The Black Phoenix - Damian Buenavista



The Black Phoenix
Damian Buenavista



Yang mati, pasti akan hidup kembali. Kematian adalah pintu. Dan masa lalu tak selamanya akan terkubur. (The Mummy)

Sebelas tahun yang lalu, aku hidup. Aku adalah mataharinya. Aku adalah penolongnya. Aku adalah semua yang didambakannya. Namun, Ibu dan Ayah tak menyukaiku. Kata mereka, aku adalah nasib sialnya. Dan akhirnya, aku ….

Delapan dari sepuluh temanku membenci hari Senin, sisanya tidak terlalu ambil pusing. Ketika aku berkata tidak membenci hari Senin, mereka balik bertanya, apa ada hari yang lebih memuakkan selain Senin? Ada, jawabku, itu hari Rabu dan Kamis. Mereka tertawa. Aku serius, kataku, karena aku tidak suka rok putih. Mereka tertawa lagi, lebih keras, juga berkata, rok putih itu membuat semua murid di sekolah ini jadi terlihat cantik.

Ya, memang benar. Seragam hari Rabu dan Kamis itu dirancang khusus oleh desainer terkenal. Murid laki-laki memakai kemeja putih lengan pendek dengan hiasan batik motif bunga-bunga berwarna hijau di ujung lengan dan celana hitam. Sementara murid perempuan memakai slayer merah di leher, blus dengan kerah tidur yang lebar dan berwarna seperti botol saus, dan rok lipit putih polos dengan aksen pita hitam melingkari bagian bawah dan panjangnya dua sentimeter di atas lutut. Memang terlihat cantik—dan merepotkan. Jika memakai rok itu, aku harus ekstra hati-hati ketika naik bus, akan duduk, dan datang bulan. Ketika naik bus, rok itu rawan tertiup angin—kau pasti paham maksudku, kan? Ketika akan duduk, aku harus memastikan adakah permen karet, sisa nasi, atau setetes tinta di tempat yang akan kududuki. Kalau lupa, aku harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli pemutih atau membawanya ke laundry. Ketika datang bulan … ah, bagian ini agak memalukan dan menyebalkan, jadi tidak usah kujelaskan. Karena itu, sejak masuk sekolah ini, aku menobatkan Rabu dan Kamis sebagai hari paling *sensor*.

Pada Rabu ketiga belas sejak aku naik ke kelas XII, di jam pelajaran ketiga, ada anak laki-laki masuk ke kelasku setelah mengetuk pintu. Guru Sejarah yang hampir dua jam pelajaran berdiri dan mendongeng di depan kelas, mempersilakan anak itu masuk dan menyuruhnya memperkenalkan diri. Di mataku, anak itu tak lebih bagus dari gelandangan. Wajahnya yang lumayan tampan tak menyelamatkan penampilannya yang semrawut: rambutnya acak-acakan dan bajunya sekusut wajah ibuku ketika belum gajian.

Namaku Ken, katanya, Kenaz Darmawan. Pindahan dari Kota ASDF, hobi balapan. Itu saja. Ia lalu duduk di bangku paling belakang di lajur sebelah kanan dari bangkuku. Entah kenapa, aku seperti pernah melihatnya. Tapi di mana, ya?

Kau pernah dengar kisah Phoenix? Burung itu mati terbakar, lalu hidup kembali dari abunya, dan menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Aku juga akan seperti itu. Mungkin mereka akan semakin membenciku. Namun, saat itu tiba nanti, aku akan jadi tak terkalahkan. Aku akan melindungimu. Selalu melindungimu.

Saat jam istirahat tiba, murid-murid di kelas segera keluar untuk bermain atau ke kantin. Namun, aku malas beranjak dari tempat duduk. Rabu dan datang bulan adalah dua kombinasi yang pas untuk tidur siang, daripada menghabiskan waktu di luar pada cuaca yang panas.

