Menyambut Cinta Kedua - Jenny Seputro
Menyambut Cinta KeduaJenny Seputro
Bel
kecil di pintu kafe kembali berdenting, mengacaukan detak jantung Lana untuk
kesekian kalinya. Lagi-lagi bukan orang yang ditunggunya. Setelah terkecoh oleh
dua orang pelayan dan seorang pengantar barang, kali ini seorang wanita berusia
tiga puluhan memasuki kafe. Dia bergegas menghampiri seorang pria tua yang
sudah menunggu di meja sudut, satu-satunya tamu kafe selain Lana di Kamis sore
yang sepi.
Pria tua itu berdiri dan menyambut si wanita. Mereka
berpelukan dan terlihat gembira, sebelum duduk dan langsung terlibat obrolan
seru. Lana menduga-duga, mungkin wanita itu cucu si kakek yang lama tidak
bertemu. Mungkin juga dia anak sahabat si kakek. Mungkin juga mereka sendiri
yang bersahabat. Bukankah usia tidak pernah menjadi penghalang persahabatan dua
anak manusia?
Lana menarik napas panjang dan melirik pergelangan
tangannya. Orang yang ditunggunya sudah terlambat hampir
setengah jam, tidak menjawab panggilan ponsel, juga tidak
membaca pesan-pesannya. Seandainya bukan karena rasa penasaran, sudah
sejak tadi Lana meninggalkan tempat itu.
Tepat waktu adalah sesuatu yang sangat dia junjung
tinggi, terlebih baru pertemuan kedua
seperti saat itu. Dia tidak tahu alasan jantungnya berdebar hanya karena makan
malam bersama seorang laki-laki. Apalagi tujuan utamanya hanya serah terima
sebuah buku. Dihirupnya teh hijau yang hangat-hangat kuku. Lalu, tatapannya
kembali pada meja di sudut.
Apa pun hubungan si kakek dan wanita itu, tentu tidak
akan seaneh pertemuannya dengan Adam. Pria yang beberapa tahun lebih tua
darinya itu baru dikenalnya tiga bulan lalu, muncul tiba-tiba di pintu
rumahnya, dan mengaku sebagai penulis lepas yang mengidolakan Johari.
“Maaf, saya tidak tertarik menulis buku tentang
almarhum suami saya,” tolak Lana saat itu. "Lagi pula, dari mana Anda tahu
alamat saya?"
Adam tersenyum. Wajahnya tidak begitu tampan, tetapi
senyumnya lumayan. “Saya punya jaringan yang cukup luas, termasuk dengan para
dokter. Sayangnya saya belum sempat mengenal Dokter Johari secara pribadi. Saya
ingin menulis sebuah novel dengan mengambil Dokter Jo sebagai referensi
karakter tokoh utamanya. Saya merasa perlu meminta izin Ibu sebelum
menuliskannya dan kalau boleh, saya ingin mewawancarai Ibu sebagai narasumber
agar karakter yang saya ambil benar-benar sesuai dengan keseharian Dokter Jo.”
Bagi Lana, itu permintaan yang aneh. Setelah empat
tahun menjanda, dia memang tidak lagi menangis setiap terkenang hal-hal kecil
bersama Johari. Walau begitu, bukan berarti dia ingin membahas dan menceritakan
perihal keseharian Johari dan hal-hal pribadinya dengan orang asing.
Seolah-olah memahami keraguan Lana, Adam melanjutkan,
“Saya yakin Dokter Jo akan senang bila ada buku ditulis tentangnya, meskipun
itu cerita fiksi. Beliau menjalani kehidupan yang luar biasa dengan banyak
prestasi gemilang. Sangat disayangkan bila semua itu tidak diabadikan.”
Bel pintu kafe kembali
berdenting. Adam setengah berlari menghampiri Lana. Kemeja cokelat
kotak-kotaknya tidak dimasukkan ke celana jin lusuhnya dan kancing yang teratas
masuk ke lubang yang salah.
"Maaf, maaf sekali.
