Bunga Mekar di Pembaringan - Lanang Irawan





Bunga Mekar di Pembaringan
Lanang Irawan

 

Seperti tunas pohon ajaib aku muncul di dalam sesuatu yang hampa dan basah, begitu saja, beserta ingatan bahwa aku pernah mengalami ketiadaan sementara. Ada jeda dalam keberadaanku yang terasa panjang dan aneh ini.

Asing adalah ketika kau berada di tempat baru, dan itulah yang kurasakan sekarang. Pandangan seakan-akan diliputi kelam yang mencekam, setitik kejelasan pun tak ada. Dan, dalam ketidakjelasan ini kau takkan menemukan arah sehingga takkan tahu di mana kau berada, sebelah mana.

Tempat ini sering berubah-ubah, dari gelap menjadi sangat terang, kemudian kembali gelap, dan terus seperti itu, berputar-putar. Dan, gelap ataupun sangat terang sama saja, sama-sama ketidakpastian, sebab dalam dua keadaan itu kau sama-sama tidak dapat mengenali apa pun.

Entah berapa lama berada di sini pun aku tidak tahu. Tidak ada sesuatu yang dapat dijadikan patokan waktu. Memang banyak bunyi-bunyi yang kupikir muncul dari diriku sendiri, seperti bunyi api meretas kayu, tapi itu semuanya samar dan tak menentu.

Yang jelas dan bisa kutangkap hanyalah bunyi ketukan, mungkin seperti detak jantung atau apa, itu pun aku tak sepenuhnya yakin. Aku merasa ketukan itulah yang secara berangsur membuat tempat ini mulai menjadi agak baik.

Seiring dengan meningkatnya fluktuasi ketukan itu, ketidakjelasan yang mengungkung pun berubah. Sampai akhirnya penglihatanku pulih, disusul pendengaran, penciuman, dan hal lainnya kembali aku kuasai. Aku mendapati diriku terkurung dalam gelembung.

Banyak sesuatu, seperti tali atau mungkin tentakel, terhubung pada gelembung tempatku berada. Sesuatu itu berjuntaian seperti akar dan berlubang seperti sedotan. Setiap lubangnya tampak dalam dan kelam.

Sebuah tentakel berlubang muncul tepat di depanku dan tanpa dapat dicegah aku masuk ke sana. Di dalamnya aku menemukan diriku sebagai lelaki dua puluh lima tahun bernama Zack Reaper.

Entah kapan waktu tepatnya, di lubang itu, aku mengalami kebekuan tiba-tiba saat tubuh Zack berada dalam kerumunan, di jalan, sepulang dari perpustakaan. Rupanya, mulai saat itulah aku tiada untuk sementara.

Kemudian, tanpa dapat dicegah lagi aku terdorong memasuki lubang lain. Di sini aku kembali terlahir sebelum lahirnya fisik Zack. Di lubang tentakel ini pula aku menyaksikan, bahwa dalam kepala Zack aku tumbuh lebih dulu sebelum Zack bisa memahami apa pun.

Boleh dibilang aku ada sebelum pengalaman dan pemahaman Zack terbentuk. Dengan itu dapat kukatakan kalau akulah yang membuat Zack menyadari bahwa dirinya memiliki tubuh hingga dapat menggerakkan tubuh itu, memiliki pikiran sehingga dia mampu berpikir, memiliki ingatan hingga Zack dapat mengingat, dan lain-lain.

Aku adalah inti diri, wujud kesadaran Zack pada keberadaannya. Maka untuk selanjutnya aku akan menyebut diriku Zack saja. Kalau aku menyebut diriku ‘aku’, itu berarti adalah kesatuan Zack dan aku.

Memang sulit bagi sesuatu yang tidak dikenal, tidak terlihat, dan hanya menempel pada sesuatu sepertiku untuk dianggap ada. Minimal, sesuatu itu harus bernama agar mudah dikenal, bukan?

Aku lantas menjalani hidup untuk kedua kali di lubang tentakel ini. Orang-orang yang pernah bertemu denganku pun kutemui lagi, termasuk Ludwig, orang kaya yang menanggung seluruh biaya hidupku setelah orang tuaku mati kecelakaan.

