Kidung Mbah Taryan - Arhaa Sentana
Kidung Mbah Taryan
Di suatu pagi yang basah, seisi desa digemparkan suara Mbah Taryan yang
mengiduñg lirih. Kidungnya terlontar ke setiap
penjuru desa, lalu menghujani telinga-telinga warga di dalamnya, membuat
semuanya gemetaran. Tak terkecuali Pak Ķaryo, sang
kepala desà, yang segera bergegas ke musala ketika itu juga, tergopoh-gopoh,
bahkan sesekali tersandung kain sarungnya sendiri.
Dia melepas sandal Eiger miliknya, melemparkannya saat pengaitnya terlalu kuat mengikat,
kemudian kembali bergegas masuk musala, menemui Mbah Taryan.
"Celaka! Celaka!" Dia memekik sesampainya di tengah musala. "Siapa yang bakal mati
lagi?"
Dengan tangan gemetar, Pak Karyo
menambahkan lilitan kain sarungnya di pinggang. Dia menyapu seluruh ruangan di
musala itu dengan matanya, tapi tak kunjung juga dia temukan seseorang yang bisa memberinya jawaban.
Tidak ada, sebelum akhirnya dia dihadapkan
di depan Mbah Taryan dan senampan kembang tujuh rupa.
"Siapa yang akan mati,
Mbah?" Pak Karyo masih berusaha mencari jawaban dengan tergesa-gesa.
"Saya tidak tahu apa-apa,
Pak Kades," Mbah Taryan menjawab lirih, "saya ngga pernah tahu apa
pun soal kematian."
Makin rungsinglah Pak Karyo
ketika mendengar jawabannya. Kini pikirannya yang kopong, yang lebih sering
dipakai untuk memikirkan janda dan gaya anjing, mesti diisi dengan
menebak-nebak siapa yang selanjutnya akan mati tiga hari kemudian sepanjang
malam. Kini dia akan mulai kehilangan rasa
dalam setiap makanan yang dikunyah. Kini dia akan mulai tak bernapsu menatap
istrinya. Kini dia akan mulai tak berselera saat
melihat meja judi. Kini dia tak akan
senang saat menonton vidio porno. Dan dia tak akan
merasakan apa pun lagi sepanjang sebelum tiga hari itu lewat, sibuk mencari satu nama yang akan segera mengisi daftar warga yang meninggal.
Ketakutannya dinilai sangat tak
wajar bagi Mbah Taryan, tetapi sangat masuk akal bila menurut tiga ajudannya.
Mereka semua ikut-ikutan kebingungan dan tentu saja sama-sama kehilangan rasa
dalam setiap hal dalam kehidupan mereka, kecuali mengencingi istri-istri
mereka.
"Kidungmu itu, Mbah,
kidungmu. Kidungmu membawa petaka bagi desa ini!"
Apa yang kades itu sebut sebagai
petaka tak lebih dari sekadar alarm biasa bagi warga desa lain. Hanya kidung
pengantar sore, bagi si pengidung.
Warga lain tentu masih bisa
merasakan banyak hal, tapi di sisi lain mereka juga ikut bertanya-tanya,
"Siapa yang akan mati selanjutnya?"
Ketika kidung itu mulai
mengendap-endap ke rumah-rumah warga, salah satu tokoh penting di kota itu
(desa itu) akan meninggal tiga hari kemudian.
Kidung itu terakhir kali terdengar
satu tahunan yang lalu dan camat meninggal
tiga hari kemudian, diiringi serentetan rumor yang makin menguat setiap kali
selesai dari satu mulut, lalu menguat lagi saat sampai di mulut yang lain,
bagai pelacur pengidap HIV yang dengan senang hati membeberkan lendirnya ke
suami-suami orang.
"Wartos melekat!"
Demikian disebut oleh salah satunya, lalu mulai dilegitimasi oleh penduduk
desa. Bahwasanya, bila kidung itu disenandungkan sehabis Asar, ada seseorang
yang akan direnggut ajalnya tiga hari kemudian.
Kades masih uring-uringan. Dia
tak mau pergi dari musala sebelum mendapat kepastian siapa yang akan meninggal
nanti.
"Biar kau bawa kembang desa
sekali pun untuk membujukku pulang, aku tak akan mau!"
Namun, tetap tak ada yang bisa
memberinya jawaban pasti, selain kemungkinan-kemungkinan yang justru menambah
beban pikiran, alih-alih ketenangan.
"Bagaimana jika saya yang
mati?" Suara Pak Karyo menyentak di hadapan
sekumpulan warga yang saat itu mengerumuni meja karambol. "Saya masih
punya banyak agenda di sini."
