Tentang Sebuah Doa dan Bagaimana Semesta Mewujudkannya - Imas Hanifah N
Tentang Sebuah Doa dan Bagaimana Semesta MewujudkannyaImas Hanifah N
"Ren, kamu
pernah berdoa?"
"Pernah."
"Berdoa dengan
sangat?"
"Iya."
"Apa yang kamu
minta di dalam doamu?"
"...."
***
Sebelum sepasang
tangan menarik Ren dari rel kereta, gadis itu sepertinya memang sedang
linglung. Setelah duduk di kursi tunggu dan beberapa orang mengerubunginya, ia
gugup saat ditanya apakah memang ia baik-baik saja, atau lebih jauh lagi,
adakah masalah berat yang sedang menimpanya dan mungkinkah tadi ia mencoba
mengakhiri hidup?
Ren menggeleng untuk semua pertanyaan itu.
"Ti-ti-dak," jawabnya singkat, tapi sejurus kemudian, ia ragu. Iya
atau tidak? Entah kenapa ia tidak begitu yakin.
Setelah beberapa saat, Ren pamit undur diri.
Orang-orang tentu menahannya, membujuknya untuk diam sebentar, memberinya roti
dan sebotol air mineral, tapi Ren menolak. Ia bilang ia akan ke rumah saja dan
beristirahat. Tidak ada yang bisa mencegahnya karena Ren terlihat lebih segar
dan menjawab dengan tegas. Orang-orang pun membiarkan Ren pergi, meski beberapa
di antaranya masih memperhatikan bagaimana gadis itu melangkah. Mungkin mereka
takut Ren akan oleng. Namun, tidak. Gadis itu dengan mulus pergi dan menjauh
dari stasiun kereta tersebut.
Pikiran Ren kosong. Entah mengapa ia merasa begitu.
Ia tidak ingat tepatnya mengapa bisa berada di rel kereta dan hampir saja
tertabrak. Jika saja tidak ada tangan yang menariknya, mungkin ia sudah tak
bernyawa.
Gadis itu lalu tiba di rumahnya yang terasa dingin
sekali. Temboknya berdebu, suasananya sepi dan tak lama, ia mendengar Choco,
anjing kecil jenis Bichon miliknya bersuara lemah. Ren tersenyum dan berlari.
Ia menghampiri Choco, tapi Choco menjauh. Di sekitar Choco, banyak makanan yang
mungkin sudah anjing itu curi dari lemari dan sangat berserakan.
"Hei, kenapa?" tanya Ren sedih. Choco
seperti tak mengenali Ren. Ren kemudian berusaha mendekat perlahan, mengelus
dan mengangkat Choco, meskipun anjing itu meronta, tapi sepertinya mahluk kecil
berbulu cokelat itu tak punya banyak tenaga.
"Kau sangat kurus," ucap Ren. Gadis itu
heran. Kenapa anjingnya sangat kurus? Seingatnya, ia tidak pernah lupa memberi
Choco makan.
Choco masih enggan disentuh oleh Ren, meskipun
makanannya sudah Ren tuangkan ke wadah. Anjing itu hanya fokus mengunyah dan
seolah mengabaikan kehadiran Ren. Walaupun masih merasa aneh, tapi Ren mulai
mencoba memahami. Apakah ia baru saja pergi jauh? Berapa lama? Kenapa? Dan
kenapa pula ia tidak ingat?
Ren bangkit. Ia yang sedari tadi belum juga
membongkar isi tasnya, mulai memeriksa. Ada ponsel, sebuah pisau lipat, sebuah
buku, sebotol pil tidur, dan secarik kertas bertuliskan alamat.
Gadis itu lelah. Ia menatap sekeliling rumahnya
yang masih diselimuti dingin dan sepi. Ren mencoba bernapas dengan lebih rileks
dan kemudian ia tertidur beberapa jenak di kursi dapur. Kepalanya tertumpu di
dekat wastafel.
Ren tertidur. Di dalam tidurnya ia bermimpi. Ia
pergi, berjalan pagi-pagi sekali dari rumahnya setelah memecahkan cermin di
kamarnya dan melemparkan buku-buku di rak. Ia pergi ke stasiun kereta setelah
itu.
Dan di dalam kepalanya yang terlintas ketika
melihat rel kereta adalah keinginannya untuk mati.
"Aku mau mati," ucapnya.
Ren tiba-tiba terbangun, tepat di kata
"mati". Ia merasakan sebuah dorongan kuat untuk pergi ke kamar.
Anjingnya masih tak mau berdekatan dengan Ren, tapi ia belum mau peduli soal
itu. Ren masuk ke kamar dan mendapati pecahan kaca berserakan di lantai dan
buku-buku berjatuhan dari rak. Semua buku-buku itu, kebanyakan adalah buku-buku self improvement. Seperti tentang cara
bersyukur menjalani hidup, cara berpikir positif, dan banyak buku dengan tema
serupa lainnya.
