Remorse - Damian Buenavista



Remorse
Damian Buenavista

 

Seandainya aku tidak nekad melawan ayahku, lalu kabur bersama Jody—laki-laki yang sangat aku percayai, tentu aku masih bisa berangkat ke kampus pagi-pagi, lalu sarapan bubur ayam di kantin, dan nonton live music di kafe dekat alun-alun pada malam Minggu. Sejak hari itu, aku selalu bertanya dalam hati, apa aku bisa tidur siang lagi di hari libur, atau sekadar joging dan beli jajanan di car free day seperti sebulan yang lalu? Namun, ketika melihat jajaran besi berbalut kawat berduri di depanku, aku langsung kembali ke kenyataan: tepat jam dua belas siang, mereka akan datang.

Ini hari pameran, begitu sebut mereka. Dan kami dipaksa telanjang untuk diperiksa, apakah ada kudis, kurap, atau kutu monyet di tubuh kami. Bagian yang paling kubenci adalah ketika penjaga-penjaga tak bermoral itu kadang memaksa kami berlutut dan membuka mulut dan menjulurkan lidah layaknya anjing. Lalu mereka, dengan sikap penuh ke-anjing-an juga, memasukkan milik mereka dan meminta kami memperlakukannya dengan sepenuh hati hingga mereka muntah di tenggorokan kami. Selama sebulan di sini, aku sudah dimuntahi delapan milik penjaga. Ya, kau benar, ini adalah neraka!

Begini, kau tahu rasanya jatuh cinta? Aku yakin, saat perasaan itu datang mengunjungimu, kepandaianmu yang selalu kauagung-agungkan, juga logika yang kaujunjung setinggi pesawat lewat, pasti mendadak terjun ke kerak bumi dan mengeram di sana sampai kau ditampar kenyataan. Bahkan, yang kudengar dari beberapa orang, kadang kenyataan saja tidak cukup mengusir cinta ketika ia sudah kerasan mengendon di kepalamu. Itu juga yang kurasakan ketika bertemu Jody, teman kuliah yang sebelumnya sering menyuplai semangat untuk hari-hariku.

Awalnya, ia terlihat biasa saja. Lama-lama, matanya yang segaris, hidungnya yang agak minimalis, dan hobinya yang suka membawa berkotak-kotak makanan gratis, membuat ia berubah dari biasa menjadi cenderung mempesona di mataku. Setelah selusin malam Minggu kami lewati bersama, jadilah kami sepasang kekasih yang berencana menikah setelah sidang skripsi.

Aku yang telanjur mandam karena cintanya, nekat melawan Ayah yang tak pernah setuju aku menikah dulu sebelum dapat pekerjaan tetap. Ayah menyekolahkanku bukan untuk jadi ibu rumah tangga, dan otakku yang dibanjiri darah muda, takbisa berpikir panjang dan selalu dibakar semangat pemberontakan. Puncaknya, aku memilih pergi dari rumah setelah Ayah menamparku karena mempertahankan Jody, dan kini aku menyesal tak menyetujui pendapatnya.

Aku tidak banyak mengingat apa yang terjadi di hari pelarianku bersama Jody. Namun, yang masih selalu terbayang dan hadir di mimpi burukku tiap malam adalah bayangan ketika Jody meminta uangku, dan aku mendadak tak sadarkan diri setelah ia membogem pipi kiriku. Ketika bangun, aku sudah di dalam kerangkeng besar—yang pernah kuukur panjangnya tiga depa dan lebarnya tiga puluh langkah—dengan piyama satin warna putih melekat di tubuhku.

Tempat ini bukan hanya asing, tapi juga terasa kelam, menakutkan, dan penuh kesedihan. Lantainya amat dingin dan aku tidak bisa bersandar di mana pun. Namun, aku tidak sendirian. Di kanan, kiri, dan depan, ada beberapa kerangkeng yang juga diisi masing-masing dua gadis. Bagian atas tidak dilapisi kawat berduri, tapi terlalu tinggi untuk kugapai. Ada bohlam bersinar kuning buram tergantung di tengah-tengah kerangkeng. Dua kasur lantai tipis dijajar, tempatku dan seorang gadis lainnya—yang besoknya kuketahui bernama Fairy. Sementara di depannya ada kloset duduk, wastafel, dan cermin. Ya, kau tidak salah, kami tidur dan buang air di ruangan yang sama.

