Lek-lekan - Purwati Ningsih

Lek-lekan
Purwati Ningsih



Crash! Sekelebat klewang nyatanya telah terhunus tanpa komando apa pun sebelumnya. Darah merembes dari lambungmu. Benda tajam mengkilat dengan panjang sedepa orang dewasa itu seolah membabi buta, mencari mangsa, atau mungkin memang telah lama menunggu mangsanya; kamu.

Keringatmu bercucuran. Gigimu bergemeretak. Manakala pertemuan yang memang kau gadang-gadang, kalian rencanakan puluhan purnama yang lalu, kini minta dituntaskan. Harus tuntas!

“Menyerahlah, Kanda. Kita sudahi sampai di sini. Kau takkan menang kali ini,” ucap seseorang dengan harimau putih sebagai tunggangannya. Klewang di tangan kanannya masih meneteskan sisa-sisa darah segarmu.

Meski ususmu hampir terburai karena sabetan yang ditinggalkan klewang milik saudara sedarahmu itu, tetapi nyatanya kau mampu bangkit. Melilitkan begitu saja usus-usus itu pada warangka keris Kyai Sengkelat yang terselip pada bebed jarik di sebelah kirimu yang juga mulai membasah, merah darah.

Pekatnya hutan pinus di lereng gunung keramat ini seolah bersiap menjadi saksi, atas pekatnya dendam kesumat di antara dua bersaudara yang tiada hentinya, meskipun telah melintasi beberapa generasi.

Perebutan takhta, adu kedigdayaan, serta adu kepantasan dalam memimpin, ialah faktor pendukung atas rasa tidak ketidakadilan yang awal mula ditumbuhkan oleh mendiang bopomu. Sungguh hal yang patut dikecewakan, mengingat masing-masing dari kalian memiliki aliran darah yang sama; darah biru, ningrat, dengan segala kesaktian yang mumpuni warisan dari leluhur.

Plash!

Kilatan sinar kemerahan menembus gelapnya alas wingit itu. Kembali klewang gaib itu mengitari tubuhmu yang berdiri tegap di dalam lingkaran dengan semburat warna biru. Mencoba mencari celah untuk dapat kembali menyerangmu, merobohkanmu, serta menyelesaikan duel satu lawan satu ini dengan segera. Hari ganjil, hari pamungkas untuk adu kedigdayaan.

Dengan sekali tangkisan dari keris di tangan kananmu, klewang berdarah itu terpental jauh. Kilatannya hilang ditelan pekatnya pohon-pohon pinus yang berjajar mengelilingimu, seolah menjadi ring pertarunganmu dengannya.

Seseorang yang kau sebut Adhi itu menggeram marah. Tangannya mengepal. Mata merahnya mengisyaratkan kebencian yang amat sangat.

Malam satu, bulan Warana, adalah hari yang benar-benar kau persiapkan untuk menuntaskan semua rasa dendam adhimu, meski sesungguhnya teramat berat bagimu. Selalu tebersit rasa ketidaksanggupan dalam hatimu, manakala lelaki kecil yang dulu kau jaga sepenuh hati itu mengibarkan panji-panji peperangan di sepuluh windu terakhir, tapi kau berhasil mengabaikannya selama itu. Kau redam amarahmu hingga dasar kesabaran yang tak terukur.

Hingga sampailah pada peristiwa itu. Hari nahas, hari yang menjadi kebangkitanmu setelah sekian lamanya engkau ditindas jiwa dan raga olehnya. Hari di mana mulai kau sambut tantangan pertarungan ini. Sebabnya hanya satu. Manakala biji matamu satu-satunya—putri kecilmu—direnggut paksa kematiannya oleh adhimu. Diincar, lalu dihabisi. Dan memulangkan beberapa potong bagian tubuhnya yang tak lagi utuh itu ke tanganmu. Biadab!

Satu per satu keturunanmu dan orang-orang terdekatmu dibidik olehnya, dan hanya tersisa dirimu seorang diri, tanpa kawan, agar sama kedudukannya; sepertinya. Maka, sebelum saudara birumu itu semakin merusak tatanan kehidupanmu, kau putuskan menyanggupi pertarungan ini. Atas nama keramat bopo-biyungmu.

Mulailah kau berlatih ilmu-ilmu kanuragan ganjil, yang takmampu dicapai batasannya oleh orang-orang awam lainnya. Namun, terasa begitu mudah bagimu. Karena kau memang diahirkan memiliki wadah kesaktian, turun-temurun.

