Kota X dan Kutukan yang Membelenggunya - Imas Hanifah N
Kota X dan Kutukan yang MembelenggunyaImas Hanifah N
Sesaat setelah ia
menanggalkan seragamnya, ada sebuah telepon dari sang atasan yang memintanya bertugas
ke sebuah kota, yaitu Kota X. Atasan itu berkata kalau dirinya mau dan mampu
menyelesaikan persoalan di kota itu, maka pangkatnya akan dinaikkan. Tentu ia
merasa senang dan langsung setuju, meskipun agak curiga. Persoalan macam apa
yang mesti dituntaskan di Kota X? Sehingga sang atasan sampai akan menghadiahi
kenaikan pangkat jika ia bisa menyelesaikannya. Namun, atasannya itu tidak
memberi tahu detail dari persoalan tersebut.
"Bukan persoalan yang rumit, hanya mencari
orang saja. Semoga kau mampu." Begitu kata sang atasan di telepon tadi.
Tidak ada petunjuk lain.
Temannya, sesama rekan polisi yang kemudian
mengetahui soal itu, mulai bertanya-tanya. "Kau yakin? Kota X yang kau
maksud adalah kota terkutuk itu, bukan?"
"Terkutuk?"
"Iya."
"Kutukan macam apa yang eksis di masa kini?
Aku baru dengar. Tidak ada yang seperti itu di zaman sekarang. Aneh sekali
pemikiranmu itu. Tahu dari mana?"
"Dari rumor yang menyebar. Katanya orang-orang
yang pergi ke sana akan dijebak dan terperangkap. Tapi, aku pun tidak tahu
persisnya kenapa atau jebakannya seperti apa."
"Polisi seperti kita harusnya tidak percaya
yang seperti itu."
"Itu beredar di masyarakat."
"Kalau begitu, masyarakat sudah tidak bisa
dipercaya lagi."
Lalu mereka berdua tertawa. Seolah-olah kutukan
tentang Kota X dan ucapan masyarakat adalah lelucon paling lucu di dunia.
"Aku akan tetap ke sana."
"Tapi kau sendirian. Kau tidak takut?"
"Tidak sama sekali."
Ia berpikir, memangnya seburuk apa persoalan itu
sampai-sampai ada rumor yang sedemikian aneh? Sampai-sampai atasannya begitu
senang karena ia setuju bertugas di Kota X dan lebih dari itu, sampai-sampai
tidak ada satu pun rekan kepolisian yang mau menemaninya bertugas ke sana.
Polisi itu sudah bertekad. Semakin ia memikirkan
Kota X dan kabar aneh yang beredar tentang kota itu, semakin ia bersemangat
untuk pergi. Sehari sebelum berangkat, atasannya bahkan membekali si polisi
dengan banyak makanan, uang, dan juga beberapa baju baru.
***
Kota X terletak
cukup jauh. Kota itu berada di ujung negeri dan terlihat seperti sekumpulan
cahaya berwarna kebiruan di malam hari.
Ketika pertama kali menginjakkan kakinya ke Kota X,
polisi itu cukup terkejut. Kedamaian yang ada di Kota X sungguh membuatnya
takjub. Kabar tentang kutukan Kota X seakan-akan menguap saat itu juga.
Ia disambut oleh Pak Wali Kota X. Pak Wali Kota X
adalah lelaki tua yang punya kerutan permanen di dahinya. Terlihat seperti
seorang pemikir dan mungkin ia benar-benar sedang menghadapi perkara yang
ruwet.
"Duduklah, Pak Polisi."
"Baik."
Pak Wali Kota belum menyuguhkan apa pun, sepertinya
ia terlihat ingin segera mengatakan permasalahan dan memecahkannya bersama si
polisi.
"Langsung saja, Pak Wali Kota. Apa yang
terjadi di kota ini?"
"Tidak mau istirahat dulu, Pak Polisi?"
tanya Pak Wali Kota, tapi sebenarnya itu pun hanya basa-basi.
"Tidak perlu. Silakan. Saya bisa istirahat
setelah mendengar persoalan yang Pak Wali Kota jabarkan."
