Matahari yang Melipat Diri - Erlyna
Matahari yang Melipat DiriErlyna
“Apa permohonanmu?”
“Aku ingin hidup.”
Sore itu angin Kota Vuezt
berembus tenang. Pohon-pohon yang menjulang di sepanjang jalan bergoyang
landai, seakan-akan tengah bermalas-malasan di ujung musim kemarau yang terasa
dingin alih-alih panas.
Roa memutar-mutar tali yang
menjuntai di ujung jaketnya, masih menatap Lan yang duduk di sampingnya sambil
menunduk. Bocah dua belas tahun itu terdiam, menunggu satu-satunya sahabat
sekaligus saudara yang ia punya, memberinya
penjelasan lebih rinci tentang alasan mengapa permohonannya terdengar sedikit
aneh.
Akan tetapi, Lan tetap diam. Ia
tidak berminat untuk menjelaskan lebih detail tentang apa yang baru saja
diucapkannya. Sebagai gantinya, anak laki-laki yatim piatu yang tinggal di
rumah keluarga Roa itu menatap biji kenari yang baru saja berhasil dipecahkannya.
Ia tidak begitu percaya tentang mitos permohonan yang akan terkabul jika
berhasil memecahkan biji kenari dalam sekali tekan, tetapi entah kenapa saat
itu ia ingin sekali membuatnya.
Roa tersenyum. Ia lalu bangkit
dan mengajak Lan untuk pulang. Sepanjang perjalanan, hening memilih untuk
mengambil alih pembicaraan, membuat ikatan persahabatan yang sudah terjalin
hampir lima tahun itu terasa canggung. Roa berjalan di depan sambil menatap
senja yang bergoyang-goyang mengikuti gerakan angin, sementara itu Lan berjalan
di belakang sambil menunduk. Sepertinya ia benar-benar sedang memikirkan
sesuatu.
Malamnya, Lan yang tidak bisa
tidur melangkah ke luar rumah, duduk sendirian di
halaman sambil menatap langit. Meski lama bersahabat, rupanya Lan dan Roa
memiliki selera yang sangat berbeda. Lan sangat menyukai malam dan membenci
siang, sedangkan Roa sangat suka dengan matahari dan paling benci dengan kegelapan.
Jika diibaratkan, Lan dan Roa adalah dua kutub yang berbeda. Namun, pertemanan
mereka justru menghasilkan aura yang saling melengkapi. Salah satu hal positif
yang mereka lakukan adalah rutin mengunjungi perkampungan tertinggal dan
memberikan bantuan apa saja yang mereka bisa. Ya, pertemanan Lan dan Rua adalah
semesta yang sempurna.
Di mata Lan, Roa adalah matahari
yang bersinar sangat terang di kehidupannya yang suram. Matahari yang
mengenalkan Lan bahwa di dunia ini ada yang namanya cahaya. Lan yang awalnya
tidak acuh, perlahan mulai berdamai dengan takdir yang diciptakan untuknya. Lan
tidak lagi memberontak seperti awal-awal ia dibawa masuk ke keluarga Lawcen
yang berprofesi sebagai pengusaha itu. Lan belajar memahami matahari, memahami
bahwa ada orang yang mau menerimanya.
“Sedang apa di sini?” tanya Roa
yang datang sambil membawa lampu darurat padahal suasana halaman depan tidak
begitu gelap.
“Hei, bisa matikan lampunya?
Matamu akan sakit jika menggunakan lampu terang sedekat itu.”
“Tidak apa-apa, mataku memang
bermasalah. Aku tidak bisa melihat dalam gelap.”
“Tapi ….“
“Sudahlah. Aku datang bukan untuk
berdebat. Aku hanya ingin menemanimu.”
Lan akhirnya diam dan membiarkan
Roa duduk di sampingnya.
“Mengapa kamu suka sekali
menyendiri?” tanya Roa saat dilihatnya Lan kembali termenung sambil menatap ke
angkasa. Ia tidak mengerti apa bagusnya langit gelap yang penuh dengan
bintik-bintik mirip ketombe itu. Bagi Roa, tidak ada yang istimewa dengan
langit malam. Aura kegelapan yang terpancar justru membuat perasaan jadi suram.
“Aku berdoa.”
“Berdoa? Kepada siapa?”
“Langit. Aku ingin langit
memberiku kesempatan untuk bertemu dengan orang tuaku.”
“Hei, orang tuamu ada di sini.”
