Mea Culpa - Hayu Nadira
Mea CulpaHayu Nadira
“Bukankah sudah kukatakan berkali-kali kau tidak boleh mengunjungi rumah itu?”
Mrs. Hepburn
menyambut kedatangan putra tunggalnya dengan masih mengenakan celemek bernoda
dan sudip di tangan kanannya. Matanya menatap tajam tanpa berkedip. Walau sudah
memasuki usia 40 tahun, Mrs. Hepburn masih tampak seperti resepsionis hotel
yang menawan dan kharismatik dengan tubuh tinggi dan rampingnya—resepsionis
hotel yang galak.
Jamie Hepburn,
anak laki-laki yang berusia 14 tahun itu baru saja pulang dari rumah
tetangganya dengan mengendap-endap dan hendak masuk ke rumah lewat pintu
belakang. Namun celakanya, hari itu Mrs. Hepburn pulang lebih awal dan sedang
memasak makan malam saat dia memergoki “seekor tikus kecil” masuk. Jamie
menghela napas, pasrah menunduk sambil masih bersandar di pintu dapur.
“Tapi dia orang
baik. Aku hanya bosan, dan rumahnya penuh benda-benda menarik. Lebih
menyenangkan seharian bersamanya daripada terkurung di rumah ini tanpa
melakukan apa-apa, Mum.”
Kali ini Mrs.
Hepburn yang menghela napas panjang. Campuran antara kekesalan dan juga
kemarahan yang tertahan. Dia berlalu dari hadapan Jamie dan mulai berceloteh
“Tak melakukan
apa-apa katanya! Oh, dan aku di sini bersusah payah untuk menabung napas agar
tak tertinggal di peron, di stasiun, di dalam bus. Sepanjang hari hilir mudik
mencari pekerjaan, lalu malam hari tak ada kesempatan melemaskan kaki karena
harus membereskan pekerjaan rumah, dan anakku tak punya sesuatu untuk
dikerjakan.”
Bak sebuah konser
orkestra, “nyanyian” Mrs Hepburn
diiringi musik-musik pengiring dari instrumen peralatan dapur yang berbunyi
sumbang. Sesekali Jamie meringis, memejamkan mata hingga menimbulkan kerutan di
sekitar hidung untuk menghalau denting nyaring menembus gendang telinganya
“Cerita yang
selalu sama.” Dia menggumam seraya memutar dua bola mata ke atas.
“Yah, memang
salahku kita harus pindah ke sini. Jauh sekali dari mana-mana. Mau bagaimana
lagi, ayahmu mati tak meninggalkan apa pun untuk kita selain hutang. Oh,
hidupku yang malang.”
“Baik, Mum. Aku
akan ke kamar. Panggil aku kalau makan malam sudah siap.” Jamie naik ke atas
tanpa menghiraukan sindiran-sindiran ibunya.
Kehidupan barunya
di sini sama sekali tak membuatnya bersemangat. Tinggal di pinggiran kota,
ibunya yang selalu marah-marah dan mempermasalahkan hal kecil, rumah tua yang
berlumut dan kotor, tak punya teman, video
game dan segala macam kesenangan yang dulu dipunyainya. Satu-satunya yang
membuatnya bertahan dengan segala kondisi itu hanyalah tetangganya di ujung
jalan. Seorang profesor kelautan yang punya banyak cerita menakjubkan dan
benda-benda aneh di rumahnya. Dia sangat ramah dan membiarkan Adam menjelajahi
setiap inci sudut laboratoriumnya. Namun, lagi-lagi ibunya melarangnya bertemu
si profesor dengan alasan emosional yang tak dapat dipahami Jamie.
“Tidak ada makan
malam untukmu malam ini, Mr. Hepburn!”
***
Pagi harinya, Jamie terbangun karena
sinar matahari yang menembus vitrase membuat wajahnya panas. Dia
mengerjap-ngerjap demi menyesuikan netranya dengan cahaya yang menyilaukan.
Sudut matanya menangkap jam dinding di atas pintu menunjukkan pukul 11.30.
Jamie menggeliat
dan langsung bangkit dari ranjang dengan wajah dan rambut yang masih
acak-acakan. Rumah telah kosong, begitu juga dengan dapur dan meja makan.
Kosong.
“Argh,” Jamie
mengerang pelan, mengusap-usap perutnya yang kelaparan. “Mungkin Profesor
Charler masih punya beberapa sandwich.”
