Sebatang Permen Pelangi di Bawah Hujan - Erlyna


Sebatang Permen Pelangi di Bawah Hujan
Erlyna


Aroma manis memenuhi udara saat saya sedang duduk di kursi kayu sambil menggoyang-goyangkan kaki kanan. Di samping saya, Nau, adik perempuan saya satu-satunya tertidur dengan kaki menjuntai. Bocah sepuluh tahun itu sepertinya kelelahan, atau mungkin ketiduran setelah bosan mendengarkan cerita saya tentang peri baik hati dan suka menolong, yang sudah sangat dihafalnya.

Saya menguap entah untuk yang keberapa kalinya. Dengan pandangan kabur karena mata dipenuhi oleh embun-embun yang gagal menetes meski berkali-kali menguap, saya menatap sekeliling, mencoba mengira-ngira berapa lama lagi harus bertahan sampai kue-kue di keranjang yang saya bawa itu habis.

Pantat saya sudah mati rasa sejak beberapa jam lalu. Sementara punggung saya sepertinya bertambah bungkuk karena terlalu lama duduk. Namun, saya juga tidak bisa sering-sering berjalan, apalagi mondar-mandir sambil menawarkan kue yang saya jual. Saya hanya punya satu kaki, dan untuk berjalan saya memerlukan tongkat untuk menyangga tubuh. Jika saya berjalan sambil membawa keranjang kue, saya akan kehilangan keseimbangan dan rentan terjatuh. Jadi, satu-satunya pilihan yang bisa saya ambil adalah berjualan sambil duduk.

Nau tiba-tiba menggeliat, menguap lebar, mengubah posisi tidurnya menjadi meringkuk memeluk lutut, lalu kembali melanjutkan mimpi. Saya menatap wajahnya yang bulat dan tampak kusam terbakar matahari. Ada banyak bekas luka di tangan dan kakinya. Bukan karena bermain, tetapi karena ia memaksakan diri mengikuti saya untuk bergelut mengarungi kejamnya takdir yang digariskan semesta.

Tidak, tidak, saya tidak sedang mengutuk Tuhan, tentu saja. Saya hanya sedang melampiaskan kekesalan, saya hanya ingin mengusir perasaan-perasaan kecewa atas ketidakadilan yang terpampang nyata di hadapan saya. Saya hanya sedang mencurahkan isi hati kepada angin malam yang kembali menerbangkan aroma manis, yang kali ini lebih kental dari sebelumnya.

Tidak jauh dari tempat saya duduk, ada toko permen yang baru buka dua bulan yang lalu, dan sejak saat itu malam-malam yang saya habiskan sering sekali dipenuhi dengan aroma manis.

“Permisi.”

Lamunan saya buyar saat mendengar seseorang yang ternyata sudah berjongkok di hadapan saya. Seorang laki-laki dengan jaket merah yang menyembunyikan kemeja putih di dalamnya. Laki-laki yang sepertinya baru pulang dari kantor dan sengaja berjalan-jalan sepanjang trotoar untuk melepas penat. Tangan kirinya menjinjing tas hitam, sementara tangan kanannya membuka tutup keranjang lalu memilah-milah kue yang tersisa. Saya menatap dalam diam. Wajah laki-laki itu cukup familier di mata saya. Ia beberapa kali memborong kue-kue dagangan saya yang tersisa sehingga saya bisa pulang lebih cepat, seperti malam itu.

“Saya ambil semuanya, ya.”

Laki-laki itu tersenyum, mengeluarkan dompet lalu menyerahkan satu lembar seratus ribuan.

“Ambil saja kembaliannya. Belilah sesuatu untuk adikmu.”

Laki-laki itu menimpali sebelum saya sempat mengatakan apa-apa. Saya mengambil kantong plastik besar, memasukkan dua puluh bungkus kue seharga tiga ribu rupiah yang masih tersisa di keranjang, lalu menyerahkannya kepada laki-laki itu.

“Terima kasih. Sampai jumpa besok.”

Laki-laki itu tersenyum, mengangguk sekali sebagai tanda berpamitan sebelum hilang ditelan keramaian.

Saya masih diam dengan tangan gemetar, tidak tahu harus merasa sedih atau bahagia. Ada banyak pikiran yang tiba-tiba menyerbu kepala saya, salah satunya adalah apakah baik jika terus menerima kebaikan dari seseorang? Terlebih itu adalah orang yang sama.