Tempat dudukku nomor dua dari belakang dan di dekat jendela. Kututup tirai, lalu merebahkan kepala di meja. Baru lima detik memejamkan mata, tiba-tiba ada yang mengetuk mejaku tiga kali. Aku mendongak dan mendapati si murid baru berdiri di samping mejaku. “Nggak keluar?” tanyanya. Aku menggeleng. Ia lantas duduk di sampingku dan menatapku seolah-olah memastikan sesuatu. “Kenapa?” tanyaku. Ia tak menjawab. Tatapannya beralih ke dada kiriku. Ia tersenyum, lalu berdiri, lalu pergi begitu saja. Aku merinding. Senyumnya aneh. Ia, sepertinya, tidak tersenyum kepadaku.

Aku mulai menemukan serpihan abu yang mereka sembunyikan. Sudah lama aku mencarinya. Ini lebih sulit dari yang kubayangkan. Tapi, tidak apa-apa. Menjadi lebih kuat memang harus sabar.

Aku pulang sekolah tepat waktu, seperti biasa. Ibu tidak akan suka aku kelayapan seperti remaja-remaja lain dan aku juga  tidak berminat melanggar norma-norma. Sejak Ayah meninggalkan kami setahun yang lalu, ia bekerja keras agar kami bisa bertahan hidup. Dan aku juga cukup tahu diri agar tidak merepotkannya. Mengerjakan pekerjaan rumah tangga sudah jadi keahlianku. Kadang aku juga menghasilkan uang dari tulisan-tulisan yang kuunggah di platform menulis. Meskipun hasilnya tidak banyak, tapi aku bersyukur masih ada orang-orang yang sudi membaca kisah percintaan murahan antara pria kaya dan gadis jelata yang kutulis.

Ayahku meninggal karena tabrak lari. Ia pulang kerja dini hari ketika orang-orang sudah lelap dalam mimpi. Motornya ditabrak dari belakang, lalu ia terpental melewati pembatas jalan dan kepalanya terbentur batu. Seandainya ia dapat pertolongan lebih cepat, mungkin ia tidak akan mati karena kehabisan darah. Sampai sekarang, pelakunya tidak ditemukan. Aku tidak tahu, apakah polisi tidak becus bekerja atau memang mereka tidak ingin bekerja atau ada yang melarang mereka untuk bekerja. CCTV di dekat lokasi kejadian tak merekam apa pun pada hari itu. Mungkin itu benar-benar rusak, atau anggap saja rusak. Dan keluargaku tak punya banyak uang untuk membongkar semuanya. Kata ibuku, yang mati biarlah mati, yang hidup harus bertahan hidup. Aku tahu, ia sudah putus asa mencari keadilan. Meskipun kadang aku merasa ia bukan ibu yang baik, tapi sepertinya ia sangat mencintai ayahku. Sayangnya, Ayah lebih mencintaiku. Ia mewariskan semua tabungannya untuk pendidikanku. Itu juga yang membuat ibuku gusar dan akhirnya tidak ingin tahu lagi perihal tabrak lari yang merenggut kekasihnya itu.

Sudah lewat jam sepuluh malam, tapi ibuku belum pulang. Biasanya ia sudah di rumah sebelum jam delapan. Ia bekerja di swalayan di kampung sebelah, dua puluh tiga menit perjalanan naik motor (ibuku bekerja naik motor). Nomor ponselnya tidak bisa kuhubungi. Telinga kiriku berdengung. Aku mulai cemas, khawatir kejadian tabrak lari ayahku, terulang lagi kepada ibuku. Namun, aku juga terlalu takut untuk keluar. Ayah pernah bilang, dunia tidak ramah kepada perempuan, apalagi waktu malam. Maka, kuputuskan untuk menunggu sampai pagi saja.

Ia memang bukan ibu yang baik, aku setuju. Mungkin kau memang tidak ingat, tapi Ibu pernah sangat jahat kepada kita. Ia memisahkan kita. Ia menyalakan api itu, kemudian membakarku hingga habis. Namun, Ayah juga tak lebih baik. Selama ini, mereka hanya menampilkan apa yang ingin kaulihat. Kau memang sudah lupa semuanya. Tapi, suatu saat kau akan paham, kenapa telinga kirimu sering berdengung sendiri ketika kau gelisah.

