The Vault - Damian Buenavista
The Vault
Damian Buenavista
Penyangkalan: Kitab suci dan ayat-ayat dalam cerita ini adalah fiksi dan tidak terkait dengan golongan atau agama apa pun. Bijaklah dalam memahami isi cerita.
¹ Ketika Qayin duduk bersila di Laut Deti.² Malaikat
Ande menyapanya melalui ombak.³ Ia (Malaikat Ande) berkata,⁴ "Hai, Qayin, Tuhan memintaku menyampaikan
kepadamu.⁵
Akan datang hari saat matahari pecah.⁶ Dan gunung-gunung yang tegak itu melayang-layang seperti
buah kapuk ditiup angin.⁷ Dan tanah tempatmu berpijak terlumat,⁸ Lalu mencair, lalu mengering, lalu meletup.⁹ Dan akhirnya menjadi debu."¹⁰ Dan Qayin pun bertanya,¹¹"Lalu bagaimana nasibku
dan kaumku, Ya Tuhanku?"¹² Ande menyampaikan firman Tuhan: "Kelak mereka
akan terbagi menjadi tiga.¹³ Yang kuat (dalam hal iman), mereka akan ke sisi-Ku
sebelum (hari itu) tiba.¹⁴
Yang lemah (dalam imannya), mereka sehina-hinanya kaum.¹⁵ Mereka akan kembali (dari kematian).¹⁶ Dan menebus dosa-dosa mereka.¹⁷ Sementara kaum yang sadar (akan firman-Ku) sebelum
bumi berguncang,¹⁸
Sungguh mereka kaum yang beruntung."¹⁹
Berkatalah Qayin, "Ya Tuhanku, sungguh aku tak bisa menolak semua kehendak-Mu.²⁰ Tolong mudahkanlah bagiku menyampaikan kabar itu
(kepada pengikutku)."(Alkaib: Surat 14)
Pada malam ke-16
sejak aku terkurung di Kubah, dua penjaga membawa seorang laki-laki
berpenampilan rapi. Kupikir, mereka membawanya untuk memberi kami siraman
rohani. Ternyata, laki-laki itu malah jadi penggenap jumlah kami, dari lima
menjadi enam. Aku sendiri tidak yakin kalau ia benar-benar rahib. Penampilannya
lebih cocok menjadi model atau aktor atau tukang kawin.
"Boleh saya
duduk di sini?" Ia menyapaku setelah dua penjaga mengunci gembok dan
berlalu.
Aku melirik empat
orang lain yang ada dalam ruangan. Mereka tampak tak acuh dengan kedatangan
teman baru kami; dua orang melanjutkan tidur; dua lagi sibuk menghitung jumlah
garis hujan yang mereka buat di tembok. Tersisa aku yang sedang duduk
memikirkan hal-hal yang akan kulakukan jika nanti keluar dari Kubah. Aku memang
sempat melirik pria itu ketika ia masuk. Mungkin itu cukup menjadi alasan
baginya untuk sok akrab denganku.
"Saya lihat,
Anda sebenarnya orang baik," tambah pria itu, masih berdiri dan menatapku
sambil tersenyum, mungkin karena aku tak kunjung memberinya jawaban.
"Aku bukan
pemilik tempat ini."
Pria itu masih
berdiri. "Saya takut mengganggu kenyamanan Anda.” Ia tersenyum lagi.
"Terserah kau
saja," jawabku akhirnya.
Pria itu pun duduk
dan mengenalkan diri. Namanya Mateo dan ia memang seorang rahib. Untuk
alasannya sampai ke Kubah, ia tak menjelaskan, dan aku juga tidak ingin tahu
lebih jauh. Tidak
ada gunanya bagi orang yang akan mati, meskipun belum tentu aku yang akan mati.
Ia bertanya namaku, tapi aku hanya bilang, nanti saja kalau kita ketemu di
surga, kita bisa ngobrol sambil minum anggur. Lagi-lagi, ia cuma tersenyum.