Ren mencoba membereskan semuanya satu demi satu
sambil mengingat isi buku-buku itu, tapi bahkan tak ada satu kalimat pun yang
membekas. Mungkin ia sudah melupakannya. Sekarang, agaknya semua menjadi jelas.
Mungkin di suatu pagi, ia kalut dan marah-marah, lalu berakhir di stasiun
kereta. Hampir saja mati. Benar, mungkin begitu. Ren tidak ingat soal perkiraan
waktunya, tapi mungkin ia memang sudah pergi beberapa hari yang lalu?
Matanya menangkap potongan roti yang ikut terserak
di antara buku-buku. Itu sudah sangat basi. Mungkin ia sudah pergi tiga hari
atau bahkan seminggu? Tapi, ke mana saja ia selama itu dan kenapa berakhir di
stasiun? Ah, pusing sekali ketika ia mencoba memecahkan apa yang sebenarnya
terjadi.
Ren tak mau mencoba mengingat lagi. Ia merasa lapar
sekarang. Akan tetapi, sebelum benar-benar kembali ke dapur, ponselnya
berbunyi.
"Akhirnya diangkat. Kau di mana? Kita semua
cemas. Kalau ada masalah lagi, bicaralah."
Ren merasa aneh. Ia menatap nama di layar. Juna.
Siapa Juna?
"Ha-halo?"
"Pulanglah. Sekarang!"
"Si-siapa ini?"
"Jangan begini, Nan. Pulanglah!"
"Nan?" tanya Ren. Siapa Nan?
Ren buru-buru mematikan sambungan telepon itu. Apa
maksudnya ini? Ren melihat-lihat ponselnya dan merasa sepertinya memang ponsel
yang ada di tangannya itu bukanlah miliknya. Ia merasa asing. Ketika menyadari
tangannya ... tangannya bukanlah tangannya. Lalu, Ren melihat kakinya. Kakinya,
juga bukan kakinya. Siapa ia? Kini, Ren semakin pening. Semakin waktu menderas,
semakin banyak pertanyaan dan semakin kabur pula jawaban-jawabannya.
Gadis itu terdiam, memandang ponsel dan Choco yang
selesai makan. Anjing itu memperhatikannya di pojokan, terlihat masih tak mau
mendekat.
"Kau tak kenal aku, Choco? Aku orang asing?
Apa wajahku berbeda?"
Anjing itu tak menjawab, tentu saja. Iseng, Ren
berkaca pada layar ponselnya dan ia terkesiap. Hampir saja ia banting telepon
genggam itu. Wajahnya ... ternyata juga bukan wajahnya.
Ren kembali melihat-lihat isi tas dan secarik
kertas alamat itu. Ia tatap baik-baik. Segera Ren keluar dari rumah buru-buru.
Mungkin, pikirnya. Alamat di kertas adalah salah satu petunjuk untuk semua
keanehan yang ia alami hari ini.
Maka pergilah Ren ke alamat tersebut. Dan
sesampainya di sana, ia disambut bak seseorang yang memang telah lama pergi dan
baru saja kembali. Namun, sekali lagi, ia tidak dikenali sebagai Ren. Di sana,
ia dikenal sebagai Nan.
"Nan, terima kasih sudah kembali."
Seorang lelaki menyambutnya dan tersenyum, tapi senyum yang tidak biasa. Ren
bisa merasakannya. Kemudian ada wanita paruh baya juga yang mengaku sebagai
ibunya.
"Nan, Juna akan menjagamu. Jangan pergi-pergi
lagi, ya. Berbaikanlah dengan suamimu ini."
Suami?
Dada Ren mendadak berdebar tak tentu. Suami? Ia
tidak pernah berpikir soal ini sebelumnya.
***
Di malam hari,
lelaki yang bernama Juna itu tak banyak bicara. Ia memasak, melakukan pekerjaan
rumah, dan sesekali bermain ponsel. Sementara itu, Ren yang canggung tidak tahu
harus berkata atau melakukan apa.
"Kau lapar, Nan? Sebentar, ya," ucap
lelaki itu.
Ren ingin sekali bilang bahwa ia bukanlah Nan;
bahwa ia bukanlah istrinya, tapi bagaimana? Bagaimana caranya? Ren sudah lima
kali menatap dirinya di cermin dan memang, ia bukanlah dirinya lagi. Ia berada
di tubuh orang lain.
"Kita bisa bicarakan ini dengan dokter. Kalau
kau merasa cemas lagi atau apa, tolong jangan pergi dari rumah lagi."