“Itu orang tuamu. Aku di sini
hanya menumpang. Aku tahu Tuan dan Nyonya Lawcen memperlakukanku dengan baik,
tetapi aku juga penasaran mengapa orang tuaku tidak memperlakukanku sebaik
mereka. Aku ingin tahu alasan mereka
meninggalkanku sendirian di depan rumahmu. Aku ingin tahu alasan mereka
membuangku. Aku ingin mendengar secara langsung apa kekuranganku hingga layak
dilupakan. Aku ....”
Lan menunduk. Suaranya hilang
ditelan isak tangis yang tidak bisa lagi ia tahan. Roa hanya diam mendengarkan.
Lan jarang banyak bicara. Jika ia tiba-tiba bicara banyak, berarti memang
sedang tidak baik-baik saja.
“Mereka tidak akan datang meski
kamu berdoa setiap malam. Mereka sudah pulang ke langit.”
Roa menepuk-nepuk punggung Lan
yang kurus.
“Apakah tidak ada cara yang bisa
kulakukan supaya penghuni langit datang kemari?”
Roa mengedikkan bahu, lalu ikut
menengadah menatap langit. “Entahlah. Aku bahkan tidak pernah berdoa. Aku tidak
tahu tentang hal-hal semacam itu.”
Sepasang mata Roa yang semula
terlihat sayu dan lelah, tiba-tiba terbelalak. Ia tidak berkedip selama
beberapa detik, seolah-olah sedang memastikan sesuatu yang baru saja
dilihatnya.
Tiba-tiba Roa bangkit dari duduk,
berdiri tegak sambil terus menengadah. Dahinya berkerut, mulutnya terbuka. Raut
wajahnya seperti percampuran antara terkejut, tidak percaya, dan takut. Lan
ikut terkejut melihat Roa berdiri mendadak, sampai lampu darurat yang ada di
depannya jatuh dan berguling-guling di halaman. Ia ikut menengadah, lalu
memelotot tak lama kemudian.
Sekumpulan asap berputar-putar di
langit, persis puting beliung yang pekat dan perlahan terjun ke bawah.
Sekelilingnya sesekali tampak percikan api yang memercik ke berbagai arah, tak
ubahnya kembang api yang sering dimainkan anak-anak sambil berlari dan
meloncat-loncat.
Baik Lan dan Roa tidak bisa
berkata-kata. Suara mereka seakan hilang seiring tatapan mata yang semakin
lebar.
Dalam hitungan detik, sebuah
dentuman cukup keras terdengar. Dentuman yang menandakan sesuatu baru saja
jatuh dari langit dengan kecepatan tinggi, tepat di hadapan mereka.
Lan dan Roa terbatuk-batuk sambil
berusaha mengusir asap yang seketika menyelimuti sekeliling. Belum selesai
mencari tahu apa yang baru saja jatuh, sebuah dentuman lain terdengar. Lagi,
lagi, dan terus terulang lagi.
Suasana berubah mencekam.
Orang-orang yang terbangun oleh suara benda jatuh dari langit itu
berbondong-bondong keluar dari rumah,
memastikan apa yang sedang terjadi.
“Tunggu! Apa-apaan itu?” tanya
Lan dengan suara tercekat. Tidak jauh di hadapan mereka, tubuh-tubuh menyala
bangkit perlahan. Mereka saling tatap, lalu menyeringai saat mengetahui di mana
mereka berada.
“Kamu tahu mereka?” tanya Lan
sambil melangkah mundur.
Roa menatap langit, menyipitkan
mata, lalu mengerjap berkali-kali.
“Ini buruk. Kita dalam bahaya.
Ayo kita cari Ayah dan Ibu.”
“Kamu mengenal mereka?” Lan
mengulangi pertanyaannya, kali ini dengan nada penuh penekanan.
“Aku tidak yakin, tapi sepertinya
mereka penghuni neraka.”
“Apa? Bagaimana bisa mereka jatuh
ke bumi?”
“Entahlah, sepertinya neraka
bocor atau semacamnya dan membuat mereka berjatuhan.”
Lan gemetar. Ketenangan yang tadi
dimilikinya menguap tidak tersisa. Ia mengikuti Roa yang berlari masuk ke dalam
rumah, menemui Ayah dan Ibu yang baru saja turun dari lantai dua.
“Apa yang terjadi?” tanya Ayah
sambil menatap sekeliling lewat kaca jendela. Malam yang tenang seketika
menjadi sangat kacau. Orang-orang berteriak, menangis, berlarian ke sana
kemari, berusaha menghindari tubuh-tubuh menyala yang seketika menyerang mereka.
