Rahasia Tabir Kegelapan - Hisam Waterism

Rahasia Tabir Kegelapan

Hisam Waterims


Malam telah larut dalam gelap, awan hitam menggelayut menghalangi rembulan yang hendak mengintip. Aku duduk dengan gelisah di serambi depan rumah, cahaya teplok kecil di emperan tak dapat menjangkau keberadaanku. Sementara tak berapa jauh di depanku, teronggok gundukan besar hitam dengan cahaya remang dari dalamnya—itu rumah Bopo.

Sore tadi, Kang Mas Jaka meminta izin mungkin akan terlambat pulang malam ini, katanya dia ingin ke rumah Demang. Aku melihat kejanggalan di balik tatapannya. Apakah dia akan berbohong lagi malam ini?!

Sebenarnya, dia adalah suami ketujuh setelah enam lainnya berturut-turut meninggal dunia. Wajah sederhana dengan sedikit kerutan di dahi, sifatnya yang sabar dan murah senyum mempertegas bahwa dia adalah lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Dan itu salah satu alasan mengapa aku memilihnya.

Walau sudah beberapa kali menjanda, kecantikanku tak pernah pudar, kulit putih, wajah sendu dengan bibir merah merekah, serta lekuk tubuh sempurna akan sanggup membuat semua lelaki tergila-gila. Lima suamiku adalah pilihan Bopo, sedangkan dua orang terakhir adalah dari pilihanku atas dasar cinta. Dulu, aku dijodohkan saat masih terlalu belia, belum tahu tentang banyak hal. Saat itu aku percaya pilihan Bopo adalah yang terbaik. Dia adalah orang tua sekaligus wali sahku.

Aku tersentak dari lamunan, menengadah dengan wajah tegang. Sepertinya ada bayangan hitam berkelebat di angkasa. Aku memicingkan mata, mencoba menembus ke dalam gelap. Mungkinkah yang berkelebat itu burung hantu? 

Dulu Kang Mas Burhan—suami keenamku—mempunyai piaraan seekor burung hantu yang teramat dicintainya. Tatapannya tajam, bulunya lebat serta lembut hingga membuatnya hampir tak mengeluarkan suara saat terbang. Setiap malam dia berburu, tak ada tikus yang selamat jika sudah menjadi incarannya. Sayangnya, beberapa kali aku mendapatinya mencuri daging di dapur. Kebiasaannya yang sering membuang kotoran di atas meja membuatku kian tak menyukainya, terlebih Bopo.

Saat kematian Kang Mas Burhan malam itu, Bopo berusaha mencekik burung itu agar ikut mati. Namun, beberapa saat sebelum Kang Mas Burhan dikuburkan, bangkai burung itu sudah tak ada. Entah bangkainya diseret hewan buas atau dia memang hanya sekarat dan terbang lagi. Akan tetapi, yang pasti sejak saat itu dia tak pernah kembali ke rumah ini. Beberapa tetangga melihatnya sering berkelebat menjelang malam, sering juga terdengar jerit kematian tikus-tikus dari kegelapan.

Benarkah burung hantu Kang Mas Burhan masih hidup dan berkeliaran, ataukah itu hanya burung malam yang lain?

Mataku masih menyapu dalam gelap, tetapi tak dapat menangkap sesuatu yang mencurigakan. Purnama masih tersembunyi di balik awan hitam.

Aku menghela napas panjang dan kembali menyandarkan tubuh pada dinding dipan. Mataku terpejam sejenak.

“Nilam, suamimu harus dibunuh!” ucap Bopo beberapa hari yang lalu. Wajahnya yang keriput dimakan usia menampakkan sebuah kegelisahan.

Sejak tujuh purnama terakhir, suamiku memang sering berselisih dengan Bopo, tentang sumber mata air, kayu bakar, rencana Kang Mas Jaka yang ingin pindah rumah serta beberapa masalah kecil lainnya. Namun, aku tak menyangka kalau Bopo akan semarah ini.

“Aku tahu Bopo marah, tapi tidak harus seperti ini,” ucapku.

