Lelaki yang Memenjarakan Bayangannya Sendiri - Hari N. Muhammad

Lelaki yang Memenjarakan Bayangannya Sendiri Hari N. Muhammad

Lelaki yang Memenjarakan Bayangannya Sendiri
Hari N. Muhammad


Dion menatap cermin dengan sepenuh duka. Ia mengagumi hampir setiap bagian tubuh yang terpantul di kaca, kecuali wajah tampannya. Ia benci wajah itu. Wajah yang mengingatkannya pada lelaki murung di masa lalu. Wajah yang membuat ia tidak sanggup menghindari sesal, sesak, dan apa-apa yang membuatnya sedih. Wajah yang mirip sekali dengan rupa laki-laki yang sering menampar ibunya.

Hari itu, di senin pagi. Dion berkaca sehabis mencuci wajahnya, wajah yang mampu memikat wanita dalam satu kali kedipan mata. Setelah beberapa malam tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan sebuah rencana, akhirnya pagi itu ia nekat untuk mewujudkan kegilaan yang bersarang di dalam kepalanya.

Dion akan memenjarakan bayangannya sendiri, supaya ketika di pagi hari ia bercermin, ia tidak lagi melihat bapaknya. Atau di mana pun ia menemukan cermin, ia tidak perlu lagi menyeka sesuatu yang basah dari matanya.

Mula-mula ia tersenyum, kemudian menyentuhkan telapak tangannya ke permukaan kaca, di dalam cermin bayangannya mengikuti gerakkan yang ia lakukan. Lalu, ia mencengkeram bayangan tangannya, dan menariknya keluar.

Terciptalah keributan di dalam kamar yang tidak terlalu luas itu. Sebuah bayangan dan pemiliknya. Dion, pemilik bayangan itu, bersikeras ingin memenjarakan bayangannya dan bayangan itu menolak, hingga terjadi adu hantam. Tentu saja tidak ada yang menang sebab Dion maupun bayangannya memiliki keuatan yang setara. Tidak ada bedanya sama sekali.

“Aku akan membawamu ke kantor polisi, aku akan memenjarankanmu!” ujar Dion kepada bayangannya sendiri.

“Salahku apa?”

“Kau sangat mirip dengan Bapak.”

“Apa salahnya?”

“Aku tersiksa melihat wujud dirimu setiap hari di cermin, aku ingat Bapak.”

Tidak ingin memperpanjang percakapan menjadi sebuah perdebatan. Sang bayangan mengalah, dan membiarkan Dion membawanya ke kantor polisi.

***

Seandainya waktu bisa dipaksa mundur, ia ingin kembali sekali saja pada hari ketika bapaknya mati. Sayangnya, waktu tidak pernah sudi menjemput segala yang telah terlewati. Malam itu di meja makan, ibunya menghidangkan macam-macam lauk yang jarang tersaji di piring mereka. Terutama goreng ayam, dan ikan. Paling sering ia jumpai adalah telur, tahu, tempe, atau paling mewah belalang yang digoreng sampai garing.

Kata ibunya, ia bisa makan sepuasnya. Ibu ada rejeki lebih. Namun, ketika ia akan menggigit paha ayam goreng, tiba-tiba bapaknya menjungkalkan meja makan hingga berantakkan. Ibunya menangis, ayam goreng terlepas dari tangan Dion. Bocah lelaki itu memukul-mukul perut sang bapak dengan tangan mungilnya.

“Kalau kau ingin mati, mati saja sendiri!” telunjuk bapaknya ditekankan ke kepala sang ibu, “Tidak usah mengajak anak kita.”

Ibunya sudah beberapa kali mengajak bapaknya mati bersama, dan setiap kali itu juga sang bapak menamparnya.