“Kak ....”

Lamunan saya kembali buyar. Saya menoleh ke arah Nau yang terbangun dan sedang mengucek-ngucek matanya.

“Ya, Dek. Ayo kita pulang.”

Nau mengangguk pelan, lalu melangkah sambil membawa keranjang kue yang sudah kosong.

Jalanan mulai sepi, begitu juga dengan hati kami. Rasa lelah telah mencerabut semua keinginan-keinginan yang sebelumnya datang menggoda. Saya melangkah sambil sesekali melirik ke arah Nau yang berjalan terantuk-antuk di belakang. Ada sebuah perasaan menusuk tiap kali menyadari bahwa saya gagal menyekolahkan Nau. Saya bahkan tidak bisa membelikan satu batang permen pelangi yang sangat diinginkan Nau, yang dijual di toko baru di samping tempat kami biasa berjualan.

“Kak, cepat hapus air mata Kakak,” ucap Nau tiba-tiba. Rupanya ia sempat melihat air mata saya.

Saya berhenti melangkah lalu menoleh ke belakang, menatap Nau yang sedang menengadah.

“Kenapa, Dek?” tanya saya.

“Ibu sedang mengawasi kita. Bukankah Kakak tidak mau membuat Ibu sedih?” tanya Nau sambil menunjuk sebuah bintang di langit. “Bintang itu terang sekali, itu pasti Ibu. Ayo, lekas hapus air mata Kakak.”

Saya terdiam. Alih-alih menangis, saya justru bertambah kesal dengan diri saya sendiri. Jika saja bisa, saya ingin menawar kepada Tuhan untuk memperbaiki garis nasib Nau. Cukup saya saja yang harus menderita, jangan Nau juga. Sakit sekali rasanya saat saya menyadari bahwa saya dengan sengaja membunuh mimpi-mimpi luar biasa yang pernah dibuat Nau. Jahat sekali rasanya saat menyadari bahwa saya telah menarik semua cita-cita yang pernah diterbangkan Nau ke langit. Ya Tuhan, tolong hentikan semua ini.

Keesokan harinya, sebelum berangkat, saya terkejut melihat banyak daun-daun berguguran di halaman. Padahal kemarau belum tiba, tetapi segalanya seakan-akan luruh dan menolak patuh pada musim.

Saya termenung di beranda, menunggu, barangkali ada tamu-tamu dari jauh yang hendak berkunjung atau semacamnya. Saya tidak begitu pandai membaca alam, tetapi saya yakin luruhnya daun-daun itu merupakan sebuah pertanda.  Namun, detik berikutnya saya memilih bangkit saat melihat Nau yang datang bersamaan dengan keranjang kue yang baru saja diambilnya dari tetangga yang membuka usaha kue rumahan.

“Kakak kenapa?” tanya Nau saat sudah berdiri tepat di hadapan saya.

Saya menggeleng sambil memaksakan senyum, lalu mengajaknya untuk berangkat.

Pagi hari, kami berjualan kue di kawasan taman kota. Tempat itu sangat ramai, terlebih lagi lokasinya yang terletak di samping halte bus, membuat dagangan cepat habis. Menjelang siang, kami kembali ke rumah, istirahat sejenak sebelum berangkat lagi untuk berjualan hingga malam.

Sebelum berangkat, saya melihat Nau membawa sebuah buku cerita yang sudah sangat usang. Buku itu adalah buku terakhir yang saya belikan tiga tahun lalu, sebelum sebuah kecelakaan besar terjadi yang merebut paksa Ayah, Ibu, dan juga kaki kiri yang saya miliki.

Saya tidak banyak bicara. Sebagai gantinya, saya menatap Nau saat gadis kecil itu sedang duduk sambil menyiapkan tas yang hendak dibawanya.

“Adek baik-baik saja?”

Nau mengangguk cepat lalu tersenyum.

“Adek mau permen?” tanya saya pelan sambil menatap sepasang matanya yang seketika berbinar-binar. Kepalanya mengangguk pelan.

“Nanti kita beli, ya, kalau banyak kue yang terjual,” ucap saya sambil mengelus kepalanya.

“Asyik!”