Fairy yang kala itu sedang duduk tak jauh dariku, menyapa, “Kaget, ya?”

Aku yang masih linglung, Cuma mengerjap-ngerjap setelah memindai sekitar.

“Sama, aku dulu juga kaget,” ucapnya datar. Fairy punya kulit sewarna pir, tahi lalat sebesar butiran nasi di atas alis sebelah kanan, dan tatapan yang tak bersahabat. “Nanti lama-lama juga terbiasa.”

Aku berdiri, lalu mengelilingi kerangkeng, dan akhirnya tak menemukan satu pun celah untuk keluar. Pintu kerangkeng itu punya gembok sebesar kepalan tanganku. Dan aku tak bisa membayangkan jika kawat-kawat berduri itu memarut kulitku. Seketika, aku panik dan berteriak, “Hei! Keluarkan saya dari sini! Saya tidak mau di sini!”

Gadis yang bersamaku itu hanya berdecak dan menunjukkan raut malas. Ia lantas berbaring di kasur lantai tipisnya dengan berbantal kedua lengan yang disilangkan. “Tidur aja. Nanti kamu malah digarap penjaga,” ucapnya.

Kala itu, aku tidak peduli. Sebelum aku sampai di kerangkeng jahanam ini, aku tidak pernah takut apa pun. Aku pernah tinggal di kos murah dekat kampus dan tidur bersama pocong semalaman. Namun, aku tidak pindah dari sana selama tiga bulan karena sudah telanjur membayar. Aku juga pernah hampir dirampok ketika pulang malam. Perampok itu pingsan setelah kusemprot matanya dengan parfum dan kupukul kepalanya dengan paving yang sebelumnya membuatku tersandung. Aku tidak pernah takut. Namun, ketika aku terbangun di tempat ini, semua nyali yang kumiliki telah dirampas oleh cahaya remang-remang, bau anyir dari kloset yang mungkin tak pernah disikat, dan dua pria penjaga berpakaian hitam-hitam—yang berkulit sama hitamnya—yang mendatangiku sambil membawa pentungan.

“Baru datang sore tadi,” kata penjaga yang kepalanya mirip pantat mangkuk kepada temannya.

Temannya yang punya codet memanjang dari atas alis hingga pipi kirinya itu menatapku sambil memukul-mukul pentungan ke pintu kerangkeng. Aku, yang juga menatapnya, menangkupkan tangan sambil membungkuk dan memohon agar dilepaskan. Namun, dua penjaga itu tetap diam. Sementara gadis-gadis di kerangkeng lain yang awalnya melihatku karena berteriak, tampak mulai rebahan di kasur mereka dan meringkuk, seperti tidak ingin melihat lagi apa yang akan terjadi.

Penjaga bercodet lantas membuka gembok dan masuk ke kerangkeng, lalu menatapku dari atas ke bawah, ke atas lagi, ke bawah lagi, lalu menatap dadaku agak lama, lalu menatap wajahku. “Kasihan. Tapi tidak ada salahnya kita coba.” Ia lantas membopongku dan membawaku keluar kerangkeng.

Aku menjerit dan memohon, tapi dua penjaga itu seperti batu. Dan saat itu, aku baru paham kenapa gadis-gadis itu memilih meringkuk dan tak mau melihatku.

***

Sebulan di sini, aku sudah bisa beradaptasi. Kami dibangunkan setiap pagi, lalu digiring ke tempat pemandian. Di sana, kami mandi bersama-sama, lalu ganti piyama putih yang bersih. Setelah mandi, kami dibawa ke tanah lapang yang berpasir dan dikelilingi tembok tinggi. Di atas tembok, ada kawat berduri, dan di setiap sudut ada menara yang diisi penjaga yang ahli menembak. Dua Minggu lalu, salah seorang gadis mencoba memanjat tembok itu dan berakhir mengenaskan setelah sebutir peluru menembus pelipisnya. Itu peringatan bagi kalian yang berniat kabur, kata penjaga dari pengeras suara.

