Jiwa yang Terbelenggu - Aan Andriani
Jiwa yang TerbelengguAan Andriani
Bapak menarik rantai besi kecil yang mengikat pergelangan tangan ibuku dengan beringas. Wajah Bapak merah padam. Tubuhnya basah oleh keringat.
Bapak hanya bertelanjang dada karena kaos yang dia kenakan disampirkan di
pundaknya. Padahal, suhu udara di kampungku pagi ini terasa dingin menembus
kulit.
Aku segera berlari menghampiri.
Dibantu Bapak, tangan ini dengan sigap mengikatkan kembali rantai besi itu ke
tiang kayu di dalam rumah, yang lantainya beralaskan tanah, diiringi
jeritan-jeritan ibuku yang memekakkan telinga. Sebelah
tangan Ibu kembali digembok setelah sebelumnya berhasil kabur.
Rumah ini memang belum selesai
dibangun. Rumah berukuran 6x8 meter dan memiliki
dua kamar, cita-cita ibuku sedari dulu. Hanya saja,
pengerjaannya terhenti karena Nenek meninggal dunia, sehingga menyebabkan Ibu
histeris, melamun berminggu-minggu, dan akhirnya menjadi seperti sekarang.
Di sebelah kiri di dekat pintu,
terdapat ranjang kayu jati tempat aku dan Ibu biasa tidur. Sementara di belakang dipan itu, terdapat meja dan dua kursi, tempat biasa aku dan
Bapak makan. Ada teko, beberapa buah gelas, sendok, dan piring yang disusun
rapi. Bagian kanan, terdapat dua lemari plastik berukuran besar, yang diapit
oleh rak sepatu dan kursi plastik.
“Heh, Arman sialan! Pergi kau dari sini. Aku benci melihat wajahmu!” Telunjuk ibuku mengacung di depan wajah Bapak.
Tatapannya menusuk tajam.
Pakaian yang dikenakan Ibu sangat
minim sekali. Tampilannya mirip seperti pendekar di film-film kerajaan.
Perempuan 38 tahun itu hanya mengenakan kain sobek. Kain itu hanya menutupi
bagian dadanya dan dia memakai rok pendek selutut. Sementara perut bagian pusarnya tetap dibiarkan terbuka lebar. Rambut sepinggangnya
tergerai berantakan dan kusut, bagian kepala dan kedua lengan atasnya diikat
menggunakan kain sprei. Kain itu dia sobek-sobek menjadi beberapa bagian, yang
diambil dari kasur tempat biasa kami tidur.
Bapak berusaha meraih rambut Ibu,
mungkin hendak merapikan, tetapi tangannya berhasil ditepis dengan kasar. Meski ada amarah yang membuncah di wajah
Bapak, tetapi tetap kalah
oleh sorot matanya yang menyiratkan kepedihan saat
menatap wajah Ibu. Aku yakin, hati Bapak terluka parah. Bapak kemudian berjalan dengan langkah lunglai dan mengempaskan tubuhnya di kursi kayu.
“Ketemu di mana, Pak?” tanyaku
seraya menyodorkan segelas air putih ke hadapannya. Bapak langsung menenggaknya
hingga tandas.
“Di Kampung Cente. Saat Bapak
datang, ibumu lagi dijadiin tontonan warga.” Bapak meletakkan gelas kosong ke
atas meja, lalu tangannya beralih mengambil pisang goreng hangat. “Bapak tadi
mukul dan nampar ibumu lagi, karena dia
terus-terusan berontak.”
Aku menunduk lalu memainkan
jemari. Paham akan perasaan Bapak dan bagaimana geramnya kala harus memaksa ibuku pulang, tetapi Ibu terus-terusan
meronta.
Sudah dua kali Ibu pergi ke
Kampung Cente. Jaraknya lumayan jauh jika ditempuh berjalan kaki. Beruntungnya,
salah satu tetangga kami melihat dan segera memberi kabar, sehingga dengan
cepat Bapak segera menyusul. Sudah tak terhitung juga Ibu meloloskan diri.
Bukan tidak ada kendaraan, tetapi karena seringnya Ibu berontak memang sulit
jika harus dijemput menggunakan motor.