Aku kunjungi pula berbagai tempat, melakukan berbagai acara, pokoknya aku atau Zack mengulang segalanya. Lubang-lubang ini merekonstruksi pengalaman yang pernah aku alami.

Aku terus melayang, berpindah, memasuki lubang demi lubang, sampai akhirnya aku menyadari bahwa saluran-saluran itu adalah rekaman hidup. Bila kau memasukinya, kau bukan hanya bisa melihat, tapi juga merasakannya dengan seluruh indramu.

Karena itu pula aku kagum kepada Ludwig. Betapa baiknya lelaki itu. Dia hampir selalu ada di setiap fase hidup Zack. Kemudian ketukan dalam diriku terdengar lagi, kali ini pelan, seakan-akan bunyi ketukan itu terlihat meleleh seperti gel, dan tiba-tiba aku dihadapkan sebuah pertanyaan yang menggedor diriku, “Di mana aku?”

Sekonyong-konyong kudengar suara banyak orang, bunyi bip-bip, dan bunyi-bunyi lain. Seseorang terdengar berteriak, “Anestesi! Belum waktunya Tuan sadar!”

Lambat laun aku didorong ke tempat ini lagi, terkurung kembali. Kumasuki lagi saluran-saluran rekaman itu dan terus bermain-main di sana. Pengalaman yang paling banyak kuulang adalah saat aku membaca buku Camus di bawah pohon kelapa di sebuah pantai. Angin laut berembus membelaiku yang tak berbaju. Suara ombak menghantam talud menemaniku membaca Sisifus dan Caligula.

Oh, betapa Caligula yang awalnya memerintah Roma dengan baik menjadi Kaisar kejam yang matinya ditikam ribuan kali oleh para penjaganya.

Kenapa bisa begitu? Bagaimana bisa dia kalah oleh Sisifus yang tetap bertahan dalam ketidakjelasan, mendorong batu ke puncak bukit meski kemudian batu itu menggelincir ke bawah lagi. Caligula menjadi pribadi lain, yang kejam, bahkan bertingkah seperti dewa ketika dia menyadari bahwa satu-satunya kejelasan dalam hidup ini adalah ketidakpastian. Dia tidak bisa seperti Sisifus yang dapat menemukan kesenangan dalam kepahitan.

Aku terhanyut oleh pemikiran itu, hingga kemudian angin laut yang semula tenang dan debur ombak yang mesra berubah menjadi badai dan tsunami yang menghapus semua. Semua yang ada di saluran kenangan itu porak-poranda. Segalanya digulung kehancuran yang tiba-tiba. Segalanya. Tak bersisa.

Dengan ketakutan aku berpindah ke lubang berbeda, tapi lubang-lubang rekaman itu telah berubah menjadi ingatan orang lain. Aku menyaksikan semua ingatan Zack perlahan digerus, diganti dengan Ludwig.

Aku terkejut. Dari saluran itu kulihat Ludwig yang mengendap-endap di balik tembok rumahku, dari kaca mobilnya, dari balik pohon kelapa, dan lain-lain. Itu semua rahasia Ludwig. Dia tampak selalu mengamati seseorang lelaki muda yang kuyakini itu Zack, atau diriku, dengan penuh napsu.

Namun, belum pun aku cerna segalanya, hal besar terjadi, aku terkepung oleh Ludwig. Ada ribuan Ludwig mengerubungiku seperti kawanan serigala. Aku lekas terbang, kabur, membawa Sisifus dan Caligula, menembus ruang tak bertepi sampai menyatu dengan ruang itu. Kulihat segalanya mulai diambil alih oleh Ludwig-Ludwig itu. Seluruhnya.

“Selamat datang dan berjaya kembali, Tuan Ludwig!”