Karena malam sudah
semakin larut, aku pun merebahkan tubuh di lantai hijau yang sedingin istriku
ketika marah. Awalnya memang lantai ini bikin badan pegal-pegal ketika bangun
pagi, tetapi
tenang saja, sejak seminggu kedua, aku mulai bersahabat dengan rasa pegal itu.
Aku juga bersahabat dengan kecoa, semut, dan hantu orang-orang yang dulu
menempati ruangan selebar dua puluh langkah ini. Di sini memang pengap, tapi
ini lebih baik daripada aku harus melihat istri dan anakku direbus dalam kuali
atau dijadikan makanan anjing-anjing rentenir.
Mateo duduk bersandar
tembok dengan mata terpejam. Dari wajahnya, kutaksir usianya sekitar tiga
puluhan, seusiaku. Mungkin karena sadar tengah kuamati, ia membuka mata dan
bertanya, apa aku butuh sesuatu? Kujawab, sebaiknya kau tidur karena setiap
hari di sini adalah kejutan. Dan ia hanya tersenyum lagi, lalu kembali
memejamkan mata. Mungkin ia memang tidur sambil duduk.
Persetan.
***
Pagi yang penuh kejutan. Aku terbangun di kamar mewah.
Kasurnya empuk, ber-AC, dan ada banyak makanan di meja. Sejak enam belas hari
lalu, delapan kali kejutan kulalui setiap pagi. Aku pernah terbangun di ruangan
yang amat panas dengan api di setiap sudutnya. Teman satu ruanganku berkata,
itu tiruan neraka. Itu lelucon paling konyol yang kutemui sepanjang hidupku.
Untuk apa ada orang susah-susah membuat tiruan neraka, sementara hidup di dunia
saja sudah seperti neraka? Pengelola Kubah memberi kami kesempatan sehari untuk
menikmati kejutan itu, lalu besoknya kami akan kembali ke ruangan pengap lagi.
Dari delapan kejutan
yang kudapatkan, kejutan kesembilan ini yang paling menyenangkan. Setidaknya,
aku bisa merasakan lagi nyamannya tidur di kasur dan makan hidangan enak di
meja. Biasanya, aku harus berburu di hutan, atau makan nasi aking bersama ayam-ayam
di kandang. Sebaiknya, kau tidak penasaran dengan kejutan lainnya, karena aku
yakin setelah kau membacanya, nafsu makanmu akan hilang selama seminggu.
Mateo terbangun di
tempat yang sama denganku. Wajahnya datar seolah-olah semua hari adalah sama
saja baginya. Namun, kalau kupikir-pikir, ia sangat beruntung: baru saja masuk
Kubah, tapi langsung dapat kejutan mewah. Mungkin itu istimewanya orang-orang yang
menaati kitab suci seperti Mateo.
Aku turun dari kasur
dan langsung menggasak ayam panggang yang aromanya membuat ular derik di
perutku mematuk-matuk. Rasanya memang sangat lezat. Namun, Mateo hanya
memandangi makanan di depannya.
"Jangan sakit.
Kubah tidak akan repot-repot memanggil dokter untuk orang-orang seperti
kita," kataku.
Mateo tersenyum.
Lama-lama aku sebal juga melihatnya terus begitu. "Kalau Anda masih lapar,
makanlah jatah saya."
"Kau
meledek?"
Raut mukanya berubah
sungkan. "Maaf, bukan begitu maksud saya."
Aku melanjutkan makan
sambil berkata, "Terserah. Apa yang terjadi denganmu nanti bukan
urusanku."
Meskipun tampak ragu,
akhirnya Mateo makan juga. Cara makannya sungguh penuh etika. Ia berdoa dan
makan secukupnya. Sementara, aku sudah lupa kapan terakhir berdoa. Bagiku,
berdoa atau tidak, sama saja. Hari tetap berganti, aku tetap miskin, dan
utang-utangku tak akan lunas kalau aku tidak menggadaikan diri. Entah Tuhan ada
di surga bagian mana, atau langit bagian mana, aku tidak peduli.
