Asih Tak Asih - Muhammad Isa Afnis



Asih Tak Asih 
Muhammad Isa Afnis


Asih tak sebahagia keluarga yang lain. Wajahnya suram, sesuram langit siang di atas sana. Sebentar kemudian turun hujan deras, membuat puluhan tetangga yang tadinya berjubel pengen melihat satu keajaiban yang baru saja terjadi di rumah itu, berlarian pulang.

Asih paham betul tidak semua hujan akan menerbitkan pelangi. Malah, perempuan berusia tiga puluh tahunan itu merasa hujan kali ini akan menyebabkan banjir besar. Banjir penyesalan yang akan menenggelamkannya.

“Bapak hidup lagi, Mak. Emak tidak mau melihatnya?” Nur melongok emaknya yang belum juga keluar kamar. Sementara di ruang tamu, orang-orang bergantian memeluk Sidik. Sidik membalas dengan senyum pada beberapa orang, dan bermuram durja pada sebagian yang lain.

Orang-orang terpaksa menahan rasa penasaran mereka pada tingkah Sidik sebab hujan kian menderas.

“Pak Lurah masih di luar, Nur?” tanya Asih seraya turun dari ranjang. Gelengan Nur membuatnya menarik napas dalam-dalam. Untuk beberapa detik, Asih mematung.

“Maaf, Mak, Bapak memanggil Nur. Mau bareng atau Nur tinggal dulu?”

Asih mengisyaratkan Nur untuk mendahuluinya. Begitu bocah tujuh tahun itu berlalu, tubuhnya melorot jatuh terduduk di lantai. Sidik bisa bicara?

Diam-diam Asih mengintip suasana di luar. Jantungnya berhenti berdetak ketika melihat suaminya sedang bercengkrama dengan Nur sambil memangku bocah yang tampak begitu bahagia itu.

Sidik bapak yang sangat baik, penuh kasih sayang pada anak dan istrinya. Sidik dinyatakan meninggal sekitar dua jam sebelumnya karena terkena serangan angin duduk. Dokter yang dipanggil untuk memeriksanya menyatakan gagal jantung. Dan kini Asih merasakan sesak dan rasa sakit luar biasa di dalam dadanya, seperti terkena serangan jantung. Sekuat tenaga dia mencoba bernapas dan menenangkan diri.

Asih melangkah ke arah suaminya dengan lemah seperti seseorang yang tengah hilang arah. Senyum Sidik menikamnya dalam-dalam.

“Bapak sekarang jadi sakti, loh, Mak. Bapak bisa paham sifat dan nasib seseorang hanya lewat bersentuhan.”

Ucapan Nur membuat Asih cepat-cepat menarik uluran tangannya. Senyum Sidik semakin lebar. Asih merasa kalau suaminya itu sedang mentertawakannya. Sial!

“Kembali ke kamarmu. Istirahatlah. Sejak semalam kamu gelisah. Nanti aku susul,” ucap Sidik sambil menyuruh Nur mengambilkan minum untuknya.

Ucapan Sidik membuat Asih bergeming. Meski hatinya kalut, dia merasa harus bisa menahan diri, berlagak bodoh. Asih yakin betul kalau suaminya itu memang sudah mengetahui semuanya. Persetan! Asih cepat-cepat duduk di samping laki-laki yang sudah mencintainya dengan sepenuh hati itu, lalu memeluknya erat-erat, yang langsung dibalas Sidik dengan mengecup keningnya lama. Air mata keduanya jatuh bercucuran.

***

“Sidik bisa bicara!”

“Dia bisa membaca isi hati dan nasib seseorang.”

“Tapi dia tetap Sidik seperti yang selama ini kita kenal. Orang saleh yang tidak akan mau mengabarkan aib orang lain.”

Desas-desus perihal kemampuan ajaib Sidik cepat menyebar. Para tetangga mulai berduyun-duyun menyambanginya, dan dia dengan senang hati sudi melayani mereka dengan syarat hanya dilakukan secara empat mata, di dalam kamar. Sidik juga melarang mereka mengungkapkan hasil “pembacaannya” kepada orang lain.

“Tidak baik mendahului takdir. Apa yang aku ungkapkan hanya supaya sampeyan mawas diri, dan berusaha menjadi lebih baik.” Begitu pesan Sidik pada setiap orang.

Bagaimanapun, upaya Sidik menjaga perasaan pasiennya, tetap saja mereka tidak bisa lepas dari persangkaan orang-orang.

Ketika Manuji keluar dari kamar Sidik dengan wajah cerah, satu per satu orang-orang menyelamatinya.