Roa lalu menjelaskan situasi yang
sedang terjadi. Nyonya Lawcen yang terkejut mendengar penjelasan anaknya
seketika lemas. Tuan Lawcen menyuruh istrinya untuk tenang. Namun, tidak
berhasil karena dari arah depan terdengar suara benda pecah. Suara yang sangat
keras dan nyaring.
Aroma hangus menyengat bersamaan
dengan dua sosok tubuh yang mendekat. Tuan Lawcen melindungi istrinya yang
menangis ketakutan ke belakang punggungnya. Sementara Lan dan Roa bersembunyi di balik sofa.
Lan meringkuk sambil memeluk
lutut, sedangkan Roa berusaha
mengintip kedua orang tuanya yang sedang berhadapan dengan dua penghuni neraka.
Samar-samar Roa bisa melihat tanda X1 dan M2 di dada dua sosok tersebut.
Wajahnya dipenuhi oleh rasa khawatir.
Tiba-tiba Lan menjerit keras.
Tepat di belakang mereka sesosok tubuh menyala lainnya baru saja terempas
dengan sangat kuat. Roa refleks menarik Lan untuk bangkit, lalu berlari ke luar rumah. Bocah laki-laki itu sempat menoleh ke belakang, menatap Tuan
dan Nyonya Lawcen yang sedang berusaha bertahan dengan menahan serangan makhluk
neraka dengan benda-benda yang ada di sekitar mereka.
“Kita mau ke mana?” tanya Lan
panik.
“Ayo keluar. Kita akan terkepung
jika berada di dalam ruangan.”
Sayangnya, keadaan di luar tidak
kalah kacaunya. Tubuh-tubuh bergelimpangan, tidak kuat menahan rasa panas luar
biasa yang menyerang mereka. Bangunan porak-poranda. Udara Kota Vuezt malam itu
dipenuhi oleh asap tebal yang melayang-layang dan menghalangi pandangan. Hanya
dalam hitungan menit, malam yang tenang seketika berubah menjadi gelombang
kematian yang tidak terelakkan.
Roa membawa Lan bersembunyi di
balik sebuah pohon yang ada di samping rumah. Pohon itu sangat besar. Batangnya
yang berlubang di bagian tengah mereka jadikan tempat untuk menyamarkan diri
dari makhluk-makhluk mengerikan yang terus bergerak membabi buta. Sebelumnya,
mereka sering menggunakan batang pohon tersebut untuk bersembunyi jika Nyonya
Lawcen sedang mengomel karena mereka bandel.
Roa mengepalkan tinjunya,
berusaha menghilangkan rasa takut yang sejak tadi menjalar ke seluruh tubuhnya.
Ia menatap langit yang dipenuhi asap.
“Apa yang sebenarnya terjadi?”
tanya Lan pelan. Wajahnya sangat pucat, sedangkan tubuhnya gemetar hebat. Ia kembali meringkuk memeluk lutut.
“Entahlah. Aku memang pernah
membaca buku tentang neraka, tetapi belum pernah mengetahui alasan neraka bisa
bocor.”
“Apa yang harus kita lakukan?”
“Kita harus bertahan. Saat keluar
menemanimu tadi, aku punya firasat hujan akan turun. Itu sebabnya aku membawa
lampu darurat karena setiap hujan listrik di kota ini pasti padam.”
Lan yang mendengarkan dalam diam
tiba-tiba muntah. Sebuah aroma terbakar yang sangat kuat dan tidak biasa
menyerbu penciuman mereka. Keadaan saat itu lebih buruk dibanding kebakaran
yang pernah terjadi di pusat kota dua tahun lalu. Roa kembali mengintip. Ia
menggigit bibirnya erat-erat saat melihat orang-orang menjerit sekuat tenaga.
Tubuh mereka menyala-nyala. Dari tempatnya berdiri, Roa bisa merasakan betapa
panasnya api dari neraka itu. Api yang dalam sekejap bisa membuat tubuh manusia
membara hingga menjadi abu tak bersisa. Api yang dalam hitungan detik berhasil
menghanguskan seluruh dunia.
Lan kembali menjerit, membuat Roa
yang sejak tadi mengamati sekeliling kembali terkejut. Dari arah depan, dua
sosok berjalan mendekat. Roa bisa melihat tawa mereka yang dikelilingi kobaran
api yang menjadi-jadi.
Roa mengenali dua sosok itu
adalah dua sosok yang sama dengan yang tadi masuk ke dalam rumahnya dan
menyerang orang tuanya. Kemarahannya memuncak saat membayangkan hal buruk
menimpa orang tuanya. Alih-alih menangis, Roa justru merasakan sebuah kemarahan
besar menyerbu dadanya. Ia melangkah keluar dari batang pohon, mengambil sebuah
batu besar yang terletak di sampingnya. Tanpa aba-aba, ia melemparkan batu
tersebut dan mengenai dada M2 yang seketika berlubang.
