Kutukan Keluarga Sadajiwa - Jenny Seputro
Kutukan Keluarga SadajiwaJenny Seputro
Teror
itu terjadi lagi. Warga Desa Sinagaru kembali gempar dan dicekam ketakutan.
Padahal, sudah hampir tiga tahun penduduk berharsa dan beriang-riang. Kali ini
korbannya Cak Omah yang baru dua dominggo berpesta hari jadi kelima puluh.
Lelaki yang masih bergas dan degap itu ditemukan
tersempalai di depan bandarsah sebelum subuh dengan wajah hancur. Istrinya yang
tidak tahu kapan sang suami meninggalkan rumah menangis terlara-lara hingga
jatuh pingsan.
“Kutukan Sadajiwa memakan korban lagi.” Begitu ikhbar
yang langsung menyebar bahkan sampai ke desa-desa seberang.
Warga yang terkesut-kesut bersengkelit mengerubuti
rumah Wak Irah di ujung jalan dusun. Sebagai tetua yang dihormati, wanita enam
puluh tahun yang selalu tinggal sendirian itu telah dianggap ibung tempat semua
orang berlindung. Wanita akil yang kerap berbagi bidal dan warita. Kata-katanya
diyakini sebagai kebenaran, bukan cola-cala.
Lamun, siang itu Wak Irah sedang segan berbincang.
Hatinya gamang. Dia memilih mengurung diri di pondok kecilnya. Dibiarkannya
anak-anak muda itu pulang berawai. Sambil merenung, pikirannya melayang ke
sepuluh tahun lalu, pada awal bermulanya kutukan keluarga Sadajiwa meneror Desa
Sinagaru.
Kala itu seekor anak kerbau didapati mati dengan perut
terburai. Bagaskara belumlah terbit sempurna. Tatah-tatah perkara keluarga
Sadajiwa sudah sering didengar, lamun generasi tua bilang itu pamali untuk
diulas.
Kematian si anak kerbau menggegerkan warga.
Keingintahuan mereka tak lagi terhadang dan hanya kebijakan Wak Irah yang
mereka yakini. Warga desa, terlebih anak-anak muda, berkumpul memenuhi rumahnya
yang sempit dan menyimak dengan kademat.
“Dulu, ada pendatang di Desa Sinagaru.” Begitu Wah
Irah memulai kisahnya. “Mereka datang sekeluarga, laki bini Sadajiwa, kedua
anak mereka, Ahmed dan Ibrahim beserta pasangan masing-masing, dan Pramayoga,
sang cucu yang ketika itu belum balig.
“Tak lama setelah ketibaan mereka, Sinagaru dihantam
bermacam rupa bencana. Kekeringan yang seolah-olah tak berujung membuat panen
gagal. Selepas turun hujan pertama, warga desa mulai menanam lagi. Lamun, musim
berlanjut tengkujuh membanjiri persawahan, menghancurkan bintalak dan redih.
Hujan seperti tak hendak seriat. Bertahun-tahun tiada hasil panen. Ternak yang
belum sempat dipotong pun mati kelaparan.”
Wak Irah masuk ke lepau mengambil pisang dan ubi bubuk
yang disiapkan untuk mereka yang berkunjung. Meskipun bukan orang yang sokah,
dia solak menjamu tamu agar mereka betah berlama-lama di rumahnya.
Anak-anak muda berebut penganan itu tanpa sungkan.
Mereka makan begitu caruk hingga labas. Hal yang menggirangkan bila bertandang
ke rumah Wak Irah. Suah didongengi, beroleh pula kudapan.
“Apa hubungannya dengan keluarga Sadajiwa, Wak?”
Mereka bertanya bersusul-susulan. Sementara sisanya sibuk memamah. “Semampang
mereka bawa sial, tentu bisa dilakukan basuh dusun.”
“Keluarga Sadajiwa dipercaya menganut aliran hitam dan
kemunculan mereka di Sinagaru telah memurkakan Gusti Allah.” Wak Irah
melanjutkan ceritanya. “Ada yang pernah meloka mereka menyiapkan sesajen macam
bunga dan penganan di sekitar rumahnya. Ada pula yang menangkap suara-suara
aneh dari situ, laiknya penyembahan berhala. Mungkin semua itu hanya dergama.
Lamun, sekelompok warga desa memengaruhi yang lain dan mereka sepakat …
membantai keluarga itu demi membantar bala dari desa ini.”
“Dibantai, Wak? Kenapa tak diusir sahaja?”
Wah Irah manggut-manggut. “Mereka percaya untuk
memburas dosa, penyembah iblis harus dimusnahkan. Malam itu begitu nyenyat.
Cilap gemintang pun tak tampak. Warga berkerubung di depan rumah itu membawa
jamung dan minyak tanah. Tengah malam mereka membakar rumah itu dengan semua
penghuninya terperangkap di dalam.”