Aku ketiduran." Adam mengempaskan tubuh di kursi di hadapan Lana. Dia
menyugar rambutnya yang berantakan. Napasnya memburu seperti baru menyelesaikan
sprint. "Dan ponselku sedang dalam mode diam. Kau sudah lama?"
Lana kembali mengecek
arlojinya. "Belum, baru 56 menit."
"Ah, sungguh maaf
sekali. Aku bukan orang yang biasa terlambat."
"Tidak masalah."
Lana tersenyum. Setelah ini kita tidak
perlu bertemu lagi, tambahnya dalam hati.
Adam mengeluarkan sebuah
bungkusan dari tas selempangnya. "Ini masih draf, tapi aku tidak sabar
ingin mendengar pendapatmu." Dia melambai pada seorang pelayan. "Ayo,
pesanlah apa saja yang kau mau. Aku yang traktir."
Setelah memesan, Lana
menatap sampul buku yang dijilid sekadarnya itu. Judulnya membuat jantung Lana berhenti satu detak. The Incredible Life of Joe Adwell.
“Kenapa kauberi judul seperti itu? Begitu klise dan
….” Lana tertawa. “… jelek.”
“Biar. Aku suka.” Adam memperbaiki letak kacamatanya. "Jangan menghakimi sebuah buku
dari judulnya. Aku benar-benar berharap kau menyukainya. Memang aku menulisnya
agak terburu-buru. Seperti kubilang tadi ...."
Ponsel Adam bergetar.
Pemiliknya mengumpat pelan. "Maaf, aku harus menjawab ini. Bosku tidak
suka diabaikan, padahal aku sudah minta cuti hari ini. Ya, Pak Hamid?"
Lana menyesap lagi teh
hijaunya yang tinggal sedikit dan sudah dingin. Sambil menunggu makanan datang
dan Adam selesai menelepon, dia membuka draf novel di tangannya dan membaca
secara acak. Cerita di bab tiga membuat Lana tertarik.
“Semua sudah siap,
Dok.”
Dokter Joe Adwell
melangkah yakin memasuki ruang isolasi. Tubuhnya telah dilengkapi alat
pelindung diri anti radiasi. Di dalam ruang kaca berukuran delapan kali lima
meter itu, enam orang timnya telah siap. Mereka berdiri mengelilingi makhluk
menyerupai seekor gurita raksasa di tengah ruangan.
Joe mengarahkan moncong
alat penembak tepat ke kepala gurita. Dia mengangguk kepada seorang asistennya
untuk menyalakan laser bertenaga nuklir yang langsung menghancurkan gurita itu
hingga menguap tak berbekas.
“Berhasil! Matikan
lasernya!”
Si asisten
menekan-nekan tombol dengan panik. “Ada yang salah, Dok. Ini tidak bisa
dimatikan.”
Joe mendelik. Barometer
di dinding menunjukkan tekanan bahan bakar yang makin tinggi. “Biar kumatikan
dari pusat,” katanya sambil bergegas keluar ruangan menuju ruang kontrol utama.
Belum sempat dia menekan tombol penonaktifan, terjadi ledakan mahadahsyat dari
ruang isolasi.
Sore itu, Kota
Manhattan dibuat gempar. Pusat riset nuklir bawah tanah yang dirahasiakan
justru menjadi tajuk utama di semua berita. Ironisnya, tidak ada lagi yang bisa
dilihat publik. Bahkan, pusat kebugaran di atasnya yang dijadikan kamuflase
juga telah rata dengan tanah.
"Seru, kan?"
Pertanyaan Adam mengejutkan Lana. Dia bahkan tidak tahu kapan pelayan datang
mengantarkan kapucino pesanan Adam.
"Sudah selesai
teleponnya?"
"Sudah lima menit.
Sepertinya kau asyik sekali membaca."
Lana menutup manuskrip di tangannya sambil tertawa
lepas. Dia bukan penyuka novel, tetapi tulisan lelaki itu benar-benar
menghanyutkan dan membuatnya ingin membaca lebih.
“Kenapa kaujadikan fiksi ilmiah bercampur thriller begitu?”
“Karena yang seperti itu banyak diminati.” Pria
berambut ikal dengan kumis tipis itu menjawab. “Banyak orang mulai bosan dengan
cerita yang murni cinta-cintaan.”