Rumah Profesor
Charles hanya berjarak 2 mil dari kediaman Jamie. Terletak di ujung blok dan
halaman belakangnya langsung mengarah ke laut lepas. Di samping bangunan utama,
terletak laboratorium Profesor Charles yang sangat luas. Jamie bertemu dengan
pria itu di hari ketiga dia pindah ke kota tepi laut ini. Semenjak itu pula,
keduanya langsung akrab bagai partner kerja.
Profesor Charles hanya tinggal seorang diri.
Menghabiskan hampir sepanjang hidup meneliti biota laut, membuat dia tak sempat
berkencan dan menikahi seorang wanita. Kedatangan Jamie yang tiap hari
mengunjunginya membuat Profesor Charles terlihat bahagia dan menganggap anak
itu sebagai cucunya.
Jamie mendorong
pintu kaca rumah profesor dan bertanya
tentang sarapan sebagai ucapan selamat paginya.
Profesor Charles
yang sedang membaca koran di pantry
tergelak. Dia melepaskan kacamata bulatnya, “Beruntung sekali, masih ada
setangkup roti tawar dan baccon untukmu,
Jamie. Kau bisa menggoreng telur kalau kau mau.”
“Terima kasih,
Profesor. Apa boleh aku sekalian makan siang di sini? Ibu sepertinya lupa lagi
kalau masih memiliki anak,” gumam Jamie acuh sambil menyiapkan sarapannya.
“Hahahah! Kau bebas makan sesukamu di sini.
Aku akan ke laboratorium, penelitianku menungguku. Nah, bersenang-senanglah.”
Sepeninggal
profesor, Jamie menyelesaikan sarapannya cepat-cepat. Dia tak sabar untuk
melihat penelitian yang sedang dilakukan profesor.
Ruang penelitian
profesor benar-benar membuatnya betah berlama-lama. Banyak tumbuhan dari dasar
laut yang diawetkan dalam toples-toples besar. Dari bintang laut, terumbu
karang, plankton, anemon, dan berbagai hal lain yang baru pertama kali diliat
Jamie.
Di atas meja,
Jamie terpaku melihat kotak besar yang sebelumnya tak ada di sana. Benda itu
berwarna hijau cemerlang sebesar bola bowling. Jamie menatap lekat benda
tersebut hingga hidungnya nyaris menempel ke kotak kaca.
“Kalau aku jadi
kau, aku tak akan seberani itu untuk dekat-dekat dengannya.” Suara Profesor
Charles yang datang tiba-tiba mengagetkan Jamie.
“Ah. Benda apa
itu, Prof? Ini tidak ada kemarin di sini, bukan?”
Binar mata
Profesor terlihat bersemangat. “Itu penelitian terbaruku. Sebaiknya jangan
dekat-dekat dengannya. Benda ini mulai hidup lagi. Kita tak tahu apa yang bisa
dilakukannya. Lihat, lihat! Kau lihat sesuatu yang berkilau di dalamnya, Nak?
Ini Mutiara Hijau, mutiara dari kerang purba yang langka. Diperkirakan dia
sudah hidup selama 2500 tahun. Tapi, perubahan cuaca ekstrem yang terjadi
dahulu membuat dia tiba-tiba membeku dan berhenti beraktivitas seperti makhluk
hidup. Kata orang-orang dia mati, tapi tidak. Dia belum mati. Aku berhasil
membujuknya untuk hidup lagi di zaman ini. Ini akan jadi sangat menggemparkan.”
“Mutiara bisa
hidup dan bergerak seperti makhluk hidup? Kukira dia hanya benda mati?” tanya
Jamie keheranan.
“Ah, ada banyak
rahasia laut yang belum diungkap dunia. Well,
well. Kau bisa datang ke sini lagi besok, Jamie, dan kita akan melihat
bagaimana Mutiara Hijau ini ‘terbangun’.”
***
Sialnya, rencana pergi ke rumah
Profesor Charles keesokan hari tak semulus biasanya. Mrs. Hepburn tidak bekerja
hari ini.
“Bosku sedang
berlibur ke Florida bersama anak istrinya. Kami semua mendapat jatah libur
sehari. Nah, bagaimana kalau kita juga berlibur, Jamie?” tanya Mrs. Hepburn
riang.
Jamie menatap
ngeri ibunya. Tentu saja, itu artinya dia takbisa melihat Mutiara Hijau itu “terbangun”.
Namun, demi melihat suasana hati Mrs. Hepburn yang cerah seperti Natal di musim
semi, Jamie menolak tawaran sang ibu berharap agar ibunya mengizinkannya pergi
ke rumah Profesor.