Roa memelotot, lalu menyuruh Lan
mengambil batu-batu yang ada di sekeliling mereka, dan melemparkannya ke arah
dua sosok yang kembali bergerak.
Namun, ternyata percuma saja.
Batu memang bisa membelah api, tetapi tidak bisa membuatnya padam. Roa
melangkah mundur, menggenggam tangan Lan sekuat tenaga. Mereka berdua
seakan-akan tengah berbagi kekuatan untuk tetap bertahan.
Tak lama kemudian Roa menjerit
keras. Suara jeritan yang menusuk hingga ke langit. Sebuah api meluncur cepat
dan membakar lengan kirinya. Dengan sigap ia melepas pakaian yang dikenakannya,
lalu membungkus tangan kirinya yang sudah hampir mati rasa. Lan juga ikut
membantu. Ia memukul-mukul api itu dengan kaus yang tadi ia kenakan. Api
berhasil padam, menyisakan bekas luka bakar yang memerah kehitaman.
Roa meringis sambil mengusap air
matanya. Ia lalu kembali menatap langit, mencari tahu berapa lama lagi ia harus
bertahan hingga hujan jatuh. Ia tidak bisa lagi melihat keadaan sekeliling.
Pandangannya terhalang asap yang semakin pekat. Asap yang telah memanggang
tubuh-tubuh manusia tanpa kenal nama dan usia.
Perhatian Roa kembali ke arah dua
sosok penghuni neraka yang mendekat. Salah satu dari mereka yang baru saja
melemparnya dengan api hingga membakar lengannya. Roa mengutuk dirinya karena
lalai.
Tiba-tiba saja, di tengah-tengah
mereka datang sosok tubuh menyala lain yang baru saja jatuh dari langit. Roa
kembali menggigit bibirnya. Melawan dua sosok saja mereka tidak yakin bisa
bertahan, kini sosok lain kembali datang.
Anehnya, sosok yang baru datang
itu sedikit berbeda. Nyala api di tubuhnya tidak sebesar dua sosok sebelumnya.
Roa bahkan bisa melihat dengan jelas tanda lingkaran di dada sosok tersebut.
Hanya lingkaran, tanpa angka seperti yang ia lihat pada penghuni neraka
sebelumnya.
Sosok dengan tanda lingkaran itu
melangkah mendekati mereka. Roa dan Lan yang tersudut oleh pohon besar, tidak
bisa melangkah lagi. Mereka hanya saling mengeratkan genggaman, berharap sebuah
keajaiban datang. Lan memejamkan mata, kembali berdoa pada langit.
Tanpa diduga, sosok yang baru
datang itu berlutut tepat di hadapan Lan, sepasang matanya yang membara
seolah-olah berbicara.
Roa ikut memejamkan mata. Kali
ini dia terlihat sangat pasrah. Ia akan menerima jika sosok di hadapan mereka
itu tiba-tiba menyerang atau semacamnya.
Akan tetapi, sebuah serangan lain
lebih dahulu datang. Serangan yang berasal dari dua penghuni neraka yang sejak
tadi diam. Sosok yang berlutut itu menoleh ke belakang, lalu memelesat
menyerang dua sosok yang baru saja melemparkan api ke punggungnya.
Roa dan Lan membuka mata
bersama-sama, tidak mengerti apa yang baru saja terjadi.
Dari tempatnya berdiri, Roa dan
Lan sempat mendengar kata “pengkhianat” yang
terus diulang-ulang. Kedua bocah laki-laki itu hanya diam menyaksikan
pertarungan tiga sosok penghuni neraka itu.
“Ada apa sebenarnya?” tanya Lan
dengan suara tercekat. Tiba-tiba saja ia merasakan dadanya bergemuruh hebat.
Perasaannya berubah tidak tenang sejak sosok asing tadi melangkah mendekatinya.
Lan tidak mengenalinya, tetapi jiwa di dalam tubuhnya seakan-akan memiliki
ikatan dengan sosok tersebut.
Serangan demi serangan terus
menghantam tubuh sosok dengan lingkaran di dadanya. Nyala api di tubuhnya yang
tidak sekuat lawannya, membuatnya tidak bisa menyerang balik dengan kekuatan
yang sama. Sosok dengan simbol lingkaran itu terempas ke tanah, terkapar tidak
bergerak.
