Remorse - Damian Buenavista
RemorseDamian Buenavista
Seandainya aku tidak nekad melawan ayahku, lalu kabur bersama
Jody—laki-laki yang sangat aku percayai, tentu aku masih bisa berangkat ke
kampus pagi-pagi, lalu sarapan bubur ayam di kantin, dan nonton live music di kafe dekat alun-alun pada
malam Minggu. Sejak hari itu, aku selalu bertanya dalam hati, apa aku bisa
tidur siang lagi di hari libur, atau sekadar joging dan beli jajanan di car free day seperti sebulan yang lalu? Namun, ketika melihat jajaran besi berbalut
kawat berduri di depanku, aku langsung kembali ke kenyataan: tepat jam dua
belas siang, mereka akan datang.
Ini hari pameran, begitu sebut
mereka. Dan kami dipaksa telanjang untuk diperiksa, apakah ada kudis, kurap,
atau kutu monyet di tubuh kami. Bagian yang paling kubenci adalah ketika
penjaga-penjaga tak bermoral itu kadang memaksa kami berlutut dan membuka mulut
dan menjulurkan lidah layaknya anjing. Lalu mereka, dengan sikap penuh
ke-anjing-an juga, memasukkan milik mereka dan meminta kami memperlakukannya
dengan sepenuh hati hingga mereka muntah di tenggorokan kami. Selama sebulan di
sini, aku sudah dimuntahi delapan milik penjaga. Ya, kau benar, ini adalah
neraka!
Begini, kau tahu rasanya jatuh
cinta? Aku yakin, saat perasaan itu datang mengunjungimu, kepandaianmu yang
selalu kauagung-agungkan, juga logika yang kaujunjung setinggi pesawat lewat,
pasti mendadak terjun ke kerak bumi dan mengeram di sana sampai kau ditampar
kenyataan. Bahkan, yang kudengar dari beberapa orang, kadang kenyataan saja
tidak cukup mengusir cinta ketika ia sudah kerasan mengendon di kepalamu. Itu juga yang kurasakan ketika bertemu Jody, teman
kuliah yang sebelumnya sering menyuplai semangat untuk hari-hariku.
Awalnya, ia terlihat biasa saja.
Lama-lama, matanya yang segaris, hidungnya yang agak minimalis, dan hobinya
yang suka membawa berkotak-kotak makanan gratis, membuat ia berubah dari biasa
menjadi cenderung mempesona di mataku. Setelah selusin malam Minggu kami lewati
bersama, jadilah kami sepasang kekasih yang berencana menikah setelah sidang
skripsi.
Aku yang telanjur mandam karena
cintanya, nekat melawan Ayah yang tak pernah
setuju aku menikah dulu sebelum dapat pekerjaan tetap. Ayah menyekolahkanku
bukan untuk jadi ibu rumah tangga, dan otakku yang dibanjiri darah muda,
takbisa berpikir panjang dan selalu dibakar semangat pemberontakan. Puncaknya,
aku memilih pergi dari rumah setelah Ayah menamparku karena mempertahankan
Jody, dan kini aku menyesal tak menyetujui pendapatnya.
Aku tidak banyak mengingat apa
yang terjadi di hari pelarianku bersama Jody. Namun, yang masih selalu
terbayang dan hadir di mimpi burukku tiap malam adalah bayangan ketika Jody
meminta uangku, dan aku mendadak tak sadarkan diri setelah ia membogem pipi kiriku.
Ketika bangun, aku sudah di dalam kerangkeng besar—yang pernah kuukur
panjangnya tiga depa dan lebarnya tiga puluh langkah—dengan piyama satin warna
putih melekat di tubuhku.
Tempat ini bukan hanya asing,
tapi juga terasa kelam, menakutkan, dan penuh kesedihan. Lantainya amat dingin
dan aku tidak bisa bersandar di mana pun. Namun, aku tidak sendirian. Di kanan,
kiri, dan depan, ada beberapa kerangkeng yang juga diisi masing-masing dua
gadis. Bagian atas tidak dilapisi kawat berduri, tapi terlalu tinggi untuk
kugapai. Ada bohlam bersinar kuning buram tergantung di tengah-tengah
kerangkeng. Dua kasur lantai tipis dijajar, tempatku dan seorang gadis
lainnya—yang besoknya kuketahui bernama Fairy. Sementara di depannya ada kloset
duduk, wastafel, dan cermin. Ya, kau tidak salah, kami tidur dan buang air di
ruangan yang sama.
