Tamboh Hidup Lagi - Whed
Tamboh Hidup LagiWhed
Orang-orang memanggilnya
Tamboh. Tidak banyak orang yang tahu nama aslinya. Hanya Tamboh, lelaki ceking
yang saat berjalan selalu membawa tongkat kayu. Beberapa orang menganggapnya
sinting.
Sebelum ibunya meninggal, Tamboh tinggal berdua di sebuah rumah reyot
berdinding bambu. Rumah yang menyatu dengan kandang kambing itu terletak di
antara kebun singkong, jauh dari rumah tetangga.
Kini, dia tinggal bersama keluarga yang katanya masih ada ikatan saudara
dengannya. Namun, Tamboh tetap dibuatkan ruangan yang terletak paling belakang
dengan pintu khusus untuknya. Orang-orang itu tidak ingin tertular penyakit
kulit yang diderita Tamboh.
Perlahan Tamboh sadar, dia sebatang kara. Tidak ada satu orang pun yang
tulus berbicara atau sekadar berbasa-basi dengannya. Sampai suatu ketika,
setelah tujuh hari kematian ibunya, dia pernah mencoba melilitkan dadung ke
lehernya. Namun, rencana itu gagal karena salah satu warga memergoki.
Siang itu Tamboh duduk termenung di poskamling yang berada di ujung
kampung. Lelaki berpakaian kumal itu menatap jalan beton di depannya. Dua anak
kecil melewati jalan itu ketika pulang sekolah. Tamboh pura-pura tidak melihat
mereka, pura-pura tidur sebab khawatir ditegur.
“Hei, lihat! Ada orang tidur di situ.” Anak berbadan tambun menunjuk ke
arah laki-laki dengan pakaian compang-camping yang sedang berbaring di lincak
poskamling.
“Kata ibuku, dia gila. Matanya buta gara-gara suka makan makanan haram,”
sahut si anak bertubuh kurus. Nadanya sok tahu. Tentu saja ibunya yang
mengatakan itu padanya.
“Kasihan sekali.”
“Lebih kasihan monyet yang pernah dimakan orang itu.”
Obrolan mereka masih samar didengar Tamboh.
Lelaki berambut keriting itu masih ingat betul saat dia membongkar tanah di
belakang rumah tetangganya, lalu mengambil mayat monyet di sana. Karena tidak
berpenghasilan, Tamboh bahkan pernah memasak anak kambing tetangganya yang
telah mati, seperti hatinya: sekarat.
Sejak hidupnya terkucilkan, Tamboh memilih menjalani hidup menurut
kepercayaannya sendiri. Dia tidak punya agama. Maka, dia merasa bebas melakukan
apa saja. Meskipun begitu, setiap menjelang Lebaran, orang-orang kampung itu
tetap memberinya uang dan makanan.
Suatu ketika, Pak RT pernah memergoki Tamboh membongkar tanah yang baru
saja digunakan untuk mengubur kucing. Dengan tegas, Pak RT pun memberi
peringatan kepada lelaki itu. Tamboh menurut, tetapi setelahnya dia menggerutu
di sepanjang jalan. Lalu, saat tetangganya bertanya ada apa gerangan, lelaki
itu tidak menyahut. Dia terus menggerutu sampai orang-orang menyimpulkan
sendiri: Tamboh gila.
Sejak Tamboh dicap gila, dia semakin menjauhkan diri dari orang-orang. Dia
juga tidak pernah menghadiri undangan berbentuk apa pun, termasuk bersih desa
setiap hari Minggu.
***
Siang semakin terik. Tamboh
masih betah duduk di poskamling, di bawah pohon waru. Dia akan duduk di sana
hingga sore, dan akan pulang saat merasa lapar. Dia tidak pernah melakukan apa
pun selain makan, tidur, dan buang air. Dia juga tidak mencuci baju dan mandi
pun hanya kalau dia mau.
Terkadang, Tamboh memilih tidak makan sama sekali. Lalu, malamnya dia akan
menangis, merintih karena perutnya perih dan tidak ada yang memedulikannya.
