Yang Luka, yang Lara, Kesumat Sebelah Mata - Lanang Irawan
Yang Luka, yang Lara, Kesumat Sebelah MataLanang Irawan
Gundra mendengar bila seorang suami yang istrinya sedang hamil tidak boleh
menyembelih bebek, karena jika nanti anaknya lahir seluruh jemari si anak akan
rapat dan berdempetan seperti kaki unggas itu. Namun, Gundra tak percaya.
Sedari lahir delapan jemarinya, kanan dan kiri, sudah begitu meski bapaknya tak
pernah ada, sekalipun untuk memotong seekor bebek.
Orang pula berkata kalau ibunya
wanita dayus dan sering berbakak dengan sembarang lelaki hingga dihukum menjadi
lumpuh dan tulu. Namun Gundra, sekalipun membencinya,
tetap takpeduli sebab bagaimana pun wanita itu tetaplah ibunya.
Dari rahim wanita itulah Gundra
muncul, dengan jemari dan anggota badan yang tidak normal. Selama sembilan
bulan ari-arinya tersambung pada tubuh wanita itu, dan darah lebih kental dari
buah mulut siapa saja.
Meskipun demikian, ketika hendak
tidur adakalanya Gundra berangan-angan Tuhan memutar ulang takdirnya, lalu
mengizinkannya memilih dari rahim mana ia akan keluar.
Niscaya ia akan pilih perut gerha
Lurah Sukarta yang suaminya jelas, kehidupannya terjamin lagi berkedudukan dan
bernama. Atau, paling tidak, Gundra akan memilih keluarga Karkun Jaya sebagai
tempat tumbuhnya. Tidak akan ia merangkak dari rahim wanita tak bersuami, tidak
akan pula ia hidup dari buaian wanita tak berkeluarga.
Akan tetapi, Tuhan Maha Adil. Ia
memperlakukannya seperti janin-janin lain. Siapa pun, termasuk Gundra, tak
diberikan kesempatan untuk memilih di mana mereka hendak tumbuh, juga tak
diberinya kesempatan dari jauhar mana mereka timbul.
Seperti Sangkuriang, bapangku
mungkin anjing, batin Gundra pun sering berceracau demikian. Jiwanya melulu digelantungi
gumpalan kesal yang membandul-bandul menyentak akal.
Jendela tempat Gundra bekerja
saat ini masih terbuka, membiarkan balabad masuk membelai rambut panjang dan
usamnya yang terurai menutupi sebelah mata. Hal itu menarik kesadaran Gundra,
sedari tadi ia diam seperti arca yang bertekun ke meja.
Gundra pun mencaduk dada,
mengempas napas dengan berat, bersedekap. Namun, satu matanya masih kosong bak
wadah tinta tak tertutup di hadapannya.
Seperti biasanya, sehabis lohor
tadi ia pergi ke rumah Karkun Jaya, bawahan dan kerabat lurah yang dikenal
tidak bengah, untuk mengurus surat-menyurat. Kebetulan dua hari lagi desa akan
menggelar acara rakyat yang dimotori Lekra.
Kebaikan lelaki lima puluh tahun
itulah yang sekarang membuat Gundra agak dihargai orang kendati tak berbapak.
Sedari bocah, Gundra dekat dengan kerani desa yang selalu memperhatikan
penghidupan ia dan ibunya itu. Banyak jasa dan kepit tubuh yang karkun itu
berikan kepadanya.
Karkun Jaya pula yang mengajarkan
Gundra baca tulis; hal yang langka, bahkan tidak mungkin dilakukan pejabat
lain. Namun, sekarang, Karkun Jaya juga yang memetik manfaat. Urusan surat
menyurat, seperti untuk acara rakyat itu, yang diberatkan lurah kepada karkun,
sudah biasa Gundra tangani.
Pekerjaannya sudah selesai sedari
tadi dan hari sudah sore. Ambara dihiasi capung-capung dan gerombolan
agas-agas. Mereka berlarian dikejar kepinis, disinari aftab yang mulai redup,
condong dan hampir tenggelam.
Melihat itu barulah Gundra
beranjak dari kursi. Sudah waktunya ia pamit pulang. Namun, sebuah lukisan di
dinding dekat pintu menjadi tumpuan matanya kemudian, lukisan keluarga Karkun
Jaya yang lengkap dari buyut sampai anak cucunya.