Bapak bilang, sepanjang jalan ibuku susah untuk diajak pulang. Ibu terus menendang-nendang dan mencakar Bapak.
Semenjak ibuku mengalami gangguan jiwa, tenaganya memang lebih kuat berkali-kali lipat.
Entah kekuatan dari mana. Tak heran, rantai besi yang biasa digunakan untuk
mengikatnya seringkali terlepas.
***
“Ini dimakan dulu, Bu. Tubuh Ibu
makin kurus karena jarang makan.” Aku menyodorkan sepiring nasi dan beberapa
potong tempe goreng. Kami tengah duduk di atas ranjang.
Ibu mendongak. Kepalanya bergerak
ke kiri dan ke kanan seraya menatap wajahku. Lama sekali. Tiba-tiba, ada air
yang menggenang di pelupuk matanya, dan perlahan menetes membasahi pipi.
“Anak Ibu sudah besar,” katanya lirih. Bibir itu bergetar. Dengan
sigap, Ibu merangkulku. Bahunya berguncang kuat. Dia terisak-isak. Entah apa yang ada dalam pikirannya sekarang.
Aku membalas memeluknya. Mataku
memanas. Desir hangat kembali menyelimuti. Jika sedang begini, rasanya Ibu seperti yang dulu, aku rindu dia yang begitu
peduli dan menyayangi dengan tulus. “Jangan tinggalin Ibu, Ayu. Nanti Ibu sama siapa?”
Kepalaku menggeleng kuat. “Ayu
janji gak bakal ninggalin Ibu. Asalkan Ibu juga harus janji untuk cepet sembuh.
Ayu juga udah masuk SMA sekarang, Bu. Ayu gak mau Ibu terus-terusan gini. Ayu
sedih, Bu. Ayu malu ….” Akhirnya, air mata yang sedari tadi berusaha kutahan
jatuh membasahi pipi. Perkataan itu terlontar begitu saja, entah dia akan mengerti
atau tidak. Sungguh, aku rindu bercerita dengannya. Aku rindu tawa dan candaannya, aku ingin menumpahkan segala sakit yang
selama ini kupendam sendiri.
Meski Ibu mengalami depresi,
herannya dia tetap mengingat semua nama-nama
orang yang dikenalnya. Ibu juga terkadang nyambung jika diajak bicara oleh
siapa pun.
Ibu kemudian beralasan ingin mandi. Sungguh tidak tega melihat tubuh kurusnya yang
meringkuk dengan memeluk kedua lutut. Rantai besi yang diikat memang memiliki
panjang dua meter dari tiang, membuatnya sedikit leluasa bergerak. Ibu berjanji tidak akan pergi ke mana-mana. Karena tidak
tega melihat raut wajahnya yang memelas, aku melepaskan ikatan itu.
***
Baru kali ini Bapak marah besar terhadapku. Jantungku berdegup kencang dan
lututku terasa lemas. Tubuhku terasa sulit untuk digerakkan. Aku menangis
terisak-isak. Bapak tengah memarahiku. Ibu berhasil kabur lagi, padahal baru
sebentar saja dia kutinggal pergi ke warung depan.
Setelah maghrib, aku mengikuti
Bapak untuk mencari Ibu dan bertanya ke tetangga dan saudara. Barangkali mereka
semua melihatnya. Namun, harapan kami sia-sia. Sampai jam sepuluh malam ibuku tidak juga ditemukan. Akhirnya aku dan Bapak memutuskan pulang.
“Ayo, tidur. Besok, kan, kamu
sekolah.” Bapak menghampiri saat aku masih duduk di bibir ranjang. Meski
berbalut jaket tebal, tubuh kurus Bapak tidak bisa disembunyikan. Kegiatan
Bapak jadi lebih banyak belakangan ini. Harus mencari Ibu yang kabur dan membanting tulang setiap hari. Bapak bahkan tidak sempat untuk merawat
dirinya sendiri. Wajahnya terlihat tua meski usianya baru memasuki kepala
empat. Cambang di sekitar pipinya tumbuh tak beraturan, kumisnya lebat, garis-garis samar di kening dan di bawah kelopak
matanya berwarna kehitaman.