"Pergi? Jadi, Nan ini ... maksudku, aku sering
pergi dari rumah?"
"Kau lupa?"
"Aku tidak begitu ingat. Aku mau tidur
saja."
Ren merasakan kantuk yang begitu kuat dan ia pun
terpejam. Ia kembali memimpikan tentang sesuatu di masa lalu. Sebuah
percakapan.
"Ren, kamu
pernah berdoa?"
"Pernah."
"Berdoa dengan
sangat?"
"Iya."
"Apa yang kamu
minta di dalam doamu?"
"Hidup."
"Kau sudah
hidup."
"Aku berdoa
agar hidup selamanya."
Ren membuka mata tepat di kata
"selamanya" dan ia merasakan sebuah sentuhan di perutnya. Ada yang
memeluknya dari belakang. Lelaki itu merapatkan tubuhnya kepada Ren dan Ren
terkejut. Ia bangun. Untungnya, lelaki itu tidak. Lelaki yang mengaku bernama
Juna itu tertidur begitu pulas. Ren merasa lega.
Pukul tiga dini hari. Ren membawa tasnya dan
diam-diam pergi keluar. Ia kedinginan, tapi takpeduli. Ia merasa tidak mau
tinggal lebih lama di rumah yang bukan rumahnya. Ia ingin kembali. Ia ingin
menjadi Ren lagi, meskipun ia tidak yakin bagaimana caranya.
Dalam kebingungan itu, hanya ada satu tujuan. Rel
kereta. Entah mengapa satu tempat itu yang ada di dalam kepalanya.
Ren berjalan sendirian. Orang-orang kota belum
seluruhnya beraktivitas kembali. Sembari menyaksikan pagi, Ren mencoba berpikir
ulang tentang semuanya. Ia berharap bisa segera keluar dari kebingungan yang
menimpanya.
Gadis itu duduk di sebuah kursi panjang di depan
sebuah toko bunga yang belum buka. Ia lelah dan memilih beristirahat. Ia
memeluk dirinya sendiri, merasakan kedinginan dan sejenak terpaku lama sekali
setelah melihat sampah di bawah kakinya. Bungkusan dari kertas koran. Ren
mengambilnya dan persis seperti yang kalian pikirkan. Itu bukan kertas koran
biasa. Koran itu menampilkan sebuah berita kematian. Seorang gadis yang nekat
mengakhiri hidup dengan menabrakkan dirinya ke kereta yang sedang melaju.
Ren. Itu adalah Ren. Ren sudah mati. Satu minggu
yang lalu.
Sekarang, semakin pusinglah Ren. Yang sudah mati
pasti sebenarnya adalah Nan. Bukan dirinya. Itu yang ia yakini.
Ren kembali berjalan dan langkahnya terus
membawanya ke stasiun kereta. Stasiun yang sama yang rasanya memang sudah tak
asing lagi bagi dirinya. Mungkin di masa lalu, ia memang pernah ratusan kali ke
sana. Pernah ratusan kali berpikir untuk mati di sana dan pernah ratusan kali
mencoba menabrakkan diri ke kereta.
Mungkin.
Ren tidak tahu lagi. Saat ia sampai di stasiun dan
menatap banyak orang, menatap pagi yang mulai bercahaya, ia tidak tahu apa yang
harus dilakukan. Gadis itu duduk di sembarang tempat, menghalangi para pejalan.
Beberapa di antara mereka mencoba mengusir Ren dengan kibasan tangan, beberapa
lainnya takpeduli dan menatap dengan sorot aneh. Mungkin ia disangka gila dan
siapa pun akan menyerah menyuruhnya pergi. Setelah agak lama, seorang petugas
datang dan menghampirinya.
"Mau mencoba lagi?" tanyanya.
Ren terkesiap. Melihat seringai sang petugas dan
bagaimana satu kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut seseorang yang
asing.
"Apa maksudnya? Siapa kau?"
"Nona, saya tadi tanya, apa Nona baik-baik
saja?"
Ren menggeleng. "Bukan. Bukan itu yang kamu
tanyakan tadi."
"Lho, tapi saya betulan bertanya begitu."
Wajah petugas itu seketika berubah. Tadi, Ren yakin
wajahnya bukan yang itu, tapi kenapa sekarang berubah?
Ren bangkit dan si petugas menuntunnya untuk duduk
di kursi tunggu. Saat itulah, ia melihat Juna. Juna mendekat ke arah mereka
berdua dan Ren tentu saja lari. Ia lari dengan cepat, sambil sesekali melihat
ke arah Juna dan si petugas. Juna terlihat membisikkan sesuatu kepada si
petugas sebelum akhirnya mengejar Ren.[]
Tasikmalaya, 2022