Di lapangan itu, kami dijemur hingga dua jam, baru setelahnya kami dibawa ke kerangkeng dan diberi makan. Kami makan dua kali sehari, jam sembilan pagi dan sebelum jam enam petang. Menunya terus berulang setiap Minggu, dan aku sudah menghafalnya. Apa yang diberikan, harus dimakan saat itu juga. Jika ada yang nekat menyimpan makanan, maka suhu ruangan kerangkeng akan didinginkan sampai semua penghuninya mati beku, kecuali kalau makanan itu dibuang ke kloset. Hal itu juga yang kadang menimbulkan perselisihan antara para gadis tahanan: yang tidak ikut berbuat, ikut kena imbasnya.

Hari Selasa, menu paginya adalah roti panggang selai kacang dan susu cokelat. Aku benci susu cokelat dan lebih memilih minum air kran, sementara Fairy, alergi akut terhadap kacang. Kalau ia nekat memakan segigit saja, ia akan langsung sesak napas dan sekarat. Jadi, meskipun awalnya ia tampak tak bersahabat, lama-lama ia mengucap syukur karena punya teman satu kerangkeng yang bisa diajak bertukar makanan seperti aku. Dua teman kerangkeng yang sebelumnya bersamanya, tidak menghasilkan simbiosis mutualisme baginya.

Pagi itu, ketika aku sudah menghabiskan dua roti kacang dan minum air kran, Fairy masih diam sambil memandangi dua gelas susu cokelat di hadapannya. “Aku kangen adikku,” katanya.

Selama sebulan bersamanya, baru kali ini aku mendengar ia masih punya adik. Pada hari kedua ketika aku terbangun di kerangkeng setelah mengalami malam yang terkutuk, Fairy mendekat dan memandangiku dengan tatapan yang takbisa kuartikan. Ia lalu berkata, “Kalau sudah tidak ada orang yang menunggumu, mungkin mati lebih baik daripada menderita di sini.”

Aku beranjak duduk dan menahan sakit di sekujur tubuh. Para penjaga itu tidak jadi merobek selaput daraku karena atasan mereka datang dan memperingatkan bahwa aku barang baru yang tidak boleh berkurang nilainya selama tiga bulan, supaya laku mahal. Namun, tetap saja, aku dipaksa menyenangkan mereka dengan cara lain, yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Rahangku serasa hampir lepas dan lidahku kebas. Gumpalan daging busuk serasa nyangkut di tenggorokanku dan aromanya seperti tak mau pergi dari penciumanku selama seminggu.

“Kau beruntung malam tadi. Bos Man datang. Dia orang yang antirugi,” tambah Fairy.

Ketika ia menyebut “Bos Man”, aku langsung terbayang laki-laki seusia ayahku yang semalam mencegah para penjaga busuk itu merusakku. Dan aku juga langsung teringat ayahku. Betapa pun ia marah, aku tahu, ia sangat menyayangiku. Tanpa bisa kutahan, gumpalan yang memenuhi dada, naik ke tenggorokan dan memecahkan kerinduan bercampur penyesalan lewat mataku. “Ayah pasti sedang mencariku.”

Fairy memeluk dan menepuk-nepuk punggungku. “Kalau begitu, bertahanlah.”

Kejadian itu kini terulang dengan pemeran yang berbeda: Fairy menangis dan aku yang memeluknya. “Kita pasti bisa keluar dari sini.”

Momen sentimental itu tidak berlangsung lama, karena setelahnya, gadis dari kerangkeng sebelah berteriak minta tolong. Dua penjaga datang sambil terburu-buru dan mereka mendapati satu gadis di kerangkeng itu kejang-kejang dengan mulut berbusa. Salah seorang penjaga membuka gembok dan yang lainnya berlari keluar ruangan. Sekitar dua ratus hitungan, penjaga tadi kembali bersama dua petugas medis membawa tandu. Mereka lalu membawa pergi gadis yang kejang itu. Saat itulah sebuah bohlam menyala di kepalaku.

***

Hari Selasa, Kamis, dan Sabtu adalah hari pameran. Setiap jam dua belas siang, seluruh penjaga di sana akan datang ke kerangkeng, lalu menyuruh kami telanjang, lalu menggiring kami ke aula untuk dipamerkan.