“Tapi ceritamu itu jauh dari kenyataan. Johari dan
timnya hanya menyelidiki darah dan sekresi manusia.”
Adam tersenyum. “Sudah
kubilang sejak awal, aku bukan ingin membuat biografi mendiang suamimu. Aku ini
seorang novelis. Semua tulisanku fiktif, khayalan semata.”
“Meskipun fiktif, kau tetap perlu mewawancaraiku, kan?
”
Adam meneguk kapucinonya. Matanya mengawasi pasangan
muda yang baru datang dan duduk di meja sebelah. Menjelang waktu makan malam,
kafe yang masih sepi ketika mereka datang tadi mulai ramai pengunjung.
“Aku penggemar berat Dokter Johari Syahputra. Aku
ingin karakter tokoh Joe sebisa mungkin mendekati Dokter Jo.”
“Ya, kau sudah mengatakannya beberapa kali.” Lana
meneguk habis teh hijaunya. Tak lama kemudian,
pesananan makanan mereka datang.
"Ayo, kita makan
dulu." Adam bersemangat memotong steik tenderloin-nya
lalu memasukkan sepotong besar ke mulut.
"Johari juga suka
steik. Dia seorang karnivora." Melihat cara Adam menyantap 400 gram daging
bakar itu mengingatkan Lana pada malam Johari diangkat sebagai
kepala Laboratorium DiaFlow.
Mereka merayakan pencapaian
Johari itu dengan makan malam di restoran steik terkenal di kota. Jalanan macet
parah karena malam Minggu dan mereka tiba di rumah hampir pukul sepuluh malam.
Di kamar, Lana bersandar di dada
suaminya dan mereka menghabiskan waktu hingga jauh lewat tengah malam
berangan-angan dan berandai-andai.
"Kurasa akan menyenangkan bila ada biografi
tentangku. Kehidupan, karier, dan pencapaianku, menurutmu, bagus enggak kalau
jadi buku?"
"Apa aku akan ada di dalamnya?"
Johari mengecup kening Lana. "Kamu tentu bagian
terbesar dari kehidupanku." Dia meletakkan tangan di bokong istrinya.
"Secara harafiah maupun tersirat."
Lana pura-pura cemberut dan mencubit lengan Johari.
Laki-laki itu mengaduh sambil tertawa, menampilkan lesung pipi yang selalu
membuat Lana gemas.
"Siapa yang akan kamu suruh menulis buku seperti
itu? Memang kamu bisa menulisnya sendiri?"
"Saat aku sudah terkenal nanti, para penulis akan
mengantre dan berebut menuliskannya. Kita lihat saja nanti."
"Akan diberi judul apa bukumu? The Incredible Life of Johari Syahputra?"
"Boleh."
"Aku cuma bercanda. Itu judul yang klise dan
jelek sekali."
"Tapi aku suka."
Lana hanya tertawa. Dia lalu memejam ketika Johari
memagut bibirnya. Satu, dua, tiga, empat,
lima, enam, tujuh. Lana menghitung dalam hati. Prinsipnya sederhana, ciuman
yang dilandasi cinta tidak akan kurang dari tujuh detik. Kebiasaan yang awalnya
sering diprotes suaminya, hingga akhirnya menjadi sesuatu yang istimewa, milik
berdua, untuk mereka tertawakan. Bila Johari sudah terlambat berangkat bekerja,
dia akan mengecup Lana dengan singkat sambil berbisik, “Tujuh detik.”
Gantian ponsel Lana
berbunyi. Lana mengelap saus bolognaise dari bibirnya sebelum menjawab
panggilan itu. "Ya, Sayang. Sama Mbak Erni dulu bisa, kan? Mama sebentar
lagi pulang. Ya, ya. Enggak lama, kok. Ya, oke."
"Anakmu?" Adam
membersihkan sisa saus di piringnya dengan potongan kentang goreng terakhir.
"Iya. Besok dia ada
ulangan Matematika." Lana mendesah. "Anak sekarang, masih kelas dua
SD tapi pelajarannya sudah bikin pusing. Aku harus pulang dan membantunya
belajar."