Lukisan itu nyalar membuat Gundra
merana dan mengasihani nasib sendiri. Namun, ia pun merasa
beruntung dekat dengan Karkun Jaya. Paling tidak, lewat keluarga pamong desa
itulah ia tahu sebuah makna keluarga. Karena Karkun Jaya pula, sampai hari ini
ia bertahan mengurus sang ibu yang tujuh tahun letah-letai, menjadi ulat kasur
tak berdaya.
"Anak manusia tak mungkin
keluar dari batu, Gun. Tak apa bila kena membencinya, memendam kasam kepada ia,
tapi bagaimana pun ia ibumu, kan? Meski kena tidak ikhlas, tetaplah urus ia.
Tak usah kena maherat, lari dari tanggung jawab seorang anak."
Makin lama mengingat ibunya,
bentuk kesedihan lain makin timbul dari sudut kelam hati Gundra, sedih yang
dibalut amarah. Ia merasa ditikam berkali-kali dari dalam setiap bayangan
wanita itu berkelebat di benaknya. Betapa lagi, kejadian lima tahun lalu, ketika
ibunya baru lumpuh dua tahun, membekas di benak Gundra, menorehkan luka
bernanah yang nyalar mengikis semangat hayatnya. Saat itu seorang pedagang jamu
yang sudah lali memberikan akhbar yang membencikan dan menggilakannya,
"Aku harus memberitahumu
kebenaran ini, Gundra. Ini menyangkut ibumu, dan mungkin keadaannya sekarang
adalah balasan dari perbuatannya itu. Dengarkanlah, anak baik, saat kandungan
ibumu empat atau lima bulan, ia datang kepadaku meminta racun untuk membunuhmu.
Kuberikan jamu paling manjur. Ramuanku sendiri." Wanita itu menghentikan
ucapannya. Lalu, dengan jemari kisut keriput ia menyingkap rambut panjang
Gundra yang menutupi sebelah mata anak itu. “Tapi, siapa nyana, Gundra, kena
ternyata tangguh. Mampu hidup walau keluar sebagai anak tuna."
Semenjak mendengar kebenaran itu, Gundra merasa tengah berdiri di sisi topes dalam keadaan gamam. Ia bingung
antara menjatuhkan diri ke jurang kegilaan, membalas dendam, atau bertahan
waras menekan kebencian kepada sang ibu dengan tetap mengurusnya.
Akan tetapi, Gundra berpikir
ulang. Ia merasa yang dikatakan Karkun Jaya ada benarnya. Wanita itu masihlah
ibunya. Keluarga satu-satunya. Toh, setelah Gundra lahir, dan sebelum melumpuh,
wanita itu nyatanya mau pula mengurus dan membesarkannya sampai Gundra dua
belas tahun.
Setelah berpamitan, keluarlah Gundra dari rumah Karkun Jaya. Ditapakinya teras ubin yang
dingin dan merah. Ia tengadah. Gemawan keemasan disorot matahari sore. Hatinya,
setiap melihat langit, nyalar bertanya-tanya, Di mana kiranya lelaki
bajingan yang mesti ia sebut sebagai bapak. Apakah sekarang lelaki itu masih
panjang napas atau sudah habis digergaji belatung dan cacing?
Jawaban dari pertanyaan itu tidak
pernah Gundra dapati karena ia tidak pernah mencarinya. Keinginan bertemu
dengan sang bapak hanya ada dalam mimpi-mimpinya yang paling busuk. Bila Gundra
bangun esok harinya, setelah malamnya terpaksa memimpikan bertemu sosok “bapak”, maka akan pecahlah
kemarahannya.
Jika sudah begitu Gundra akan
lari ke rumah Karkun Jaya. Ayah empat putri itu pun akan paham dan
menghiburnya. Ia malah sering memberi Gundra bahan bacaan yang saat itu sangat
langka. Gundra paling senang membaca puisi yang dicetak di koran-koran. Tak jarang
hatinya terasa mendedas tatkala menyelami larik demi larik dari puisi-puisi
itu.
"Ayah bajingan tidak akan
pernah sebaik puisi, Gun. Mesrailah buku dan koran ketimbang kena memikirkan
yang aneh-aneh."
Diberikannya pula kepada Gundra
pena, dawat serta wadahnya, juga kertas. Karkun Jaya menyuruhnya menulis untuk
menumpahkan keluh kesah dan beban hati yang sulit diutarakan dengan mulut.