“Selamat, ya, Man. Teruslah menjadi orang jujur. Walaupun kamu tidak bicarakan hasilnya, tetapi kami semua tau orang jujur seperti kamu pasti nasibnya mujur.”

“Selamat, ya, Kang. Udah yok, kita cepetan pulang. Sudah ditunggu anak-anak,” istri Manuji menggandeng mesra lengan suaminya. Sore itu ada acara santunan anak yatim di panti asuhan yang mereka bina.

Sebentar kemudian para pengantre hening. Hasan keluar dari kamar Sidik dengan menunduk dan berjalan tergesa-gesa.

“Namanya saja Hasan, tapi kerjaannya judi melulu,” bisik seseorang.

“Padahal ganteng dan dia itu seorang Sarjana Agama, loh,” bisik yang lain.

“Iya, kasihan almarhum Mbah Kyai Hamid. Padahal si Hasan itu anak yang paling disayangi beliau. Beliau suka mengajaknya berkunjung ke rumah para kyai dan habaib,” timpal yang lain.

Kyai Hamid adalah panutan utama di Kampung Gunung Tugel. Seorang kiai sepuh yang dipercaya warga memiliki kemampuan lebih; bisa menghitung amal dan nasib seseorang. Beliau memiliki dua orang putri yang salihah. Namun, kelakuan si bungsu Hasan hanya mempermalukan nasab keluarganya saja. Tiap hari kerjaannya berjudi, mabuk-mabukan, dan suka mencari lawan duel untuk memamerkan ilmu pencak silat yang dikuasainya.

Ah, sepertinya orang-orang lupa kisah Kan’an bin Nuh Alaihissalam.

Begitulah seterusnya. Satu per satu orang keluar dari dalam kamar Sidik dengan raut muka berbeda-beda. Beberapa seterang matahari, tetapi lebih banyak lagi yang sekelam malam.

Dalam sekejap udara di rumah Sidik dipenuhi gunjingan-gunjingan. Dunia memang lucu, orang-orang lebih suka membicarakan dosa orang lain, lupa pada dosa-dosanya sendiri.

“Sudah mau magrib, kalian pulanglah dulu. Nanti selepas isya, silakan kembali lagi,” ucap Asih meneruskan perintah suaminya.

Asih cepat-cepat menutup pintu rumah begitu orang-orang berlalu. Diambilnya sarung dan sajadah Sidik. Tak lupa, dia membawa pula mukena dan sajadahnya sendiri.

“Salat di rumah saja, Pak. Sudah lama kita tidak berjamaah.”

Asih merasa mual melihat senyum aneh Sidik. Ada rasa sesal menyeruak di dalam hatinya.

“Tadi Pak Lurah telepon, malam ini beliau akan datang untuk ‘kubaca’,” ucap Sidik datar.

Asih merasa dunia runtuh, menimbunnya dengan kejam. Udara jadi terasa begitu panas dan kering. Dia tidak bisa lagi bertahan.

Tubuh perempuan itu jatuh. Kepalanya keras menghantam lantai.

***

Selepas isya, orang-orang kembali memenuhi rumah Sidik. Asih yang sudah sadar menertibkan mereka untuk mengantre.

Sidik yang mengintip dari pintu kamar mentertawakan mereka. Lucu memang melihat begitu banyak orang rela berdesak-desakan hanya untuk “ditelanjangi”. Padahal, tanpa harus melalui perantara kesaktiannya, mereka bisa mengenal diri sendiri. Setiap orang punya nurani, tetapi kebanyakan lebih memilih untuk membungkamnya.

Masih jelas dalam ingatannya bagaimana tadi siang muncul suara gaib mengajaknya berdiskusi.

“Seandainya Tuhan menghidupkanmu lagi, siapa yang kamu rindukan?” tanya suara itu.

Sidik diam.

“Istrimu?”

Sidik menggeleng.

“Orang tuamu?”

Sidik menggeleng.

“Kambing-kambingmu? Ayam-ayammu? Atau motor bututmu buat mengojek?”

Lagi-lagi, Sidik menggeleng.

“Ah, pasti Nur, anak semata wayangmu itu?”

Kali ini Sidik mengangguk. Sidik terus meyakini nasihat Mbah Kyai Hamid untuk menjaga baik-baik Nur. Kelak, bocah itu yang akan mengharumkan nama keluarga.

Lalu si gaib tertawa keras. “Apa lagi?”

“Aku ingin bisa bicara,” jawab Sidik malu-malu.

“Mau buka aib istrimu?”

