Kerangkeng Pilihan Ibuku - De Divanese Elzy
Kerangkeng Pilihan IbukuDe Divanese Elzy
Pada
bulan kesembilan aku lahir, tepat di minggu pertama. Itu adalah bulan penuh
curah hujan. Aku tentu tahu itu karena ibuku selalu berkata bahwa setiap bulan
yang diakhiri dengan "ber" biasanya adalah musim hujan karena mirip
dengan kata ember.
Dari cerita yang kudengar kelahiranku biasa saja. Aku
datang tanpa membawa apa pun sama seperti bayi lainnya. Tidak ada pakaian,
tidak ada perhiasan, maupun gelar kehormatan. Ah, yang terakhir sepertinya
salah. Sejak lahir aku adalah gadis ningrat, sama seperti seluruh anggota
keluargaku.
Suatu hari, di bulan yang tidak diakhiri dengan
"ber", Ibu membawaku ke sebuah pasar yang kelihatannya sangat berbeda
dengan pasar pada umumnya yang pernah kami kunjungi.
"Barang bekas, tapi masih bagus. Beli satu gratis
satu. Beli satu gratis satu.”
Seorang penjual mendorong gerobak barang berisi
dagangannya. Kelihatannya dia masih sangat muda dan kira-kira seumuran kakakku
yang duduk di kelas satu SMP (Sekolah Menengah Pertama).
Aku yang masih asing dengan semua itu sibuk melempar
pandangan ke sana dan kemari dengan harapan mungkin saja ada benda lain di
sini, sesuatu yang aku suka seperti buku dan alat tulis. Namun, semua itu tidak
ada. Setelah kuamati dengan saksama, benda-benda yang diperjualbelikan di
tempat itu hanya satu. Semuanya hampir sama, benda yang terbuat dari
tiang-tiang kecil yang disusun secara vertikal dan digabungkan secara
horizontal.
"Ibu membawamu ke sini karena kini kamu sudah
duduk di bangku sekolah. Selamat, ya!" ucap ibuku.
Dengan rasa penasaran, aku menatap beliau lalu
kulontarkan beberapa pertanyaan padanya.
"Untuk apa kita ke sini dan mengapa Ibu
mengucapkan selamat? Apa itu?" tanyaku sambil mengarahkan jari telunjuk ke
salah satu benda yang dijual itu.
"Itu kerangkeng," kata ibuku yang hari ini
tampil anggun dengan kebaya dan sanggul, sama seperti hari lainnya. "Kamu
sudah duduk di bangku sekolah, sudah saatnya kamu memiliki kerangkeng sendiri
seperti orang dewasa. Pilihlah yang kamu suka," sambungnya.
Aku tidak tahu manfaat benda bernama kerangkeng itu,
tetapi saat itu, ada rasa senang mendengar perkataan ibuku. Tentu saja aku
gembira diberikan hadiah, apalagi hadiah yang kupilih sendiri. Harapan dalam
hatiku adalah mungkin saja setelah itu Ibu akan membelikan aku hewan yang
istimewa untuk mengisi kerangkeng itu, misalnya kuda? Atau anjing? Atau gajah?
"Mengapa belum memilih?"
"Benarkah aku boleh memilih kerangkeng yang
kusuka, Bu? Bebas?" tanyaku.
"Ya," jawabnya.
Aku segera berlari menuju barisan kerangkeng yang
besar-besar. Ada berbagai ukuran yang dijual di sana. Ada kerangkeng bentuk
kubus, balok, prisma, tabung, kerucut, bahkan berbentuk bola. Ada juga yang
mirip bentuk Piramida Mesir seperti yang ada di gambar kakekku.
Kerangkeng-kerangkeng itu juga memiliki berbagai macam warna.
"Aku mau yang ini." Aku mengarahkan jari
telunjuk ke arah sebuah kerangkeng berbentuk bola. Warnanya kuning.
"Sebaiknya, bukan itu! Nanti mudah terguling.”
Aku pun menunjuk sebuah kerangkeng yang mirip dengan
Piramida dan berwarna hitam campur warna metalik.
"Jangan! Itu terlalu jelek warnanya," kata
ibuku pula.
Aku kecewa dengan penolakannya. Bukankah beliau yang
sebelumnya mengatakan bahwa aku bebas memilih? Beberapa kerangkeng lain yang
kupilih juga tidak disetujui olehnya. Katanya ini semua demi kebaikanku.
Akhirnya, aku malah memilih sebuah kerangkeng sesuai
keinginan ibuku. Kerangkeng itu berbentuk kubus, berwarna biru, terbuat dari
baja, dan memiliki kunci pengaman ganda. Alasan ibuku memilihnya hanya satu,
kami ini adalah ningrat.