Fairy yang kala itu sedang duduk
tak jauh dariku, menyapa, “Kaget, ya?”
Aku yang masih linglung, Cuma
mengerjap-ngerjap setelah memindai sekitar.
“Sama, aku dulu juga kaget,”
ucapnya datar. Fairy punya kulit sewarna pir, tahi lalat sebesar butiran nasi
di atas alis sebelah kanan, dan tatapan yang tak bersahabat. “Nanti lama-lama
juga terbiasa.”
Aku berdiri, lalu mengelilingi
kerangkeng, dan akhirnya tak menemukan satu pun celah untuk keluar. Pintu
kerangkeng itu punya gembok sebesar kepalan tanganku. Dan aku tak bisa
membayangkan jika kawat-kawat berduri itu memarut kulitku. Seketika, aku panik
dan berteriak, “Hei! Keluarkan saya dari sini! Saya tidak mau di sini!”
Gadis yang bersamaku itu hanya
berdecak dan menunjukkan raut malas. Ia lantas berbaring di kasur lantai
tipisnya dengan berbantal kedua lengan yang disilangkan. “Tidur aja. Nanti kamu
malah digarap penjaga,” ucapnya.
Kala itu, aku tidak peduli.
Sebelum aku sampai di kerangkeng jahanam ini, aku tidak pernah takut apa pun.
Aku pernah tinggal di kos murah dekat kampus dan tidur bersama pocong
semalaman. Namun, aku tidak pindah dari sana
selama tiga bulan karena sudah telanjur membayar. Aku juga pernah hampir
dirampok ketika pulang malam. Perampok itu pingsan setelah kusemprot matanya
dengan parfum dan kupukul kepalanya dengan paving
yang sebelumnya membuatku tersandung. Aku tidak pernah takut. Namun, ketika aku
terbangun di tempat ini, semua nyali yang kumiliki telah dirampas oleh cahaya
remang-remang, bau anyir dari kloset yang mungkin tak pernah disikat, dan dua
pria penjaga berpakaian hitam-hitam—yang berkulit sama hitamnya—yang
mendatangiku sambil membawa pentungan.
“Baru datang sore tadi,” kata
penjaga yang kepalanya mirip pantat mangkuk kepada temannya.
Temannya yang punya codet
memanjang dari atas alis hingga pipi kirinya itu menatapku sambil memukul-mukul
pentungan ke pintu kerangkeng. Aku, yang juga menatapnya, menangkupkan tangan
sambil membungkuk dan memohon agar dilepaskan. Namun, dua penjaga itu tetap
diam. Sementara gadis-gadis di kerangkeng lain yang awalnya melihatku karena
berteriak, tampak mulai rebahan di kasur mereka dan meringkuk, seperti tidak ingin melihat lagi apa yang akan terjadi.
Penjaga bercodet lantas membuka
gembok dan masuk ke kerangkeng, lalu menatapku dari atas ke bawah, ke atas
lagi, ke bawah lagi, lalu menatap dadaku agak lama, lalu menatap wajahku.
“Kasihan. Tapi tidak ada salahnya kita coba.” Ia lantas membopongku dan membawaku
keluar kerangkeng.
Aku menjerit dan memohon, tapi
dua penjaga itu seperti batu. Dan saat itu, aku baru paham kenapa gadis-gadis
itu memilih meringkuk dan tak mau melihatku.
***
Sebulan di sini, aku sudah bisa beradaptasi. Kami dibangunkan setiap pagi,
lalu digiring ke tempat pemandian. Di sana, kami mandi bersama-sama, lalu ganti
piyama putih yang bersih. Setelah mandi, kami dibawa ke tanah lapang yang
berpasir dan dikelilingi tembok tinggi. Di atas tembok, ada kawat berduri, dan
di setiap sudut ada menara yang diisi penjaga yang ahli menembak. Dua Minggu
lalu, salah seorang gadis mencoba memanjat tembok itu dan berakhir mengenaskan
setelah sebutir peluru menembus pelipisnya. Itu peringatan bagi kalian yang
berniat kabur, kata penjaga dari pengeras suara.
Di lapangan itu, kami dijemur
hingga dua jam, baru setelahnya kami dibawa ke kerangkeng dan diberi makan.
