Cinta (Belum) Mati - Lala Bianglala
Cinta (Belum) MatiLala Bianglala
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu,
padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia
amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahuinya."
(QS. Al Baqarah ayat 216)
Latar malam terkembang
menampilkan perempuan bersayap patah
yang duduk di atas pusara dengan senandung menyayat
melagukan cinta yang telah mati
tentang rindu yang bersimbah darah
lirihnya remuk seribu basa
seperti gumaman ranting yang kehilangan daunnya
***
Senja semakin
jingga. Aku bergegas mempercepat langkah, takut keburu azan Magrib lebih dulu
datang bertandang sebelum aku tiba di rumah dan bersuci. Sayangnya langkah tak
berarah itu justru membuat pandanganku tidak fokus pada sekitar.
Bruk!
Keranjang itu terlepas dari tanganku. Seluruh isi di dalamnya juga ikut
terlempar berhamburan seperti kelopak bunga yang tertiup angin. Aku berdiri
termangu beberapa saat, hingga ucapan istighfar dari sang penabrak
menyadarkanku.
Dia bersimpuh memunguti buah dan sayur yang berserakan sembari
berkali-kali meminta maaf tanpa memandangi wajahku. Aku hanya membalas
ucapannya dalam aksara bisu. Bagaimana bisa aku bicara dalam keterkejutan yang
terlalu tiba-tiba begini? Bukan takjub pada kejadian tabrak menabrak barusan,
tetapi lebih kepada sosoknya yang mendadak muncul tanpa asap dan api.
Skenario Allah memang luar biasa. Sebuah kejutan yang berhasil membuatku
membatu. Terlebih lagi setelah sosok itu bangkit menenteng keranjang beserta
isi yang sudah dia pungut, wajahnya semakin mencekik jantungku. Untunglah saat
tatapan kami bertemu, kejutan ini tidak kunikmati sendirian.
Lembayung sore membekukan atmosfer di sekeliling kami. Waktu berhenti
melangkah dan mengembalikan kenangan yang sudah susah payah kujadikan
kunang-kunang.
Ah, kami bertemu lagi.
***
"Jadi, kamu sudah yakin buat ikut Paman Salim ke kota?"
Maret di pertengahan bulan, musim hujan masih leluasa mengguyur bumi.
Tanah persawahan yang basah mengotori tapak kakiku dan dia sore itu. Sesekali
masih terasa rintik kecil mengiringi perjalanan kami. Hawa dinginnya terasa
sangat jelas seolah melatar belakangi perasaanku yang tidak menentu sembari
menunggu jawaban darinya.
Aku menoleh sekilas dan berharap menemukan gelengan kepala. Namun, yang
terjadi malah sebaliknya.
"Mau bagaimana lagi. Aku sudah tidak punya siapa-siapa selain Paman
Salim. Beliau satu-satunya keluarga almarhum Abi yang masih tersisa. Mungkin
dengan aku ikut bersamanya, kehidupan bisa jauh lebih baik …. Insha
Allah."
Dia benar. Sepeninggalan ayahnya, lelaki tersebut hanya membalut luka
sendirian. Bahkan, aku pun bukan obat mujarab untuk menyembuhkan kesedihan itu.
Selain itu, aku juga bukan siapa-siapa untuk mencegahnya pergi, kecuali hanya
seorang teman satu kampung dan satu madrasah. Kedekatan tanpa ikatan membuatku
hanya berani mencintainya dalam diam.
"Jatuh cinta yang benar seorang perempuan sholehah kepada lawan
jenisnya adalah dengan menjadikan cinta itu sebagai ibadah. Dia tidak
mengedepankan perasaan duniawi, melainkan dengan cara mencintai secara beradab,
yaitu menundukkan pandangan ketika berada di hadapan orang yang dicintai,
lantas secara diam-diam mendoakannya di sepertiga malam," pesan Ummi acap
kali aku bicara tentang cinta.