Entah kekuatan apa yang
menggerakkan kaki Lan, detik berikutnya ia sudah berjongkok di samping sosok
penghuni neraka dengan simbol lingkaran itu. Lan menatap sosok itu lekat-lekat,
lalu terperanjat.
Roa yang semula berdiri mematung
di kejauhan, ikut mendekat saat Lan menangis tersedu-sedu sambil menatap sosok
di hadapannya.
“Kamu mengenalnya?” tanya Roa
pelan.
Lan hanya membalas tatapan Roa
lalu kembali menangis. Ia lalu bangkit, mengadang dua sosok penghuni neraka
yang kini terlihat semakin kuat setelah mengisap energi dari penghuni yang
mereka kalahkan.
“Apa yang kalian lakukan? Mengapa
kalian membunuh ayahku?” teriak Lan dengan suara keras. Kemarahan baru saja
menjalar lewat dendam yang menyelimuti dadanya. Ia mengepalkan tangan, lalu
berlari menyerang dua sosok tubuh menyala itu.
Roa yang menyadari tindakan bodoh
Lan langsung dengan sigap menahan tangannya.
“Jangan gegabah. Kamu akan
langsung mati jika mendekat,” ucap Roa sambil berusaha menahan tubuh Lan yang
memberontak, dengan tangan kanannya yang tidak terluka.
“Lepaskan! Mereka membunuh
ayahku. Aku harus membalasnya.”
“Kamu boleh membalasnya, tapi
bukan dengan mengorbankan diri. Kamu ingat permohonanmu, kan? Kamu bilang kamu
ingin hidup.”
“Tapi ayahku ….“
“Orang tuaku juga mungkin sudah
mati!” jerit Roa sekuat tenaga. Ia menunduk beberapa saat, menahan perasaan
sesak yang sejak tadi susah payah ia kendalikan. “Aku tidak tahu apa yang telah
terjadi pada orang tuaku. Namun, jika kedua setan itu ada di sini, kemungkinan
orang tuaku juga sudah mati.”
Tubuh Lan melemas saat mendengar
ucapan Roa. Matanya kembali berkaca-kaca. Bayangan tentang kedua orang tua
angkat yang sangat tulus itu seketika berkelebat di depan matanya. Ia lalu
menatap Roa yang masih terus menunduk. Lan akhirnya menyadari luka yang sedang
ditahan Roa tidak kalah beratnya.
“Aku mohon, jika kamu ingin
hidup, jangan melakukan hal bodoh. Kita harus tetap bertahan bagaimana pun
juga.”
Roa mengangkat wajahnya,
menghapus air mata, lalu kembali menarik Lan untuk
menjauh dari dua sosok mengerikan yang semakin terlihat tidak sabaran.
Sebagai pelampiasan kekesalan,
dua sosok tersebut membakar habis tubuh-tubuh lain yang terkapar di sekeliling
mereka, termasuk tubuh yang diyakini Lan sebagai ayahnya.
“Kalian tahu, tidak ada kata maaf
bagi pengkhianat. Dia yang telah membuat neraka runtuh. Si bodoh itu yang telah
berbuat kebaikan dan terus berdoa kepada Tuhan hingga lapisan neraka mengikis
dan akhirnya bocor. Jadi jangan salahkan kami.” Sosok
dengan tanda X1 itu menjelaskan tanpa diminta. Sepertinya ia tahu apa yang
sejak tadi ada di pikiran Roa dan Lan.
Kedua sosok menyala itu terus
mendekat, dekat, dan semakin dekat.
Roa dan Lan berpelukan sambil
memejamkan mata. Dalam hitungan detik, sebuah serangan besar dengan kobaran api
menyala-nyala terbentuk dan siap meluncur ke arah mereka.
Lan kembali berdoa. Dan saat
itulah akhirnya hujan datang. Hujan besar yang membuat api padam. Hujan yang
sejak tadi menjadi satu-satunya harapan. Hujan yang tanpa disadari ikut
memadamkan matahari.
“Lan, teruslah berdoa ....”
***
Bumi berubah gersang dan seluruh bangunannya rata dengan tanah. Tetes air
masih berjatuhan. Aroma basah dan hangus menjadi satu, menciptakan udara yang
dingin dan sesak sekaligus. Tubuh-tubuh hitam bergelimpangan. Di antara puing-puing yang saling tindih,
sebuah tangan bergerak-gerak, berusaha menggapai-gapai. Tangan yang sama
hitamnya dengan apa yang ada di sekelilingnya. Tangan yang mencoba menggenggam
harapan yang barangkali masih ada. Tangan yang mencari-cari matahari.[]