Kami makan dua kali sehari, jam sembilan pagi dan sebelum jam enam petang.
Menunya terus berulang setiap Minggu, dan aku sudah menghafalnya. Apa yang
diberikan, harus dimakan saat itu juga. Jika ada yang nekat menyimpan makanan, maka suhu ruangan kerangkeng akan didinginkan sampai
semua penghuninya mati beku, kecuali kalau makanan itu dibuang ke kloset. Hal
itu juga yang kadang menimbulkan perselisihan antara para gadis tahanan: yang
tidak ikut berbuat, ikut kena imbasnya.
Hari Selasa, menu paginya adalah
roti panggang selai kacang dan susu cokelat. Aku benci susu cokelat dan lebih
memilih minum air kran, sementara Fairy, alergi akut terhadap kacang. Kalau ia
nekat memakan segigit saja, ia akan
langsung sesak napas dan sekarat. Jadi, meskipun awalnya ia tampak tak
bersahabat, lama-lama ia mengucap syukur karena punya teman satu kerangkeng
yang bisa diajak bertukar makanan seperti aku. Dua teman kerangkeng yang sebelumnya
bersamanya, tidak menghasilkan simbiosis mutualisme baginya.
Pagi itu, ketika aku sudah
menghabiskan dua roti kacang dan minum air kran, Fairy masih diam sambil
memandangi dua gelas susu cokelat di hadapannya. “Aku kangen adikku,” katanya.
Selama sebulan bersamanya, baru
kali ini aku mendengar ia masih punya adik. Pada hari kedua ketika aku
terbangun di kerangkeng setelah mengalami malam yang terkutuk, Fairy mendekat
dan memandangiku dengan tatapan yang takbisa kuartikan. Ia lalu berkata, “Kalau
sudah tidak ada orang yang menunggumu, mungkin mati lebih baik daripada
menderita di sini.”
Aku beranjak duduk dan menahan
sakit di sekujur tubuh. Para penjaga itu tidak jadi merobek selaput daraku
karena atasan mereka datang dan memperingatkan bahwa aku barang baru yang tidak
boleh berkurang nilainya selama tiga bulan, supaya laku mahal. Namun, tetap
saja, aku dipaksa menyenangkan mereka dengan cara lain, yang tidak pernah aku
bayangkan sebelumnya. Rahangku serasa hampir lepas dan lidahku kebas. Gumpalan
daging busuk serasa nyangkut di tenggorokanku dan aromanya seperti tak mau
pergi dari penciumanku selama seminggu.
“Kau beruntung malam tadi. Bos
Man datang. Dia orang yang antirugi,” tambah Fairy.
Ketika ia menyebut “Bos Man”, aku
langsung terbayang laki-laki seusia ayahku yang semalam mencegah para penjaga
busuk itu merusakku. Dan aku juga langsung teringat ayahku. Betapa pun ia
marah, aku tahu, ia sangat menyayangiku. Tanpa bisa kutahan, gumpalan yang
memenuhi dada, naik ke tenggorokan dan memecahkan kerinduan bercampur
penyesalan lewat mataku. “Ayah pasti sedang mencariku.”
Fairy memeluk dan menepuk-nepuk
punggungku. “Kalau begitu, bertahanlah.”
Kejadian itu kini terulang dengan
pemeran yang berbeda: Fairy menangis dan aku yang memeluknya. “Kita pasti bisa
keluar dari sini.”
Momen sentimental itu tidak
berlangsung lama, karena setelahnya, gadis dari kerangkeng sebelah berteriak
minta tolong. Dua penjaga datang sambil terburu-buru dan mereka mendapati satu
gadis di kerangkeng itu kejang-kejang dengan mulut berbusa. Salah seorang
penjaga membuka gembok dan yang lainnya berlari keluar ruangan. Sekitar dua
ratus hitungan, penjaga tadi kembali bersama dua petugas medis membawa tandu.
Mereka lalu membawa pergi gadis yang kejang itu. Saat itulah sebuah bohlam
menyala di kepalaku.
***
Hari Selasa, Kamis, dan Sabtu adalah hari pameran. Setiap jam dua belas
siang, seluruh penjaga di sana akan datang ke kerangkeng, lalu menyuruh kami
telanjang, lalu menggiring kami ke aula untuk dipamerkan.