Alih-alih mendapat
izin, seketika keceriaan yang singgah di rumahnya siang itu dihantam lahar
panas ketika Jamie mengutarakan keinginannya.
“Bagus! Sekarang
kau lebih memilih bersama pria tua aneh itu dibanding ibumu! Masuk ke kamarmu
sekarang dan jangan keluar dari sana, bahkan jika itu bulu hidungmu!”
Jamie
mondar-mandir gelisah di lantai kamarnya. Keinginannya untuk pergi membuncah
kuat sekali. Dia muak hidup bersama ibunya. Dia lebih baik tinggal bersama
Profesor Charles dan menghabiskan waktunya untuk meneliti tentang hewan-hewan
laut.
Jamie akhirnya
memanjat keluar dari cerobong asap di kamar dengan susah payah. Lalu melompat
ke atas atap satu ke atap yang lain. Saat ibunya sedang berbalik untuk menjemur
pakaian, Jamie langsung buru-buru melompat ke tumpukan jerami di belakang
rumah. Dia mendarat kasar dengan bunyi keras. Dengan panik, tanpa sempat
melihat ibunya, Jamie langsung berlari dan hilang di ujung jalanan.
“Profesor!” Jamie
berteriak dari luar laboratorium. Napasnya tersengal-sengal. “Maaf, aku
terlambat.”
Tidak ada suara
profesor yang menjawab. Halaman belakang rumah sunyi.
Jamie segera masuk
ke dalam. Degup jantungnya mulai bertalu-talu bersemangat. Dalam pikirannya,
dia membayangkan pasti Profesor Charles tengah serius mengamati mutiara dari
kerang purba itu yang sedang berenang-renang di akuarium buatannya. Namun, apa
yang dibayangkannya sama sekali berbeda dengan apa yang ditemukannya. Tak ada
Mutiara Hijau yang berenang, melainkan benda itu tergeletak di atas meja
keramik dengan pecahan kaca berserak di lantai.
“Oh, oh. Kenapa
ini?” Jamie melangkah hati-hati di atas beling. “Profesor, kau di mana? Apa
semua baik-baik saja?”
Mendadak suara
desisan mengalihkan perhatian Jamie. Dia menoleh pada Mutiara Hijau yang
diyakininya telah membuat suara itu.
“Hei?” Jamie
mendekat, berusaha memfokuskan penglihatannya. Baru saja dia melihat Mutiara
Hijau itu bergerak sangat pelan. “Kau sudah hidup? Apa yang bisa kau lakukan?”
Wajah Jamie
semakin mendekat, tetapi Mutiara Hijau itu bergeming seolah tidak pernah
melakukan apa-apa. Jamie menatapnya heran sekaligus ingin tahu. Dia mengulurkan
tangan, hendak merasakan tekstur kulit mutiara tersebut.
Namun, dalam waktu
sepersekian detik yang sangat cepat, mutiara tersebut meleleh dan langsung
mencaplok jari telunjuk Jamie hingga putus. Anak itu syok luar biasa lalu
mundur terjengkang.
“Aaarrrggghhh!”
“Jariku! Jarikuuu!”
Jamie menjerit sejadi-jadinya. Dia berlari tunggang-langgang ke sembarang arah.
Darah berceceran di lantai. Sementara jemari di tangannya bergerak liar karena
kesakitan yang teramat sangat menusuk-nusuk di sana.
“Jamie?” Suara
Profesor Charles yang khawatir terdengar dari sebuah ruangan. Jamie langsung
menghampirinya dan menemukan profesor yang baru saja terbangun di lantai dengan
kondisi yang memprihatinkan.
“Oh, Mutiara Hijau
itu berbahaya, Nak. Dia menghantam ulu hatiku hingga aku pingsan—Ya, Tuhan! Apa
yang terjadi dengan tanganmu?”
“Dia menggigitnya
hingga putus!”
Profesor Charles
memucat. “Astaga. Benar-benar mengerikan. Aku akan mengobatimu dan segeralah
pergi dari sini.”
“Aku akan
menelepon pihak konservasi laut agar benda itu diamankan.”
“Tidak!” Profesor
Charles menyambar perkataan Jamie. “Jangan beritahu pada siapa pun!”
Jamie meneguk
ludah ketakutan. “Lalu bagaimana bisa aku meninggalkanmu sendirian di sini
dengan makhluk jahat itu?”