Nau bangkit dari kursi, lalu mengajak saya untuk segera berangkat.

Harapan-harapan yang telanjur dirangkai manusia, terkadang, harus berjumpa dengan banyaknya takdir-takdir menyakitkan yang membuat bahagia tersesat. Mereka, perasaan bahagia itu, perlahan-lahan menjelma menjadi kesedihan-kesedihan tak berkesudahan seiring dengan pupusnya senyuman yang bahkan tidak sempat mengembang.

Seperti sore itu, saat semangat yang membara di dada Nau, harus padam ketika langit tiba-tiba mendung dan hujan berjatuhan tidak lama kemudian.

Saya hanya bisa diam sambil menggigit bibir bawah kuat-kuat, lalu tertawa tanpa suara. Kemiskinan dan nasib buruk ternyata sudah mengerangkeng kami dengan begitu kuatnya. Kami sama sekali tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk sekadar mengetuk pintu-pintu kebahagiaan, bahkan untuk hal-hal kecil yang sering sekali luput dari perhatian. Hujan yang jatuh begitu deras, artinya kami tidak bisa berjualan. Orang-orang sibuk menyelamatkan diri dari tetesan-tetesan hujan dan tidak akan sempat melirik dagangan kami.

Saya menghela napas, mengalihkan pandangan dari wajah Nau yang sendu. Kentara sekali kekecewaan menggantung di sepasang matanya yang perlahan redup. Sementara itu, tempias hujan perlahan-lahan membasahi kakinya yang hanya mengenakan sandal jepit usang.

Bahkan, untuk sebuah keinginan sederhana seperti membeli sebatang permen pelangi seharga sepuluh ribu rupiah, kami tidak memiliki kesempatan.

“Dek ....”

Saya menepuk-nepuk pelan pundaknya yang kurus dan menonjolkan tulang-tulangnya. Nau tetap diam, seakan-akan menolak menarik diri dari lamunan yang sejak tadi mengurung kesadarannya.

Tiba-tiba angin bertiup kencang, membuat saya refleks menarik tubuh Nau untuk mendekat. Saat itulah saya menyadari ada sesuatu yang aneh. Saya melemparkan tongkat di tangan, lalu refleks berlutut saat menyadari tubuh Nau ambruk. Saya panik luar biasa. Dengan tangan gemetar antara menahan dingin dan juga perasaan takut yang menyerang dengan membabi buta, saya mengguncang-guncang tubuh Nau dengan kencang. Namun, tidak ada yang bisa mengalahkan takdir yang dituliskan oleh tangan Tuhan. Tidak peduli berapa kali saya berusaha membangunkannya, Nau tetap memejamkan mata, selama-lamanya. Kematian ternyata begitu dekat, jauh lebih dekat dibandingkan dengan nasib baik yang sangat saya harapkan.

Angin bertiup sepoi-sepoi saat saya menyusuri kawasan permakaman keesokan harinya. Hening yang menyambut saya, seakan-akan sedang berusaha mengajak berdamai. Perihal mengikhlaskan, perihal kesendirian, juga perihal penyesalan-penyesalan tidak berujung yang belakangan menjelma menjadi mimpi buruk baru.

Langkah saya berhenti di sebuah pusara yang masih tampak basah. Saya tidak kuasa lagi menopang tubuh dan langsung terempas ke tanah begitu membaca sebaris nama di nisan kayu yang tertancap di atasnya. Kesedihan mengguyur seperti hujan yang seketika ikut berjatuhan. Entah apa yang paling saya sesali, tetapi melihat Nau sudah tertidur dengan tenang, sepertinya saya harus bersyukur. Setidaknya Tuhan mengabulkan doa saya, setidaknya Nau sudah terbebas dari jerat kemiskinan yang membuatnya sulit menemukan kebahagiaan, dan meski terlambat, setidaknya saya akhirnya bisa membelikan permen pelangi yang sangat diinginkannya. Permen pelangi yang semoga saja bisa menemaninya dalam perjalanan ke surga.

Saya meletakkan sebatang permen pelangi di atas pusara Nau, ditemani hujan yang masih terus mengiringi kepergiannya.

“Selamat berbahagia, Sayang. Selamat menikmati permen pelangi yang sangat banyak di sana.”[]



Purworejo, 25 Agustus 2022

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url