Kami diminta berbaris
sepuluh-sepuluh. Para tamu yang sudah menunggu di sana, lantas berkeliling dan
memindai kami satu per satu. Ada lima puluh delapan
gadis yang saat ini tersisa, termasuk aku. Rata-rata mereka seusiaku. Para tamu
itu bebas memilih dan menawar salah satu dari kami untuk dibawa pulang keesokan
harinya.
Kami diperlakukan seperti hewan
peliharaan yang menunggu ada majikan bersedia mengadopsi. Ah, istilah itu
bahkan terlalu bagus. Di sini, semuanya kembali ke era perbudakan. Siapa yang
berani menawar harga tinggi, ia yang akan membawa pulang budak pilihannya.
Lebih tepatnya, kami diperlakukan layaknya barang dagangan. Yang mulus tanpa
cela, berbadan sekal, apalagi masih perawan, akan laku dengan harga sampai
ratusan juta, bahkan satu miliar, seperti gadis yang dua hari sebelumnya
dijemput dari kerangkeng.
Seorang pemilik pantofel hitam
mengkilat berhenti di depanku. Aku yang tengah menunduk, seketika mendongak dan
menatap sekilas, lalu menunduk lagi. Namun, pria yang memakai setelan jas hitam
dan beraroma sitrus itu—yang kutaksir usianya sekitar 40 tahun—memegang daguku
dan memaksaku menatap wajahnya. Ia memiringkan rahangku ke kiri dan ke kanan,
lalu memindai tubuhku dari atas ke bawah, lalu melepaskan daguku.
Bos Man mendekat dan tersenyum.
“Mister suka? Masih segel.”
Mendengar ucapan Bos Man, hatiku
rasanya seperti direbus. Aku ingin sekali meludahi wajahnya.
Pria blasteran yang wajahnya
dihiasi bintik-bintik cokelat itu mengangguk. “Saya suka warna kulitnya. Tapi
dadanya agak ….”
Meskipun orang itu tak
melanjutkan, aku paham maksudnya.
“Dia memang paling mungil di
sini, Mister. Tapi, sepertinya itu masih bisa tumbuh.”
Aku mengepalkan kedua tangan.
Kata-kata Bos Man sungguh mencincang telingaku. Aku benar-benar jadi barang
dagangan yang sedang ditawar di depan mataku sendiri.
“Saya akan bawa dia Minggu depan.
Tolong jaga dia untuk saya,” ucap orang itu. Dan terjadilah, aku sudah dibeli
dan ditandai dengan stiker merah di punggung tangan kanan. Tak pernah
terbayangkan, bahkan dalam mimpi sekali pun, hidupku
akan ditukar seharga enam ratus lima puluh juta. Setelah keluar dari kandang
ini, aku tidak tahu nasib apa yang akan menimpaku. Mungkin aku akan dijadikan
pembantu, gundik, atau penari telanjang yang siap digagahi di atas panggung.
Setelah transaksi selesai, kami
kembali digiring ke kerangkeng. Mister Hans akan membawaku Selasa depan. Jadi,
sementara aku tetap tinggal di kerangkeng jahanam ini. Bagiku, tidak ada
bedanya: lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut singa. Selamanya, aku akan
tetap hidup di dalam kerangkeng jika tak berhasil kabur.
“Kamu beruntung lagi.” Fairy
memecah hening ketika aku tengah sibuk membayangkan hal-hal buruk setelah
dibawa Mister Hans. “Kamu percaya Tuhan?” tanyanya kemudian.
Aku diam sejenak. Sebelumnya, aku
memang tak terlalu percaya. Namun, sejak masuk ke tempat terkutuk ini, aku
selalu berdoa agar Yesus menjaga Ayah dan melindungiku. Kedatangan Bos Man
waktu itu, mungkin salah satu bentuk perlindungan Yesus kepadaku. “Untuk
sekarang, mungkin iya.”
“Sebaiknya kau berdoa malam ini,”
ucap Fairy sebelum tidur memunggungiku.
***
Aku terjaga ketika sesuatu menghalangi jalan napasku. Dadaku seperti
diimpit batu dan tenggorokanku dipaksa membeku. Lama-lama rasanya sesak dan aku
melihat Ayah. Ia duduk sendiri di ruang kerja dan menangis. Aku ingin
memeluknya dan meminta maaf. Untuk itu, aku harus menyingkirkan sesuatu yang
berusaha menghentikan detak jantungku sekarang. Kupukul-pukul siapa saja yang
tengah menindih perut dan membekap wajahku dengan bantal. Aku harus bertahan
agar bisa bertemu Ayah.
