Ulat-Ulat Bulu di Wajah Lelaki Itu - Kwins Nacoh
Ulat-Ulat Bulu di Wajah Lelaki ItuKwins Nacoh
Klang! Klang! Klang!
Suara air hujan yang
menimpa kaleng bekas terus berdentang diselingi suara kodok. Ada wangi padi dan
juga tanah basah. Naomi mengeratkan kedua matanya agar tidak terbuka. Namun,
kali ini ia gagal. Ribuan ulat bulu berkerumun dan mulai menggerayangi
tubuhnya. Membuat ia membuka mata dan segera meraih pisau buah.
Crash! Crash! Crash!
Ia menepis ulat-ulat yang
menempel di urat nadinya. Ulat-ulat itu terlempar jauh dan ia pun bisa kembali
menutup mata.
Kali ini tidak ada suara
hujan, tidak ada suara kaleng bekas, serta suara kodok.
Tutt! Tutt! Tutt!
Suara itu begitu indah
dengan jeda yang tersendat, membuat Naomi tersenyum dalam tidurnya. Iseng, ia
mencoba menghentikan napasnya hingga suara itu berganti dengan dengungan
panjang yang melengking. Lalu, ruangan mulai sibuk dan bunyi alat-alat medis
bagai bunyi perkusi sementara malaikat maut menjadi dirigennya.
Namun, ada suara lain.
Suara yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Lembut, dan berbau susu. Malaikat
maut pun dengan enggan membuang tongkatnya, dan Naomi terpaksa membuka mata.
Tutt! Tutt! Tutt!
***
Tangan seputih dan sehalus giok itu
menampilkan jahitan di pergelangan tangan. Namun, tampak indah bagai tato karya
"Balatete" dari Pulau Rote.
Gadis cantik itu, Naomi
namanya. Usianya 21 tahun. Ayahnya seorang dokter bedah terkenal asal New
Zealand, sedangkan ibunya seorang design
interior asal Bekasi.
"Kita pulang saja,
yuk? Nanti mamahnya Kak Naomi marah," bisik Laras. Suaranya mencicit
seperti burung karena ia takut jika ia bersuara keras, Naomi akan—begitulah.
Mata berwarna karamel itu
mendelik, ia menatap Laras yang mengecilkan tubuhnya dan bersandar di jok mobil
dengan waswas. Laras seolah ingin menyatu saja dengan interior mobil kalau
sudah melihat Naomi menatapnya begitu. Gadis 18 tahun dengan kaos bertuliskan I Love Bali itu menepuk bibirnya, merasa
ia tak seharusnya bicara.
"Kamu tau apa
perbedaan orang kaya dengan orang yang miskin?" tanya Naomi. Kali ini ia
menatap saluran drainase di sepanjang tol yang meluap karena hujan deras.
Laras menggelengkan
kepalanya walau Naomi tak melihat. Sudah dua tahun ia bekerja sebagai pembantu
di rumah Naomi. Dan selama itu, ia melihat anak satu-satunya yang majikannya
punya, sedikit kurang waras. Keluar masuk rumah sakit jiwa, dan terakhir mencoba
bunuh diri di kamar mandi hotel ketika mereka melakukan pengobatan di negara
Tirai Bambu.
"Perbedaan mereka, ada
pada tata krama. Laras, lain kali ketika saya bilang jangan kasih tau Mamah,
berarti jangan bicarakan Mamah juga." Naomi menatap Laras. Bibirnya
tersenyum dan mata indah itu membentuk bulan sabit di malam berbintang. Membuat
Laras bingung, antara harus tersinggung atau tersenyum.
Setelah meninggal selama
enam detik di meja operasi, dan kembali ke rumah, majikannya ini menjadi
berbeda. Namun, Laras lebih menyukai Naomi yang saat ini lebih riang ketimbang
Naomi yang berteriak-teriak atau menangis setiap malam, walau kadang-kadang Naomi
sedikit aneh. Seperti ia bukan bagian dari dunia ini. Dan setiap perkataan yang
keluar dari mulut gadis cantik itu sering mengundang sakit hati.
Tol padat merayap.
Sementara hujan terus mengguyur tanpa ada tanda mau berhenti. Suara gerimis itu
mirip suara elektrokardiogram di telinga Naomi. Terus berdetak. Sementara di
saluran radio, DJ sedang membacakan berita tentang seorang narapidana pelaku rudapaksa
yang baru saja dibebaskan setelah lima tahun lamanya. Namun, berita itu segera
berganti dengan lagu Ichiko Aoba berkat tangan gesit Arum, sopir pribadi Naomi.