Sejujurnya aku tidak pernah benar-benar paham tentang cinta, kecuali
merasa nyaman ketika lelaki itu berada di dekatku dan merasakan rindu yang luar
biasa saat mengingatnya di malam hari. Sesederhana perasaan yang masih mentah,
tetapi begitu dalam ketika ikrar perpisahan itu sudah berada di ujung lidahnya.
Aku menunduk tanpa berani memperlihatkan binar yang meredup karena
menahan isak. Bahkan dalam keadaan sesak seperti ini pun, aku tetap berusaha
untuk tersenyum pada keputusannya.
"Nanti kalau sudah di kota, aku pasti sering berkirim kabar. Kamu
juga jangan lupa untuk membalas surat-suratku. Semoga silahturahmi kita tetap
terjaga meski berjauhan."
Dia mengulurkan tangan untuk menyalamiku. Terpaksa aku mengiakan salam
perpisahan itu walau dengan degup yang remuk dan nyaris menghancurkan
pertahanan air mataku. Lantas, aku berlari sebelum punggungnya lebih dulu
menghilang.
***
"Semoga dalam diamku, dalam doaku, dalam pintaku kepada Allah, Dia
memberimu perasaan yang sama seperti kerinduanku selama ini, wahai sang pemilik
nama yang namanya telah tercatat di Lauhul Mahfudz. Semoga Allah juga mencatat
takdirku untuk menjadi mahram-mu yang shalehah, yang mana sebelum mencintaimu,
aku tetap mendahulukan cinta kepada sang pemilik cinta itu sendiri, yaitu
Allah."
"Habibah, ini ada surat untukmu!"
Aku bergegas melepas mukena seusai Dhuha. Janji untuk bertukar sapa
dengannya sudah terlaksana lebih dari tiga tahun. Dalam suratnya, dia hanya
bercerita tentang pendidikan yang dilanjutkan di kota. Ternyata jalannya untuk
menjadi seorang pengajar madrasah semakin terbuka lebar. Dia juga mengambil
kerja sampingan dengan membantu paman di toko.
Aku bahagia pada setiap kisah yang dia bagi. Namun, tidak menampik diri
jika masih ada kesedihan yang tersirat acap kali aku membalas surat-suratnya.
Dalam rindu yang membuncah, tak satu pun kalimat darinya yang menyatakan
perasaan yang sama denganku.
Dan aku tidak menyerah untuk terus berdoa. Jika dia memang ditakdirkan
untukku, sekalipun jarak terbentang seperti Allah memisahkan Nabi Adam dan Siti
Hawa, waktu akan kembali mempertemukan dengan cerita berakhir bahagia.
Hingga pada surat terakhir darinya, aku mendapatkan sebuah bingkisan
dengan selembar kartu ucapan terselip di dalamnya. Aku semringah saat membuka
bingkisan tersebut. Sebuah kerudung berkain satin dipenuhi sulaman bunga
berwarna ungu kesukaanku. Namun, saat membaca barisan kalimat pada kartu
tersebut, barulah aku tersadar, sekaligus terguncang.
***
"Astaghfirullah, istighfar, Habibah!"
Ummi berteriak di bawahku. Padahal aku baru saja berayun setelah kursi
itu terlempar. Tubuhku kemudian didekap dengan paksa hingga satu tamparan keras
dari air matanya membuyarkan kesadaranku.
"Istighfar, Habibah. Jangan mendahului kehendak takdir. Ikhlaskan,
Nak. Ikhlaskan ...."
"Ummi, Khalid menikah."
Di dalam tubuh yang lemah dan dengan hati yang lebam, terungkap
kenyataan pahit tentang kerundung ungu yang lelaki itu kirimkan. Rupanya dia
ingin aku menghadiri pernikahannya di kota. Sementara aku, jangankan
menginjakkan kaki ke sana, untuk melihatnya saja rasanya taksanggup.