"Tidak apa-apa. Nanti
kabari aku bila kau sudah selesai membacanya." Adam menunjuk kantong
plastik di sebelah tas Lana.
"Akan kubaca malam
ini. Terima kasih, juga atas makan malamnya."
Dalam perjalanan pulang,
Lana membayangkan Johari membaca petualangannya dalam tokoh Joe Adwell. Suaminya menginginkan
sebuah biografi untuk mengenang prestasinya, bukan sebuah novel fiksi ilmiah
tentang ilmuwan sesat, beserta riset nuklir ilegal, yang bangkit dari kubur
sebagai seorang manusia baru. Tidak, Johari jelas tidak menginginkan itu.
Lana menggigit bibir dan
membiarkan dua tetes air mata mengalir di pipinya. Dia merindukan Johari.
Mobil sedan Lana berhenti di depan sebuah rumah
bergaya townhouse di bilangan Jakarta
Timur. Rumah dengan dinding bata abu-abu itu tidak pernah terasa sama sejak
hari nahas Johari direnggut dari kehidupan Lana. Meskipun suaminya itu
menghabiskan hampir seluruh waktu di laboratorium yang dikepalainya, Lana tahu
setiap malam Johari akan pulang ke pelukannya. Pada akhir pekan mereka sering
mengajak Cynthia, putri kecil mereka, ke taman bermain seperti layaknya
keluarga kebanyakan.
Lana meletakkan kunci mobil dan membiarkan Erni, asisten rumah tangganya, mengunci pintu depan dan
pagar. Dia melangkah ke kamar putrinya dan disambut wajah
cemberut gadis kecil itu.
"Kenapa Mama lama
sekali?"
"Shhh, jangan
teriak-teriak begitu. Tadi kamu telepon, Mama langsung pulang. Jakarta, kan,
macet, Sayang." Lana menarik sebuah kursi ke sebelah Cynthia. "Ayo,
mana yang buat ulangan besok?"
Selama setengah jam
belajar, Cynthia sudah menguap empat kali. "Tadi Mama pergi ke mana?"
“Mama makan bareng Om Adam.
Dia ngasih buku ini, cerita karangannya.” Lana mengeluarkan manuskrip novel
Adam dari tas yang masih dibawanya. “Pintar, ya, dia bisa
menulis sebanyak ini. Cyn mau jadi penulis?”
Cynthia menggeleng. Lana mengulum senyum. Dia dan
Johari juga sama-sama tidak suka menulis.
“Cyn, apa kamu … kangen Papa?”
Gadis cilik itu menatapnya dengan mata mengantuk. “Cyn
enggak begitu ingat Papa, tapi Cyn pingin punya papa seperti teman-teman.”
Tentu wajar bila putrinya itu tidak banyak mengingat
ayahnya. Empat tahun bukanlah waktu yang singkat, apalagi ketika itu Cynthia
baru berusia tiga tahun. Selama ini Lana berusaha menghindari pembicaraan
tentang hal itu. Dia tahu Cynthia membutuhkan figur seorang ayah, tetapi dia
belum sanggup menambatkan hati pada laki-laki lain.
Pukul sepuluh malam, Cynthia telah meringkuk di bawah
selimut yang hangat. Lana mengecup keningnya, lalu mematikan lampu dan keluar.
Dengan segelas jus apel di tangan, Lana duduk di depan televisi dan membiarkan
pikirannya mengembara. Masih sangat jelas dalam ingatannya, pagi terakhir
Johari berpamitan berangkat bekerja.
“Buatkan rendang spesialmu untuk makan malam nanti,”
kata Johari sambil mengecup pipi Lana.
“Memang apa yang kita rayakan?”
Johari berpikir sejenak. “Cinta kita.”
Lana tergelak. Suaminya memang bukan seorang romantis,
tetapi usaha Johari selalu membuatnya terhibur. “Kayak anak muda saja. Pingin
rendang pakai bawa-bawa cinta segala.”
“Tapi aku benar-benar mencintaimu.”