Sinar sebesar pulpen mencolok mataku. Rupanya, aku tertidur di ruang tamu. Jam enam empat lima. Aku terlambat bangun dan Ibu masih tidak ada. Mungkin ia menginap di rumah temannya yang kadang mengantarnya pulang kerja. Aku tidak begitu yakin, tapi itu mungkin saja terjadi. Mungkin ia bosan dengan kamarnya yang bau minyak angin dan obat serangga. Jadi, ia ingin ganti suasana sebentar atau ingin menghirup aroma obat serangga lain di tempat yang berbeda. Kadang ia memang mengeluh bosan hidup bersamaku. Namun, aku tidak marah ketika mendengar itu. Kupikir, kadang kita memang bosan dengan rutinitas dan orang-orang yang kita temui setiap hari, seperti aku yang bosan bertemu pelajaran Matematika empat kali seminggu atau bosan dengan teman sebangkuku yang hobi membaca cerita dewasa diam-diam di tengah jam pelajaran.

Untuk sementara aku melupakan tidak pulangnya Ibu semalam. Ini Kamis dan bulan masih kerasan mampir di perutku dan aku masih harus memakai rok putih menyebalkan itu. Aku bergegas ke halte untuk mengejar bus terakhir yang melewati jalur ke sekolah. Namun, setelah berlari hingga napasku hampir habis, aku hanya berhasil menatap bokong bus itu dari halte. Aku memukul-mukul dadaku yang terasa sempit untuk dilewati oksigen. Tiba-tiba saja, ada N-Max berhenti di depan halte. Pengendaranya membuka kaca helm, lalu berkata, “Naik!”

“Aku nggak punya helm.”

“Mau bolos?”

Aku tertegun. Itu anak baru di kelasku kemarin. “Aku tunggu bus lagi aja.”

“Tanggung. Sampai sekolah juga udah telat.”

“Aku sudah biasa kena hukuman.”

Anak itu turun, menstandarkan motor, lalu menghampiriku. “Apa nggak bosan, hidup gitu-gitu aja?”

Aku menemukan sejumput abu lagi.

“Apa ada hidup yang nggak gitu-gitu aja?”

Anak itu tertawa. “Mau lihat?”

Sejumput lagi.

***

Aku sampai di sekolah hampir jam delapan dan menerima hukuman jalan jongkok keliling lapangan dua puluh kali sampai aku susah berdiri. Aku menolak ajakan Ken untuk bolos. Kupikir menerima ajakan orang yang baru dikenal itu tindakan konyol, pun sudah kubilang, aku tidak tertarik melanggar aturan, kecuali tidak sengaja seperti hari ini. Ia pun langsung pergi begitu saja ketika aku menolaknya.

Hukumanku baru berakhir ketika jam istirahat pertama. Karena kelelahan ditambah perut mulas, begitu masuk kelas, aku langsung duduk dan merebahkan kepala. Tiba-tiba, mejaku diketuk tiga kali. Lagi-lagi, Ken berdiri di samping mejaku sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. “Capek?” tanyanya. “Padahal aku mau ngajak damai. Tapi kayaknya kamu lebih suka dimusuhi,” lanjutnya.

“Maksud kamu apa?”

Ia tertawa. “Ternyata benar, pelaku selalu melupakan perbuatan dan korbannya.”

Kau dalam bahaya! Ayolah! Di mana semua abu itu? Aku harus bangkit! Harus!

“Aku nggak ngerti maksud kamu.”

Ken membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dengan suara yang amat pelan, ia berkata, “Coba berdiri dan lihat bokongmu.”

Aku merinding. Tiga belas hitungan setelah Ken menjauh, aku baru berani mengikuti sarannya. Dan benar saja, ia membuatku harus membeli seragam baru. Ini sungguh tidak bisa diselamatkan.