"Hati dan pena itu
terhubung, Gun. Kertas lebih bisa mendengarkan keluh kesah orang ketimbang
telinga sesamanya. Tulislah apa yang memberatkanmu."
Maka mengalirlah tulisannya di
kertas-kertas itu. Kertas yang kemudian akan ia bakar, takpeduli sesusah apa
menemukan kertas waktu itu. Gundra hanya ingin kebenciannya lenyap, menjadi
senisbi abuk, sekalipun ia sadar bahwa mungkin kebencian itu tak kan hilang
bila akarnya belum langsung dimamah Jahanam.
Inilah
kisah anak sialan
Terjun
percuma ke rimba kelam
Ibu
mengandung bapak membuang
Anak
merana tak tentu pandang
Anak
mendangka bapaknya hengkang
Berlanglang
alamin bak raja-raja
Di mana
kini anak berada
Bukanlah
pula urusan bapang
Terlara-lara
diracun ibu
Melata
jalannya mencari cahya
Seisi dunia jadi penjara
Tak
bisa anak menemu tuju
Gelap
matanya seumur-umur
Mengharap
kasih tersungkur-sungkur
Namun
anak tak jadi galur
Adanya
hanya dengkut tekukur
Hal paling membekas mengenai
ibunya adalah saat ia sebelas tahun, saat Gundra sakit panas. Sepanjang malam
itu ia meraban, mengungam karena hilang akal, dan dalam keadaan itu segala yang
terpenjara dalam kalbu kelamnya keluar, meloncat dan melekat di kepala sang ibu
yang setahun setelah itu menjadi lumpuh dan tulu lagi biut.
Racauan Gundra malam itu bak
macan buas yang mengoyak-ngoyak, mengelocak, dan menelanjangi tabir sang ibu.
Gundra yang biasanya diam bila dibentak, malam itu jadi berontak tak dapat
jinak. Maka, ditempelenglah kepalanya hingga sadar.
Gundra merasakan bulu jitoknya
meremang, begitu bangun golok bagal di tangan ibunya terpampang, bak taring
singa yang siap menerkamnya. Entah karena masih nanar atau karena sinar dil di
malam sial itu, Gundra tak bisa membedakan mana yang paling tajam; mata golok
atau mata ibunya, atau cerabihan dan belungsingan sang ibu kemudian:
"Kalau kena tak diam, kalau
kau terus menanyakan siapa bapangmu, akan kubunuh kena saat ini juga, anak
setan picek beloh!"
Segumpal masygul timbul di dada
Gundra. Tubuh bocah itu kian menggigil. Ia merasa dicerabik ribuan patil
kalajengking. Lantas, sejak saat itu, bila ia sakit, sebisa mungkin ia bertahan
agar tidak tidur. Ia takut bila dirinya tidur saat sakit, maka dirinya yang
lain akan bangun dengan kekuatan penuh lalu membangunkan begu di mata ibunya.
Sambil mengakrabi ingatan
tersebut, Gundra melanjutkan menapaki
halaman rumah Karkun Jaya dengan gamang. Enggan rasanya ia pulang karena harus
mengurus kotoran ibunya. Ingin ia lari melepaskan belenggu gaib itu, tapi ke mana, pikirnya yang kemudian
bertanya seorang diri, "Ke mana aku harus lari bila
derita itu adalah bad?"
Pemuda itu sering berharap, dan
ia tahu betul harapannya itu batil, ketika ia tiba di rumah, ibunya sudah
menjadi batang.
Bukankah aku hanya perlu
menguburkannya setelah itu? Apakah dendamku akan padam bila wanita itu mati?
Gundra mendesah penuh kelesah.
Sebuah ingatan kembali bersipongpang di kepalanya. Pagi tadi, sebelum ia
berangkat ke rumah karkun Jaya, ibunya bertingkah seperti bocah yang ingin
dimanja, ada saja permintaannya.
Meskipun enggan dan marah,
anehnya Gundra turuti pula permintaan-permintaannya itu. Padahal, bila
dibandingkan dengannya dulu, setelah malam sialan itu, ia tidak pernah semanja
ibunya di pagi tadi. Betapa pula, bagaimana ia hendak bermanja, bila masa mudanya
habis mengurus ibu yang hampir membunuhnya.