Aku masuk ke Kubah
dengan sukarela. Sebenarnya tidak begitu rela karena kulakukan ini demi istri
dan anakku. Rentenir gila itu akan membebaskan mereka sekaligus utang-utangku
jika aku bersedia masuk ke Kubah. Aku tidak paham keuntungan apa yang ia dapatkan
karena aku hanya fokus dengan apa yang kudapatkan.
Aku sendiri kurang
paham, apa misi pemerintah kota ini mendirikan Kubah. Tempat ini disebut
"Kubah" karena bagian luar bangunannya memang mirip kubah masjid
raksasa. Di dalamnya ada banyak ruangan tanpa jendela untuk menahan orang-orang
sepertiku. Kurun waktu penahanan pun tidak tentu dan tidak jelas. Namun, dari
yang kudengar sebelumnya, siapa yang masuk ke Kubah, jarang ada yang keluar
hidup-hidup. Alasan kematian para mantan tahanan pun seperti sengaja
ditutup-tutupi. Keluarga yang tersisa, dibungkam dengan kompensasi. Jadi,
ketika masuk ke sini, aku hanya berharap semoga suatu saat istriku menemukan
pria baik yang bisa mencarikannya banyak uang, dan anakku mendapatkan ayah
sambung yang berguna. Kalau aku tak berhasil hidup, mungkin kompensasi dari
Kubah bisa jadi kado terakhir untuk mereka.
Usai makan, aku duduk
sambil menikmati kopi dan rokok. Mateo duduk di kursi sebelahku, lalu berkata,
"Anda tidak tampak seperti orang yang takut mati."
Aku mengisap rokok,
lalu mengembuskan asap ke atas. "Semua orang akan mati."
"Ya, Anda benar.
Dunia pun akan hancur sebentar lagi."
Aku tertawa.
"Kupikir kiamat itu hanya dongeng kitab suci."
"Saya lebih
percaya kalau kiamat itu seperti tindakan pembersihan. Kalau semuanya
dihancurkan, akan lebih mudah untuk memulai dari awal."
Aku mengetuk batang
rokok hingga abunya rontok ke lantai sambil membayangkan jika bumi akan rontok
seperti buah yang jatuh dari pohon, lalu buah itu meledak, lalu menjadi
serpihan sekecil abu. "Aku kurang percaya kalau yang sudah rontok, seperti
abu rokok ini, akan bisa menggumpal dan kembali dari awal."
Mateo kembali
membuatku sebal. "Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan."
Aku tidak tertarik
menanggapi obrolan Mateo. Kumatikan rokokku, lalu kembali berbaring di kasur.
Dari jendela kamar, aku bisa melihat pemandangan laut yang selama ini hanya
bisa kulihat di lukisan-lukisan yang dipajang di rumah mantan-mantan majikanku.
Sejak lahir, masuk sekolah, hingga onani untuk pertama kali, aku tidak pernah
keluar dari Siyudad. Perbatasan kota dijaga sangat ketat. Dan karena Siyudad
dulu dipenuhi pemberontak, yang kemudian kalah perang, akhirnya seluruh keturunan pemberontak
itu, termasuk aku, dilarang keluar dari kota ini dalam keadaan apa pun.
"Anda
benar-benar tidak percaya kiamat?" Mateo membuyarkan lamunanku. Ia duduk
di kasurnya sambil menatap ke arah jendela, sama seperti yang kulakukan.
"Sebaiknya kita
tidur," jawabku sambil memejamkan mata. Aku sedang tidak ingin memikirkan
hal-hal abstrak yang tidak bisa kujangkau. Lebih baik, kunikmati sejuknya AC
kamar ini, sebelum esok kembali ke ruang pengap dan bau itu lagi.