Ibunya tidak tahan dengan ekonomi keluarga yang tidak kunjung ada perbaikan. Hutang ke warung yang setiap hari semakin membesar, ditambah kolektor Bank Plecit yang selalu menggedor-gedor pintu rumah mereka dengan keras setiap minggunya. Sang ibu harus rela dibentak-bentak oleh penagih utang karena tidak bisa membayar. Sementara upah dari hasil kerja serabutan bapaknya, hanya cukup untuk jajan Dion.

Malam itu bapaknya mati, tidak lama setelah memakan sepotong ayam goreng, demi membuktikan kepada anaknya yang masih polos bahwa lelaki itu punya alasan atas segala sikapnya selama ini. Mulut bapaknya berbusa, tubuhnya kejang-kejang, dan sang ibu menangis memeluk Dion. Sebelum bapaknya memutuskan untuk mati, ia yakin, kelak Dion akan mengerti.

Sepeninggal bapaknya, sang ibu melacurkan tubuhnya. Demi melunasi hutang dan membiayai hidup yang tidak murah. Bahkan, Dion bisa kuliah juga hasil dari derit ranjang sang ibu, yang kadang-kadang terpaksa, dan terkadang juga menikmati. Namun, ibunya lebih sering menikmati, sambil membayangkan ketampanan almarhum suaminya.

***

Dion kau sangat tampan.

Dion kalau kau mau, kau bisa jadi aktor terkenal.

Dion, kenapa kau tidak jadi simpanan istri-istri pengusaha yang kesepian.

Dion …

Dion …

Dion ....

Mereka tidak tahu, bagi Dion ketampanan yang diampunya serupa kutukan. Bukan berarti ia tidak ingin menjadi tampan, tetapi kemiripan yang nyaris seratus persen dengan bapaknya, selalu mengingatkan ia pada peristiwa kelam di meja makan.

Dion membonceng bayangannya dengan motor menuju kantor polisi. Nyaris sepanjang jalan, bayangan itu lebih sering diam, persis seperti pemiliknya. Tidak suka banyak bicara, enggan membuang waktu untuk membicarakan omong kosong. Apalagi setelah ibunya mati, tepat pada hari ketika ia akan diwisuda. Ia menjadi pemurung, bukan karena kepergian ibunya, tetapi karena menyesalkan perasaan-perasaan benci kepada sang bapak di masa lalu. Rasa benci yang tumbuh dari ketidakmengertian seorang bocah dalam menilai masalah orang dewasa.

Jika boleh diputar ulang, ia akan memilih dirinya sendiri untuk mati duluan. Biar setelah itu terserah ibu dan bapaknya mau berbuat apa. Mungkin, orang yang tidak ada di posisinya tidak akan paham, separah apa menjalani hidup di antara kedua orang tua yang sulit akur, bahkan di akhir-akhir hidupnya.

Kalau saja Dion tidak disekolahkan oleh ibunya, barangkali ia tidak akan tahu bagaimana caranya menjalani hidup dengan waras. Kepada siapa ia berguru? Bapaknya mati memakan ayam goreng yang sudah ibunya beri racun. Dan ibunya sibuk mengurus lelaki hidung belang yang lupa pulang.

“Kalian kembar ya? Mirip sekali, tampan banget lagi,” celetuk seorang gadis yang dibonceng oleh gadis lain ketika Dion berhenti beberapa jenak di lampu merah.

Dion tidak mejawab, tetapi bayangannya menyahut, “Aku bayangannya.”

Lampu merah berubah hijau, Dion kembali melajukan motornya, menjauh dan menghindari gadis genit tadi. “Jangan bicara sembarangan kepada orang lain!”

“Sembarangan gimana? Aku cuma jawab jujur.”

“Kejujuran yang seperti tadi, cuma akan mempersulit hidupku.”

“Kau yang mempersulit hidupmu sendiri, dengan ingin memenjarakanku.”

Dion tidak menjawab lagi, ia mempercepat laju motornya. Hingga sampailah mereka di kantor polisi. Begitu mereka melewati pintu masuk, polisi mengira kalau kedua orang itu adalah anak kembar. Seperti yang disangka seorang gadis di lampu merah.