Ia berbahaya. Matanya penuh dendam. Ia ingin menghancurkan mentalmu. Tidak, tidak. Yang terjadi itu bukan salahmu. Oh, aku lupa. Kau mungkin tidak tahu kenapa ia begitu. Namun, sekali lagi, itu bukan salahmu. Kalau saja Ibu tidak membenturkan kepalamu ke pintu, mungkin kau masih ingat siapa dia, siapa aku, dan siapa kita. Namun, tenang, tenang. Hidup itu terbuat dari masa lalu dan masa depan. Dari dua pilihan itu, aku lebih suka kau fokus ke nomor dua.

Sudah seminggu Ibu tidak pulang. Aku sudah berusaha mencarinya ke tempat kerja. Namun, kata bosnya, Ibu sudah mengundurkan diri lebih dari sebulan dan ia pamit akan kerja di luar kota. Ia meninggalkan surat, aku disuruh jaga diri. “Ibumu bilang, aku harus memberikan surat ini kalau kau mencarinya,” kata bosnya. Aku frustrasi. Nomor ponselnya masih tidak bisa dihubungi.

Meskipun sehari-hari kami jarang berbicara, aku tetap merindukannya. Aku memang bisa mengurus diri sendiri dan juga punya cukup uang di tabungan—meskipun kemarin sempat terpotong banyak gara-gara membeli seragam baru. Tapi, kenapa Ibu pergi tanpa berpamitan denganku? Memang, kadang Ibu terlihat seperti ketakutan berada di dekatku—padahal aku tidak melakukan apa pun. Namun, tetap saja, ia satu-satunya keluarga yang kumiliki. Aku tidak ingin kehilangan keluarga lagi.

Keadaanku di sekolah semakin memburuk. Dalam hitungan hari, Ken sudah punya banyak massa. Ia semakin sering mengerjaiku. Setelah ia menaruh tinta spidol permanen di rok putihku, keesokan harinya ia menaruh bangkai tikus yang hampir membusuk di tasku. Keesokannya lagi, ia membuang buku-bukuku di tempat sampah. Ia tak melakukannya sendiri. Uangnya yang bekerja untuknya. Namun, ia tampak kecewa ketika melihat reaksiku yang biasa-biasa saja. Aku tidak pernah terang-terangan marah atau menangis di depannya. Masalah ibuku yang menghilang saja sudah cukup membuat otakku lelah memikirkan kemungkinan-kemungkinan.

Hari kelima belas sejak ibuku tidak pulang, aku menerima surat. Surat itu dikirimkan ke sekolah. Dari ibuku. Ia berkata, aku tidak usah mencarinya lagi. Ia ingin hidup bahagia sendiri karena selama ini ia sudah cukup banyak mengorbankan diri demi menjadi istri dan ibu yang baik. Aku tertawa membaca surat itu. Namun, sebenarnya aku tidak ingin tertawa. Mulutku terus tertawa, mataku juga ikut tertawa. Tertawa hingga mengalirkan air mata. Aku tidak peduli teman-temanku yang juga mentertawakanku. Ibu membuatku tertawa, aku membuat mereka tertawa. Ternyata benar, seperti kesedihan, tawa itu juga menular. Ibuku lucu. Kalau ia tidak mau jadi istri dan ibu, kenapa ia mau menikahi ayahku? Ha-ha-ha. Ha-ha-ha. Ha-ha-ha.

Abunya sudah terkumpul.

Ia memang bukan ibu yang baik. Aku mengerti. Tenang, mulai sekarang, aku yang akan menjagamu.

Ken mendekat. Ia menatapku, lalu berkata, “Ternyata kamu masih gila.”

Ha-ha-ha. Ha-ha-ha. Ha-ha-ha.

Tiba-tiba saja Ken menarik rambutku ke belakang, lalu membenturkan kepalaku ke meja. “Berhenti tertawa, Bangsat!”