Lama-lama bekapan itu melemah.
Aku melempar bantal sialan itu jauh-jauh dan mendapati Fairy duduk di perutku.
Kini, ia beralih mencekik leherku. Aku terbatuk. Dadaku sesak, leherku seperti
mau patah. Fairy menatapku sambil menangis. Saat cengkeramannya sedikit
melemah, aku berhasil lepas, lalu meraih rambutnya yang panjang. Ia menjerit
ketika kuseret dan kubenturkan ke kerangkeng. Ia bangkit terbungkuk-bungkuk.
Punggungnya berlumur darah. Ia jatuh dan meringkuk kesakitan, sementara aku
meraup oksigen sebanyak-banyaknya sambil menahan sakit di leher.
Ruangan kerangkeng gaduh.
Gadis-gadis lain menjerit dan berteriak minta tolong. Dua penjaga masuk dan
membuka gembok kerangkengku. Tak lama kemudian, dua petugas medis datang
membawa tandu bersama satu penjaga lagi. Mereka membawa Fairy, sedangkan penjaga bercodet yang kutemui ketika pertama kali terdampar di sini,
menatap dan seakan-akan ingin menelanku bulat-bulat.
Penjaga itu lantas membopongku ke
ruangan Bos Man. Di sana Bos Man sudah menunggu sambil duduk di atas meja
kerjanya. Penjaga bercodet itu menurunkanku, lalu keluar.
Bos Man menatapku. Aku balas
menatapnya. “Saya cuma membela diri!” Tangan kanan
Bos Man terangkat hendak menamparku. Namun, aku berhasil menahannya. “Harga
saya enam ratus lima puluh juta. Jika saya terluka sedikit saja, Anda mau
membayar ganti rugi kepada Mister Hans?”
Bos Man menurunkan tangannya.
“Rugi? Berapa biaya perawatan yang dibutuhkan temanmu itu sampai lukanya tidak
berbekas?”
“Kalau begitu, Anda bisa menjual
dia lebih mahal ketika sembuh.”
Bos Man tersenyum miring. “Gadis
itu sudah tidak perawan ketika dibawa ke sini. Nilainya makin turun karena tak
laku-laku.”
Aku bertepuk tangan. “Siapa Anda,
boleh menilai kami sesuka hati?”
Bos Man mencengkeram rahangku.
Aku balas menatapnya tanpa rasa takut. Tampak sekali ia berusaha menahan diri
untuk tidak melukaiku. Dan aku menyambutnya dengan tawa kemenangan. Ia
mengempaskan rahangku kasar, lalu mendengkus. Malam itu, ia menghukumku tidur
di lapangan.
***
Tiga hari kemudian, Fairy kembali. Namun, ia tak ditempatkan kembali
bersamaku. Saat kami dijemur di lapangan, ia mendekat. Aku cuma menatapnya yang tampak kikuk.
“Mau minta maaf?” tanyaku.
Ia mengangguk. “Aku ingin keluar
dari sini. Tapi kamu selalu lebih beruntung.”
Aku paham apa yang ia rasakan,
meskipun tak membenarkan perbuatannya. Selama ini, ia kuanggap sebagai teman
seperjuangan. Namun, rupanya ia cuma
menganggapku saingan.
Tiba-tiba ia berlutut di depanku.
Gadis-gadis lain melihat kami dan mereka meniup puting beliung ke telingaku.
Fairy menangis sambil
menangkupkan tangan. “Tolong aku. Terakhir, sebelum ke sini, adikku sedang
sakit. Aku harus keluar supaya bisa tahu kabarnya.”
Aku benci ini. Fairy menyerang
titik kelemahanku tanpa ampun. Ia bahkan memeluk kakiku sambil meraung. Kami
jadi bahan tontonan sampai para penjaga datang dan membubarkan kami. Namun, air
mata Fairy terus membanjiri pikiranku.
***
Selasa, Mister Hans seharusnya datang menjemputku. Namun, ia mengabarkan
kalau baru bisa datang Rabu karena suatu urusan. Hal ini membuat ide yang
sempat tenggelam di kepalaku, terbit lagi ke permukaan.
Roti panggang selai kacang.