"Memangnya kenapa kalau dia menikah? Apa dengan dia menikah lantas
hidupmu berakhir? Apa kamu pikir, dengan kamu melakukan kebodohan ini, Khalid
akan membatalkan pernikahannya dan kembali padamu?"
Aku tergugu.
Khalid memang benar-benar buta pada perasaan yang telah membutakanku
itu. Tidak secuil pun tergerak hatinya untuk menyelami hatiku, kecuali mengira
kedekatan kami selama ini hanyalah penyambung silaturahmi.
Ini menjadi patah hati terdalam setelah kepergian Abi. Mencintai dalam
diam dan tertolak diam-diam ternyata perihnya sesakit ini.
***
Suara berisik yang
saling bertukar debat memekakkan telingaku. Ini adalah lamaran yang kesekian
kalinya aku tolak.
Kenapa?
Karena aku telah mati. Rasaku telah mati untuk membuka lembaran baru
bersama lelaki lain, terkecuali dia adalah Khalid.
Gunjingan tentang perawan tua yang congkak tidak aku pedulikan. Istilah
pamali karena menolak lamaran berkali-kali pun kerap meniup kebungkamanku. Ummi
hanya bisa pasrah menyandang malu di pundaknya. Namun, lagi-lagi aku tidak
perduli.
"Kenapa kamu jadi begini, Habibah?" lirih Ummi berair mata.
"Karena Allah tidak menjawab doa-doaku. Padahal segala nasehat Ummi
sudah kupatuhi untuk menjaga fitrahku sebagai muslimah. Memangnya aku salah
apa, Ummi? Aku hanya jatuh cinta dan kurasa itu bukan kesalahan," tegasku.
"Nak, ketahuilah fungsi doa itu untuk meminta, bukan memaksa.
Sedang kamu berharap lebih, makanya kamu jatuh cinta sehebat itu tapi melupakan
kiblatmu tentang bahwasanya mencintai sesama makhluk hendaknya tidak berlebihan
agar ketika kamu tumbang, kamu masih kuat untuk bangkit dan
mengikhlaskan."
Aku terdiam.
"Hanya Allah yang dapat menyembuhkan apa yang sudah dipatahkan oleh
dunia. Ketika kamu ikhlas menerima semua kekecewaan hidup. Insha Allah, Allah
akan membayar semua kekecewaan itu dengan beribu-ribu kebaikan. Insha Allah,
Habibah ...."
***
Apakah hanya dengan
berprasangka baik pada Tuhan, lantas cinta yang sudah dikebumikan menjadi
serpihan debu itu bisa dibangkitkan lagi?
Ternyata tidak semudah itu.
Lima tahun jatuh cinta berdarah-darah hanya untuk menyaksikannya
bersanding dengan wanita lain. Ternyata sebercanda itu takdirku selama ini. Dan
bodohnya lagi, kami bertemu kembali hari ini. Sementara hatiku masih dalam
debaran yang sama.
"Assalammualaikum, Habibah."
"Wa-waalaikum salam, Khalid," balasku lirih.
Kami saling membeku beberapa saat. Lelaki itu memandangiku dalam diam,
sedangkan aku menunduk menahan genderang rindu yang takut terlihat olehnya.
"Apa kabarmu, Habibah? Rasanya baru kemarin aku meninggalkan tempat
ini, sebab kamu masih terlihat sama seperti dulu."
Memang tidak ada yang berubah. Hanya saja, saat ini aku seperti mayat
yang dihidupkan kembali oleh senyumannya. Bunga-bunga bermekaran di kepalaku
karena tetesan hujan dalam matanya. Kisah pelik yang kualami selama lima tahun
ini berubah menjadi drama kebangkitan cinta lama yang bersemi kembali.
Akan tetapi, tiba-tiba saja langit mengempas tubuhku kembali ke bumi
saat sepintas pertanyaan muncul menggelitik benakku.
"Istrimu tidak ikut?"
Anehnya Khalid malah tersenyum.
"Nanti kujawab di rumahmu."[]