"Kenapa diganti?"
tanya Naomi. Ia mengetuk-ngetukkan tangannya ke kaca jendela mobil. Tanda bahwa
ia kesal.
"Tapi beritanya
…." Kali ini Arum yang bingung mau menjawab apa. Beginilah nasib pekerja,
hidup bergantung pada suasana hati majikan.
"Kenapa? Karena
korbannya saya? Kenapa dalam setiap
kasus pelecehan seksual, korbanlah yang selalu harus merasa malu? Putar
lagi!"
Arum tidak menjawab dan
saluran radio kembali menceritakan kisah yang dulu sempat menjadi perbincangan
semua orang. Tentang gadis cantik yang dirudapaksa oleh sopirnya sendiri dan
disekap di sebuah gubuk di tengah sawah selama satu bulan. Sopir itu hanya
dijatuhi hukuman sepuluh tahun. Namun, bebas secara bersyarat setelah menjalani
lima tahun hukuman penjara. Hari lelaki itu bebas adalah hari di mana Naomi
bunuh diri.
"Bodoh! Saya mati tiga
kali karena lelaki biadab macam dia. Mati ketika gila, mati karena melahirkan
anaknya, dan mati karena kebebasannya."
Tangan Naomi mengepal,
membuat Laras segera meraih tangan itu dan mencoba menenangkan. Naomi menatap
Laras dan kembali tersenyum.
"Saya tidak selemah
itu lagi. Tidak perlu khawatir."
Tangan Laras tidak Naomi
singkirkan. Cukup hangat, pikir Naomi. Sehangat kewarasan yang saat ini ia
rasakan.
Mobil keluar dari tol,
ketika hujan berubah menjadi gerimis dan matahari mulai menampakkan sinarnya di
balik awan-awan berwarna abu. Kini jalan berubah menjadi aspal berlubang dengan
pohon-pohon jati di kanan-kiri. Serupa terowongan ke alam liar.
"Nanti kamu bilang ke
lelaki itu untuk tidak memperlihatkan batang hidungnya pas saya datang,"
pinta Naomi dengan suara pelan. Wajah cantik itu tampak tegar dan penuh tekad.
Membuat Arum dan Laras merasa lega.
Sejak kejadian itu, semua
sopir diganti menjadi perempuan. Arum yang sedari awal ditunjuk sebagai
pengganti si pelaku melihat bagaimana gadis secantik Naomi merangkak dari
lubang kuburnya setiap hari. Berusaha sadar di tengah kegilaan dan depresi.
Sementara bayi yang lahir dari kejadian kelam itu diserahkan pada pihak
keluarga pelaku karena orang tua Naomi taksudi membesarkan anak dari lelaki
kejam yang sudah menghancurkan masa depan anak kesayangan mereka.
Dan kini, setelah lima
tahun berlalu, Naomi bagai mayat yang bangkit dari kematiannya, berusaha
merenggut kembali apa yang seharusnya ia miliki. Bayi dan juga harga diri.
Gada-gada desa bercat hijau
yang sebagian terkelupas tampak seperti sebuah prolog di mata Naomi. Entah apa
yang akan disuguhkan desa ini padanya. Sementara hujan berhenti dan semuanya
tampak lebih jelas di bawah sinar matahari. Warna pohon, rumah-rumah dengan
tembok yang nyaris bergaya sama, atau asap yang mengepul dari arah dapur-dapur
dengan genting berlumut. Setidaknya tidak semenakutkan pemandangan neraka.
Di sebuah lapangan yang
tergenang air, anak-anak berlarian dengan sisa lumpur di celana, sebagian
menonton sambil tertawa.
"Berhenti di
sini!" perintah Naomi.
"Tapi kita belum
sampai."
Meski tidak ada jawaban,
dengan segera Arum menepikan mobil dan mematikan mesin. Setengah berharap,
Naomi membatalkan niatnya pergi ke rumah si pelaku.
Suara “klik” dari pintu
mobil yang terbuka membuat Laras dan Arum segera membuka sabuk pengaman. Namun,
kaki jenjang berbalut sepatu converse
itu telah menginjak lumpur dan bebatuan di samping lapangan.