“Tapi ini sudah keterlaluan, dia sudah sering membohongimu. Jangan pikir Bopo tidak tahu bagaimana tersiksanya hatimu. Dan itu yang membuat gentong kita tak lagi pernah terisi penuh.” Suara Bopo sedikit bergetar menahan amarah, matanya yang berkilat dengan alis memutih menatapku tajam. Aku hanya menunduk, tak berani menatapnya lama-lama. Aku tahu bagaimana sifat kerasnya.

Mungkinkah tragedi menyakitkan itu akan terulang kembali?

Aku tahu mata air akan tersendat jika hatiku sedang sedih dan gelisah. Akan tetapi, sepertinya ini bukan sepenuhnya salah Kang Mas Jaka. Aku tahu dia bukanlah orang yang sempurna, tetapi bukan berarti dia suami yang tidak bertanggung jawab. Tidak, dia bukan satu-satunya yang membuat hatiku gundah akhir-akhir ini.

Angin malam berembus menerpa rambutku. Dinginnya menyusup ke dalam ari, lalu seolah hendak menusuk ke dalam tubuh. Sama seperti embusan desas-desus yang mulai kian kencang, tentang arwah Kang Mas Burhan yang tiap malam bangkit dari kuburnya, tentang kesetiaan Kang Mas Jaka, tentang Bopo yang katanya adalah seorang dukun teluh. Semuanya terngiang di kepala, lalu perlahan mulai memenuhi rongga dada. Kini beban itu harus bertambah dengan ancaman Bopo yang akan membunuh Kang Mas Jaka.

Aku kembali tersentak dari lamunan, sekelebat bayangan hitam keluar dari rumah Bopo. Walaupun aku tak dapat melihat dengan jelas, tetapi aku kenal dengan postur tubuh kekar dengan rambut putih yang tergerai itu. Dia keluar lewat pintu samping, lalu melesat ke arah timur.

Dadaku berdegup kencang. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Sepertinya benar Bopo akan membuat perhitungan dengan Kang Mas Jaka tanpa sepengetahuanku. Aku harus mencegahnya. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan masa lalu, tidak ingin lagi ada kemelut dan pembunuhan.

Aku masuk ke dalam rumah, lantas mengambil sebilah keris pusaka peninggalan leluhur—Keris Maha Dewa. Masih jelas dalam ingatan, dengan keris ini dulu aku membunuh suami keduaku yang terkenal sakti mandraguna. Saat itu aku di puncak rasa amarah dan kecewa. Entah kekuatan dari mana hingga aku yang anggun dan penurut tiba-tiba berubah menjadi dewi kematian dengan keris yang terhunus. Bahkan, Bopo yang terkenal sakti, takmampu mencegah dan hampir ikut terbunuh. Setelah suamiku roboh, ada perasan puas, walau tentu masih ada beberapa ruang di hati di antara ribuan ruang lainnya yang terisi dengan penyesalan. Saat itu aku tertawa, lalu bersimpuh menangis meraung.

Keris Maha Dewa terhunus di tanganku, seketika pendaran cahaya biru, merah, dan kekuningan memenuhi ruangan. “Aku tak lagi ingin menjadi pembunuh, aku hanya ingin keadilan. Bantulah aku,” ucapku lirih, lalu memasukkannya lagi ke dalam warangkanya.

Aku keluar dan berjalan setengah berlari ke arah timur. Naluriku membenarkan jika Kang Mas Jaka berbohong. Sepertinya sudah ada kesepakatan di antara mereka untuk membuat perhitungan di kaki bukit sebelah timur, di dekat mata air ajaib.

Walaupun sudah hafal jalan ini, tetapi baru kali ini aku berjalan di tengah gelapnya malam. Beberapa kali terpelanting jatuh, kemudian bangkit dan kembali berlari, tak kupedulikan beberapa bagian tubuh yang mulai perih terkoyak kerikil dan semak berduri. Aku harus cepat-cepat sampai dan mencegah mereka bertarung saling bunuh.

“Aku akan membunuh suamimu demi kebaikanmu juga. Kau tahu, setelah bangkit dari kematian nanti, dia tak akan lagi jadi pembohong, dia akan jujur dan menjadi bijak. Dia akan menjadi arwah yang melindungimu, sama seperti dulu saat dia masih belum menikmati moleknya tubuhmu.” Kata-kata Bopo kembali terngiang, membuat langkahku kian cepat.