Cuiiit!

Siulan yang kau pekikkan membuat debuman di antara rimba hutan pinus di sekitarmu. Seekor kuda Sembrani gaib milikmu datang secepat kilat, mengantarkanmu menuju adhimu yang berdiri sekitar dua puluh meter di depanmu.

Sret!

Lengah. Untuk sesaat adhimu takmampu membuat perhitungan akan serangan yang baru saja kau lakukan. Lengan kirinya tersambar ujung Kyai Sengkelat yang telah kau bubuhkan racun setelah acara jamasan—pencucian pusaka—awal malam tadi.

Plash!

Kekosongan adhimu yang tanpa senjata kini kembali kau manfaatkan. Kuda gaib itu kembali membawamu pada jarak terdekat dengan adhimu. Mencoba kembali menancapkan keris pusaka peninggalan bopomu pada dada bidang adhimu. Namun, kali ini lelaki yang sedikit lebih muda darimu itu mampu menangkisnya. Serta-merta melindungi dadanya dengan tameng besi yang dibawanya.

Harimau putih itu mengaum. Suaranya membahana mengisi tiap sudut hutan pinus ini. Maka, tatkala hewan buas berwarna putih itu mengaum untuk kedua kalinya, tampak kilatan merah berbentuk pedang melesat menuju tangan adhimu yang mengepal di udara. Klewang sakti itu melayang, dan kembali ke tangan pemiliknya.

“Getih kabales getih. Sirning manjing salirane limput liwung. Ingsun urit tan kena pati, langgeng tan kena rusak, kakang kawah-adhi ari-ari, kunir welet rewangana aku. Bopo koso-ibu pertiwi,” rapalmu tegas.

Kudamu meringkik panjang. Kaki-kaki depannya terangkat hingga tampak seolah-olah berdiri. Dan detik berikutnya kuda jantan berkulit legam itu melesat membawamu menuju saudara sedarahmu.

Crash!

Kerismu merobek paha kanan adhimu, tapi tak begitu dalam. Sementara anyir darah kembali menyeruak pada tanah-tanah basah berembun tengah malam ini. Darah segar mengalir dari tungkai kaki kirimu yang ternyata ikut tergores klewang sakti itu. Kau hanya meringis dalam getar.

Sekali lagi kau arahkan kudamu ke depan harimau putih tunggangan adhimu. Dan plash ... kau kembali membuat serangan. Bahu kanan adhimu sempat tertancap pusakamu, sebelum pusaka itu kembali kau cabut.

Adhimu tampak membuang ludah.Hanya ini kemampuanmu, Kanda? Sungguh Bopo amat malu memiliki putra lemah sepertimu. Kau tidak pantas menjadi pilihan, Kanda!” ujar adhimu sebelum harimau putih itu kembali mengaum dan merontokkan daun-daun pinus yang telah mengering.

Setelah adhimu merapal mantra suci, lingkaran merah dengan lidah api di sekelilingmu terbentuk sempurna. Seolah menjadi batas arena pertarunganmu kini.

Plash!

Serta merta klewang haus darah itu kembali menyabet kakimu tanpa aba-aba, kali ini menyasar kaki kananmu. Kau tersungkur. Kuda Sembranimu meringkik keras terkena serta sabetan klewang terbang itu, lalu plash ... hilanglah kuda gaib itu. Meninggalkanmu sendirian di tengah kecamuk perang yang belum usai.

Hanya kaki kirimu yang masih bisa kaubuat pijakan, sedangkan kaki kananmu hanya bergelantungan, nyaris putus.

Serangan demi serangan klewang berdarah itu bertubi-tubi menyerangmu. Hanya pagar biru berbentuk lingkaran di sekujur tubuhmu yang masih menyelimuti, menahanmu, sehingga nyawamu yang sudah di ujung tanduk dapat terselamatkan, kali ini.

“Menyerahlah, Kanda. Kau tak akan menang kali ini!” ujar pemilik mata merah itu, sembari mengitari cahaya birumu, pertahanan terakhirmu. Sementara kilatan klewang merah masih menari-nari di atas kepulan cahaya kebiruan milikmu.

“Tidak akan, Adhi! Biarlah darah terbalas darah. Meskipun aku mati nantinya, aku akan dikenang sebagai kesatria yang mempertahankan kebenaran, bukan sebagai bromocorah sepertimu!” ujarmu di sela napas yang memburu. “Kini benarlah sudah keputusan Bopo kala itu. Aku lebih baik darimu, Adhi!” tegas lisanmu.