Sore makin padam, Gundra akhirnya
keluar jua dari halaman Karkun Jaya. Ia menundukkan kepala ketika berpapasan
dengan warga. Ia selalu merasa sebagai kerical bila bersitatap dengan orang,
seakan-akan seluruh dunia nyalar mencemoohnya saja.
Beberapa menit kemudian rumahnya
telah tampak. Di samping rumah itu terdapat gubuk butut. Tempat ibunya
mendulang karma. Lima tahun lalu, ia pindahkan ibunya ke sana karena kesumatnya
tiba-tiba meluap. Bila tidak dipindahkan, Gundra takut suatu malam ia terpaksa
harus mencekik sang ibu ketika tidur.
Gundra menghela napas melihat
gubuk itu. Hatinya, yang senantiasa dipaksa menerima keadaan, sering jengah.
Sekarang saja ingin rasanya ia ambil daun kelapa kering untuk membakar gubuk
itu. Tujuh tahun mengurus orang yang dahulu hendak membunuhnya bukanlah perkara
gampang, perlu kewarasan yang berlipat-lipat dan lebih kuat dari adanya
kebencian.
Bau apak dan pesing menyerbu
penciuman Gundra. Bila orang lain, mungkin sudah berbalik dari sana saat itu
juga. Namun, bagi Gundra tentu hal demikian sudah biasa.
Ia mengecek keadaan wanita itu.
Sejoreng kain yang dijadikan alas tubuh ibunya sudah berselekeh, basah dan bau.
Gundra angkat kain itu lalu meletakkannya ke bukul yang terbuat dari anyaman
bambu. Malam nanti ia akan mencucinya. Sekarang ia harus mengganti alas
tersebut.
Baru saja hendak mengambil kain
pengganti yang masih di jemuran, Gundra kaget. Jemari ruai ibunya merengkuh
tangannya. Dilihatnya wanita itu seperti tersedak. Napasnya cepat dan
pendek-pendek. Dadanya unggah-anggih. Air mata pun terlihat bersibar di pipinya.
Kemudian, dari bibir kering wanita itu terdengar erangan yang seperti keluar
dari palung gua paling dalam.
"Gun...." Ada jeda amat
lama. Wanita itu susah payah untuk berkata. Gundra sabar menyimak meskipun
ingin lekas beranjak sebenarnya. Ia dangka ibunya akan berkeriau seperti yang
sudah-sudah.
"Ibung tidak kuat sudah.
Kemarilah. Akan Ibung berikan hakmu sekarang."
Gundra mendekat hati-hati. Kian
lama kian cepat napas ibunya ia dengar. Namun, wanita itu tetap berupaya
mengatakan sesuatu.
"Sebenarnyalah." Jeda lagi, dan kini jeda itu terasa membuat alam seakan-akan
bergeming. Sigasir yang meraung-raung di belakang rumah sedari tadi pun serasa
menyunyi. "Bapangmu Lurah Sukar …."
Kata-kata itu umpama kepundan
yang sudah payah digentus lava. Meledaklah di dada Gundra, melenda batin dan
jiwanya. Kata-kata itu pula yang menutup napas ibunya.
Gundra mematung bak kura-kura
bingung tertimpa gunung tiba-tiba. Ia periksa ibunya menjadi batang sudah.
Gundra berdangka, seharusnya ia senang sekarang, berlagu bernyanyi-nyanyi,
sebab kesumatnya sudah tercapai. Bukankah orang yang dulu tak menginginkannya
ada sekarang tiada? Namun, kebencian baru kini muncul, dan kemunculannya lebih
hebat dari kebencian lama, Lurah Sukarta.
Ia pandangi batang yang masih
melotot itu. Mata dan mulut ibunya melompong, diusaplah keduanya agar terkatup.
Gundra bangkit, dengan tak
sedikit pun menangis, karena ia merasa tak mau dan tak perlu menangis, tapi air
matanya berkhianat jua, membocorkan keadaan hatinya yang masihlah mengaku
seorang anak.
Seminggu sejak saat itu, Gundra
mencecar Karkun Jaya. Hanya Karkun Jaya-lah yang dekat dengan lurah karena mereka masih berkerabat di dusun itu.
Mulanya Karkun Jaya membatu.
Namun, setelah Gundra menyebutnya tukang jagal yang tak berhati karena
menghukum bocah tak bersalah, Karkun Jaya membeberkannya sambil meminta ampun.