Aku tak pernah benar-benar mengerti ucapannya, benarkah ini bagian dari ritual setan, benarkah kematian suamiku yang terdahulu juga karena tumbal ritual Bopo? Namun, apa pun itu aku takpeduli. Aku mencintai Kang Mas Jaka, dia tidak boleh mati.

Saat hampir sampai di mata air ajaib, aku mengendap lalu duduk di antara semak belukar. Kulihat tak berapa jauh di sana beberapa sosok tubuh hitam sedang duduk melingkar.

Siapa mereka?

Sayup suara gemercik air terdengar, aku melirik ke sebelah kanan, tepat di mana sebuah cerukan yang mengeluarkan air. Air itu mengalir melalui pancuran bambu kecil, lalu jatuh ke dalam gentong di bawahnya. Menjelang matahari terbenam tadi, sebenarnya aku telah datang ke tempat ini.

Yah ... setiap menjelang bulan purnama saat matahari baru terbenam, aku selalu datang ke sini, duduk bersemadi di atas batu besar itu. Lalu, tubuhku akan mulai dijalari rasa panas, berguncang hebat, lantas dunia akan mulai seperti berputar. Aku akan berhenti saat mendengar tetasan air yang mulai menyentuh dasar gentong.

Ceruk itu akan mulai mengeluarkan air, lalu kembali mengering menjelang matahari terbit esok pagi. Saat itulah aku akan datang membawa gentong yang lebih kecil, mengambil air lalu membawanya pulang.

Ini adalah air ajaib, wujudnya berubah-ubah, terkadang kekuningan, hijau tua, atau hitam pekat. Namun, apa pun wujudnya, khasiatnya tetaplah sama. Jika meminum seteguk saja mata akan berbinar, jiwa seperti melayang dan tidak akan merasakan haus lebih dari sepekan lamanya.

Suamiku akan menjualnya kepada saudagar kaya dari negeri seberang untuk memenuhi kebutuhan hidup kami.

Namun, beberapa purnama ini ada hal yang membuat kami resah. Aku bahkan takbisa mengambil satu kendi pun dari gentong itu. Aku sudah berusaha bersemadi lebih lama, meminta kepada Dewata, tetapi gentong itu sepertinya tetap enggan untuk terisi banyak.

Suamiku mulai berhutang ke sana kemari untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup. Kami sempat bertengkar karenanya dan itu pula yang menjadi salah satu bibit permusuhan suamiku dan Bopo.

Sebenarnya suamiku bukanlah orang yang malas, dia tangkas dalam bekerja. Seperti suamiku sebelumnya, dia juga mempunyai binatang kesayangan. Seekor sapi kekar yang sesekali membantu pekerjaan kami, membajak ladang, atau sekedar mengangkut hasil kebun dengan gerobak yang ditariknya. Hanya satu yang aneh, sapi hitam dengan moncong putih itu tidak mau minum kecuali suamiku yang memberinya minum dengan kendi cokelat tua miliknya.

Aku menghela napas dan mengembuskannya pelan. Mataku masih melirik air yang mengucur pelan itu. Saat kutinggalkan menjelang matahari terbenam tadi, air itu masih berupa tetesan pelan. Jika semakin malam semakin deras seperti ini, seharusnya jangankan kendi, bahkan gentong besar itu pun mungkin akan penuh dan meluap. Namun ....

Tiba-tiba suara bergemuruh datang dari arah belakang membuyarkan lamunanku. Aku merunduk. Sesosok tubuh terbang di sampingku, lalu terus melesat dan bergabung dengan sosok hitam lainnya di depan sana. Beberapa bayangan lain berdatangan dari berbagai arah, kemudian duduk bergabung dengan yang lain. Dilihat dari cara mereka datang dan duduk, sepertinya bukan kali ini saja mereka bertemu. Siapa sebenarnya mereka?

Suasana perlahan menjadi sedikit lebih terang. Aku mendongak, awan hitam tersingkap dan rembulan seolah tersenyum dengan cahaya peraknya.