Naomi berjalan tanpa ragu,
membuat anak-anak yang bermain bola mematung menatapnya. Dengan gaun berwarna
pastel selutut dan rambut hitam bergelombang, bisa dikatakan visualisasi itu
tampak tidak nyata di mata bocah-bocah desa yang baru kehujanan. Apa itu peri?
Namun, noda lumpur di kaki jenjang seputih susu itu terlalu nyata bagi mereka.
Ketika semua terdiam,
barulah terdengar suara tangisan yang sedari tadi ada di antara tawa serta
suara bola. Sosok kecil dengan lumpur memenuhi badan, menangis di bawah pohon
sementara teman-teman yang badannya lebih besar mentertawakannya
"Aji, cengeng. Bapak
kamu baru keluar dari penjara, harusnya seneng. Pantes gak punya ibu, orang
cengeng, kok."
Anak-anak lain menonton dan
tak ada yang menolong. Dada anak berlumpur itu turun naik karena tangis.
Sementara kedua tangannya memegang celana kerena menahan pipis.
"Ih, ngompol. Aji,
bau. Aji, bau."
Semua suara itu terhenti
ketika Naomi datang. Kini kakinya sudah dipenuhi lumpur karena berjalan di
sepanjang lapangan. Tanpa kata-kata, ia segera memegang tangan anak berlumpur
itu lalu menariknya menuju kran air yang ada di samping sebuah sekolah dasar.
Selang air yang tampaknya sudah lapuk itu memancarkan air dan segera membasuh
sosok kecil yang menangis.
Wajahnya, rambutnya,
badannya. Tangan Naomi dengan cekatan membersihkannya. Sementara anak kecil
berusia 4 tahun itu tidak ada waktu untuk terkejut. Ia hanya menatap wajah
cantik itu dengan napas yang tersengal.
"Jika ada yang
mengganggumu, jangan menangis. Lawan. Kalau tidak bisa lawan, pulang."
Mata kecil berwarna karamel
menatap mata lain yang berwarna sama dengannya. Setelah bersih, tampaklah kulit
anak lelaki itu yang berwana putih. Ia memakai baju bergambar robot yang
kerahnya begitu lebar dan bernoda getah.
Tanpa peduli baju anak itu
yang basah, Naomi memeluk dan menggendongnya.
"Ini ibunya Aji. Lain
kali, jangan begitu kalau sama teman."
Anak-anak itu hanya
terdiam. Mereka tak menyangka kalau ibu Aji sangat cantik dan mirip artis-artis
di televisi.
***
Mobil melaju. Dalam dekapan Naomi ada sosok
yang dililit handuk. Aji bersikap baik, menempelkan pipinya yang cekung ke dada
Naomi. Usianya 4 tahun, tapi tubuhnya tampak kurang gizi. Ketika tangan kecil
itu Naomi genggam, ada banyak luka di sana. Dan kuku-kuku kecil itu sedikit
cacat.
"Ini kenapa?"
"Parut kelapa. Mamah
jualan serabi."
Mamah? Pasti istri lelaki
itu, pikir Naomi. Ia memeluk Aji. Membayangkan jika ia mati saat kejadian
kemarin, mungkin Aji akan menderita selamanya. Mungkin … ah, Naomi bersyukur
masih bisa hidup di dunia ini.
"Arum, kamu wakilkan
saya bicara sama keluarga Aji. Katakan, Aji saya bawa pulang."
"Baik, Non. Tapi,
kalau mereka menolak bagaimana?"
"Memang mereka bisa
memilih? Kalau berani, berarti sudah gak punya malu. Katakan saja saya bisa
menuntut mereka."
"Baik, Non."
Selepas Arum pergi, Naomi
mulai merapikan rambut Aji dengan sisir dan gunting. Lalu menepuk-nepuk
punggungnya perlahan. Jendela mobil terbuka, membuat wangi pohon mangga yang
sedang berbunga tercium. Ketika Naomi melihat ke sekitar, ia melihat sosok berkulit
hitam berdiri di ujung gang. Menatapnya tajam.
Tubuh lelaki itu dipenuhi
ulat, membuat Naomi merasa mual. Haruskah ia singkirkan ulat-ulat itu? Lalu,
tangan Naomi yang memegang gunting semakin mengerat.
"Bapak." suara selembut
susu, memanggil sosok itu dalam gelapnya dunia Naomi. Dan ....
Tutt! Tutt! Tutt![]