Aku hanya mengangguk dan takberani
menyahut. Perasaan cemas, khawatir, dan rasa bersalah karena telah melepaskan
ikatan itu, terus saja menghantuiku.
***
“Denger-denger, Ibu lu kabur
lagi, ya, Yu?” tanya Anita dengan suara lantang saat bel pelajaran baru saja
berganti. “Udahlah, orang gila kayak gitu mah lebih baik dilepasin aja. Ngapain
dipertahanin. Biarin aja hidupnya bebas dan liar!” Anita terbahak-bahak.
Aku malu. Tubuhku lemas mendengar
ucapannya. Dengan tenaga yang tersisa, aku langsung berlari ke luar kelas, tak menghiraukan ucapannya lagi. Belum pulih mata yang bengkak
karena telah menangis semalaman, sekarang kembali sembap oleh ulah Anita. Tetanggaku itu memang selalu mengolok-olokku sedari dulu.
Sudah satu tahun, aku harus sekuat mungkin menahan rasa malu di tempat umum, di sekolah, dan di mana
pun kala harus memaksa ibuku pulang.
Namun, aku tidak mampu ketika ada orang yang berani-beraninya menyudutkan
ibuku. Ibuku tidak gila, hanya saja jiwanya mungkin tengah terkurung di lorong gelap yang takbisa dikenali.
Aku masih duduk di luar kelas
sendiri dan menangis terisak. Guru Matematika datang menghampiri. Aku sempat
menggeleng kala guru itu mengajakku masuk. Hatiku sangat perih, membayangkan
bagaimana seluruh teman sekelasku mencibir lewat tatapan matanya.
***
Langkahku terhenti karena melihat Bapak yang sedikit berlari ke arahku.
Wajah itu sangat panik.
“Ibumu sekarang ada di Kampung
Cente lagi! Tubuhnya penuh oleh lumpur karena dia lagi mandi dan berendam gitu
di tengah sawah. Bapak udah berusaha buat bawa dia, tapi katanya tetep gak mau
pulang kalau gak ada Ayu.”
“Ayo, Pak, kita susul lagi!”
seruku tak kalah panik. Setelah melempar tas ransel ke sembarang arah dan
membuka sepatu, aku langsung berjalan tanpa berniat mengganti pakaian terlebih
dahulu.
Banyak orang yang tengah duduk
lesehan di depan teras rumahnya, tak kupedulikan satu pun bagaimana
berpuluh-puluh tatapan itu tengah melihat kami. Sepanjang jalan, aku lebih
memilih menunduk dan menghitung langkah panjang Bapak. Aku sudah siap menahan
malu kala harus menjemput ibuku. Wajah-wajah
mereka sulit untuk diartikan.
“Itu anaknya Ami orang gila itu,
ya?”
“Kasihan sekali, ya.”
“Anak dan bapaknya mau jemput Ami kayaknya. Bawa rantai besi segala. Kemarin katanya
kabur dan gak pulang semalaman.”
“Si Ami jadi gila gara-gara
ditinggal ibunya. Dia, kan, yatim piatu sekarang.”
Meski air mata sudah menggenang
di pelupuk mata, aku hanya bisa memudarkannya dengan senyuman. Aku sedikit
mendongak ke depan, tampak tangan Bapak
tengah mengusap wajah atau mungkin air matanya. Sama sepertiku.
Butuh waktu kurang lebih setengah
jam untuk sampai ke tempat di mana ibuku berada. Sawah dengan hamparannya yang luas ini terletak di sisi jalan
raya. Ternyata, sudah banyak orang di sana. Bagai menonton sebuah acara
pertunjukan, pinggir jalan dipadati orang. Dari arah barat dan timur, mereka
yang lewat rela memberhentikan laju kendaraan demi sebuah rasa penasaran.
Benar kata Bapak. Ibu sedang
duduk bersila, kedua tangan itu ditangkupkan di dada, dengan kedua mata
terpejam kuat. Tubuhnya dipenuhi lumpur.