Pernah, pemilik rumah memberinya minyak angin saat mendengar rintihan
Tamboh. Namun, lelaki yang sudah dianggap mati oleh beberapa orang itu malah
melemparnya tanpa berkata apa pun. Padahal, pemilik rumah hanya ingin mencoba
membantu. Takut, kalau-kalau Tamboh mati betulan, mereka yang akan disalahkan.
Tamboh masih menatap beton putih yang memantulkan cahaya matahari, membuat
lelaki itu memilih meringkuk di lincak, memunggungi jalanan. Sesekali, dia
mendengar tawa orang yang saat itu sedang lewat. Terkadang, dia juga mendengar
suara kendaraan.
Tamboh berpikir, orang-orang sudah menganggapnya buta. Orang-orang sudah
menganggapnya bisu. Orang-orang menganggapnya tidak ada. Ya, baginya, dia
sendiri sudah mati. Sebab, hidup dan mati tidak ada bedanya. Dia telah
kehilangan semuanya.
Lelaki itu membayangkan mungkin orang-orang itu tidak akan tahu apabila dia
mencuri atau bahkan membunuh. Ah, bukannya sisa hidup hanya menunggu mati, lalu
menjadi bangkai, pikirnya. Untuk apa dia mencuri? Perlahan, dia tertidur.
***
Tamboh terbangun saat
mendengar kegaduhan yang berasal dari rumah dekat poskamling itu. Dia mendengar
suara wanita yang sangat asing, yang belum pernah didengarnya. Suara itu
lembut, tetapi nadanya terdengar tegas. Karena penasaran, Tamboh beranjak, menghampiri
rumah paling pinggir itu.
“Apa, Mboh?” tanya Sastro, si
pemilik rumah. Di belakang Sastro, wanita berkulit putih mengikutinya. Rambut
hitamnya digelung rapi.
Sastro berpamitan kepada wanita itu. Katanya, dia mau pergi ke rumah Pak RT
sebentar. Lelaki itu melenggang, tanpa memedulikan kehadiran Tamboh.
Wanita itu kemudian menyadari ada orang berdiri mengamatinya. “Ada yang
bisa saya bantu, Mas?” tanyanya ramah.
Untuk pertama kali, setelah sekian lama, Tamboh merasa ada yang
menganggapnya masih hidup. Lelaki 55 tahun itu tidak menjawab. Dia terus
berdiri dengan posisi sedikit condong dan bertumpu pada tongkat di tangan
kanannya, memandangi wanita berbibir tipis itu.
Tamboh berpikir, apakah dia malaikat? Kalau wanita itu malaikat yang
ditugaskan untuk mencabut nyawanya, dia sudah siap. Sudah cukup lama, lelaki
itu memang menunggu si penjemput. “Cabut sekarang aja.” Tamboh berucap datar.
Dia lalu menarik bibir ke sudut kanan, menimbulkan bunyi mendesis seperti gigi
belakangnya terselip daging.
Wanita berdaster batik berwarna ungu itu bingung. Dia sedikit takut melihat
gelagat Tamboh. “Gimana, Mas?” tanyanya lagi, sambil mengipaskan tangan di
depan hidung, mengusir bau menyengat yang berasal dari tubuh Tamboh.
Karena lelaki di hadapannya tidak menyahut, wanita itu masuk dan menutup
pintu. Dia membiarkan lelaki yang baru ditemunya itu bergeming di sana. Namun,
dia masih mengintip.
Sementara itu, Tamboh masih saja mengamati pintu rumah Sastro. “Aku kira
malaikat,” ucapnya pelan, lalu mendesis.
Tak lama kemduian, dia pulang, menyusuri jalan setapak menuju rumah sebuah
keluarga yang katanya masih ada ikatan saudara dengannya. Di bawah sinar bulan,
dia berjalan sembari memegangi perutnya.
***
Keesokan paginya, Tamboh
kembali ke rumah Sastro. Dia duduk di bangku kayu memanjang dengan tahi ayam
menempel di beberapa bagian. Tak lama kemudian, Sastro keluar, memanggul
cangkul di bahunya.