Kami diminta berbaris sepuluh-sepuluh. Para tamu yang sudah menunggu di sana, lantas berkeliling dan memindai kami satu per satu. Ada lima puluh delapan gadis yang saat ini tersisa, termasuk aku. Rata-rata mereka seusiaku. Para tamu itu bebas memilih dan menawar salah satu dari kami untuk dibawa pulang keesokan harinya.

Kami diperlakukan seperti hewan peliharaan yang menunggu ada majikan bersedia mengadopsi. Ah, istilah itu bahkan terlalu bagus. Di sini, semuanya kembali ke era perbudakan. Siapa yang berani menawar harga tinggi, ia yang akan membawa pulang budak pilihannya. Lebih tepatnya, kami diperlakukan layaknya barang dagangan. Yang mulus tanpa cela, berbadan sekal, apalagi masih perawan, akan laku dengan harga sampai ratusan juta, bahkan satu miliar, seperti gadis yang dua hari sebelumnya dijemput dari kerangkeng.

Seorang pemilik pantofel hitam mengkilat berhenti di depanku. Aku yang tengah menunduk, seketika mendongak dan menatap sekilas, lalu menunduk lagi. Namun, pria yang memakai setelan jas hitam dan beraroma sitrus itu—yang kutaksir usianya sekitar 40 tahun—memegang daguku dan memaksaku menatap wajahnya. Ia memiringkan rahangku ke kiri dan ke kanan, lalu memindai tubuhku dari atas ke bawah, lalu melepaskan daguku.

Bos Man mendekat dan tersenyum. “Mister suka? Masih segel.”

Mendengar ucapan Bos Man, hatiku rasanya seperti direbus. Aku ingin sekali meludahi wajahnya.

Pria blasteran yang wajahnya dihiasi bintik-bintik cokelat itu mengangguk. “Saya suka warna kulitnya. Tapi dadanya agak ….”

Meskipun orang itu tak melanjutkan, aku paham maksudnya.

“Dia memang paling mungil di sini, Mister. Tapi, sepertinya itu masih bisa tumbuh.”

Aku mengepalkan kedua tangan. Kata-kata Bos Man sungguh mencincang telingaku. Aku benar-benar jadi barang dagangan yang sedang ditawar di depan mataku sendiri.

“Saya akan bawa dia Minggu depan. Tolong jaga dia untuk saya,” ucap orang itu. Dan terjadilah, aku sudah dibeli dan ditandai dengan stiker merah di punggung tangan kanan. Tak pernah terbayangkan, bahkan dalam mimpi sekali pun, hidupku akan ditukar seharga enam ratus lima puluh juta. Setelah keluar dari kandang ini, aku tidak tahu nasib apa yang akan menimpaku. Mungkin aku akan dijadikan pembantu, gundik, atau penari telanjang yang siap digagahi di atas panggung.

Setelah transaksi selesai, kami kembali digiring ke kerangkeng. Mister Hans akan membawaku Selasa depan. Jadi, sementara aku tetap tinggal di kerangkeng jahanam ini. Bagiku, tidak ada bedanya: lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut singa. Selamanya, aku akan tetap hidup di dalam kerangkeng jika tak berhasil kabur.

“Kamu beruntung lagi.” Fairy memecah hening ketika aku tengah sibuk membayangkan hal-hal buruk setelah dibawa Mister Hans. “Kamu percaya Tuhan?” tanyanya kemudian.

Aku diam sejenak. Sebelumnya, aku memang tak terlalu percaya. Namun, sejak masuk ke tempat terkutuk ini, aku selalu berdoa agar Yesus menjaga Ayah dan melindungiku. Kedatangan Bos Man waktu itu, mungkin salah satu bentuk perlindungan Yesus kepadaku. “Untuk sekarang, mungkin iya.”

“Sebaiknya kau berdoa malam ini,” ucap Fairy sebelum tidur memunggungiku.

***

Aku terjaga ketika sesuatu menghalangi jalan napasku. Dadaku seperti diimpit batu dan tenggorokanku dipaksa membeku. Lama-lama rasanya sesak dan aku melihat Ayah. Ia duduk sendiri di ruang kerja dan menangis. Aku ingin memeluknya dan meminta maaf. Untuk itu, aku harus menyingkirkan sesuatu yang berusaha menghentikan detak jantungku sekarang. Kupukul-pukul siapa saja yang tengah menindih perut dan membekap wajahku dengan bantal. Aku harus bertahan agar bisa bertemu Ayah.