Profesor Charles
mengalihkan pandangannya dari tatapan Jamie. Dia melihat ke arah tangan anak
itu yang masih mengeluarkan darah segar. “Kita obati dulu lukamu.”
Profesor Charles
yang dilihatnya hari ini, berbeda dengan Profesor Charles yang kemarin. Pria
tua itu fokus membalut jemari Jamie dengan perban dan kain kasa tanpa
berbicara. Suasana hening dan canggung membungkus mereka berdua untuk sesaat.
Jamie takberani mengatakan apa pun.
“Aku sudah tua,”
ucapnya tiba-tiba. “Hidupku kudedikasikan sepenuhnya untuk penelitian. Tapi kau
masih muda, jalanmu masih panjang. Pergilah dari sini selagi bisa. Aku yang
bertanggung jawab atas kerusakan yang
terjadi karena menghidupkan benda itu, bukan kau.”
Jamie membiarkan
keheningan mengisi ruang di antara mereka sebelum menjawab. “Sebulan yang lalu,
aku akan dengan senang hati pergi dari sini. Tapi semenjak bertemu denganmu,
aku jadi tahu apa yang kuinginkan. Aku akan membantumu mengatasi ini, Profesor.
Aku ingin menjadi ahli kelautan yang hebat sepertimu.”
Profesor Charles
menatap dalam-dalam mata Jamie. Dia melihat kesungguhan yang terpancar dari
sorot matanya. Profesor Charles memegang pipi Jamie dengan tangannya yang
gemetar dan berbisik lirih, “Apa pun akan kau lakukan untuk memusnahkan benda
itu?”
“Ya!”
“Aku punya
rencana. Kita akan memancing mutiara itu dengan daging segar, aku masih punya
beberapa di kulkas. Dari hasil penelitianku, dia adalah karnivora. Aku yang
akan memancingnya. Dan kau akan menyergap dia dengan kerangkeng besi khusus
yang telah kusiapkan, lalu kunci. Kau harus memakai sarung tangan karet yang
sangat tebal untuk berjaga-jaga. Kau bisa melakukan itu?”
“Ya!”
“Baik. Kita
lakukan sekarang.”
Jamie
berjingkak-jingkak ke laboratorium profesor. Mutiara itu sudah tidak berada di
meja keramik. Jamie menahan napas, hati-hati melangkah sambil melihat
sekeliling. Berjaga-jaga agar si mutiara tidak menyegapnya terlebih dahulu.
Jamie mengambil
sarung tangan karet di atas gantungan. Kerangkeng besi seukuran brankas itu
ternyata sangat berat untuk dibawanya. Namun, demi janjinya, dia bersusah payah
mengangkut benda itu, mengikatnya dengan rantai, dan meletakannya di
langit-langit tepat di atas daging pancingan.
Mutiara Hijau itu
menggelinding pelan di lantai laboratorium. Ia tak memiliki mata, mulut, atau
pun tangan. Namun, pemandangan itu membuat bulu kuduk Jamie berdiri. Dia tak
pernah melihat hal seganjil ini seumur hidupnya. Dia dan Profesor Charles
bersembunyi di balik dinding, mengamati si Mutiara Hijau yang terlihat
mengelilingi daging.
Tepat saat
kerangkeng besi akan dijatuhkan, Mutiara Hijau tersebut melompat tinggi dan
mengeluarkan suara serak yang menyeramkan. Dia menggelinding cepat ke arah
Jamie dan Profesor Charles. Keduanya lari pontang-panting. Si Mutiara Hijau
berputar-putar di udara, menyemburkan cairan aneh berlendir dan berbau
menyengat ke sekeliling ruangan.
Cairan itu
melumuri Profesor Charles, membuat kedua matanya pedih dan takbisa dibuka.
“Argh! Cairan ini memiliki daya bakar yang sangat kuat! Hati-hati terhadapnya,
Jamie!”
Namun, itu
peringatan yang sia-sia. Seluruh kaki Jamie terpapar cairan itu hingga membuat
kulitnya melepuh. Jamie menjerit kesakitan. Dia takbisa bergerak. Pergerakannya
lumpuh. Sementara si Mutiara Hijau itu menggelinding kencang menuju dirinya.
Berputar-putar di angkasa, dan Jamie bisa melihat seolah ada mulut yang robek
pada Mutiara Hijau itu dan siap menerkamnya hidup-hidup.