“Apa kamu, Mboh? Sana, lho, pergi!” Sastro lalu melenggang.
Akan tetapi, Tamboh tidak juga pergi. Dia duduk saja di tempat semula, lalu
melepas topi kumalnya. Hingga seorang wanita membuka pintu, Tamboh masih di
posisi semula. Mendesis.
Wanita itu tahu bahwa Tamboh gila. Dia mendengar kabar itu dari Sastro.
Karena iba, dia memberi segelas teh hangat. Tamboh sempat kaget. Dia diam saja
saat wanita itu meletakkan segelas teh di bangku kayu. Namun, perlahan Tamboh
menyesap teh itu sedikit demi sedikit.
Sesekali, lelaki kurus dan kumal itu menggaruk tubuhnya. Selama ini, dia
hanya bisa merasakan sakit pada perut dan gigi dan juga gatal di tubuhnya.
Namun, kali ini dia merasakan sesuatu yang membuatnya sedikit … sejuk.
“Kukira kau itu malaikat.” Tamboh berusaha tertawa, tetapi kaku. Dia malah
mendesis agak lama. Sepertinya, giginya yang berlubang itu tersumpal makanan,
menumpuk di sana.
Si wanita, yang merupakan istri siri Sastro itu juga memberinya ubi rebus.
Kemudian saat Sastro pulang, lelaki itu marah melihat tingkah istrinya yang
baru pertama kali diajak ke rumahnya itu.
“Enggak apa. Bagi-bagi rezeki, Pah. Dia, bukannya yang kemarin tidur di
poskamling itu, ya?”
“Iya, tapi dia itu tidak waras. Jangan sering-sering dikasih, nanti tuman!”
Sastro berkata ketus sambil melirik Tamboh—yang pura-pura tidak mendengar
pertengkaran kecil itu.
Hari berikutnya, Tamboh datang lagi. Sampai beberapa kemudian, dia selalu
datang. Lelaki itu kini memiliki rutinitas baru. Bahkan, dia mulai mencuci
bajunya di kamar mandi Sastro yang terletak di samping rumah tetangganya itu.
Dia juga mandi di sana, tanpa sabun tentu saja.
Tamboh bahkan menjemur bajunya di jemuran milik Sastro. Lelaki itu tidak
memakai kaus karena kausnya dicuci, tentu saja hanya dibasahi, tanpa dikucek,
apalagi diberi sabun.
Istri Sastro terkejut mendapati Tamboh yang sedang menjemur baju-bajunya
sambil bertelanjang dada. Wanita 40 tahun itu meringis, ngeri, melihat kulit
Tamboh yang mengelupas dan berwarna kemerahan karena gatal. Seperti penyakit
kadas dan menjalar sampai di bawah ketiaknya.
“Perutmu itu enggak diobati to?”
Tamboh menghentikan aktivitasnya. Dia menoleh. Wanita berwajah sendu
berdiri beberapa meter darinya. Wanita itu, wanita yang membuat Tamboh merasa dianggap
manusia. Benarkah dia masih manusia? Hidup? Dia berjalan, bernapas, bahkan
masih bisa merasakan lapar. Tapi, ke mana saja dia selama ini. Jiwanya sekarat.
“Anu, ini bukan apa-apa,” jawab Tamboh canggung, sambil menggaruk perutnya,
lalu punggungnya. Kemudian dia mendesis.
Bagaimana tidak canggung, selama ini tidak ada yang bertanya padanya dengan
nada baik-baik. Pemilik rumah yang ditinggalinya selalu berbicara dengan nada
tinggi, seolah-olah terpaksa. Atau hanya merasa tidak enak karena katanya
mereka masih ada ikatan saudara.
“Itu kalau enggak diobati bisa makin nyebar, lhoh.”
Tamboh menggenggam baju basahnya kuat-kuat. Lagi-lagi, dia merasakan adanya
dorongan untuk menjalani sisa hidup. Dia ingin memulai menunjukkan diri bahwa
dia masih ada di sekitar mereka.