Bau lumpur amat menyengat saat aku dan Bapak turun ke sawah. Kedalamannya melebihi mata
kaki. Ibu menangkis tangan Bapak saat pria itu hendak mengajaknya pulang. Ibu
akan marah jika disentuh oleh lelaki. Suaranya menggeram, kedua tangannya mengepal kuat.
“Ini Ayu udah ke sini, Mi. Ayo
cepetan pulang!” Bapak mulai emosi. Telapak tangan Bapak mendarat keras di
pundak Ibu. Bapak memukul tubuh Ibu dengan sekuat tenaga, sampai membuatnya menjerit dan menangis.
“Ayo, Bu, kita pulang. Jangan di
sini, dong. Banyak orang yang lihat, tuh, Bu.
Katanya Ibu gak mau, kalau ada lelaki yang suka lihat Ibu.” Aku berusaha
membujuknya, merangkul bahu itu. Tampilannya masih seperti pendekar perempuan.
Hanya saja, kain yang dipakai kali ini terbuat dari sarung Bapak yang disobek.
“Sebentar, Ayu. Ibu masih
menunggu siluman itu datang. Semalam Ibu sudah berkelahi dengan ular itu, tapi
dia berhasil kabur. Huah!” Kedua tangannya kembali ditangkupkan di dada, diiringi air mata yang berderai.
Semua yang menonton jadi tertawa. Aku berusaha mati-matian menahan malu
di hadapan banyak orang.
Ketika aku dan Bapak hampir
menyerah, ada pria paruh baya yang menghampiri kami. Laki-laki itu sangat rela
kakinya dipenuhi lumpur. Tangan bersih yang menampakkan
tonjolan urat-urat itu menekan kepala Ibu. Bibirnya komat-kamit. Tak lama
kemudian, tubuh Ibu terjengkang. Kaki dan tangannya kaku, bola matanya mengarah ke atas.
Hati bagai teriris kala
menyaksikan apa yang kulihat sekarang. Bukan tak diobati, sudah berpuluh-puluh
orang yang mendatangi, tetapi hanya
sebentar saja Ibu mendingan. Setelahnya, dia kembali melempar, mendobrak, dan membanting apa pun yang berada di
sekitarnya. Ada yang menyarankan di bawa ke psikiater, tetapi tempatnya sangat jauh dan tak memungkinkan. Ibu pasti
akan mengamuk. Saudara-saudaraku pun sangat ketakutan. Mereka hanya sesekali saja datang berkunjung.
Tubuh Ibu melunak. Pria paruh
baya itu menyuruhku untuk membersihkan tubuh Ibu terlebih dahulu. Setelahnya, saat kami akan pulang, ada bapak-bapak yang
bermurah hati mau membantu mengantarkan kami menggunakan mobilnya.
***
Aku sedih. Saat pulang sekolah, tubuh Ibu sudah telentang dengan rantai
besi yang mengikat kuat. Tubuh Ibu sudah dipasung dan hanya beralaskan papan.
“Ini lebih baik buat Ibu. Kalau
gini Ibu gak bisa lari-lari lagi. Apa Ayu juga gak kasihan sama Bapak? Lihat,
tubuh Ayu. Ayu gak sempet ngurus badan Ayu, karena sibuk ngejar-ngejar Ibu
terus. Bapak juga. Bapak, kan, harus
kerja supaya Ayu bisa sekolah terus. Ayu tahu, kan, tabungan kita sudah habis
pake berobat Ibu. Bapak harap, Ayu bisa paham, ya.” Bapak menjelaskan panjang
lebar. Mukanya merah. Bapak kemudian berlalu pergi saat kuketahui air matanya
sudah menggenang di pelupuk mata.
Sudah sebulan Ibu dipasung. Pada
awalnya, malam-malamku dihiasi dengan jeritan, nyanyian, dan tangisan Ibu.
Tidurku benar-benar terganggu. Akan tetapi, lama kelamaan aku sudah mulai terbiasa.