Suara itu berdenging, menggetarkan dinding-dinding di mana sebelumnya aku menyatu dan membuatku terbangun. Aku merasa silau sementara, tapi selanjutnya kulihat dua orang berjas putih, mungkin mereka dokter, berdiri di kanan-kiriku, membentangkan cermin. Di cermin itu ada seseorang yang kukenal, Ludwig! Aku terkejut, dan Ludwig yang terbaring di cermin itu pun terkejut.

“Ludwig?”

Bibir pria empat puluh tahun dalam cermin itu gemetar. Suara yang menyuarakan kata-kataku pun suara Ludwig. Aku, kesadaran Zack, menjadi heran. Bagaimana bisa aku berada di tubuh orang lain? Bukan di tubuh Zack?

Kedua orang berpakaian putih itu bersipandang, kemudian mereka menanyai siapa aku.

“Zack Reaper!” tegasku, dan mereka ternganga mendengarnya. Tubuh keduanya seperti terserang demam. Mereka bersitatap lagi, kemudian salah seorang dari mereka mencondongkan badan, berbisik di telingaku.

“Tolonglah kami. Katakanlah kepada orang lain bahwa kau Ludwig Curt!”

Kebingungan terdahulu dan kebingungan baru berkejaran dalam diriku mendengar perkataan orang itu. Pertanyaan berjalin-jalin, kenapa aku ada di tubuh Ludwig? Siapa sebenarnya Ludwig?

Kusimak wajah cemas dua orang itu dan aku menikmatinya. Padahal, menurut firasatku, jika Zack Reaper yang berada di posisi ini, dia akan cemas dan tertekan. Kepribadiannya terbalik, pikirku.

Tiba-tiba aku menemukan Ludwig berada di otakku, terkurung di dalam gelembung sempit. Dia sedang meloncat-loncat, berusaha memecahkan gelembung itu. Aku merasa pernah melihat gelembung tersebut, tapi entah di mana.

Aku menghela napas, tak memedulikan Ludwig dan memandang tajam dua orang di depan yang terlihat semakin cemas.

“Kalian tahu,” kataku, sambil mencabut selang dan jarum-jarum yang menembus kulit lenganku, kulit lengan Ludwig. “Keterbukaan satu sama lain adalah awal dari relasi yang baik. Siapa yang mau memberitahuku rahasia sialan ini?”

Kedua orang itu kembali saling pandang. Namun, tiba-tiba Ludwig yang terkurung dalam otakku berteriak-teriak. Dia meminta bertukar tempat denganku dan terus mengumpat. Dia meneriaki aku sebagai pencuri tubuhnya. Hal itu membuatku jengkel dan berteriak, “Diam!”

Dua orang di hadapanku terkejut. Sekilas mata mereka terlihat mencorong.

“Aku tahu kesadaran Tuan Ludwig ada di kepalamu!” Seseorang dari mereka yang bergigi kuning menyeringai senang.

“Ya!” jawabku, membalasnya dengan tatapan tajam. “Dan dia terkurung. Kesadaran Ludwig terkurung. Akulah, Zack Reaper, yang menguasai tubuhnya sekarang.”

Orang itu lekas menarik wajahnya dari hadapanku. Raut kemenangan yang semula bertandang di wajahnya luntur, berganti lagi dengan kecemasan. Aku kembali mengajukan pertanyaan yang belum mereka jawab.

“Baiklah!” Seorang dari mereka membuka mulut dan mengalirlah rahasia yang menyelimuti dunia selama ini.

Pertama-tama, mereka mengatakan siapa Ludwig Curt. Ternyata, dia adalah salah satu dari tiga pengendali dunia yang sebenarnya. Ludwig dan dua saudaranya adalah King Maker. Merekalah yang mendalangi setiap aspek dan perubahan yang terjadi di berbagai negara. Kerusuhan besar, tergulingnya sebuah pemerintahan, ataupun perang dan genosida mereka yang memutuskannya.

Kemudian, kedua orang itu mengatakan, setiap empat puluh tahun ketiga orang itu akan memperbaharui diri secara bergantian. Ketika salah satunya dalam proses pembaruan, yang lain mengamati. Mereka pun menyeleksi, mengamati, dan merawat secara tidak langsung siapa yang otaknya akan dijadikan inang. Jadi, bukan sekali ini saja tiga pengendali itu mengganti otaknya dengan otak orang lain.