Lana merinding. Hingga empat tahun berlalu, bulu
kuduknya masih meremang setiap dia teringat kata-kata Johari itu. Kata-kata
yang tidak pernah dikatakan suaminya, seolah-olah sebagai firasat hal buruk
yang akan terjadi.
Sorenya, Lana mendengar kabar duka itu dari televisi.
Berbagai stasiun menjadikan musibah itu sebagai berita utama. Terjadi ledakan
di Laboratorium DiaFlow yang dikepalai Dokter Johari Syahputra pada pukul 15.38
yang membumihanguskan seluruh gedung, memakan korban tujuh tenaga medis
termasuk Johari. Ketika itu, Lana tidak bisa menangis.
Kebakaran yang diakibatkan oleh ledakan tabung
hidrogen begitu hebat dan membuat pihak pemadam kesulitan. Setelah bangunan itu
terbakar habis, sisa-sisa tubuh korban tidak bisa lagi diidentifikasi, apalagi
dimakamkan secara khusus. Tujuh keluarga mengadakan upacara pemakaman di lokasi
kejadian sebagai penghormatan terakhir.
Lana menghapus air matanya. Dia tidak ingin larut
kembali dalam kesedihan. Diambilnya draf novel Adam, selimut, dan sekantong
kripik singkong. Kebetulan besok hari liburnya. Dia tidak perlu khawatir
mengantuk di kantor. Di luar, hujan mulai turun, sesekali disertai bunyi
gemuruh.
Lana mulai membaca. Setelah hampir lima tahun
dinyatakan tewas, Joe kembali dengan wajah, suara, dan identitas baru. Dia
selamat dari ledakan itu karena berada di ruang kontrol utama yang terpisah
agak jauh dari ruang isolasi. Namun, dia menderita luka bakar yang sangat
serius. Tubuhnya terpental jauh dan kebetulan ditemukan oleh seorang pedagang
sembako. Dia bertahan dan selamat setelah menjalani perawatan intensif, operasi
plastik, dan masa pemulihan bertahun-tahun.
Tidak ada seorang pun yang mengenalinya, termasuk
istri, anak-anak, dan kedua orang tuanya. Itulah harga yang harus dibayar Joe
untuk menghapus jejaknya sebagai kepala riset ilegal pembuatan senjata nuklir.
Bila ketahuan masih hidup, dia akan ditangkap dan dipenjara seumur hidup.
Setengah dari isi novel itu mengisahkan perang batin
dan perjuangan Joe untuk mendapatkan kehidupannya kembali. Perjuangan yang
dilandasi cintanya kepada Leonie, sang istri. Masalahnya, dia harus
merahasiakan identitasnya demi keselamatan diri dan keluarganya.
Ketika ponselnya berbunyi, Lana tertawa melihat nama
Adam di layar. “Aku sedang membacanya, kau harus sabar sedikit,” katanya tanpa
mengucap salam.
“Aku penasaran sekali. Bagaimana pendapatmu sejauh
ini?”
“Kurasa aku mulai jatuh cinta kepada Joe. Kau harus
bertanggung jawab, Adam,” seloroh Lana. “Harus kuakui, kau memasukkan karakter
Johari dengan sangat baik. Aku jadi cemburu kepada Leonie yang tidak tahu diri
itu.”
Adam tertawa. “Itu karena kau yang pintar
menggambarkan kepribadian Dokter Jo. Aku hanya menuliskannya saja.”
“Ya, sudah. Biar kulanjutkan membaca. Kau tidur saja
dulu. Kutelepon besok, atau lusa, atau Minggu, kalau aku sudah selesai
membacanya.”
Lama setelah itu, Lana masih mengembara bersama Joe
Adwell yang berganti nama menjadi Alan Brown. Dia ikut berdebar ketika Alan
berhasil mengajak Leonie pergi berkencan.
Malamnya, ketika mengantar Leonie pulang, Alan
mengecup bibir wanita itu. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, sebelum
wajah mereka kembali berjarak dan jantung Lana serasa berhenti dua detak.
Sepuluh menit berikutnya, Lana hanya termenung, dengan jantung yang makin
bertalu-talu.