Kini aku dapat melihat dengan lebih jelas siapa orang-orang yang berkumpul di depan sana. Dadaku berdegup kencang. Lurus searah pandanganku, sosok Kang Mas Burhan duduk bersila, di pundaknya bertengger seekor burung hantu. Kemudian di sampingnya duduk seorang perempuan setengah baya. Meskipun tak begitu jelas, aku kenal siapa perempuan dengan selendang merah, baju putih dan bermata biru itu. Dia adalah majikan kejam yang dulu memperlakukan aku seperti budaknya. Mataku beralih pada perempuan lain di sampingnya, sesosok perempuan tua dengan baju dan rambut putih dengan lingkaran merah darah di perutnya. Dia yang dulu merayu dan menganggapku sebagai bagian dari keluarganya, tetapi kemudian perlakuannya sama kejamnya dengan perempuan bermata biru.

Mataku terus menyapu orang-orang di depan sana, sepertinya tidak ada lagi yang kukenali. Kebanyakan mereka membawa binatang piaraan seperti Kang Mas Burhan. Mereka duduk bersila dengan masing-masing kendi yang terhidang di depan mereka.

Mataku kemudian tertuju pada sosok berambut putih yang tergerai. Meskipun duduknya membelakangi, tetapi aku tahu dia adalah Bopo. Dadaku kian berdebar. Aku tahu Kang Mas Burhan telah mati, begitu pun dengan majikanku itu. Apakah ... mereka semua adalah arwah gentayangan?

Bopo pernah berkata jika dia menangkap aura kesaktian luar biasa yang tersimpan dalam diri Kang Mas Jaka. Mungkinkah kini dia hendak mengeroyok dengan membangkitkan arwah orang mati? Oh, Dewata! Jika dugaanku benar, kuatkan aku jika nantinya harus ikut bertarung dengan mereka.

Aku tak dapat mendengar jelas apa yang mereka bicarakan, hanya sesekali kulihat wajah mereka menegang, lalu tertawa kecil sambil menenggak minuman dari kendi. Binatang-binatang itu juga diberinya minum berulang kali. Mata mereka berbinar-binar, berkilat dalam gelap. Tak kutemui wajah menakutkan di sana. Bahkan, Kang Mas Burhan yang semasa hidupnya sering marah, kini wajahnya berseri dengan senyum yang mengembang.

“Jika bangkit dari kematian, suamimu akan lebih bijak, lebih jujur, dan akan terus mengawasi dan menjagamu. Dia akan membayangi agar kau tak disakiti suamimu selanjutnya.” Sekali lagi ucapan Bopo terngiang dalam ingatanku.

Tiba-tiba suasana menjadi senyap, mereka semua terdiam. Tak berapa lama, hampir serempak mereka melihat ke arahku. Aku kian merunduk, dada berdetak kencang sementara napasku mulai memburu. Terdengar suara gemeresik dari arah belakang, lalu sesosok tubuh lewat hanya beberapa jengkal di samping tubuhku. Aku hampir takberani bernapas. Sosok itu terus melangkah, dan berhenti sejenak di dekat mata air.

“Jaka!” Suara Bopo terdengar nyaring dan memantul di antara pepohonan dan tebing perbukitan.

Sosok yang baru datang itu seperti sedikit tersentak, lalu mendekat ke arah Bopo. Sementara Bopo dan sosok-sosok yang berkumpul itu serentak berdiri. Kini mereka saling berhadap-hadapan. Detak jantungku terasa semakin kencang, aku meraba keris di pinggang sebelah kiri dan siap mencabutnya.

Kulihat Kang Mas Jaka mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya, itukah senjata sakti yang dirahasiakannya? Seperti sebuah gada, atau ....

Awan kembali menutupi sinar rembulan. Suasana menjadi temaram. Aku memicingkan mata, mencoba melihat lebih jelas apa sebenarnya pusaka di tangan Kang Mas Jaka, sebuah gada atau ... itu hanya sebuah kendi? Kendi yang biasa ia gunakan untuk memberi minum sapinya?

"Bunuh!" Sebuah suara berat terdengar dari kegelapan.

“Kita minum!” teriak suara lain.

Lalu, terdengar riuh gelak tawa memecah kesunyian, menyatu dengan suara lolongan serigala dan binatang malam.[]


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url