Yang Muda, yang Bertobat - Lina Ifania
Yang Muda, yang Bertobat
Lina Ifania
Surga dan neraka hanya teori bagi Hamzah selama
belum ada yang bersaksi pernah melihat keduanya. Siksa kubur hanya karangan
yang didongengkan para orang tua demi menakut-nakuti anaknya. Hamzah juga
menyepelekan datangnya kematian sampai dia mengalaminya sendiri.
Kematian Hamzah sesederhana
berbaring, lalu tertidur. Dia tidur menjelang magrib, tahu-tahu saat
Sumarni—ibunya—membangunkannya, tubuh pemuda itu dingin. Dia tidak bereaksi
meski Sumarni menepuk pipinya keras, lebih keras, dan makin keras. Denyut nadi
di tangan dan lehernya tidak terdeteksi, Sumarni langsung memekik, "Innalillahi wainna ilaihi
rojiuun!"
Bapak Hamzah, Mulyadi, tersedak air
minumnya saat mendengar teriakan Sumarni. Mulyadi terbatuk-batuk, tetapi lekas
mencari tahu alasan mengapa istrinya histeris seperti itu. Lelaki berkumis
baplang itu lemas saat mendapati tubuh Hamzah telah sekaku batang pohon pisang.
Beberapa saat dia tercengang, istigfar dengan hati yang bergejolak, lalu
terguguk. Sementara, Sumarni kian meraung.
Tetangga mulai berdatangan karena
mendengar teriakan Sumarni. Mereka sama bingungnya dengan orang tua Hamzah.
Pemuda dua dekade itu memang terkenal sebagai anggota geng motor yang kerap
tawuran dan membuat onar di jalan raya. Dia pergi dan pulang sesukanya. Sudah
bingung orang tua Hamzah dibuatnya. Dimasukkan ke dalam pondok pesantren pun
malah bikin ulah dan membuat malu.
"Ikhlaskan dia, Bu," ucap
Mulyadi seraya mengusap punggung Sumarni. Lelaki paruh baya itu pun cukup
terluka. Sebagai bapak, dia menaruh harapan besar kepada Hamzah.
"Siang tadi pas pulang, Hamzah
baik-baik saja, Pak. Bagaimana bisa sekarang dia seperti ini?" Sumarni
terisak di dada Mulyadi. Tubuhnya masih bergetar hebat. Beberapa saat lalu dia
bahkan pingsan dan baru sadar setelah pangkal hidungnya diberi minyak kayu
putih.
Mulyadi takmampu berkata-kata. Siapa
pun pasti tidak akan percaya dengan kabar kematian Hamzah. Suami istri itu
saling menguatkan di pojok ruangan sementara saudara dan para tetangga
menggotong Hamzah ke ruang tengah.
Masjid terdekat kemudian mengumumkan
kabar duka itu. Pelayat berdatangan ke rumah Hamzah. Teman segengnya ikut
melayat, bahkan meski hanya memakai kaus oblong dan celana jin yang bolong di
bagian lututnya. Mereka kompak bergeming dan menunduk. Meski telah menjalin
pertemanan selama lebih dari lima tahun, mereka baru berani masuk ke rumah
Hamzah malam ini. Biasanya baru sampai di pekarangan rumah, Sumarni langsung
mengacungkan sapu sambil berteriak lantang, menyuruh mereka menjauhi Hamzah.
Mulyadi meminta saudaranya untuk
membujuk Sumarni masuk ke kamar. Dia takut istrinya histeris lagi. Sementara,
keluarga lainnya membeli kain kafan dan perlengkapan lain.
"Kami turut berduka cita atas
meninggalnya Ijay, Pak." Salah seorang teman Hamzah bicara setelah mereka
saling siku dan saling menunjuk untuk mewakili mereka.
"Namanya Hamzah!" Sumarni
yang baru berjalan beberapa langkah langsung mendelik ke arah teman-teman
Hamzah. "Seenaknya saja main ganti nama!"
Teman Hamzah yang tadi bersuara pun
tergemap dan sontak menunduk.
Sementara ibu-ibu menenangkan
Sumarni, Mulyadi terlihat lebih tenang. Dia bisa menyembunyikan dukanya di
balik tarikan napas yang panjang dan berulang. "Saya selaku bapaknya
Hamzah meminta maaf atas semua dosanya. Jika anak saya memiliki masalah utang
piutang, bisa selesaikan dengan saya."