***
Suatu malam, di saat
orang-orang berkumpul di rumah Pak RT di acara syukuran, Tamboh datang lagi ke
poskamling. Suasana sunyi. Hanya ada suara jangkrik bersahutan dan suara burung
hantu di kejauhan. Di bawah lampu bohlam berwana kuning, Tamboh duduk menghadap
jalan beton di depannya. Tongkatnya diletakkan di sebelahnya.
“Ah, dingin betul.” Dia turun dari lincak, lalu pergi. Berkali-kali dia
mendesis, seolah-olah semua jenis daging menyelip di giginya yang bolong itu.
Tamboh, dengan sedikit membungkuk, melewati rumah Sastro, kemudian berhenti
di depannya. Lama, dia memandangi pintu yang tertutup rapat itu.
“Woei! Maling!”
Tamboh kaget. Dia melihat ke arah Sastro yang datang sambil menenteng
berkat.
Lelaki berbadan tinggi tegap, dengan perut buncit itu berjalan menghampiri
Tamboh. “Mau apa?”
Tamboh memilih diam, pura-pura tidak melihat seperti biasanya, pura-pura
bisu seperti biasanya.
“Tak usah pura-pura! Mau ini?” Sastro mengacungkan kepalan tangan. “Mau?”
tantangnya geram.
Istri Sastro keluar, menatap Sastro dan Tamboh bergantian. “Walah, ada apa
ini?”
“Orang sinting ini mau maling!”
“Anu, Bu. Lewat aja ini.” Tamboh mendesis, kemudian menggaruk ketiaknya.
“Halah, sinting aja banyak alasan!” Sastro melenggang ke rumah. Bahunya
diusap sang istri yang mencoba menenangkan.
Malam itu cukup dingin. Tamboh yang tidak pernah merasakan apa pun selain
gatal dan sakit perut saja bisa merasakan angin menusuk pori-pori kulitnya.
Lalu, di dadanya tiba-tiba ada sesuatu yang mengganjal, seperti batu, tetapi
entah apa, Tamboh tidak tahu.
Tamboh pergi, berjalan amat pelan seperti siput. Malam ini dia belajar
sesuatu, kembali mengenal perasaan. Dia tidak tahu pasti, tetapi lelaki ceking
itu punya hasrat membacok Sastro. Sangat ingin.
Sementara di rumah Sastro, istri siri Sastro menasihati suaminya, “Dia itu
juga manusia, lho, Pah. Mbok, ya, jangan begitu!”
“Mana ada manusia modelan Tamboh. Dari dulu, dia udah dianggap gila sama
orang-orang sini.”
“Lha, memangnya kenapa, to, Pah? Kalau diajak ngobrol juga nyambung, kok.”
“Tingkahnya seperti sudah tak mau kenal orang. Pas masih muda suka makan
kambing mati, ayam mati.”
“Kok, ngenes gitu, ya, Pah?”
“Itu salah dia sendiri karena miskin, tapi tak mau kerja. Maunya minta.
Besok-besok tak usah ladeni orang itu lagi.”
Malam itu, obrolan tentang keburukan Tamboh terus berlanjut. Tidak jarang,
Sastro sangat bersemangat mencemooh. Dia juga berkali-kali mengingatkan
istrinya untuk tidak memberinya makan.
“Biar aja dia kelaparan. Hidup juga buat apa.”
Tidak ada yang tahu. Di luar rumah berdinding batako setinggi setengah
meter yang disambung papan itu berdiri lelaki ceking yang sedang membawa
tongkat.
Tamboh. Lelaki itu ingat, bagaimana rasanya saat dulu mendengar orang-orang
mengoloknya. Kemudian dia menyadari bahwa dia memang gila. Dia tidak menikah.
Dia miskin. Dia tidak beragama. Dan cacian-cacian itu perlahan menjadi sesuatu
yang biasa. Maka, saat orang-orang masih mengatainya gila atau sinting, dia
tidak merasa tersinggung atau marah.
Ya, dia mati rasa. Jiwa Tamboh telah mati. Hanya raganya yang tersisa,
masih bernyawa, tetapi tidak dianggap.