Kata ibuku, anak yang berbakti pasti menerima
kerangkeng yang dipilihkan oleh orang tuanya. Aku tidak ingin menjadi anak yang
tidak berbakti. Teringat olehku kisah Malin Kundang yang diceritakan oleh
beliau. Seorang anak yang dikutuk karena durhaka terhadap ibunya.
Setelah tiba di rumah, Ibu membantuku membuka
bungkusan kerangkeng itu. Betapa kecewanya aku karena kerangkeng itu ternyata
bukan digunakan untuk hewan peliharaan yang kuinginkan. Pada kenyataannya, yang
harus memakai kerangkeng itu adalah aku.
Ibu menghiburku dengan mengatakan bahwa kerangkeng itu
adalah kehormatan. Ibu juga memiliki kerangkeng. Demikian pula semua orang di
rumah ini, kecuali adikku yang masih bayi. Ibu bahkan menunjukkan kunci
kerangkengnya padaku dan sekilas membuka kerangkeng itu untuk menunjukkannya
padaku.
Kerangkeng beliau ternyata berbentuk kubus juga,
tetapi berwarna emas dan jauh lebih besar dari milikku. Kerangkeng itu juga
terlihat indah sekali. Kata ibuku, itu berkat dia selalu menjaga kerangkeng itu
dengan baik.
"Kalau kamu menjaga kerangkengmu dengan baik,
pasti kerangkengmu itu juga akan tumbuh besar dan menjadi berkilauan,"
katanya, terdengar seperti harapan yang sempurna buatku.
Hari itu juga aku menjadi manusia berkerangkeng. Aku
sudah dewasa, bukan? Aku memamerkan kunci kerangkengku selama satu hari penuh
kepada kawan-kawanku. Setelah itu, aku memberikan satu kunci kerangkeng ke
tangan Ibu, sedangkan satu lagi aku simpan di lemari khusus.
Sebenarnya, kerangkeng pilihan Ibu terasa sangat berat
di pundakku, tetapi aku menahan diri karena tidak ingin mengecewakan wanita
yang sudah melahirkanku itu. Selain itu, aku sudah terlanjur pamer kepada
teman-temanku. Betapa malunya jika aku tiba-tiba mengganti kerangkengku dalam
satu hari hanya karena terlalu berat. Bukankah sebentar lagi aku juga sudah
bertambah besar seperti kata Ibu?
Setelah aku memiliki kerangkeng sendiri, aku
benar-benar menjadi anak berbakti. Demikian kata Ibu padaku. Ayah juga
memujiku. Aku selalu menuruti kata-kata ibu dan ayahku apa pun itu. Segala
ajaran tata krama yang diajarkan oleh Ibu dapat kukuasai secara sempurna. Makan
setiap makanan bergizi yang dibuatkan olehnya dan tidak pernah jajan
sembarangan.
Di sekolah aku selalu juara pertama. Aku ikut sepuluh
jenis kursus dan di semua jenis kursus aku mendapatkan nilai sempurna. Selain
itu, aku juga berhasil menjaga rahasia kecantikan keluarga dan menerapkannya
pada diri sendiri sehingga kulitku bening bersih. Namaku pun memenuhi
acara-acara televisi dan koran-koran. Ibu selalu ingat untuk memujiku di
hadapan teman-temannya hingga mereka selalu berusaha mendekatkan anak-anak
mereka padaku, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, beliau mengingatkanku
untuk tetap berada di dalam kerangkeng dan mengatur jarak dengan baik. Cukup
berikan senyum abadi, katanya.
Ibu memang luar biasa. Aku mengakui itu. Mungkin, aku
tidak akan meraih prestasi seluar biasa itu jika beliau tidak memilihkan
kerangkeng terbaik untukku, seperti teman-temanku yang hanya mampu membeli
kerangkeng bekas di pasar loak.
Ada saat-saat tertentu, ketika aku harus membuka kunci
kerangkeng dan menjemurnya di bawah sinar matahari pagi. Ibu akan mengizinkan
aku mengambil kunci kerangkeng dari lemari khusus. Saat-saat seperti itulah
yang kugunakan untuk merehatkan punggungku sejenak dari beratnya kerangkeng
baja itu. Kubaringkan badanku dan menerima cahaya matahari sepuasnya. Tidak
masalah bagiku meninggalkan kerangkeng itu sejenak karena aku masih berada di
lingkungan rumah.
"Retno!"
Panggilan Ibu membuatku terbangun. Segera aku berdiri
dan mencari kerangkengku. Benda itu masih ada di tempat semula, tetapi kuncinya
hilang.