Semua yang mendengarkan merinding. Mulut mereka
terbelangah. Meski tak ada yang bertutur, semua terkenang rangka rumah yang
hangus terbakar di lintas setapak dekat hutan. Loka itu memang terpencil dari
rumah warga yang lain.
“Anala membakar hingga hampir sehari semalam. Tujuh
atma dipisah paksa dari daksa. Selepasnya, tak ada yang berani mendekat,
apalagi mengurusi sisa layon mereka. Delapan hari berlalu dan kepala desa
menyuruh para lelaki muda untuk berweharima mengumpulkan rangup tulang mereka
dan menimbunnya dalam satu kelian di pamah tak jauh dari situ.”
Bagi anak-anak muda, hal itu bagai mitos. Lamun, yang
sudah cukup usia tahu kejadian itu nyata adanya. Dua puluh tahun tidaklah cukup
lama untuk menghapus peristiwa mengerikan itu dari dasar ingatan.
Merjan-merjan bening mengembun di mata Wak Irah. Dia
menyekanya dengan punggung tangan yang mulai keriput. Oleh matanya sendiri
disaksikan kejadian malam itu. Meloka warga desa melolong dan berteriak-teriak
bagai kesetanan diiringi ramai kertang. Malam yang sunyi dabak berubah rutup.
Kengerian yang terus menghantui sepanjang sisa hidupnya.
Dalam rentang sepuluh tahun terakhir, telah tumbang
tujuh korban manusia. Siapa dapat menyalahkan bila arwah keluarga Sadajiwa
berkesam dari alam baka? Kuburan massal mereka bahkan tak bernisan. Tidak
pernah ada penghormatan ataupun doa mengiringi mereka ke alam abid.
Wak Irah memutuskan pergi belanja ke pasar kecamatan
meskipun belum lewat satu dominggo sesuai kebiasaannya. Saban kali dia memilih
jalan setapak pinggir hutan sebagai jalan pintas, menghemat tiga puluh menit
ketimbang berputar lewat jalan desa. Balabad berembus kencang dan mega-mega
kelam menggantung di pucuk-pucuk saru. Hari canda akan hujan.
Warga desa takut meniti jalan pintas itu. Bukan karena
waswas bertemu begu, melainkan karena melalui bekas rumah keluarga Sadajiwa dan
kuburan mereka. Hingga berpuluh tahun Wak Irah melewatinya, bekas teratak yang
hangus terbakar itu tetap terloka angker. Hanya sebagian dindingnya yang
menghitam masih tersisa dengan aura kekelaman yang membuat bulu kuduk berdiri.
Hingga bertahun-tahun cengis tetap terhidu. Pun makam sekadarnya yang kini
tertutup ilalang dan perdu yang berimpang-rimpang.
Wak Irah tidak pernah takut. Baginya, keluarga
Sadajiwa adalah perepat. Lamun, dia pun tahu beberapa warga desa dihantui rasa
bersalah. Mereka pun percaya sesuai arti namanya, Sadajiwa akan abid. Mereka
akan kembali untuk kerap pati.
Sekembalinya dari pasar, Wak Irah melewati jalan desa.
Di mana-mana tampak kelimun ramai membicarakan kematian Cak Omah. Yang paling
meresahkan adalah pengakuan Ruswati yang tinggal tak jauh dari bandarsah. Dia
mengaku bangun sebelum subuh dan sempat mendengar keributan di luar rumah.
Ketika itu fajar belum terbit. Jalanan desa hanya diterangi indurasmi yang
temaram.
Matanya masih arip ketika dia mengintip ke luar dan
meloka akara seseorang berlari dari arah bandarsah. “Rambutnya panjang,
tatapannya anggara. Parasnya penuh palau, begitu pula lengannya.”
Tidak banyak yang percaya pada cerita Ruswati. Hari
begitu gelap, tidak mungkin dia meloka semua itu. Terlebih pula, kebanyakan
warga desa tidak menyukainya. Dia orang yang someng. Gayanya benawat, bila
berjalan celedang-celedok, membuat dambir di pinggangnya berayun.
Tentu Ruswati terobsesi dengan cerita-cerita Wak Irah
dan membayangkan yang tidak-tidak. Lamun, tak urung hal itu meresahkan warga
dan membuat panik generasi tua. Karena itu Pak Kades yang makin ranyah
menyuruhnya diam. Selain segan bertaki, dia tidak ingin warganya semakin resah
dengan cerabih Ruswati yang kerap ajun.
Tayum itu, selepas Wak Irah bersibuk di lepau memasak
untuk makan malam dan mengisi boncong dengan air, pintu rumahnya diketuk. Wak
Irah sudah biasa menerima tamu yang kebanyakan anak-anak muda, lamun kali ini
yang datang Jeng Rusmini, kakak tertua Pak Kades. Tentu kedatangannya bukan
sekadar berkembur.
“Maaf saya mengganggu, Wak,” katanya sambil merengap.