Sidik menggeleng. Terlintas dalam ingatannya senyum picik Asih di meja makan, ketika dia tiba-tiba merasakan nyeri luar biasa setelah menghabiskan kopi suguhan istrinya itu.

“Baiklah, aku kabulkan. Aku juga akan menganugerahimu kemampuan membaca isi hati dan nasib siapa saja yang bersentuhan fisik denganmu,” lanjut suara itu sebelum semuanya menjadi terang benderang. Sidik bahkan bisa melihat wujud udara yang masuk melalui hidungnya, melihat bagaimana bentuk paru-parunya yang kembali berfungsi lagi. Sidik bisa melihat semua yang sebelumnya tidak bisa dilihat.

“Tak usah terlalu senang dulu. Waktumu hanya sebentar,” bisik suara itu, lalu senyap.

***

Malam kian larut, tetapi rumah Sidik masih penuh sesak. Satu per satu orang-orang masuk ke kamarnya, kemudian keluar dengan aneka macam ekspresi. Suasana kian riuh penuh dengan gunjingan-gunjingan, sampai muncul seseorang berbadan tegap dan memakai seragam dinas.

Pak Lurah tahu betul cara meninggikan diri di hadapan orang lain. Kapan dan di mana pun, dia selalu memakai seragam dinasnya. Derajat seseorang memang bisa diukur dari pakaian yang dikenakan.

Tanpa aba-aba orang-orang membiarkannya masuk tanpa mengantre.

Tidak sampai lima menit, Pak Lurah keluar dari kamar Sidik dengan wajah meradang. Hening. Tidak ada seorang pun berani bersuara. Tidak seorang pun berani membalas tatapannya yang garang.

“Bubar! Keluar kalian semua. Sidik itu pembual!” teriakan Pak Lurah membuat para pengantre riuh. Mereka bergeming. Namun, semuanya jadi berebutan keluar rumah ketika Pak Lurah memerintahkan para ajudannya menghajar siapa saja yang berani menentang perintahnya.

Masih membekas di hati Pak Lurah tawa keras Sidik saat menyambut kedatangannya. Tawa orang miskin yang lebih terdengar seperti mengejek itu adalah pengalaman pertama yang dijumpainya. Sepanjang hayat, tidak ada seorang pun yang berani menghinanya. Tidak seorang pun! Hampir saja Pak Lurah meninju pria kurang ajar di hadapannya itu, sebelum deheman Asih berhasil menahannya.

“Khusus Pak Lurah, bolehlah Asih tetap di sini,” ujar Sidik datar, tanpa rasa takut sama sekali.

Pak Lurah memberi isyarat pada Asih untuk keluar kamar. Asih mengangguk sopan, lalu meninggalkan keduanya, diikuti empat orang ajudan Pak Lurah yang kemudian berdiri gagah di depan pintu kamar.

“Bapak mau memeluk saya atau sekadar berjabat tangan saja?” tanya Sidik masih dengan sisa tawanya.

Meskipun muak, Pak Lurah memeluk Sidik dan menepuk-nepuk pelan punggungnya.

“Jujurlah, tidak perlu sungkan. Ungkapkan semua yang sampeyan lihat,” bisik Pak Lurah tegas.

“Tentu saja. Bahkan, tanpa Pak Lurah perintah,” jawab Sidik tak kalah tegas. Matanya berbinar-binar tajam menatap Pak Lurah, yang jadi kikuk.

Sambil terus menggenggam erat tangan Pak Lurah, Sidik mulai menelanjangi pria separuh abad itu. Culas, kejam, licik, jahat dan akan berakhir dalam kenistaan. Warga kampung yang selama ini diam, kelak akan mendemonya untuk melepas jabatan. Mereka yang selama ini bersabar, akan menjadi barbar. Istana megahnya yang dibangun dari hasil korupsi, bakal dihancurkan.

Mereka pun bakal menguncinya di dalam gudang dan membakarnya hidup-hidup bersama berkarung-karung beras, minyak goreng, dan aneka macam barang kebutuhan pokok lainnya dari bantuan pemerintah untuk orang miskin yang dikorupsinya, dan juga BBM yang ditimbunnya, sebelum harga melambung tinggi—Pak Lurah memang membuka toko sembako dan pom mini di depan rumahnya.

Setelah membisikkan sesuatu di telinga Asih, Pak Lurah dan semua ajudannya berlalu meninggalkan rumah Sidik.

“Jaga Nur, Sih. Malam ini langsung kuburkan saja jasadku,” bisik Sidik. Di sampingnya. Asih menangis tersedu.

Asih merasa seperti sedang berada di satu persimpangan jalan yang di setiap ujungnya kosong dan gelap.[]


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url