Pak Wali Kota terlihat mendekat, lalu bertanya,
"Pak Polisi, Pak Polisi tidak dengar ada suara orang yang sedang merintih
kesakitan dan minta tolong?"
Polisi itu tentu terkejut, lalu melihat sekeliling.
Seingatnya, sejak tadi ia tak mendengar apa pun kecuali suara Pak Wali Kota dan
suaranya sendiri.
"Maksud Pak Wali Kota, bagaimana?"
"Iya, itu yang jadi persoalan. Semua warga
kota ini mendengar rintihan kesakitan dan permintaan tolong sepanjang waktu.
Entah dari mana asalnya, tapi kami terus mendengarnya. Kami sudah mencari, tapi
tak ada hasil."
Si polisi mencoba menajamkan telinga. Kali ini, di
meja sudah ada dua minuman yang disuguhkan oleh anak gadis Pak Wali Kota.
"Saya tidak mendengar suara rintihan apa pun,
Pak. Sungguh."
"Nak, sini." Pak Wali Kota memanggil anak
gadisnya.
"Ceritakan apa yang kamu dengar
sekarang."
Anak gadisnya pun mengatakan hal yang sama. Bahwa
benar apa yang ayahnya dengar, suara rintihan dan suara yang meminta tolong itu
ada.
Si polisi masih tidak yakin. Mana mungkin ia tidak
mendengarnya? Apa karena ia terlalu lelah? Atau bagaimana?
"Oke, Pak Wali Kota. Biar saya tanya lagi.
Jadi, Bapak dan anak gadis Bapak ini mendengar suara rintihan dan suara minta
tolong?"
"Lebih tepatnya suara rintihan kesakitan dan
permintaan tolong. Sangat memilukan, Pak. Dan bukan hanya saya dan anak saya
yang mendengarnya. Sudah saya bilang di awal. Semua warga kota juga
mendengarnya."
Si polisi mengangguk-angguk. "Baiklah. Jadi
itu yang jadi masalahnya, ya. Saya harus mencari orang yang merintih kesakitan
itu? Karena mengganggu kedamaian warga kota?"
Pak Wali Kota menggeleng cepat. "Bukan, Pak
Polisi. Bukan begitu. Saya dan para warga justru kasihan. Kami tidak terganggu.
Kami ingin tahu siapa yang sedang merintih kesakitan dan membutuhkan
pertolongan itu. Kami ingin membantunya. Kami seolah bisa merasakan kepedihan
yang dirasakan oleh si pemilik rintihan itu. Kami cemas dan ingin membantu.
Maka, kemarin saya minta bantuan kepada kepala kepolisian di pusat."
Si polisi mengangguk-angguk. "Baik, jadi itu
persoalannya, ya, Pak. Akan saya pikirkan. Saya mau istirahat dulu."
Si polisi pun pulang ke rumah yang sudah disiapkan.
Ia tidak sendiri. Ada seorang pembantu dan suaminya yang mengaku akan siap
membantu kalau-kalau dibutuhkan. Karena penasaran, sebelum beranjak tidur, ia
bertanya kepada dua orang itu.
"Apakah kalian mendengar suara orang merintih
kesakitan dan meminta tolong?"
Si pembantu dan suaminya mengangguk. Mereka mengaku
memang mendengarnya sepanjang waktu dan sangat merasa kasihan. Mereka berharap
si polisi bisa segera menemukan siapa yang sedang merintih dan butuh
pertolongan itu.
Keesokan harinya, si polisi mulai mengerjakan
tugas. Ia berkeliling di Kota X dan menanyai warga.
"Benar, Pak Polisi. Kami sangat cemas.
Kasihan. Suara rintihan dan minta tolong itu, seperti suara seorang istri yang
disiksa suaminya, tapi suaminya tidak dihukum sama sekali," ujar salah
seorang perempuan muda.
Lalu, ada lagi. Seorang lelaki paruh baya bahkan
mengatakan soal rintihan dan suara minta tolong itu sambil menangis.