Aku menjadi sangat panik karena tanpa dikunci sebuah
kerangkeng akan kelihatan. Tentu saja aku tidak ingin berjalan sambil memanggul
kerangkeng besar seperti seekor hewan dalam kandang. Lagi pula, aku tidak ingin
semua orang tahu seperti apa kerangkeng yang kumiliki.
Aku berputar-putar beberapa saat di seluruh taman,
tetapi tidak menemukan kunci kerangkeng itu.
Ibu kembali memanggilku dan tiba-tiba saja beliau
sudah ada di hadapanku. Aku terkesiap dan gemetar ketakutan.
Ibu yang tidak tahu apa-apa mengira aku gemetar karena
kedinginan. Seseorang yang sudah terlalu lama melepaskan kerangkengnya akan
merasa gemetar kedinginan, katanya padaku pada suatu malam berbintang.
Tiba-tiba aku menyadari bahwa saat ini pasti beliau mengira aku sudah memakai
kerangkeng itu. Benda itu selalu menjadi benda transparan setelah dipakai dan
dikunci.
"Tidak, Bu. Aku hanya merasa sangat terkejut Ibu
datang. Tadinya aku mau bersembunyi darimu," kataku berbohong. Tidak!
Mengapa aku malah berbohong? Bagaimana jika aku masuk neraka seperti kata ibuku?
“Aku pikir kerangkeng sudah mengajarkan dengan baik
padamu bahwa anak gadis tidak boleh bermain hal yang tidak berguna," kata
ibuku sambil tersenyum.
Aku tahu makna senyum itu. Itu permintaan untuk tidak
membantah. Seandainya aku membantah, apakah akan langsung ketahuan bahwa aku
tidak memakai kerangkeng dan malah menyembunyikannya di balik semak, lalu
menutupinya dengan ranting pohon?
"Maaf, Bu. Aku bercanda. Aku akan selalu menuruti
Ibu.”
“Baguslah, Nak.” Ibu terlihat puas setelah
mendengarkan jawabanku.
Melihat senyum beliau, aku tiba-tiba teringat. “Oh,
iya, Bu. Aku meminjam kunci kerangkeng yang Ibu pegang. Aku mau menjemurnya
sekali lagi besok. Aku tidak ingin mengganggu Ibu yang sedang mendampingi Ayah
di acara pelantikan," kataku merayu. Kucoba melawan degup jantungku yang
tiba-tiba begitu cepat.
“Bukankah kuncimu ada di lemari?” tanya beliau.
“Aku sedang malas membuka ruang bawah tanah, Bu. Sudah
sempat kututup rapat tadi. Aku mohon berikan aku kunci yang Ibu pegang saja
untuk satu hari. Aku akan mengembalikan kunci itu besok,” janjiku.
Ibu berpikir sejenak. "Baiklah," katanya
pada akhirnya. Sepertinya dalam pemikirannya tidak mungkin aku jadi gadis
pembohong.
Aku sebenarnya merasa sangat tidak enak. Setelah
membuka kerangkeng ini tadi pagi dan kehilangan kuncinya, aku malah berbohong
beberapa kali. Aku menjadi orang jahat. Namun, aku tidak berdaya. Di samping
itu semua, aku lebih takut jika ibuku yang sempurna memarahiku.
Segera kucari tahu cara membuat duplikat kunci
kerangkeng yang hilang itu. Setelah jadi, kusesuaikan warna dan goresan-goresan
yang paling mudah untuk diingat. Sebenarnya, hal itu tidak sulit untukku. Aku
bisa mengingat sesuatu sedetail mungkin. Mungkin inilah hasil dari kerja keras
ibuku, bukan?
"Naif sekali. Bukankah sebenarnya kamu punya
keinginan? Bukankah sebenarnya kamu sendiri ingin kebebasan dan memilih
impianmu sendiri?"
Sesosok bayangan muncul di belakangku secara
tiba-tiba. Kepalanya yang hitam terlihat seperti mendidih, lalu terpecah hingga
kelopak-kelopak bunga bermekaran. Di tengah-tengah kumpulan kelopak itu,
terlahir sebuah wajah yang sangat mirip dengan wajahku.
Ini gila! Bagaimana mungkin wajahku dimiliki oleh
orang lain? Ah, bukan. Ini bahkan bukan orang.
"Siapa kamu?" tanyaku dengan nada sedikit
keras. Aku harus mengalahkan ketakutan dalam hati.
Aku? Aku adalah kamu, katanya. Di bibirnya
terbuka senyum lebar dan indah yang selama ini belum pernah kutemukan di
wajahku sendiri.
"Kamulah yang menyembunyikan kunciku?"
tanyaku setengah yakin.
Kamu akan tahu
jawabannya setelah melihat apa yang terjadi di luar. Pergilah satu hari tanpa
mengenakan kerangkeng itu. Kamu akan melihat yang selama ini belum kamu lihat, ujarnya sambil
meletup dan menghilang.