Terloka kebingungan di parasnya. Kuku-kukunya menceku ke telapak tangannya dan
tubuhnya menggeligi.
“Saya baru selesai masak. Mau sekalian makan, Jeng?”
tawar Wak Irah.
Rusmini menolak dengan halus. “Saya ndak tahu mesti bagaimana, Wak,” katanya
dengan suara pentar. Hatinya gelebah. “Sepertinya giliran saya sudah dekat.”
“Kenapa ngomong begitu, Jeng?” Wak Irah menjenaki mata
Rusmini yang mendelong lekat-lekat.
“Apa Wak Irah ndak
ingat, tujuh korban itu semua mati sekitar ulang tahun mereka kelima puluh?
Tiga minggu lagi saya genap lima puluh.”
Wak Irah manggut-manggut. “Jeng Rus benar. Semua dalam
satu bulan ulang tahun kelima puluh. Lamun banyak juga yang setelah lima puluh
aman-aman sahaja, seperti saya.” Lelucon yang dipaksakan itu gagal mengukir
senyum di bibir Rusmini.
“Karena hanya delapan orang yang Sadajiwa ingin bikin
langis, Wak. Saya yang terakhir.” Kalimat Rusmini nyaris berupa bisikan ilu.
“Bagaimana, Jeng? Kenapa bisa begitu?”
Tangis Rusmini pecah. Air mata bersibar di pipi
gembilnya. Tersendat-sendat dia mengisahkan rahasia yang tiga puluh tahun sudah
dipendamnya. Selama ini dia yakin tidak ada orang lain yang memafhumi bahwa
ketika itu, mereka berdelapan menyiasati pembantaian keluarga Sadajiwa dan
menghasut warga desa untuk serempak membakar rumah dan penghuninya hidup-hidup.
Wak Irah menarik napas panjang. Sejurus lamanya dia
terdiam dan membiarkan Rusmini bertenang diri. “Kalau boleh saya usul, Jeng,
pada malam purnama nanti, pergilah ke kuburan mereka. Berdoa dan mintalah
aksama pada Gusti Allah. Minta maaflah pada keluarga Sadajiwa.”
Perlahan Rusmini menawakkan bibir. “Apa itu akan
membantu, Wak?”
“Jeng Rus ndak
punya banyak pilihan lain, toh?”
Rusmini mengangguk pelan. “Saya takut, Wak. Lamun saya
juga ndak mau orang-orang tahu soal
ini.”
Wak Irah paham, Rusmini tidak sedang mencari pujuk
empenak. “Daripada diam-diam sahaja dan menunggu ulang tahun?”
Rusmini bergidik. “Iya, Wak. Nanti kala bulan bernas
saya akan ke makam dan bawa sesajen. Nuwun, Wak, saya pamit.”
Tak lama setelah Rusmini pergi, hujan turun dengan
sangat lebat. Kilat menyambar dan petir bersahut-sahutan.
Takkan terdengar lagi
kidung harmoni
Mengalun lewat getar
dawai gitar
Senar-senar itu telah
lama putus
Seiring pendar impian
yang telah pupus
Pada kuburan tanpa
nisan
Tertanam dendam tak
kunjung padam
Tak ada bumi untuk
kakimu berpijak
Di balik punggungmu
air mata terjejak
Engkaulah dosa dan
sesal tiada akhir
Di nadimu darah nista
mengalir
Bertahan pada satu
napas kehidupan
Demi kemenangan di
hari pembalasan
Biar saat petang mulai
menjelang
Sendiri kaudengar
tembang yang mulai using
Bahagia hanya angan
sia-sia
Di sepenggal masa pada
sisa usia
Wak Irah merakap ke bawah satu-satunya meja di rumah
itu dan menyingkirkan selabar yang menutupi papan pada sepetak lantai di
bawahnya.
Perlahan dia menuruni beberapa anak tangga yang mulai
ruai menuju sebuah ruangan tak berjendela. Lindap pendar bola lampu pijar
mencahayai ruangan berukuran tiga kali tiga meter setinggi satu bahar. Kamar
itu comor dan udara terasa pengap dan embal berbaur ambu pesing. Di
sudut-sudutnya tampak sarang kawa-kawa.
Pada metai beralas tikar, terlepa seorang laki-laki
berusia empat puluhan dengan perut sedikit boyas. Dia memakai pakaian dan
sarung milik Wak Irah, sepintas tampak celomes. Dia bangkit duduk ketika
mendengar langkah kaki mendekat.
Wak Irah menghampiri dan menyibak rambut panjang si
lelaki yang rungkau dan terurai bujut, sudah lewat waktunya diragas. Tangannya
yang keriput membelai lembut wajah bagal berbilai bekas terluka bakar.
“Tugasmu hampir rampuh, Yoga. Malam purnama nanti yang penghabisan. Sekarang, ayo naik. Waktunya kita makan.”
Wellington, 25
September 2022