Lama-lama bekapan itu melemah. Aku melempar bantal sialan itu jauh-jauh dan mendapati Fairy duduk di perutku. Kini, ia beralih mencekik leherku. Aku terbatuk. Dadaku sesak, leherku seperti mau patah. Fairy menatapku sambil menangis. Saat cengkeramannya sedikit melemah, aku berhasil lepas, lalu meraih rambutnya yang panjang. Ia menjerit ketika kuseret dan kubenturkan ke kerangkeng. Ia bangkit terbungkuk-bungkuk. Punggungnya berlumur darah. Ia jatuh dan meringkuk kesakitan, sementara aku meraup oksigen sebanyak-banyaknya sambil menahan sakit di leher.

Ruangan kerangkeng gaduh. Gadis-gadis lain menjerit dan berteriak minta tolong. Dua penjaga masuk dan membuka gembok kerangkengku. Tak lama kemudian, dua petugas medis datang membawa tandu bersama satu penjaga lagi. Mereka membawa Fairy, sedangkan penjaga bercodet yang kutemui ketika pertama kali terdampar di sini, menatap dan seakan-akan ingin menelanku bulat-bulat.

Penjaga itu lantas membopongku ke ruangan Bos Man. Di sana Bos Man sudah menunggu sambil duduk di atas meja kerjanya. Penjaga bercodet itu menurunkanku, lalu keluar.

Bos Man menatapku. Aku balas menatapnya. “Saya cuma membela diri!” Tangan kanan Bos Man terangkat hendak menamparku. Namun, aku berhasil menahannya. “Harga saya enam ratus lima puluh juta. Jika saya terluka sedikit saja, Anda mau membayar ganti rugi kepada Mister Hans?”

Bos Man menurunkan tangannya. “Rugi? Berapa biaya perawatan yang dibutuhkan temanmu itu sampai lukanya tidak berbekas?”

“Kalau begitu, Anda bisa menjual dia lebih mahal ketika sembuh.”

Bos Man tersenyum miring. “Gadis itu sudah tidak perawan ketika dibawa ke sini. Nilainya makin turun karena tak laku-laku.”

Aku bertepuk tangan. “Siapa Anda, boleh menilai kami sesuka hati?”

Bos Man mencengkeram rahangku. Aku balas menatapnya tanpa rasa takut. Tampak sekali ia berusaha menahan diri untuk tidak melukaiku. Dan aku menyambutnya dengan tawa kemenangan. Ia mengempaskan rahangku kasar, lalu mendengkus. Malam itu, ia menghukumku tidur di lapangan.

***

Tiga hari kemudian, Fairy kembali. Namun, ia tak ditempatkan kembali bersamaku. Saat kami dijemur di lapangan, ia mendekat. Aku cuma menatapnya yang tampak kikuk.

“Mau minta maaf?” tanyaku.

Ia mengangguk. “Aku ingin keluar dari sini. Tapi kamu selalu lebih beruntung.”

Aku paham apa yang ia rasakan, meskipun tak membenarkan perbuatannya. Selama ini, ia kuanggap sebagai teman seperjuangan. Namun, rupanya ia cuma menganggapku saingan.

Tiba-tiba ia berlutut di depanku. Gadis-gadis lain melihat kami dan mereka meniup puting beliung ke telingaku.

Fairy menangis sambil menangkupkan tangan. “Tolong aku. Terakhir, sebelum ke sini, adikku sedang sakit. Aku harus keluar supaya bisa tahu kabarnya.”

Aku benci ini. Fairy menyerang titik kelemahanku tanpa ampun. Ia bahkan memeluk kakiku sambil meraung. Kami jadi bahan tontonan sampai para penjaga datang dan membubarkan kami. Namun, air mata Fairy terus membanjiri pikiranku.

***

Selasa, Mister Hans seharusnya datang menjemputku. Namun, ia mengabarkan kalau baru bisa datang Rabu karena suatu urusan. Hal ini membuat ide yang sempat tenggelam di kepalaku, terbit lagi ke permukaan.

Roti panggang selai kacang. Kuminta Fairy memakannya walau hanya segigit. Tidak apa-apa ia sekarat sebentar, pastinya setelah itu ia akan dibawa ke rumah sakit terdekat. Itulah saat yang bagus untuk melarikan diri.