Dia lalu berubah pikiran saat perutnya berbunyi minta diisi. Bukan kembang desa yang
membawanya keluar musala, melainkan kembang pepaya, aroma masakan dari warteg
di samping musala, tepatnya.
"Agenda menggoda
janda?" celetuk salah satu pemain karambol
sambil tertawa-tawa, disusul tawa lain yang kian menular, tanpa terkecuali tiga
ajudan kades itu sendiri.
"Beberapa hari lagi waktu
penilaian selesai, ya, Pak Karyo? Udah nemu siapa pemenangnya?" Lelaki
lain, berkumis lebat dan bersarung kotak-kotak, ikut bersuara.
"Itu salah satu agenda
saya." Kades membenarkan kopiahnya, kemudian ikut duduk di sisi pos ronda.
"Saya masih belum membuat pilihan, masih ditimbang-timbang. Pokoknya, ya,
dia yang nanti dapet predikat warga teladan tahun ini bakal dapet satu ekor
sapi!"
Semuanya membelalak. "Sapi?
Bukan kambing?" Pemuda dari arah warung bertanya antusias, meninggalkan
warung dan bayinya begitu saja di atas meja, hingga menggelinding bak ban lepas dari mobilnya, lalu jatuh dan menangis.
"Sapi. Jadi, pasti bakal ga
beres kalo nanti saya mati sekarang."
"Pilih aja saya, Pak, nanti
saya kasih dua juta! Tunai, sekarang! Asal diumumin sekarang."
"Gembel!" Kades
menghajar wajah lelaki berambut cepak itu dengan kopiah. "Saya ini punya
integritas. Integritas saya ga bisa dirobohkan oleh apa pun juga, apalagi pake
duit dua juta."
Orang-orang di sekitarnya
bertepuk tangan bangga. Kades mana lagi yang memiliki budi seperti kades mereka? Dengan gelak yang masih tersisa, lelaki cepak itu menjentikan bidaknya
hingga masuk ke dalam lubang. Dia bersorak,
menepuk-nepuk punggung Pak Karyo yang memilih tidak acuh dan memandang lurus ke sebrang jalan,
ke ujung gang, tempat di mana Mbah Taryan tinggal.
Tepat tiga hari selepas kejadian
itu, benar seperti rumor yang beredar, seseorang meninggal, seorang tokoh desa,
tapi bukan Pak Karyo.
Untung, pikirnya. Istrinya tak
jadi diintai para perjaka.
Dia senang bukan kepalang.
Setelah mendengar kabar kematian itu, dia jadi bertingkah seperti Qais
yang menyairkan Layla, bersenandung sambil menari-nari mengelilingi desa,
takpeduli beberapa warga mencemoohnya karena dianggap tak menaruh simpati,
terkhusus dari keluarga yang tokoh itu tinggalkan.
Di samping keranda tokoh desa
yang meninggal, Pak Karyo menyanyikan lagu gugur bunga, diselingi tawa penuh
bangga.
Makin takjublah para warga
dibuatnya.
Kepala desa tersebut mengumumkan
pemenang warga teladan pada siang harinya. Disaksikan puluhan warga, ratusan
dengan para bocah, dia menyerahkan satu ekor sapi
sebagaimana yang dia janjikan.
Hanya saja, keputusan pemenang
itu sedikit menuai kontra di kalangan masyarakat yang saat itu menghadiri acara
pengumuman. Satu dari banyak yang tidak sepakat
mempertanyakan kenapa Mbah Taryan tak memenangkan acara itu.
Namun, Pak Karyo tak mau
mendengar keluhan apa pun. Keputusannya tetap jatuh dan pemenang telah ditentukan.
Dia mendatangi musala selepas
acara pengumuman selesai. Dia menemui Mbah
Taryan. Ditatapnya lelaki sepuh itu dengan pandangan setengah takzim setengah
lagi meremehkan, lalu dia mulai
mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam," jawab
Mbah Taryan. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Gini, Bah, saya ke sini mau
memberitahukan alasan kenapa Mbah Taryan tak dimenangkan."
Mbah Taryan terkejut. Dia
mengenakan kaca mata bacanya untuk membaca raut kades itu sedetail mungkin.
"Sekali lagi, saya selalu
menjunjung integritas saya di sini, Mbah. Kemarin, sebelum saya mengumumkan
pemenangnya, semua ajudan saya mengatakan bahwa Mbah mendatangi mereka. Itu
jelas udah ngelanggar keintegritasan kami, Mbah. Mbah ga bisa seenaknya kaya
gitu."