***
¹ Bukankah telah Kukabarkan kepadamu, wahai Qayin? ²
Hari ketika dunia menyalak dan porak-poranda. ³ Jangan sekali-kali kau
dan kaummu meragukan itu.⁴
Dan ketika (orang-orang) setelahmu meragukan-Ku, ⁵ Meragukan firman-firman-Ku, ⁶ Setiap satu dosa mereka, bertukar dengan retaknya
matahari. ⁷
Mereka akan terkubur dalam kerak bumi. ⁸
Dan di hari mereka dibangunkan, mereka akan menyesal dan mengiba, ⁹ "Ya Tuhan, beri kami kehidupan kedua, sungguh
kami tak akan meragukan-Mu lagi." ¹⁰ Samudera pengampunan-Ku Maha Luas. ¹¹ Kabarkan kepada
mereka, (Qayin), sebelum samudera (pengampunan) itu kering. ¹² Aku bersama
orang-orang yang berserah diri (kepada-Ku). (AlKaib,
Surat ke-21)
Kubah tak
henti-hentinya memberiku kejutan. Kali ini, aku terbangun di sebuah ruangan
yang panjangnya tak lebih dari lima depa dan lebarnya dua puluh langkah, tanpa
jendela, tanpa ventilasi, bahkan tanpa pintu. Bagian atas ruangan ada lubang
persegi panjang seukuran nampan kecil dan empat lampu dan empat kamera pengawas
di setiap sudut. Dalam ruangan itu, ada dua pria yang bentuk tubuhnya mirip
tukang pukul rentenir, satu lelaki tua, dua pemuda yang kira-kira berusia dua
puluh tahunan, satu remaja laki-laki yang tampak ketakutan, satu wanita muda
berekspresi dingin, seorang rahib yang punya senyum menyebalkan, dan aku yang
kini kebingungan mencari jalan keluar. Dinding dan lantai ruangan yang putih
dan bersih, tak mengurangi suasana mencekam, pengap, dan lapar.
Aku ingat sekali
telah menghabiskan banyak makanan kemarin. Namun, sejak bangun di tempat ini,
perutku terus bermusik, seperti tahu apa yang kupikirkan. Tiba-tiba dari lubang atas ruangan, turun nampan yang
diulurkan dengan tali. Di dalamnya ada sembilan butir telur, air minum kemasan
gelas, dan selembar kartu. Kami, kecuali Mateo, mendekati nampan. Salah seorang
tukang pukul yang kepalanya mirip pentol korek, mengambil kartu itu dan membaca
tulisannya dengan lantang: "Selamat berjuang."
Kami saling
memandang. Dapat kulihat, mereka semua bingung dengan maksud tulisan itu. Aku
langsung mengambil sebutir telur dan air, lalu menyantapnya. Begitu pun dengan
yang lain, kecuali Mateo. Aku mengambil bagian Mateo, lalu melempar kepadanya.
Ia menangkapnya dan mengucapkan terima kasih.
"Orang-orang sok
suci dan sok gengsi," ucap seorang pemuda sambil menatap Mateo.
Mateo tidak
menanggapi. Ia lantas menyantap telur dan meminum airnya hingga habis.
Tiba-tiba perutku bermusik lagi saat melihat Mateo. Telur dan air itu
sepertinya tidak membuatku kenyang, malah membuatku semakin lapar. Namun, aku
mencoba mengusir hasrat itu dengan duduk meringkuk di sudut ruangan.
Orang-orang dalam ruangan, sepertinya merasakan hal yang sama.
Itu hari pertama
kami. Aman. Tidak ada pertengkaran. Namun, tak ada yang menyangka bahwa itu
adalah awalnya. Di hari kedua, makanan yang diberikan semakin membuat gila.
Kami hanya memakai sebutir apel tanpa minuman. Semua masih bisa mengendalikan
diri untuk tidak merebut jatah yang lainnya. Di hari kedua pula, aku buang air
kecil dan menampungnya dalam gelas plastik bekas air kemasan. Yang lain pun
melakukan hal yang sama. Mungkin kami akan membutuhkannya beberapa hari ke
depan.