“Kenapa kau ingin memenjarakan saudaramu?” tanya polisi.

“Dia bukan saudaraku, dia bayanganku,” jelas Dion, dan membuat polisi tercengang. setengah bingung.

“Atas tuduhan apa kau ingin memenjarakan saudaramu … maksudku bayanganmu?”

“Dia selalu membuatku sedih setiap kali aku melihatnya di cermin.”

Polisi lain yang mendengar keterangan Dion jadi tertawa. Bahkan, seorang perempuan yang tadinya sedang menangis setelah melaporkan suaminya yang selalu melakukan kekerasan setiap kali marah juga ikut mesem-mesem.

“Karangan yang apik ini, bakal viral kalau masuk internet,” sambung polisi lain menghampiri mereka.

“Apa sebuah kesedihan layak dijadikan lelucon?”

“Bukankah kau sendiri yang membuat lelucon itu.”

“Aku serius, ini bayanganku, bukan kembaran!”

“Sip! Sudah aku rekam, bakal fyp ini.”

Seisi kantor kembali pecah oleh tawa, dan tawa-tawa yang bernada mengejek itu meledakkan emosi di kepala Dion. Lelaki bertubuh kekar itu merebut ponsel yang digunakan oleh seorang polisi untuk merekam, kemudian membantingnya hingga layar lcd dan casing bagian belakang terpisah.

Gelak tawa yang tadi mencairkan suasana berubah tegang. Polisi itu marah dan menghajar Dion.

Meski perasaan bayangan itu masih jengkel terhadap Dion yang ingin memenjarakannya, tetapi melihat wujud yang mirip dengan dirinya disakiti, bayangan itu ikut emosi. Lalu, menghajar polisi berperut buncit yang barusan menghajar Dion.

Suasana mejadi panas, para tahanan bersorak dari dalam jeruji besi, tentu saja para tahanan itu ingin Dion dan bayangannya menghajar sang polisi sampai bonyok.

“Sudah! Sudah!” seorang polisi lain mencoba melerai keributan, “Ini kantor polisi, bukan ring tinju!”

“Bukan juga pasar, Pak!” timpal Dion.

“Nah, itu kamu tau.”

“Justru karena aku tau ini kantor polisi, makanya aku datang kemari untuk membuat laporan.”

“Tapi laporanmu tidak masuk akal.”

“Tidak masuk akal gimana, tersangkanya ada di sini.” Dion menunjuk bayangannya yang duduk di depan meja, sedangkan ia masih bersitegang dengan polisi-polisi yang coba menolak laporannya.

“Tolong, bilang sama mereka, kau bersedia untuk dipenjara!” Dion menatap bayangannya, yang sebenarnya ia sudah tidak kuat melihatnya lagi sedari tadi.

Para polisi berunding, membicarakan bagimana baiknya. Sementara Dion tetap dengan pendirian yang ia bawa. Bayangan itu harus dipenjara.

“Baik, silakan duduk!” kata polisi.

“Gitulah, dari tadi.”

“Nama?”

“Dion.”

“Nama tersangka?”

“Bayangan Dion.”

Polisi menggeleng, dalam pikirannya dua orang yang tidak ada bedanya itu tetaplah anak kembar. Bukan tuan dan bayangannya.

“Sudah, sudah, tidak usah banyak omong, iya aku mengaku bersalah karena telah membuat Dion merasa sedih setiap melihatku di cermin.”

“Penjarakan dia, sekarang!”

Melihat situasi yang semakin sulit dimengerti. Polisi pun tidak mau banyak omong. Dion dan bayangannya bersalaman sebelum berpisah, kemudian polisi memasukkan salah satunya ke dalam penjara.

“Lepaskan, bukan saya, Pak!”

Bayangan Dion tersenyum di pintu keluar, melihat sang tuan yang ingin memenjarakannya dibawa oleh polisi.[]

 

Tasikmalaya, 25 Agustus 2022

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url