"Dulu ibu dan nenekmu
bekerja kepada ayah Ki Lurah. Entah bagaimana mulanya mereka dekat dan berbuat
lohok. Aku pun hanya berdungka-dungka."
Gundra membesi. Sedari tadi
delapan jemari sindaktilinya tertelungkup. Batinnya semakin iba terhadap diri
sendiri.
"Seyogianya, bila Kang
Sukarta jujur mengenai hubungan mereka, bukan tidak mungkin mereka bisa kawin,
Gun. Keluarga kami bukan orang-orang beloh terkurung adat." Karkun Jaya
memagas napasnya, seolah-olah ada sesuatu yang berat di sumur dadanya tapi
mesti ia angkat ke permukaan.
"Entah apa yang mendekam di
batok ayah bajinganmu itu. Ia mengancam dan menyuruhku menyumpal mulut seumur
hidup. Aku kalah karena tau adatnya yang suka menghalalkan segala acara bila
telah menghendaki sesuatu. Yang pasti, sepulang dari sekolahnya di kota, ia
membawa gadis yang kini dijadikan istri. Konon, wanita itu anak orang berada,
berpengaruh. Dan, mungkin karena ayahmu hendak mencalonkan diri menjadi lurah
waktu itu, ibumu, dan dirimu yang belum bercadung, diperbiar dan
diperkorbankan."
"Apakah ...." Gundra merasa kerongkongannya kering tiba-tiba ketika hendak
bertanya, tapi kemudian ia basahi kekeringan itu dengan keberanian menerima apa
pun yang akan didengarnya. "Karena itu pula selama ini Bapang baik kepada
kawula?"
Karkun Jaya tidak menjawab,
memilih menunduk, menekuri meja jati di hadapannya.
Kenyataan itu mengguncang Gundra
untuk kesekian kali. Inca-binca batinnya. Memburulah napasnya. Merah padam pula
wajah kisutnya. Matanya yang hanya satu terasa hendak melompat dari kepala. Ia
mengira ada jutaan lebah telah berpindah membawa api ke kepalanya.
Seminggu ia tidak keluar rumah
setelah hari itu, sehingga orang-orang mengira ia
berkabung. Gundra baru keluar waktu tersiar kabar ada tentara masuk kampung.
Katanya, tentara-tentara itu menanyakan keterlibatan warga dusun dengan PKI.
Api di mata Gundra melalak, tapi
otaknya menjadi jelah, awas banglas. Masuklah ia ke rumahnya, mengambil kertas,
pena, dan dawat pemberian Karkun Jaya. Ditulisnya di sana sebuah tuduhan untuk
Lurah Sukarta dengan mengatasnamakan Karkun Jaya.
Kemudian, malam harinya ia menuju
sebuah rumah warga yang dijadikan tempat para tentara berurung. Ia lempar surat
itu sambil lalu ke halaman secara sembarang. Ia yakin surat itu cukup mudah
diketemukan orang militer. Ia yakin pula takkan ada yang mengira itu darinya.
Selama ini tidak ada Gundra, yang ada hanya tukang tulis di rumah Karkun Jaya.
Gundra yakin, lelaki itulah yang nanti akan dikejar.
Apa yang direncanakan Gundra
ternyata tak perlu menunggu esok untuk terkabul. Subuh itu juga langsung
terjadi kegegeran. Orang-orang dikumpulkan.
"Siapa anggota dan
simpatisan PKI selain Sukarta di sini?"
Gundra melihat Lurah Sukarta
dibawa ke tengah keramaian, ditelikung seperti pencuri. Lampu petromaks menyinari wajahnya yang bengep dengan bibir
sobek.
Hati pemuda itu puas. Dalam
dadanya sesuatu terasa labas tuntas. Kebencian yang selama itu mengakar
seakan-akan tercerabut tak berbekas. Gundra terbahak, bahagia. Namun,
kebahagiaannya terlampau meluap hingga melampaui kesadarannya.
Tentara menanyai alasan Gundra tertawa, tapi ia terus menjawab dengan tawa. Sayangnya, tidak ada yang tahu alasan orang tertawa dan mentertawai apa selain orang yang tertawa itu. Hingga kemudian, tanpa Gundra bisa berkeledar, moncong bedil meletus dengan mengarah kepadanya.
Curugkembar, 25 September 2022