Jamie merasakan
kesakitan luar biasa di seluruh tubuhnya. Seperti ada ribuan jarum yang
menusuk-nusuk tanpa ampun. Jamie memberontak hebat demi melampiaskan rasa
sakit. Air matanya meleleh di pipi. Di benaknya melintas seluruh kenangan dan
ingatan tentang hidupnya selama ini, tentang ibunya yang menunggu di rumah, dan
tentang sebuah pertanyaan, Akankah
hidupnya berakhir tragis seperti ini?
“Jamie ... Jamie
....” Di tengah perjuangan rasa sakitnya, Jamie mendengar Profesor Charles
tertawa. Namun, kali ini tawa itu terasa bengis. “Aku akan memberitahumu
rahasia kecil sebelum kau bertanya-tanya di akhirat nanti. Aku, sebenarnya
bukan manusia. Dan, Mutiara Hijau itu bukan makhluk purba. Dia adalah jiwaku.”
Jamie melotot tak
mengerti. Pernyataan apa yang baru saja didengarnya tadi? Rasa sakit yang
menghunjamnya membuat dia merasa seperti orang gila.
“Aku alien dari
planet yang sangat jauh dari bumi, Nak. Aku tiba di sini 2500 tahun lalu. Aku
menjadi saksi perubahan bumi yang dipenuhi hijau-hijau pohon tergantikan
gedung-gedung pencakar langit. Tapi, hujan metor yang terjadi beberapa saat
setelah kedatanganku membuat jiwaku terlempar dariku. Aneh, sekali, kan? Tapi
itulah yang terjadi.
Bangsa kami
memiliki tubuh dan jiwa yang terpisah, bukan sebagai satu kesatuan. Itulah yang
membuat kami kuat, tapi juga lemah. Jiwaku kehilangan kekuatannya sejak saat
itu. Aku tidak bisa mati, karena jiwaku memang belum mati. Tapi, hari ini.
Setelah beribu-ribu tahun aku menunggu, dia akhirnya aktif! Hahahaha! Seperti
bayi yang baru lahir, dia butuh makan. Sayang sekali, karena kaulah santapan
pertamanya, Jamie. Aku menyesal kita tak melakukan perpisahan dengan layak.”
Sayup-sayup
seiring tawa Profesor Charles yang menggelegar, Jamie merasa rasa sakit
meninggalkannya. Dibuai-buai oleh angin laut yang menenteramkan. Tubuhnya
terasa ringan. Sebelum kesadarannya benar-benar terkikis, dia masih sempat
mendengar kalimat terakhir Profesor Charles.
“Aku telah
mempelajari sesuatu yang harusnya dihindari oleh manusia jika ingin selamat.
Kau mau tahu apa itu? Keingintahuan.”
Dua bulan kemudian
Tok! Tok! Tok!
Dua orang wanita
muda melangkah mundur saat pintu rumah membuka. Wajah Profesor Charles
menyembul keluar.
“Halo, selamat
siang, Profesor Charles. Aku Dorothy Hills dan ini Emily Winston. Kami guru
kelas 6 di SD Sunflower. Kami sedang mempelajari tentang pelajaran Biologi dan
kami berpikir murid-murid akan senang kalau bisa memperoleh ilmu langsung dari
ahli kelautan. Apa kau bersedia mengajari anak-anak tersebut, Profesor?”
“Ah, tentu, tentu.
Sebuah kehormatan bagiku untuk mengajari generasi hebat di masa depan. Kalian
bisa melihat-lihat laboratoriumku dulu kalau mau.”
Dorothy dan Emily
tersenyum senang dan mengangguk. Mereka kemudian berjalan di atas rumput pagi
yang masih basah menuju laboratorium Profesor Charles.
“Ini menakjubkan,”
puji Dorothy tatkala masuk ke laboratorium. “Kami sudah memikirkan ini sejak
semester lalu, tapi masih kesulitan mencari tempat yang akan mengizinkan dua
puluh anak mengacau di laboratorium. Tapi,untung saja kami menemukan tempat ini
di surat kabar.”
“Ini benda apa?”
tanya Emily.
“Itu Mutiara
Hijau, mutiara yang dihasilkan dari kerang purba yang sangat langka. Aku baru
saja berhasil membuat Mutiara Hijau itu bangun setelah membeku ribuan tahun.
Kalian bisa melihatnya bangun bertepatan dengan hari kunjungan.”
“Wah! Anak-anak pasti akan sangat menyukai ini!”
Profesor Charles tersenyum menyeringai. “Ya, ‘ia’ pasti akan menyukainya.”[]