The Vault - Damian Buenavista



The Vault

Damian Buenavista


Penyangkalan: Kitab suci dan ayat-ayat dalam cerita ini adalah fiksi dan tidak terkait dengan golongan atau agama apa pun. Bijaklah dalam memahami isi cerita.

 

¹ Ketika Qayin duduk bersila di Laut Deti.² Malaikat Ande menyapanya melalui ombak.³ Ia (Malaikat Ande) berkata, "Hai, Qayin, Tuhan memintaku menyampaikan kepadamu. Akan datang hari saat matahari pecah. Dan gunung-gunung yang tegak itu melayang-layang seperti buah kapuk ditiup angin. Dan tanah tempatmu berpijak terlumat, Lalu mencair, lalu mengering, lalu meletup. Dan akhirnya menjadi debu."¹ Dan Qayin pun bertanya,¹¹"Lalu bagaimana nasibku dan kaumku, Ya Tuhanku?"¹² Ande menyampaikan firman Tuhan: "Kelak mereka akan terbagi menjadi tiga.¹³ Yang kuat (dalam hal iman), mereka akan ke sisi-Ku sebelum (hari itu) tiba.¹ Yang lemah (dalam imannya), mereka sehina-hinanya kaum.¹ Mereka akan kembali (dari kematian).¹ Dan menebus dosa-dosa mereka.¹ Sementara kaum yang sadar (akan firman-Ku) sebelum bumi berguncang,¹ Sungguh mereka kaum yang beruntung."¹ Berkatalah Qayin, "Ya Tuhanku, sungguh aku tak bisa menolak semua kehendak-Mu.² Tolong mudahkanlah bagiku menyampaikan kabar itu (kepada pengikutku)."(Alkaib: Surat 14)

 

Pada malam ke-16 sejak aku terkurung di Kubah, dua penjaga membawa seorang laki-laki berpenampilan rapi. Kupikir, mereka membawanya untuk memberi kami siraman rohani. Ternyata, laki-laki itu malah jadi penggenap jumlah kami, dari lima menjadi enam. Aku sendiri tidak yakin kalau ia benar-benar rahib. Penampilannya lebih cocok menjadi model atau aktor atau tukang kawin.

"Boleh saya duduk di sini?" Ia menyapaku setelah dua penjaga mengunci gembok dan berlalu.

Aku melirik empat orang lain yang ada dalam ruangan. Mereka tampak tak acuh dengan kedatangan teman baru kami; dua orang melanjutkan tidur; dua lagi sibuk menghitung jumlah garis hujan yang mereka buat di tembok. Tersisa aku yang sedang duduk memikirkan hal-hal yang akan kulakukan jika nanti keluar dari Kubah. Aku memang sempat melirik pria itu ketika ia masuk. Mungkin itu cukup menjadi alasan baginya untuk sok akrab denganku.

"Saya lihat, Anda sebenarnya orang baik," tambah pria itu, masih berdiri dan menatapku sambil tersenyum, mungkin karena aku tak kunjung memberinya jawaban.

"Aku bukan pemilik tempat ini."

Pria itu masih berdiri. "Saya takut mengganggu kenyamanan Anda. Ia tersenyum lagi.

"Terserah kau saja," jawabku akhirnya.

Pria itu pun duduk dan mengenalkan diri. Namanya Mateo dan ia memang seorang rahib. Untuk alasannya sampai ke Kubah, ia tak menjelaskan, dan aku juga tidak ingin tahu lebih jauh. Tidak ada gunanya bagi orang yang akan mati, meskipun belum tentu aku yang akan mati. Ia bertanya namaku, tapi aku hanya bilang, nanti saja kalau kita ketemu di surga, kita bisa ngobrol sambil minum anggur. Lagi-lagi, ia cuma tersenyum.

Karena malam sudah semakin larut, aku pun merebahkan tubuh di lantai hijau yang sedingin istriku ketika marah. Awalnya memang lantai ini bikin badan pegal-pegal ketika bangun pagi, tetapi tenang saja, sejak seminggu kedua, aku mulai bersahabat dengan rasa pegal itu. Aku juga bersahabat dengan kecoa, semut, dan hantu orang-orang yang dulu menempati ruangan selebar dua puluh langkah ini. Di sini memang pengap, tapi ini lebih baik daripada aku harus melihat istri dan anakku direbus dalam kuali atau dijadikan makanan anjing-anjing rentenir.