Aku sekarang lebih fokus merawat Ibu dan bersekolah. Namun, sakit kembali menyiram hati dan
meninggalkan perih, saat melihat luka besar di sekitar bokong Ibu. Kulitnya
mengelupas, berdarah, dan sedikit mengeluarkan nanah. Karena tidak bisa
bergerak leluasa, dia hanya bisa buang air kecil dan
lainnya di tempat itu, sehingga gesekan antar kulit dan papan lama kelamaan
menyebabkan luka. Sangat telaten, aku mengobati dengan salep yang diresepkan
bidan.
Ibu lebih banyak diam setelah
dipasung. Hanya sesekali saja kayu yang mengimpit itu dilepas ketika dia hendak makan, minum, dan buang air. Tubuhnya juga semakin berisi dan bersih. Setiap hari, aku menyeka tubuhnya dengan
air hangat.
Setiap malam sebelum tidur, Ibu
selalu ingin di dekatku. Entahlah, aku merasa
perilakunya sudah jauh lebih baik. Emosinya
mulai terkontrol. Mungkin hubungan seorang ibu dan anak memang sangat kuat. Aku jadi sering bercerita tentang
kegiatanku ketika di sekolah. Beragam sekali tanggapannya;
tersenyum, tertawa jika ada yang lucu, juga usapan dan tatapan kasih yang dulu
hilang itu perlahan kembali.
Bapak juga terkadang ikut
nimbrung, kami duduk bersama kala aku dan Ibu sedang mengobrol. Kebersamaan ini
terasa hangat. Sungguh, aku merasa keluarga kecilku sudah benar-benar kembali.
***
Ibu sudah sembuh. Untuk merayakannya, malam ini tetangga dan seluruh
keluargaku berkumpul. Kami mengadakan acara syukuran atas kesembuhan Ibu. Semua
orang tak menyangka kalau ibuku bisa kembali pulih. Hanya saja, dia memang lebih banyak diam.
Namun, keluarga yang
kukira akan berakhir bahagia, ternyata tidak sesuai harapan. Seminggu setelah
acara syukuran itu, Ibu meminta cerai kepada Bapak. Ibu bilang, dia sangat tersiksa saat itu. Meski Ibu tak mengingat lain hal, tamparan dan
pukulan Bapak tetap membekas di ingatannya.
Bapak berkali-kali meminta maaf
pada Ibu, bahkan dia bersimpuh, tetapi Ibu tetap bersikeras
ingin bercerai. Baginya, bagian kekerasan dalam rumah
tangga yang dilakukan suami adalah kesalahan fatal. Mereka juga sudah berjanji
pada saat awal-awal menikah. Bapak sudah melanggar perjanjian itu.
Dengan berat hati, Bapak akhirnya
mewujudkan keinginan Ibu. Mereka bercerai setelah melakukan perundingan panjang
dengan seluruh keluarga, dan sudah dipikirkan secara matang. Keluarga
menyarankan agar Bapak menuruti keinginan Ibu, khawatir jika tidak, pikiran Ibu
akan terguncang lagi. Mereka lebih memikirkan Ibu, tanpa memikirkan betapa
hancurnya perasaanku kini.
Kukira, perjalanan pahit yang
menimpa benar-benar telah selesai. Namun, ternyata ini adalah awal dari sebuah
penderitaan. Hidupku benar-benar hampa. Sampai akhirnya
Bapak memilih pergi merantau ke luar pulau. Aku tinggal bersama Ibu. Kasih
sayang dan pengorbanan Bapak pada ibuku berakhir kandas. Mereka sudah hidup masing-masing dan bahkan sangat asing.
Tanpa diketahui siapa pun,
setelah perpisahan mereka, malam-malamku hanya dilalui dengan memeluk kedua
lutut. Aku tidak bisa tidur. Aku tidak berselera makan, aku membenci air, aku
terkadang menangis dan tertawa tanpa sebab.
Di sekolah, aku lebih banyak
melamun dan menyendiri. Pikiranku menerawang jauh. Kosong. Hidupku hampa.
Satu-satunya keluarga penyemangat, berakhir pecah hanya karena satu kesalahan
di masa lalu. Entah bagaimana hidupku nanti. Satu hal yang
pasti, sebelum Ibu mengalami gangguan jiwa dahulu, keadaanya sama persis
seperti malam-malamku sekarang.[]