Mendengar ucapanmu, adhimu meraung marah. Serta-merta harimau putih itu pun ikut mengaum. Cakarnya merangsek di sekitaran cahaya biru yang menaungimu, seolah merobek-robek lingkaran biru yang menjadi pelindungmu.

Crash!

Maka, tatkala sinar kebiruan itu mulai tampak memudar karena tubuhmu yang letih, saat itulah penunggang harimau putih itu merangsek masuk dalam kobaran pagar birumu. Dengan kemarahan yang mencapai ubun-ubun, pemilik klewang sakti itu menyabet lehermu dengan sekali tebas.

Tuntas!

Tubuhmu menggelepar. Urat-urat di lehermu telah terputus seluruhnya dari tubuhmu. Sebelum tubuhmu benar-benar tak bergerak, sedangkan tanganmu masih sempat melemparkan Kyai Sengkelat ke arah adhimu. Namun, karena ragamu telah melemah, maka dengan mudahnya keris pusaka itu ditangkis oleh sang pemilik klewang berdarah. Terpental tak tentu arah. Hilang, ditelan kegelapan malam.

Rona kepuasan jelas terpeta di wajah adhimu, manakala mendekati jasadmu yang bermandi darah dengan nganga di perut, dan kedua kaki yang nyaris putus. Usus yang telah terburai itu kini telah sempurna beralas tanah basah lereng pegunungan. Menggigilkan tubuhmu seluruhnya, menyatukan tubuhmu dengan bumi, tempat asal dan kembalimu.

Lalu, sesaat setelah kepalamu yang menggelinding itu  telah berhenti dan tersangkut rumput-rumput hutan pinus yang gelap, adhimu yang penuh dendam itu memindai sekujur wajahmu yang telah beristirahat dengan damai itu dengan rasa puas. Seperti yang diimpikannya, membawa paksa kemenangan pada pertarungan terakhir ini.

Disibaknya rambut yang menutupi bola mata yang membeliak milikmu. Dibersihkannya rumput-rumput dingin yang tanpa sengaja menyumpal mulutmu saat kau menggelepar, manakala malaikat maut mencabut seruas ruh yang kau miliki. Sementara lelehan darah segar masih tampak mengaliri dagu dan jambangmu. Sisa-sisa muntahan darah, tersebab klewang sakti itu menebas lehermu begitu saja tanpa ampun.

Setelah saudara kecilmu itu mengatupkan kedua matamu, dan memastikan kematianmu, langkahnya mulai perlahan menjauhi kepalamu.

Untuk yang terakhir adhimu itu berhikmat. Diambilnya warangka Kyai Sengkelat yang berada tak jauh dari kakimu, untuk kemudian diangsurkan di atas jasadmu. Karena adhimu tau, benda pusaka akan selalu menemani pemiliknya. Sampai kapan pun.

Plash!

Ajaib. Setelah warangka itu ditaruhnya di atas dadamu, serta-merta keris sakti yang tadinya terlempar entah ke mana itu tiba-tiba terbang, dan menyatu menuju tempatnya bersemayam; warangka suci.

Untuk beberapa saat, perlahan keris sakti itu melenyap,  melebur masuk ke dalam tubuhnmu yang tanpa kepala itu. Memendarkan warna kebiruan yang menyilaukan mata. Dan setelahnya kembali normal. Hanya pekat malam dan lolongan anjing yang menyatroni alas wingit ini.

Seekor harimau putih segera menjemput tuannya, membiarkan sang tuan menungganginya, dan kemudian melesat pergi membiarkan jasadmu tertinggal begitu saja di antara onggokan dedaunan pinus yang menjadi tempatmu menutup mata, tepat di penghujung malam.

Suara kokok ayam jantan perlahan menembus gendang telinga. Menyemarakkan pergantian waktu. Malam menuju terang. Namun masih sama, bernuansa gigil. Tersebab hujan yang tak henti-hentinya turun sedari sore.

Seonggok badan kuyu mulai tertatih, bangkit dari kasur lapuk. Menyalakan penerangan, dan mencoba mulai membersihkan diri untuk memulai aktivitas harian. Sementara suara klakson di jalan protokol depan rumah semi permanen itu sudah begitu berisik, meski baru sepagi ini. []

Mojorejo, 10 September 2022

Catatan:

·       Bebed: Kain yang menyerupai jarik yang dikenakan oleh laki-laki

·       Adhi: Adik

·       Warana: Bulan Sura (Jawa) / Muharam (Islam)


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url