Takjub, tidak bisa kuhitung sudah berapa lama mereka hidup. Apalagi menurut dua orang itu, Ludwig dan dua orang saudaranya adalah keturunan Raja Babilon yang terbuang.

“Seperti bunga, orang yang mereka pilih harus hidup bebas sampai tiba waktunya menjadi buah matang untuk dipetik. Dulu, ketiga orang itu menggunakan cara-cara mistis untuk memindahkan jiwanya ke tubuh orang lain, tapi setelah dunia medis maju dan menemukan kapsul kriogenik, dengan meneliti ikan yang bisa hidup lagi padahal beku bertahun-tahun, cara mereka pun diganti.”

“Bukankah transplantasi otak belum ditemukan?”

Dua orang itu tertawa mendengar pertanyaanku. “Hanya orang-orang gila yang menemukan cara yang gila, Zack. Eh, Tuan Ludwig.”

“Panggil aku Zack!”

Mereka bertukar tatap, kemudian si muka bulat mengembuskan napas.

“Aneh,” katanya, “Kenapa kesadaranmu bisa bertahan dan bangun lebih dulu, mengalahkan kesadaran Ludwig. Padahal kami sudah membunuh memori dan kesadaranmu sebelum mentransfer milik Tuan Ludwig sesuai prosedur dan metode yang diberikan?”

Aku mengedikkan bahu, “Harusnya aku yang mengajukan pertanyaan sialan itu! Berapa lama proses pemindahan ini berlangsung?”

“Lima tahun!” Keduanya menjawab serentak. Aku terbelalak. Berarti seharusnya aku berusia tiga puluh tahun sekarang. Lalu, aku menanyakan proses gila ini secara rinci, berikut bertanya di mana jasad Zack yang semula menjadi ‘wadahku’ dan otak Ludwig yang sudah tak terpakai.

“Tak mungkin sebagai bekas tempat inang, tubuhku tak mendapat penghargaan, kan?” tanyaku dengan jengah.

Untuk menjawab pertanyaan itu, kedua profesor tersebut membawaku ke dalam laboratorium. Di sana ada kapsul kriogenik yang, katanya, diatur agar selalu bersuhu rendah melebihi suhu Kutub Utara dan Selatan. Suhu di kapsul itu hanya membekukan dan membuat awet seluruh organ tubuh, otot, sel, syaraf, bahkan DNA, tanpa membuatnya rusak.

Aku melihat tubuh Zack terbaring beku di dalamnya, diselimuti es, dengan kepala terbelah. Dari celah kepala Zack, terlihat otak Ludwig.

“Seharusnya aku sudah mati bukan?”

“Ya, tubuhmu dan otak Ludwig memang sudah mati. Kami mengawetkannya hanya untuk kenang-kenangan! Kau dibius sepulang dari perpustakaan lima tahun lalu, dan selanjutnya seperti yang sudah kami ceritakan. Begitulah, Zack!”

“Kau keajaiban, Zack!” Si wajah bundar mengambil alih pembicaraan,“Bayangkan! Sekarang kau bisa mengendalikan dunia dengan bersandiwara menjadi Ludwig. Aku pikir kau sudah tahu segala rahasia Ludwig dari memorinya yang sudah ditransfer ke dalam otakmu, kan?”

Aku terkesiap. Takbisa kuingat apa pun, kepalaku kosong dari segala ingatan kecuali kesadaran bahwa aku adalah inti kesadaran Zack Reaper, cerita Sisifus dan Caligula, dan ada inti kesadaran lain yang terjebak di kepalaku. Namun, kepada dua profesor itu aku mengangguk pura-pura.

Ludwig marah di dalam otakku. Dia mengataiku pembohong dan aku tertawa sebagai balasan dan beretorika kepadanya, Ludwig, jika salah satu dari kita menjadi Caligula, bukankah yang lainnya harus jadi Sisifus yang tolol dan merana?
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url