Hari berikutnya, dua
pria tukang pukul itu mulai menggila. Saat tahu makanan yang datang hanya
sepuluh butir kelengkeng, mereka tak mau berbagi dan langsung mengantongi
sendiri makanan itu. Dua pemuda dalam ruangan itu mengamuk, lalu mereka saling
berebut. Aku, Mateo, pria tua, wanita, dan remaja yang selalu ketakutan itu
hanya menonton mereka. Tanpa kuberi tahu, pasti kau sudah bisa menebak siapa
yang menang. Tak perlu kuceritakan bagaimana bentuk dua pemuda itu sekarang
karena itu pasti akan membuatmu tak sudi lagi makan dengan saus tomat.
"Ada lagi yang
mau berebut?" tanya tukang pukul gondrong kepada kami.
Aku tidak minat
menjawab. Mateo sudah kehilangan senyumnya. Si pria tua mungkin sadar diri dan
tampak pura-pura tak dengar. Si wanita dingin hanya menampakkan ekspresi datar.
Sementara si remaja itu mulai menangis. Dua tukang pukul itu lantas duduk dan
menikmati hasil rebutannya.
"Memangnya
menangis bisa membuat kenyang?" sindir wanita dingin kepada si remaja.
"Aku ingin
pulang." Remaja itu makin terisak-isak.
"Hanya orang
gila yang betah tinggal di neraka ini!" balas si wanita dingin lagi.
"Tenang, semua.
Ini bukan neraka, tapi penyucian dosa. Kalian akan masuk surga begitu siksaan
di sini berakhir." Mateo kembali dengan senyum menyebalkan.
Si wanita dingin
menatapnya sinis. "Sampai sekarang, aku tak bisa mengerti jalan pikiran
orang-orang sepertimu."
"Anda tidak
perlu mengerti, Nona. Cukup Anda berserah diri kepada Tuhan, maka Tuhan akan
memudahkan urusan Anda."
"Kalau begitu,
kau berdoa saja yang banyak supaya kita keluar dari tempat terkutuk ini!"
Si pria tua menyela,
"Daripada bertengkar, lebih baik kita mencari cara agar bisa bertahan
bersama-sama."
Aku berpikir sejenak
sambil memandangi dua tukang pukul yang sekarang sedang rebahan.
"Kita berlima,
mereka cuma berdua. Jangan biarkan mereka merebut makanan kita lagi."
Empat orang lainnya
mengangguk. Dan entah kenapa, kami semua tiba-tiba menguap bersamaan. Selanjutnya,
aku hanya ingat bahwa kami semua mengantuk berat dan mulai merebahkan diri di
lantai.
***
Keesokan harinya, kami diberi dua potong daging
panggang dan dua pisau. Dua tukang pukul itu langsung mengambil semua makanan.
Aku yang sudah sangat kelaparan, mendekati mereka dan merebut satu potong
daging. Namun, mereka menodongkan pisau ke leherku.
"Ini milik kami!
Ini pasti hadiah karena kami menumbangkan dua manusia tak berguna ini!" Si
gondrong menekan pisau itu ke leherku hingga terasa perih.
Tiba-tiba ia
terjungkal. Si wanita dingin, memukul belakang kepalanya dengan nampan. Si
gondrong berang dan menampar wanita itu hingga tersungkur. Di luar dugaan,
Mateo yang biasanya lebih suka jadi penonton, tiba-tiba saja mendekat dan
meninju pelipis si gondrong. Tidak tampak kuat, tapi cukup membuat si gondrong
terhuyung.
Kami mulai ribut.
Pria tua yang kelihatan lemah tak berdaya itu bahkan berkali-kali membantuku
memukuli si kepala pentol korek. Remaja itu sibuk mengamankan daging panggang
yang tersisa. Saat aku berhasil merebut pisau dari si pentol korek, kutusuk
matanya dua kali. Ia menjerit kesakitan. Sangat lantang. Karena terdengar
berisik, maka kugores lehernya hingga darahnya muncrat ke wajahku. Ia
terbatuk-batuk, lalu mengejang.