Ha-ha-ha. Ha-ha-ha. Ha-ha-ha.

Ken membenturkan kepalaku lagi. “Dasar gila! Berhenti tertawa!”

Dahiku terasa perih. Murid-murid yang melihatku hanya berani menatap dari jauh sambil membekap mulut mereka dengan tangan. Aku seperti pernah melihat pemandangan ini, tapi ….

Aku bangkit.

“Dasar cewek gila!” Ken hendak membenturkan kepalaku lagi. Namun, aku berhasil mencekal tangannya yang menjambak rambutku. Ia tampak terkejut. Ia tak sempat menghindar ketika aku memelintir pergelangan tangannya hingga terdengar bunyi “krutuk”. Ia mengaduh kesakitan. Wajahnya memelas. Aku tahu, ia sangat ingin membalas dan aku pun sangat ingin meremukkan tulang-tulangnya. Namun, bel masuk menyelamatkannya.

Sayapku telah tumbuh. Aku memang tidak berwarna merah keemasan seperti di dongeng-dongeng yang sering kaudengar. Namun, aku tetaplah lambang kekuatan abadi. Seperti terang, gelap adalah keabadian. Tidak ada gelap, tidak ada terang. Seperti siang dan malam. Seperti surga dan neraka. Di dunia ini, semua butuh perbandingan. Jika kau adalah terang, biarkan aku menjadi yang gelap. Aku memang tinggal dalam kegelapan. Namun, aku selalu bisa menuntunmu menuju cahaya. Kau adalah aku. Kita.

Sejak kejadian itu, Ken tak berani mengerjaiku lagi. Aku ingin sekali bertanya, apa maksudnya dia mengataiku “masih gila”? Dan setiap melihatnya, aku memang seperti sudah lama mengenalnya, jauh sebelum ia pindah ke sekolah ini. Namun, Ken sungguh-sungguh tak berani lagi dekat denganku. Maka, kuputuskan untuk mencari tahu sendiri dengan caraku.

Ken hanya pengecut yang takbisa lari dari masa lalu. Ia telanjur nyaman hidup di sana dan takberani beranjak ke mana pun. Ya, seperti orang yang dihukum penjara seumur hidup. Awalnya ingin keluar, lalu beradaptasi, lalu malah nyaman dan terlalu takut menghadapi dunia luar. Hidupnya dikubur kebencian, dendam, dan kerinduan. Sebenarnya, ia pantas dikasihani. Tapi, sebaiknya kau tidak usah begitu. Ketika ia mencari pembenaran atas perlakuannya yang buruk karena latar belakangnya yang tak mulus, itu artinya kau juga membenarkan para penjahat menyalurkan energi negatif mereka kepada orang-orang tak bersalah.

Hei, kau tidak begitu! Benar-benar tidak begitu. Kau terlahir normal, menangis kencang, dan pipis delapan belas kali semalam waktu bayi. Tapi, Tuhan memberimu hal istimewa, yaitu aku. Aku tidak terlahir dari hal-hal buruk. Aku terlahir karena seharusnya memang lahir. Ayah dan Ibu juga turut membesarkanku. Kemudian mereka membunuhku. Namun, kini aku bangkit sendiri. Ayolah! Tidak buruk, bukan, hidup bersama Phoenix Hitam?

Aku mencari tahu alamat Ken dari teman-temannya yang selama ini membantunya menjahiliku. Sebenarnya, mereka tak layak disebut teman. Pertemanan mereka hanya sebatas berapa banyak uang yang bisa mereka masukkan ke kantong. Mereka awalnya tidak tahu alamat Ken. Namun, uangku menyuruh mereka mencarinya.

Aku tahu, ini melanggar norma-norma. Namun, kali ini aku sangat ingin melakukannya. Aku sangat ingin, sampai takbisa menahan diri lagi.