Kuminta Fairy memakannya walau hanya segigit. Tidak apa-apa ia sekarat
sebentar, pastinya setelah itu ia akan dibawa ke rumah sakit terdekat. Itulah
saat yang bagus untuk melarikan diri.
“Aku sudah mencobanya ketika
dirawat kemarin. Penjagaannya ketat,” kata Fairy saat kusampaikan ideku.
“Kemarin kamu sendirian. Sekarang
ada aku. Kita pergi bersama.”
Tepat setelah itu, penjaga
menyuruh kami berbaris dan menggiring kami kembali ke kerangkeng. Kami masuk
dan menerima makanan seperti biasa. Dan aku menunggu detik-detik Fairy
memutuskan. Tak lama kemudian, teman satu kerangkeng Fairy berteriak minta tolong.
Ternyata, Fairy menyetujui ide gilaku. Setelah beberapa detik mereka pergi,
teman satu kerangkengku yang baru juga berteriak dan di dalam perutku seperti
ada ular yang mematuk-matuk. Ini sudah kuduga, tapi aku tak mengira sakitnya
akan seperti ini. Tak lama kemudian, apa yang kumakan beberapa menit lalu,
meluncur begitu saja dari kerongkongan. Kepalaku seperti berputar-putar. Aku
tidak menyangka efek minum air kloset akan separah ini. Namun, tidak apa-apa.
Fairy, kita akan bebas!
***
Kautahu rasanya tidur di awan? Saat ini aku sedang merasakannya: sejuk,
damai, dan terpenuhi. Saat membuka mata, kulihat Ayah duduk di sisi ranjang
sambil membelai rambutku. Tiba-tiba saja, dadaku terasa penuh. Aku lantas
menghambur dan terisak di pelukannya. Ayah menepuk-nepuk punggungku dan
berkata, “Ayah sudah memaafkan kamu.”
Ayah melepas pelukanku. Wajahnya
tampak bersinar. “Jangan menyerah, teruslah hidup.” Ayah tersenyum, lalu
berdiri. “Ayah pergi dulu.”
Aku meraih tangan Ayah. “Ayah mau
ke mana?”
Ayah tidak menjawab. Ia terus
tersenyum, hingga perlahan tubuhnya memudar dan berubah menjadi titik-titik
cahaya kecil, lalu menghilang. Aku tercengang. Ke mana perginya Ayah? Aku
berteriak memanggil Ayah berulang kali, tapi Ayah tak datang lagi. Aku bangun,
hendak mengejarnya. Namun, tiba-tiba aku tersandung dan tersungkur tepat di
depan sepatu pantofel hitam mengkilat yang tak asing di ingatanku.
Aku mendongak dan seketika
tersadar dari mimpi. Entah mengapa, seperti ada sesuatu membaret di dalam
dadaku hingga rasanya sangat sakit. Aku terisak-isak, sampai akhirnya menyadari
sesuatu, ini terlalu mewah untuk kamar rumah sakit: ranjangnya besar dan empuk,
ada cermin dan lemari di sisi kiri, serta meja antik di sebelah kanan. Dalam
kebingungan yang mendera, aku mendengar langkah kaki dari pintu masuk kamar.
“Sudah bangun?” Mister Hans
menatapku sambil tersenyum.
Saat itu, aku langsung sadar.
Fairy mungkin sedang mengutukku dalam kerangkengnya. Rencanaku tidak direstui
Tuhan. Dan Ayah mungkin sudah pergi lebih dulu meninggalkanku.
Mister Hans makin mendekat. Aku
beringsut mundur. Tangannya hendak menyentuhku, tapi aku menepisnya. Ia duduk
di ranjang, aku menjauhinya. Ia lantas menangkap dan memenjarakanku di antara
dua lengannya. Saat aku menoleh ke kanan, di atas meja antik, ada sepiring apel
lengkap dengan pisaunya.
“Peliharaan harus menuruti
keinginan tuannya, Nona,” bisik Mister Hans.
“Saya tidak suka hidup dalam
kerangkeng, Mister.”
Mister Hans menjelma ombak. Aku tergulung, terhempas, tergulung lagi, terhempas lagi, tersapu badai, kemudian terdampar ke dataran hampa. Mungkin ini akhir takdir yang kuterima. Meskipun demikian, aku tetap menolak hidup dalam kerangkeng seumur hidupku. Dan aku harus minta maaf lagi kepada Ayah karena, lagi-lagi, tak setuju dengan sarannya.