Teman Hamzah yang bertato tengkorak
di lengannya itu mengangguk seraya mengusap kepalanya yang plontos. "Ijay
emang punya utang sama kami, Pak."
"Bohong!" Sumarni menggeser tirai dan rela keluar dari
kamarnya demi menghadapi para pemuda yang dianggapnya sebagai pembawa pengaruh
buruk untuk putranya. "Saya selalu memberi uang sama Hamzah. Pasti kalian
yang berutang dan cari kesempatan ngaku-ngaku Hamzah punya utang!"
tuduhnya kemudian.
Si kepala plontos pun menoleh dan
menunjuk yang lain untuk menghadapi Sumarni.
"Sabar, Bu. Beri mereka
kesempatan bicara," saran Mulyadi.
Suasana pun sempat menegang. Para
pelayat yang sedang membaca Yasin di sisi jenazah Hamzah akhirnya tidak fokus.
Mereka malah memperhatikan kegaduhan yang terjadi. Kegaduhan itu baru berhenti
saat teman Hamzah memelotot sambil menunjuk ke arah jenazah Hamzah. Sedetik
yang lalu, tubuh sekaku batang pohon pisang itu serentak bangkit, lalu duduk
dengan mata membelalak.
"Utang lo lunas, Jay!"
Teman Hamzah ngibrit, disusul semua anggota geng dan pelayat lainnya yang
berhamburan ke luar.
***
Jantung Hamzah kembali berdetak setelah sempat
dinyatakan mati. Saat pemuda berambut gondrong itu bangun dari kematiannya, dia
membeliak. Wajahnya terlihat pucat dan seperti orang linglung. Mulyadi yang
sama terkejutnya dengan pelayat lainnya pun memanggil Ustaz Kamal.
Ini bukan kasus langka. Mati suri
dialami beberapa orang di luaran sana. Tentunya atas seizin Allah. Sumarni
menganggap ini sebagai bentuk kasih sayang Allah untuk putranya. Ustaz Kamal
mengurus dan memeriksanya dengan ditemani Mulyadi dan dua muridnya. Perlahan
kesadaran Hamzah pun kembali. Mata pemuda itu berkaca-kaca saat memindai
sekitarnya. Genangan yang membendung di matanya luruh begitu pandangannya
beralih kepada Sumarni yang berdiri di ambang pintu.
"Bu! Aku minta maaf, Bu!"
Sekonyong-konyong Hamzah berdiri, berjalan sempoyongan, lalu bersujud di kaki
ibunya.
Sumarni tak pernah berharap Hamzah
akan mencium kakinya. Cukuplah dia menjadi anak yang berbakti kepada Allah,
agama, orang tua dan bangsa. Wanita berkerudung hitam itu lekas membantu Hamzah
untuk berdiri. "Ibu maafkan kamu, Zah. Tobat sama Gusti Allah, Nak."
Mata Hamzah kian basah. Dia berjanji
akan hidup lebih baik lagi. Sementara ibu dan anak itu larut dalam suasana
haru, Ustaz Kamal menyarankan Mulyadi untuk memeriksa kesehatan putranya.
Barangkali ada penjelasan medis yang membuat Hamzah sempat kehilangan nyawanya
beberapa saat.
"Alhamdulillah, Gusti Allah
masih memberimu kesempatan kedua, Zah." Sumarni tak henti-hentinya
bersyukur. "Berapa kali ibu bilang, mau magrib itu siap-siap sholat, bukan
tidur!"
Hamzah yang masih terguncang hanya
mengangguk. Sumarni mengusap rambut panjang Hamzah, lalu mencium keningnya.
Hamzah akan berkeringat jika mengingat apa yang telah dilewatinya.
"Di dalam tubuh kita itu ada
roh. Saat hendak tidur, roh kita terlepas. Begitu juga dengan apa yang kamu
alami," tutur Ustaz Kamal. Dia pun menyampaikan jika ¹Allah memegang nyawa (seseorang) pada saat kematiannya dan nyawa
(seseorang) yang belum mati ketika dia tidur; maka Dia tahan nyawa (orang) yang
telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan nyawa yang lain sampai waktu
yang ditentukan. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
(kebesaran) Allah bagi kaum-kaum yang berpikir.