Sementara itu, Mateo
dan si wanita dingin, tampak kewalahan menghadapi si gondrong. Saat si gondrong
lengah, kutusuk lehernya dari belakang. Ia memegang tengkuk, lalu menoleh
menghadapku dengan mata membelalak. Karena aku tidak suka tatapannya, kuiris tenggorokannya
hingga ia tumbang dan matanya terpejam.
Kami terpaku dengan
napas terengah-engah. Malam itu, kami berlima menikmati daging panggang dengan
saus darah.
***
Ruangan mulai bau. Sekumpulan belatung mulai membangun
koloni di mayat dua pemuda yang mati lebih dulu. Dan kami harus mengakrabkan
diri dengan bau busuk yang menyerbu segala penjuru.
Ketika jam dua belas
siang, nampan terjulur dari atas ruangan. Tidak ada makanan, hanya ada sebotol
air mineral kemasan 600 ml dan selembar kartu bertuliskan: "Hanya ada satu
pemenang yang akan jadi utusan selanjutnya."
"Lelucon apa
lagi ini?" Aku meremas kartu itu, lalu memasukkan ke mulut dan
mengunyahnya.
Empat orang lainnya
hanya terdiam setelah membaca tulisan di kartu yang kini telah merayap di dalam
ususku. Aku meneguk air dalam botol, lalu memberikannya kepada Mateo. Mateo
meminum sedikit, lalu mengopernya kepada si wanita dingin. Wanita itu tak
langsung minum, ia malah menatap kami dan berkata, "Apa maksudnya, kita
harus saling membunuh untuk menemukan pemenang?"
Kami terdiam lagi.
Kemarin kami bekerja sama untuk membunuh demi dua potong daging. Dan kali ini,
kami dipaksa bermusuhan demi menjadi utusan. Kubah makin memuakkan. Aku
bertekad menang agar tahu siapa cecunguk yang tega menganggap nyawa kami
sebagai mainan.
"Tidak perlu ada
yang menang. Kita harus melewati ini sama-sama." Mateo mengambil botol
dari tangan si wanita dingin, lalu mengulurkannya kepada remaja penakut.
"Aku cuma ingin
pulang," ucap remaja itu. Sejak darah muncrat ke wajahnya kemarin, ia
seakan-akan takbisa menangis lagi.
***
Aku terbangun saat merasakan sesuatu menindih tubuhku.
Ketika membuka mata, kulihat wanita dingin itu menunggangiku seperti naik kuda.
Tidak usah kujelaskan bagaimana detailnya, intinya ia sedang mengusahakan
sesuatu yang aku sendiri takbisa mengerti. Aku menatap sekeliling, Mateo dan
yang lainnya tampak pulas, sementara wanita itu membungkam mulutku dengan
tangannya.
"Sssh, aku sudah
lama tidak melakukan ini." Dan ia melanjutkan kegiatannya lagi.
Aku sempat mabuk dan
melayang. Saat memejamkan mata karena akan sampai ke puncak, tiba-tiba tubuh
wanita itu ambruk begitu saja di atas tubuhku. Pisau menancap di lehernya. Si
pria tua yang melakukannya.
"Dia
pengkhianat," ucap si pria tua. Dan kulihat tangan kanan si wanita dingin
menggenggam pisau.
Sejak malam itu,
semua yang tersisa jadi waspada. Aku sulit mempercayai semua yang ada di dalam
ruangan ini. Pria tua yang sebelumnya tampak lemah dan takberani melakukan
apa-apa, kini selalu menatapku dengan tatapan yang takbisa kujelaskan.
Satu-satunya yang tidak berubah hanya Mateo. Ia tidak banyak bicara dan lebih
suka duduk bersila sambil memejamkan mata. Meditasi, katanya.
Kami tidak pernah
diberi makan lagi. Dan kurasa ini yang membuat si pria tua dan remaja penakut
itu makin hari makin menggila. Mereka memotong mayat-mayat dalam ruangan, lalu
memakannya. Aku dan Mateo hanya bertahan dengan minum air kencing masing-masing.