Akan tetapi, malam ini dia merasakan darahnya seperti mendidih ketika
mendengar perkataan Sastro. Tamboh menjelma seperti anak kecil yang kehilangan
ibunya. Dia menangis di dekat tumpukan kayu yang berada di samping rumah
Sastro.
Masih segar di ingatannya, betapa dahulu dia disayang ibunya. Ibunya selalu
meminta maaf setiap hari untuk segala yang diberikan pada anaknya.
“Kau lapar, Le?” tanya ibunya suatu ketika.
“Ya, lapar, Mak.”
“Pengen daging?”
“Ada, Mak?”
“Itu, monyet Pak Topo baru saja mati. Dikubur di kebun belakang rumahya.”
“Wah, nanti Pak Topo marah, lah, Mak.”
“Kan, monyet itu sudah mati. Sudah bukan miliknya. Kita tidak maling, kok.”
Perbincangan malam itu akhirnya membuat Tamboh berakhir di kebun
tetangganya. Hingga Tamboh dibenci banyak orang, lalu dicaci.
Langit malam ini begitu muram. Angin mendorong rambut Tamboh yang tipis dan
keriting itu. Perutnya mulai melilit. Tubuhnya menggigil, tetapi dadanya panas.
Telapak tangannya mengepal. Dia lalu berjalan memutar, ke depan, dan memukul
jendela kaca rumah Sastro.
“Jancok!” Tamboh tidak kuat lagi. Dia
masih ingat bagaimana caranya menyembelih anak kambing, lalu
memotong-motongnya.
Sastro yang mendengar umpatan dari luar pun hendak bangkit keluar untuk
menghampiri Tamboh. Namun, istrinya melarang. Lelaki itu menurut meskipun
dadanya masih naik turun.
Hening.
Lalu, Tamboh kembali terisak. Namun, tujuh detik kemudian dia melempari
kayu-kayu milik Sastro. Dia juga membanting bangku yang berada di teras
tetangganya itu sampai ayam-ayam berlarian.
Sastro tidak bisa diam saja. Lelaki berambut cepak itu keluar, lalu memaki
Tamboh sepuasnya. Didorongnya tubuh Tamboh sampai terjerambap ke halaman.
Tamboh meringkuk sambil menangis, memanggil-manggil ibunya. Akhirnya
kesedihan itu diluapkannya malam itu. Ingin dia luapkan pada orang-orang yang
mulai berdatangan saat mendengar keributan itu.
“Aku tidak gila!” Diteriakkannya kalimat itu sampai dia lemas.
Orang-orang itu melongo. Tidak ada yang mendekatinya. Tidak ada yang
menanyainya. Tidak ada yang menenangkannya. Mereka masa bodoh. Toh, mungkin
lelaki itu hanya bisa mengamuk malam ini. Besok-besoknya dia pasti kumat lagi,
seperti mayat, tapi bisa berjalan.
Sebagian dari mereka pergi. Ada yang menguap karena bosan melihat Tamboh
menangis.
“Biarin di sini, nanti juga pergi. Orang gila, kan, bebas.”
Kepala Tamboh panas. Ucapan itu seperti membakarnya hingga seluruh tubuhnya
melepuh. Dia tidak terima, tapi dia bisa apa? Lelaki itu bisa saja mengabaikan
ucapan mereka, seperti biasanya, lalu pura-pura tidak mendengar dan seolah-olah
tidak ada yang terjadi. Namun, lelaki itu juga bisa menghantam orang-orang itu
dengan kayu bakar milik Sastro yang tadi diobrak-abriknya.
Atau, lelaki itu bisa saja membunuh mereka suatu hari nanti atau mencuri
harta mereka. Besok atau lusa atau seminggu lagi, selama dia masih … hidup.
Tamboh lalu bangkit. Dia berdiri dengan posisi sedikit condong, memandangi
beberapa orang yang masih di sana. Saat itu dia hanya ingin mengeluarkan batu
di dadanya. Sangat ingin.[]
Sltg, 10 September 2022