"Benar, Pak Polisi. Saya mendengarnya sepanjang waktu. Suara rintihan
kesakitan itu, suara minta tolong itu, seperti suara seorang pemuda tidak
bersalah, tapi dipaksa mengakui kesalahan yang tak pernah dilakukannya dan
akhirnya dipenjara selama bertahun-tahun."
Kemudian, tak hanya mereka berdua. Ada satu lagi,
dua lagi, bertambah puluhan orang yang mengaku memang mendengarnya dengan jelas
sepanjang waktu. Mereka semua selalu menghubungkan suara rintihan dan suara
minta tolong dengan penderitaan orang-orang yang entah mereka kenal atau
tidak.
Seperti suara seorang aktivis yang diculik dan
dibunuh. Seperti suara mahasiswa yang meninggal, tetapi kasusnya masih belum
terungkap sampai sekarang. Seperti suara korban tabrak lari oleh aparat, dan
banyak lagi seperti-seperti yang lainnya. Kesemuanya bukan pernyataan yang bisa
dianggap valid, karena kesaksian semua orang berbeda-beda dan hanya asumsi
saja.
Namun, yang lebih menjengkelkan daripada itu semua
adalah si polisi, sepanjang menyelidiki, belum juga mendengar suara rintihan
dan minta tolong itu.
Ia hanya mencatat dan mencatat, lalu setiap malam
ia tatap catatan itu dengan penuh keseriusan, tapi ia tak menemukan satu pola
apa pun yang bisa menuntunnya dalam memecahkan kasus di Kota X.
Siapa pemilik suara rintihan dan minta tolong itu
sebenarnya? Kenapa ia tak juga muncul? Apakah ia dikurung di Kota X ini? Lalu,
kenapa hanya warga Kota X yang bisa mendengarnya?
Berhari-hari, berminggu-minggu, si polisi tak juga
menemukan solusi. Pak Wali Kota X sudah mengunjunginya beberapa kali dan
meminta penjelasan, tapi apakah ada jawaban yang bisa memuaskan Pak Wali Kota?
Si polisi tidak punya sama sekali.
Pak Wali Kota selalu pulang dengan hati yang sedih.
Kerutan di wajahnya, kepiluan di matanya semakin menjadi-jadi saja.
***
Sebulan kemudian,
setelah malam-malam panjang yang membuat si polisi takbisa tidur dengan tenang,
ia memutuskan meninggalkan Kota X. Ya, memang ia belum menyelesaikan apa-apa,
tapi ia sudah kadung merasa kecewa. Kecewa kepada dirinya sendiri dan karena tak
mau menanggung malu lebih lama, ia pun pergi dari Kota X.
Semuanya aman-aman saja, hingga setelah
kepulangannya ke kota tempatnya tinggal, si polisi mulai mendengar suara
rintihan kesakitan dan minta tolong itu. Awalnya ia mencoba mencari dari mana
asal suara itu ke sekitar asrama, lalu bertanya ke rekan-rekannya yang lain,
tapi mereka sama sekali tak mendengar suara yang dimaksud.
Si polisi kini mengerti. Ia mulai terbayang suara
rintihan dan minta tolong itu seperti suara seorang pendemo yang tubuhnya
terinjak-injak. Terdengar demikian di telinganya. Pedih, pilu, menyakitkan.
Si polisi kembali memasukkan barang, baju, dan
perlengkapannya. Ia buru-buru hendak pergi.
"Mau ke mana sekarang?" tanya rekannya.
"Ke Kota X lagi. Aku harus ke sana. Ada yang
harus kutemukan dan kulenyapkan," ucap si polisi penuh keyakinan, tapi
matanya terlihat menyiratkan kesedihan yang mendalam.
Ternyata, kutukan itu memang benar. Siapa pun tak
akan bisa lepas dari Kota X setelah datang ke sana. Suara rintihan kesakitan
dan permintaan tolong itu akan terus terdengar. Menjadi nyanyian yang tak
berkesudahan, menjadi belenggu yang memenjarakan telinga setiap penghuninya.
Mereka seolah sedang dihukum. Mereka akan terus merasa cemas, sedih, tapi
takbisa berbuat apa-apa.[]