"Tapi saya tidak peduli soal
itu, Pak, saya mendatangi semua warga, bukan hanya Bapak atau ajudan Bapak. Itu
kegiatan rutin saya."
"Tetap saja ga bisa, itu
ngga etis namanya, Mbah Taryan. Apa kata para peserta lain? Apa kata para
warga? Mau ditaruh di mana muka saya nanti?"
Mbah Taryan menunduk teramat
dalam sebelum kembali menanggapi, "Ya sudah, Pak. Lagi pula, ini sudah selesai."
"Ya, ya, ya." Kades
beranjak. Dia berdiri di ambang pintu musala.
Saat dia berbalik hendak mengucap salam, dia mendapati Mbah Taryan sudah terkapar di ubin musala. Dari mulutnya
mengalir cairan bening, agak kekuning-kuningan.
"Mbah Taryan! Mbah!"
Kades itu berteriak. Dia tak henti-hentinya mengguncang tubuh Mbah Taryan, tapi
tetap tak ada juga tanggapan.
Pada malam harinya, Mbah Taryan dinyatakan meninggal. Jasadnya dimakamkan keesokan harinya
dengan pemakaman yang sangat sederhana.
Selepas kematian Mbah Taryan,
musala itu makin lama makin ditinggalkan. Tak ada yang merawat, bahkan hanya
sedikit yang menjadikannya tempat salat. Yang sering hanya digunakan WC-nya
saja untuk mencuci cangkul sehabis dari ladang, cuci muka, atau sekadar
menimbun tahi.
Seminggu setelah kematiannya,
musala itu benar-benar tak dipakai lagi. Tak ada yang azan sama sekali.
Namun, sesuatu kemudian terjadi.
Kuburan Mbah Taryan tiba-tiba meledak di hampir tengah hari. Nisannya terlempar
sejauh dua belas meter dan payung di atas kuburannya tak lagi berbentuk sebab
hangus terbakar.
Lalu, Mbah Taryan memanjat
dinding kuburan itu dan keluar setelah mendakinya selama hampir sepuluh menit.
Dia membiarkan kain bagian dada
sampai bawahnya tetap dalam posisi, lalu menyusuri jalan desanya sambil
sesekali menyapa warga yang segera saja lari tunggang-langgang ketika melihat Mbah Taryan.
Dia menuju ke arah musala.
Setelah sampai di sana, dia mandi,
mengambil wudu, dan lekas mengumandangkan azan Zuhur.
Suara azan itu sontak membuat
seluruh warga desa terkaget-kaget. Mereka semua mendadak menghentikan aktivitasnya. Yang tengah mencangkul segera meninggalkan cangkulnya. Yang sedang
berjudi segera meninggalkan uang-uangnya. Dan yang sedang mengadu ayam segera
meninggalkan ayamnya.
Semuanya berlarian ke arah yang
sama, yakni musala sebab suara muazin itu begitu lekat di telinga mereka. Dua
puluh tahun sudah cukup untuk membenamkan apa pun ke dalam pikiran seseorang.
"Mbah Taryan!" Seruan
demi seruan senada itu dihempaskan setiap kali ada yang datang. Dan Mbah Taryan
hanya akan menjawab dengan singkat, "Ambil wudhu, lalu salat."
Sebagian dari orang-orang itu
ketakutan sementara sebagiannya lagi dikerubungi kerinduan. Mereka segera
mengambil wudu dan menunaikan salat berjamaah.
Sambil salat, mereka sambil
memperhatikan punggung Mbah Taryan, takut bolong.
Dia bukan hanya kemit masjid
biasa. Kearifannya tak dapat diduakan oleh nabi sekali pun.
"Tak ada nabi di kampung
kita, makanya Allah menurunkan Mbah Taryan." Seorang pemuda bicara selepas
salat. "Memangnya siapa lagi orang yang mau mengelilingi seisi desa hanya
untuk mencari mereka yang belum makan sementara dirinya sendiri kekurangan makanan, kecuali Mbah Taryan?”
Orang-orang di sekitarnya
mengangguk-angguk setuju.
Mereka menggelar pertemuan kecil
pada sore harinya, lebih tepat disebut perayaan, merayakan kebangkitan Mbah
Taryan.
Saat Pak Karyo masuk ke dalam
lingkaran, Mbah Taryan tiba-tiba membalikkan badan. Keadaan mendadak hening, lalu sayup-sayup mereka mendengar,
mendengar Mbah Taryan mengidung.[]