“Aku sudah mencobanya ketika dirawat kemarin. Penjagaannya ketat,” kata Fairy saat kusampaikan ideku.

“Kemarin kamu sendirian. Sekarang ada aku. Kita pergi bersama.”

Tepat setelah itu, penjaga menyuruh kami berbaris dan menggiring kami kembali ke kerangkeng. Kami masuk dan menerima makanan seperti biasa. Dan aku menunggu detik-detik Fairy memutuskan. Tak lama kemudian, teman satu kerangkeng Fairy berteriak minta tolong. Ternyata, Fairy menyetujui ide gilaku. Setelah beberapa detik mereka pergi, teman satu kerangkengku yang baru juga berteriak dan di dalam perutku seperti ada ular yang mematuk-matuk. Ini sudah kuduga, tapi aku tak mengira sakitnya akan seperti ini. Tak lama kemudian, apa yang kumakan beberapa menit lalu, meluncur begitu saja dari kerongkongan. Kepalaku seperti berputar-putar. Aku tidak menyangka efek minum air kloset akan separah ini. Namun, tidak apa-apa. Fairy, kita akan bebas!

***

Kautahu rasanya tidur di awan? Saat ini aku sedang merasakannya: sejuk, damai, dan terpenuhi. Saat membuka mata, kulihat Ayah duduk di sisi ranjang sambil membelai rambutku. Tiba-tiba saja, dadaku terasa penuh. Aku lantas menghambur dan terisak di pelukannya. Ayah menepuk-nepuk punggungku dan berkata, “Ayah sudah memaafkan kamu.”

Ayah melepas pelukanku. Wajahnya tampak bersinar. “Jangan menyerah, teruslah hidup.” Ayah tersenyum, lalu berdiri. “Ayah pergi dulu.”

Aku meraih tangan Ayah. “Ayah mau ke mana?”

Ayah tidak menjawab. Ia terus tersenyum, hingga perlahan tubuhnya memudar dan berubah menjadi titik-titik cahaya kecil, lalu menghilang. Aku tercengang. Ke mana perginya Ayah? Aku berteriak memanggil Ayah berulang kali, tapi Ayah tak datang lagi. Aku bangun, hendak mengejarnya. Namun, tiba-tiba aku tersandung dan tersungkur tepat di depan sepatu pantofel hitam mengkilat yang tak asing di ingatanku.

Aku mendongak dan seketika tersadar dari mimpi. Entah mengapa, seperti ada sesuatu membaret di dalam dadaku hingga rasanya sangat sakit. Aku terisak-isak, sampai akhirnya menyadari sesuatu, ini terlalu mewah untuk kamar rumah sakit: ranjangnya besar dan empuk, ada cermin dan lemari di sisi kiri, serta meja antik di sebelah kanan. Dalam kebingungan yang mendera, aku mendengar langkah kaki dari pintu masuk kamar.

“Sudah bangun?” Mister Hans menatapku sambil tersenyum.

Saat itu, aku langsung sadar. Fairy mungkin sedang mengutukku dalam kerangkengnya. Rencanaku tidak direstui Tuhan. Dan Ayah mungkin sudah pergi lebih dulu meninggalkanku.

Mister Hans makin mendekat. Aku beringsut mundur. Tangannya hendak menyentuhku, tapi aku menepisnya. Ia duduk di ranjang, aku menjauhinya. Ia lantas menangkap dan memenjarakanku di antara dua lengannya. Saat aku menoleh ke kanan, di atas meja antik, ada sepiring apel lengkap dengan pisaunya.

“Peliharaan harus menuruti keinginan tuannya, Nona,” bisik Mister Hans.

“Saya tidak suka hidup dalam kerangkeng, Mister.”

Mister Hans menjelma ombak. Aku tergulung, terhempas, tergulung lagi, terhempas lagi, tersapu badai, kemudian terdampar ke dataran hampa. Mungkin ini akhir takdir yang kuterima. Meskipun demikian, aku tetap menolak hidup dalam kerangkeng seumur hidupku. Dan aku harus minta maaf lagi kepada Ayah karena, lagi-lagi, tak setuju dengan sarannya.



Tuban, 25 Agustus 2022

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url