Keesokan harinya, aku berkelana sendiri ke tempat yang
biasa aku datangi. Betapa aku sangat terkejut karena ada banyak hal yang selama
ini tidak terlihat olehku.
"Aku tidak memiliki kerangkeng," kata
seorang teman saat aku tanyakan padanya tentang benda yang wajib dimiliki
setiap orang seperti kata ibuku.
"Aku memakai kerangkeng yang kupilih
sendiri," kata seseorang yang lain.
"Aku bebas menyimpan kunci kerangkengku sendiri.
Aku boleh membukanya saat aku ingin," kata orang berikutnya.
Aku terperangah. Ternyata sesuatu yang tidak sesuai
dengan kata-kata ibuku tidak lantas membuat mereka menjadi batu seperti Malin
Kundang.
Di jam yang lain, aku juga melihat sendiri ibuku
melepaskan kerangkengnya. Aku sungguh sulit percaya bahwa semua ini terjadi dan
aku seolah menjadi buta selama ini. Aku berdiri di pojokan dengan mata tertutup
supaya kedua bola mataku tidak ternoda oleh asap rokok wanita itu yang berdansa
dengan bayangan pria bertopeng. Yah, wanita itu adalah ibuku sendiri.
Di kepalaku kini muncul letupan-letupan yang tidak
bisa kujelaskan pada siapa pun. Letupan-letupan yang menunggu untuk diledakkan.
Apa yang kamu inginkan? tanyanya
berulang-ulang dalam kepalaku. Aku sampai lelah dengan pertanyaan itu. Aku
memintanya untuk keluar dan berdansa denganku. Dirinya sendiri.
Jantungku berlomba tak karuan. Ini sungguh aneh. Aku
perempuan berkerangkeng yang selama ini tidak mengenal sesuatu selain perkataan
ibuku, jatuh cinta pada bayangan hitam yang ada pada diriku. Bayangan hitam
yang ternyata diam-diam terlahir dan bersembunyi dalam diriku.
Saat aku terbangun keesokan harinya, aku tiba-tiba
saja memiliki impianku sendiri. Mulai muncul di kepalaku cita-cita yang ingin
kugapai dan pakaian seperti apa yang kuinginkan. Aku juga ingin kerangkeng
berbentuk bola dan berwarna kuning. Bahannya sangat ringan, tetapi tetap punya
kerangkeng, bukan? Aku tidak akan disebut manusia primitif karena aku masih
memiliki kerangkeng.
Karena ingin memakai kerangkeng pilihanku dan juga
ingin menyembunyikan kerangkeng pilihan ibuku, aku mulai memikirkan sebuah
akal. Jika kerangkeng itu bisa disembunyikan hanya dengan memasukkan makhluk
hidup di dalamnya, itu berarti aku juga bisa memasukkan hewan. Segera kucari
kucing yang sering mampir ke belakang rumah. Warnanya oranye. Kubawa dia ke
dalam rumah.
"Aku sudah mengembalikan kuncinya ke lemari Ibu,
ya."
Ibu yang sudah selesai dengan tarian asapnya menatapku
sekilas, mengira aku tidak dapat melihat bayangan pria hitam bertopeng itu.
"Di mana Ayah?" tanyaku.
"Masih di perjalanan," jawabnya.
Diletakkannya puntung rokok itu dan memperbaiki pakaiannya yang selama ini aku
anggap anggun.
Terpikirkan olehku, apakah Ayah juga punya sisi lain
yang akan kutemui setelah aku melepaskan kerangkeng milikku? Sepertinya aku
harus bersiap dengan segala kemungkinan, sehingga tidak akan langsung ketahuan
jika aku telah melanggar aturan mereka untuk tidak membuka kerangkeng yang
sudah dipilih ibuku.
Aku sendiri kembali ke kamar. Kupandang sejenak
kerangkeng milikku lalu kumasukkan kucing itu. Setelah itu, aku menguncinya
dengan kunci yang sempat kuduplikatkan. Hingga tidak kelihatan lagi.
Sempat terpikir olehku bahwa memang seperti inilah
seharusnya. Kerangkeng itu untuk hewan, bukan untuk manusia. Namun, aku berubah
pikiran. Menurutku, tidak satu makhluk pun yang seharusnya hidup dalam kekangan
seperti ini.
"Tunggu, ya! Aku akan membebaskanmu segera!"
Pagi-pagi sekali, aku menyaksikan kucing yang kumasukkan ke dalam kerangkeng pilihan ibuku terbaring tak bernyawa. Dia pergi membawa rahasia yang mungkin akan terkubur selamanya.