Aku memang bertekad menang, tapi tidak dengan cara membunuh lagi. Berada satu
ruangan dengan lima mayat, sudah cukup membuatku gila.
Namun, rupanya itu
berbeda dengan si pria tua dan si remaja. Pada hari ketujuh sejak kami tak tak
diberi makan lagi, mereka mulai kehilangan kendali. Si pria tua menyerang Mateo
dan si remaja menyerangku. Selama ini, memang mereka yang menyimpan pisau sejak
si wanita dingin itu tewas.
Aku kalah tenaga.
Remaja itu, entah kenapa, berubah jadi kuat dan seperti kerasukan setan. Ia
berhasil melukai tangan dan kakiku. Kami berguling di lantai dan masing-masing
saling mempertahankan diri. Aku sulit bergerak saat remaja itu menindih perutku
dan mengarahkan pisaunya ke wajahku. Namun, akhirnya aku berhasil mementalkan
pisaunya dan membalikkan keadaan. Kupukul rahang kirinya tiga kali dan ia
menangis.
"Maafkan aku.
Aku cuma ingin pulang," ucapnya sambil menangkupkan tangan.
Aku tak sampai hati
untuk memukulnya lagi. Maka, aku berbalik hendak meminum sisa air kencingku di
sudut ruangan. Namun, tiba-tiba Mateo menubrukku dari belakang. Pisau itu telah
melubangi punggungnya yang kini tak henti mengucurkan darah. Sementara remaja
itu berdiri di dua langkah dari kami sambil mengacungkan pisau.
"Mateo!"
Aku membalikkan tubuhnya dan menepuk pipinya, lalu mencari keberadaan si pria
tua. Dan kutemukan ia tak jauh dari mayat si wanita dingin.
"Saya
membunuhnya," ucap Mateo terputus-putus.
"Kenapa kau
melindungiku?"
Mateo terbatuk-batuk.
"Anda utusan terpilih." Mateo membelalak, tubuhnya mengejang, lalu
terkulai di pangkuanku. Ia berakhir.
Aku masih membeku. Tidak percaya jika ada seseorang yang rela mengorbankan
nyawa untuk melindungiku. Padahal, aku dan Mateo tak pernah akrab atau
mengakrabkan diri. Ternyata jalan pikiran Mateo memang takbisa dimengerti
banyak orang. Dan detik itu juga, aku memantapkan iman.
Saat bisa menguasai
diri, aku menatap si remaja yang kini juga menatapku sambil mengacungkan
pisaunya. Aku menderanya dengan sisa-sisa tenaga dan letusan amarah. Ia pantas
mati. Seperti kata Mateo, akulah utusan terpilih. Maka, aku harus menang dan
keluar dari sini.
¹ Suatu ketika Qayin berdiam diri di puncak Bukit Girik. ² Langit bersinar-sinar, dan turunlah Malaikat Ande. ³ (Ande bertanya): "Apa yang membawamu sampai di sini, wahai Qayin?" ⁴ Qayin berkata, "Seorang anak datang kepadaku. ⁵ Ia bertanya, apakah setelah bumi berakhir, akan ada awal yang baru? ⁶ Tuhan menunjukkan kepada Qayin, lewat Ande. ⁷ Pohon Lule (sejenis bunga-bungaan) di depannya tiba-tiba layu. ⁸ Ia (pohon itu) kering dan gugur. ⁹ Di dekatnya, pohon baru tumbuh. ¹⁰ Tuhan berkata, "Seperti itulah kehidupan kalian." (AlKaib, Surat ke-23)
Aku keluar dari Kubah dan membawa misi baru: mempercepat kiamat. Satu dosa anak manusia, satu langkah menuju kehancuran. Para keturunan Qayin Sang Utusan, ingin mewujudkan dunia baru, dunia tanpa manusia-manusia tercela. Dunia dihancurkan, lalu dibangun kembali. Di hadapan para keturunan Qayin, aku bersumpah, akan kuwujudkan kehancuran itu dengan caraku.
Keren 👏