Hamzah menangis tanpa suara. Hilang
sudah image garang yang selama ini
melekat dalam dirinya.
"Memangnya apa yang kamu alami
di sana, Zah?" tanya Sumarni lirih.
Hamzah melirik ibunya, melirik
bapaknya, lalu akhirnya menggeleng. Untuk saat ini dia tidak ingin
menceritakannya. Pemuda itu malah pergi ke kamar mandi. Dia melepaskan anting
di telinga kiri, lalu berwudu sembari mengingat urutan anggota badan yang harus
didahulukan. Hamzah kembali ke kamarnya dan langsung mencari sesuatu di dalam
lemari, lalu memasangkannya di kepala. Sebuah kopiah pemberian Sumarni yang
dipakainya satu kali, sewaktu lebaran beberapa tahun silam.
Hamzah ingin bertobat.
***
Bukan main bahagianya Sumarni dan Mulyadi.
Satu-satunya permata hati akhirnya kembali ke jalan yang benar. Hamzah
memangkas rambut hingga pendek. Telinganya kini bersih dari anting-anting bulat
berbagai ukuran itu. Pemuda itu pun menjadi aktif di pengajian masjid
terdekatnya. Jika ada yang bertanya apa yang telah dialaminya, dia hanya
tersenyum sembari berucap, "Ngeri, lah."
Kamis malam Hamzah mendengarkan
tausiah. Manusia memiliki hubungan dengan penciptanya, juga dengan sesama
manusia. Keduanya harus seimbang. Hablumminallah
tidak akan diterima selama hablumminannas-nya
buruk. Pemuda berhidung bangir itu harus meredam gugup di dalam dada saat
mengetuk pintu demi pintu hanya untuk permintaan maaf. Sekarang dia percaya
jika kematian adalah satu kepastian dan bisa terjadi di mana saja; kapan saja. ²Di mana pun kamu berada, kematian akan
mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan
kokoh.
"Ibu betul, ikhlas maafin semua
kesalahanku?" Yang selalu Hamzah mintai permintaan maaf adalah Sumarni dan
Mulyadi.
"Lahir batin ibu memaafkanmu,
Zah," jawab Sumarni. Saat ini dia sedang bersiap-siap pergi ke dokter.
Sesuai saran Ustaz Kamal, Sumarni dan Mulyadi akan memeriksakan Hamzah ke
dokter. Mulyadi ingat jika bapaknya dahulu mengidap penyakit jantung. Meski
begitu, dia tidak berharap Hamzah memiliki penyakit serius.
Hamzah mengangguk. "Jadi, Ibu
ikhlas, ya, kalau dulu beberapa kali aku ngambil duit Ibu yang di bawah kasur
dan di lemari buat beli rokok dan bensin?"
Sumarni memicing walau sudah
menduganya. Hanya saja dia harus mengingat-ingat berapa kali harus melewati
pertengkaran dengan Mulyadi karena saling tuding. Mulyadi selalu yakin jika
Sumarni yang pikun; lupa menyimpan uang.
"Ibu juga ikhlas, kan, kotak
makan yang ungu di lemari itu aku jadiin asbak dan aku buang karena
bolong?"
"Heh!" Suara Sumarni
meninggi. Tangannya kini berkacak pinggang. Pantas saja satu tupperware-nya hilang. Sumarni menuduh
Mulyadi yang menggunakannya untuk tempat pakan ayam. Kembang kempis cuping
hidung Sumarni, lalu Hamzah mengingatkannya untuk istigfar.
"Sebelum pergi ke dokter, aku
mau ke satu tempat dulu, Bu," pinta Hamzah.
Sumarni mengernyit. "Mau ke
mana? Bapakmu lagi minjam mobil. Begitu pulang, kita langsung ke dokter."
Hamzah tetap berjalan ke luar rumah.
"Mau ke mana, Zah?" tanya
Sumarni lagi.
"Ke tempat tongkronganku
dulu."[]
Bandung, 10 September 2022
Catatan:
(1) Al-Qur'an Surat Az-Zumar : 42
(2) Sebagian kutipan dari Al-Qur'an Surat An-Nisa : 78