Ternyata, Ken tinggal sendiri di kontrakan yang jaraknya tiga puluh menit perjalanan naik motor tanpa macet dari sekolah. Papa dan mamanya bercerai. Ia selalu ikut balap liar pada malam Minggu dan malam Rabu. Dan, yang paling penting, Ken tidak pernah membawa kunci rumah ketika pergi. Ia menaruhnya di bawah keset di depan pintu.

Oh, bulu sayapku semakin lebat dan kedua kakiku mulai kokoh. Mari! Mari kita ke tempat yang baru! Aku sudah tidak sabar! Ini pasti akan menyenangkan!

Aku memutuskan ke tempatnya pada malam Minggu. Kompleks perumahannya lumayan sepi. Para tetangganya sepertinya adalah keluarga-keluarga kecil dan perantau. Pagar mereka tinggi-tinggi dan sepertinya tak tertarik untuk tahu urusan satu sama lain.

Ken baru saja pergi dengan motornya, motor yang berbeda dengan yang sering ia kendarai ketika sekolah. Aku tidak peduli apa jenisnya. Tidak penting. Yang penting sekarang, aku harus memastikan, apa benar kunci rumahnya ada di bawah keset? Ini baru pertama kali aku akan masuk ke rumah orang tanpa izin. Jantungku seperti ingin meledak. Aku merasakan sensasi mendebarkan, sekaligus menyenangkan. Agar tak disangka pencuri, aku berusaha bersikap senormal mungkin, seperti penghuni yang hendak masuk ke rumah sendiri.

Saat berhasil masuk dan menutup pintu dari dalam, aku berhenti sebentar untuk bernapas. Hening. Telinga kiriku berdengung.

Abaikan! Kau harus ingat, apa tujuanmu kemari. Memang ini terasa salah dan tak nyaman. Tapi, bukankah kau sangat ingin tahu apa yang disembunyikan Ken?

Kontrakan ini cukup luas untuk ditempati satu orang. Ada dua lantai dan dua kamar. Kamar Ken ada di lantai dua. Aku berusaha tidak menimbulkan suara ketika menaiki tangga. Rumah dan kamarnya sungguh berantakan, sama seperti penampilannya di sekolah. Baju-baju kotor bertumpuk dan bertebaran di lantai. Aku bahkan tidak bisa memastikan, apa semua baju di sana ada yang bersih? Mungkin ini alasan seragam Ken selalu terlihat kusut.

Di kamar Ken, ada satu ranjang, satu meja belajar, dan potongan koran yang dipajang di dinding. Aku merasa ada yang aneh, memajang berita sepertinya bukan tren di kalangan remaja. Karena penasaran, aku mendekati pajangan itu.

“Seorang Pria Korban Tabrak Lari Ditemukan Tewas di KM 09.”

Itu berita setahun yang lalu. Dan aku yakin, itu ayahku. Kenapa Ken menyimpan berita tentang kematian ayahku?

Telingaku berdengung lagi. Untuk beberapa saat, aku seperti tidak memijak bumi. Dalam kepalaku muncul kemungkinan-kemungkinan yang semuanya membuatku merinding dan ingin tertawa.

Ha-ha-ha. Ha-ha-ha. Ha-ha-ha.

Aku mulai bisa mengepakkan sayap. Mari, mari terbang bersama! Aku bangkit untukmu. Aku hidup lagi untuk melindungimu.

Setelah bisa menguasai diri, kuputuskan untuk pulang malam itu. Namun, aku berjanji akan kembali lagi.

Itu memang menyakitkan. Namun, masa lalu tidak selamanya akan terkubur. Kematian adalah kunci. Kematian membuatku bangkit lagi.

Di sekolah, aku bersikap biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. Aku memandangi Ken dari jauh karena ia tidak berani mendekat.

Mungkin ini saatnya kaupancing dia. Ayo, lakukan! Serang dia! Serang hatinya!

Saat jam istirahat, aku memanggil Ken untuk tetap tinggal di kelas. Ia tidak mengiakan, tapi tidak menolak ketika kutarik tangannya, lalu kuajak duduk di bangkuku.

