. Kulitnya keriput layaknya manusia yang sudah tua. Telinganya lebar dan sangat besar. Seandainya duduk, telinga makhluk itu pasti akan menyentuh tanah. Mulutnya dipenuhi oleh gigi yang besar, runcing, dan hitam. Liurnya menetes dari sela-sela giginya. Kedua bola matanya putih dengan hidung pesek seperti babi. Seluruh tubuhnya mengkilat seolah basah.

Geramannya membuat tubuhku bergetar. Aku sangat takut, sehingga kaki tidak bisa lagi menopang tubuh. Aku tersungkur dengan air mata yang mulai membasahi pipi.

Makhluk itu membungkukkan badan lalu meraih ayam yang diacungkan Mak. Dengan sekali gerakan, ayam-ayam itu telah berpindah ke dalam mulutnya.

"Ajeng, Mak akan mewariskannya untukmu."

Tiba-tiba Mak telah berdiri di hadapanku. Telapak tangannya terbuka.

Dengan isak yang semakin kuat, aku menatap telapak tangan Mak. Di sana, tampak sebuah benda serupa gigi taring yang sangat besar, runcing, dan berwarna hitam yang digantung menjadi sebuah kalung dengan tali yang juga berwarna hitam.

Aku ingin menolak, tetapi tidak ada suara yang keluar dari tenggorokanku. Aku hanya bisa menggeleng.

"Seharusnya kau tidak menolaknya, Nak. Kau akan menyesal karena tidak menerimanya." Mak terus mendesak.

Entah kekuatan dari mana, aku menepis tangan Mak lalu gigi itu terlempar entah ke mana.

Mak tertawa sementara makhluk berlendir itu terlihat marah. Tangannya terulur ke arahku dan … .

"Ajeng! Ajeng!" Terasa ada yang menepuk pipiku.

Saat mata terbuka, wajah Mak Rusna-lah yang terlihat. Aku bangkit lalu melihat ke sekitar untuk memastikan keberadaan makhluk yang kulihat tadi.

"Kenapa kamu tidur di sini?"

Pertanyaan Mak Rusna sejenak membuat aku bingung. Bagaimana mungkin aku tertidur di sini? Apa aku bermimpi sambil berjalan?

"Sekarang jam berapa, Mak?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaan Mak Rusna.

"Jam lima, Jeng. Sebaiknya kamu bergegas. Mertuamu kembali meninggal."

Ucapan saudara Mak seolah petir di siang bolong. Kemarin mati, lalu hidup, dan sekarang? Aku menatap Mak Rusna tak percaya.

Namun, wanita tua itu mengangguk. Kedua matanya berkaca-kaca.

"Apa benar-benar meninggal, Mak?"

Mak Rusna menghela napas panjang, lalu menggerakkan kepalanya ke atas ke bawah.

Gegas, aku berlari menuju ke kamar Mak. Di sana, aku lihat Mas Rama sedang memposisikan tangan Mak terlipat di perutnya dan ada Tiara yang berdiri menatap neneknya tanpa berkedip.

***

Aku menatap gundukan tanah merah yang baru saja menutup jenazah Mak. Kali ini, Mak benar-benar meninggal. Aku mengusap mata yang terasa perih. Aku bersedih tentu saja, tetapi, ada hal yang mengganggu pikiranku.

Para pengantar jenazah telah pergi, tinggal kami sekeluarga. Aku menatap Mas Rama, Tiara, dan Mak Rusna yang masih berjongkok di depan pusara Mak.

Jika Mak benar-benar mati, berarti sudah ada pewaris untuk merawat peliharaan Mak. Hanya dengan begitu, Mak bisa mati. Aku menelan ludah, tidak mungkin aku, 'kan? Aku sudah menolaknya. Lantas siapa? Apakah Mas Rama? Tiara atau Mak Rusna? Perkara ini benar-benar membuat aku gelisah.

"Ayo pulang!" ajak Mas Rama.

Aku pun mengikuti langkah suamiku. Tak sengaja, mataku melirik ke arah leher Mas Rama.

Tunggu! Ada tali berwarna hitam yang melingkar di lehernya. Sejak kapan Mas Rama memakai kalung? Jangan-jangan ….

"Mas!" seruku, tetapi sepertinya ia tidak mendengar karena ia sedang berbicara serius dan melangkah beriringan dengan Mak Rusna.

Aku hendak mengejar saat Tiara memanggil. Aku menoleh ke arah gadis cilik itu. Ia mengulurkan tangannya, sepertinya minta digandeng. Namun, anehnya, telapak tangannya terkepal. Sesuatu berwarna hitam terlihat menyembul dari sela-sela jemarinya.

"Apa yang ada di telapak tanganmu, Sayang?" tanyaku.

"Oh, ini. Semalam Tiara dipanggil Nenek ke kamar. Ia memberikan ini untuk Tiara, Ma."

Tiara membuka telapak tangan, lalu menatapku dengan matanya yang polos.  Terperanjat, aku terhuyung ke belakang. Tidak mungkin. Ini pasti tidak mungkin.

"Tidaaak, Tiara!" teriakku, lalu semuanya menjadi gelap.[]

 

Situjuah, 10 September 2022


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url