“Ada apa?” Ia membuka obrolan. Tatapannya lurus ke depan.

“Aku cuma sedang tergila-gila.”

Ia kini menatapku. “Bukannya kamu memang gila sejak kecil?”

Aku tertawa. “Kamu tidak punya inisiatif minta maaf?” tanyaku sambil menunjuk bekas luka di dahi.

“Kita impas.” Ia menunjuk jidatnya sendiri. Bekas luka yang membelah alisnya itu memang cukup mengganggu untuk diabaikan.

“Itu bekas luka apa?”

Ken tertawa sumbang. “Ternyata benar kata orang-orang. Kamu benar-benar gila. Gila!” Ia beranjak dari bangku, lalu keluar kelas.

Aku tidak mengerti maksudnya. Namun, telinga kiriku kini berdengung lagi. Aku berusaha mengusir dengung itu dengan menggaruknya.

Masa lalu memang tidak mungkin akan terkubur selamanya. Namun, terjebak di dalamnya juga bukan hal yang baik, seperti Ken yang selalu menyimpan dendam.

Aku kembali menyusup ke rumah Ken pada Rabu pagi ketika jam sekolah. Kompleks kontrakannya benar-benar sepi seperti kampung mati. Ketika kuputar kunci rumahnya, sensasi mendebarkan itu muncul lagi. Sensasi antara takut ketahuan sekaligus ingin tetap masuk ke dalam. Rasanya aneh, tapi aku menyukainya. Kali ini, sensasi itu terasa dua kali lipat lebih mengguncang karena aku berniat menukar sesuatu di dalam sana dengan milikku yang berharga.

Di dalam rumah itu hening. Hening yang membuat telinga kiriku kembali berdengung. Akhir-akhir ini dengungan itu sering sekali muncul, bahkan saat aku tidak merasa gelisah sedikit pun. Seperti suara bisikan. Kadang aku membiarkannya sampai berhenti sendiri. Kadang aku menggaruknya agar cepat hilang. Namun, kali ini aku membiarkan dengungan itu memenuhi kepalaku karena aku tidak ingin mendengar apa pun. Aku hanya ingin mengambil potongan koran yang dipajang di kamar Ken.

Potongan koran itu masih ada di tempat yang sama. Aku melangkah pelan untuk mendekat, agar tidak mengubah posisi atau menginjak barang-barang yang bertebaran di lantai kamar. Ken sungguh laki-laki yang jorok.

Aku mengusap wajah laki-laki yang terpampang di koran. Ayah. Dalam ingatanku, ia adalah ayah yang selalu menyayangiku, bahkan ketika tak di sisiku lagi. Kepergiannya sulit kuterima. Dan karena ia tak ada, aku jadi ditelantarkan oleh Ibu. Kukecup wajah Ayah di koran itu. Kemudian, pelan-pelan, kulepaskan potongan koran itu dari dinding kamar, lalu kulipat dan kumasukkan ke dalam tas. Aku menukar potongan koran itu dengan rok putih berhias tinta hitam di bokongnya. Rok milikku yang dirusak oleh Ken. Rok itu sepertinya lebih cocok dipajang di kamar Ken.

Aku telah siap terbang.

Aku keluar dari rumah Ken dengan perasaan lega. Entah kenapa, rasanya sangat memuaskan. Aku tidak mencuri, aku hanya menukar milikku dengan milik Ken. Rok seragam itu dulu dibelikan ayahku. Meskipun rok itu tidak putih lagi, tapi ia termasuk barang berharga bagiku. Dan potongan koran ini, pasti sangat berharga bagi Ken, sampai ia memajangnya di kamar.

Selamat datang kembali, Tuan Putri. Kau juga berharga bagiku. Aku senang, tidak ada lagi yang akan memisahkan kita. Bisa bersamamu lagi adalah hadiah yang pantas kudapatkan setelah kubayar dengan kematian yang cukup lama. Aku adalah keabadian. Aku abadi. Dalam dirimu yang suci.


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url