Mateo duduk bersandar tembok dengan mata terpejam. Dari wajahnya, kutaksir usianya sekitar tiga puluhan, seusiaku. Mungkin karena sadar tengah kuamati, ia membuka mata dan bertanya, apa aku butuh sesuatu? Kujawab, sebaiknya kau tidur karena setiap hari di sini adalah kejutan. Dan ia hanya tersenyum lagi, lalu kembali memejamkan mata. Mungkin ia memang tidur sambil duduk.

Persetan.

***

Pagi yang penuh kejutan. Aku terbangun di kamar mewah. Kasurnya empuk, ber-AC, dan ada banyak makanan di meja. Sejak enam belas hari lalu, delapan kali kejutan kulalui setiap pagi. Aku pernah terbangun di ruangan yang amat panas dengan api di setiap sudutnya. Teman satu ruanganku berkata, itu tiruan neraka. Itu lelucon paling konyol yang kutemui sepanjang hidupku. Untuk apa ada orang susah-susah membuat tiruan neraka, sementara hidup di dunia saja sudah seperti neraka? Pengelola Kubah memberi kami kesempatan sehari untuk menikmati kejutan itu, lalu besoknya kami akan kembali ke ruangan pengap lagi.

Dari delapan kejutan yang kudapatkan, kejutan kesembilan ini yang paling menyenangkan. Setidaknya, aku bisa merasakan lagi nyamannya tidur di kasur dan makan hidangan enak di meja. Biasanya, aku harus berburu di hutan, atau makan nasi aking bersama ayam-ayam di kandang. Sebaiknya, kau tidak penasaran dengan kejutan lainnya, karena aku yakin setelah kau membacanya, nafsu makanmu akan hilang selama seminggu.

Mateo terbangun di tempat yang sama denganku. Wajahnya datar seolah-olah semua hari adalah sama saja baginya. Namun, kalau kupikir-pikir, ia sangat beruntung: baru saja masuk Kubah, tapi langsung dapat kejutan mewah. Mungkin itu istimewanya orang-orang yang menaati kitab suci seperti Mateo.

Aku turun dari kasur dan langsung menggasak ayam panggang yang aromanya membuat ular derik di perutku mematuk-matuk. Rasanya memang sangat lezat. Namun, Mateo hanya memandangi makanan di depannya.

"Jangan sakit. Kubah tidak akan repot-repot memanggil dokter untuk orang-orang seperti kita," kataku.

Mateo tersenyum. Lama-lama aku sebal juga melihatnya terus begitu. "Kalau Anda masih lapar, makanlah jatah saya."

"Kau meledek?"

Raut mukanya berubah sungkan. "Maaf, bukan begitu maksud saya."

Aku melanjutkan makan sambil berkata, "Terserah. Apa yang terjadi denganmu nanti bukan urusanku."

Meskipun tampak ragu, akhirnya Mateo makan juga. Cara makannya sungguh penuh etika. Ia berdoa dan makan secukupnya. Sementara, aku sudah lupa kapan terakhir berdoa. Bagiku, berdoa atau tidak, sama saja. Hari tetap berganti, aku tetap miskin, dan utang-utangku tak akan lunas kalau aku tidak menggadaikan diri. Entah Tuhan ada di surga bagian mana, atau langit bagian mana, aku tidak peduli.

Aku masuk ke Kubah dengan sukarela. Sebenarnya tidak begitu rela karena kulakukan ini demi istri dan anakku. Rentenir gila itu akan membebaskan mereka sekaligus utang-utangku jika aku bersedia masuk ke Kubah. Aku tidak paham keuntungan apa yang ia dapatkan karena aku hanya fokus dengan apa yang kudapatkan.

Aku sendiri kurang paham, apa misi pemerintah kota ini mendirikan Kubah. Tempat ini disebut "Kubah" karena bagian luar bangunannya memang mirip kubah masjid raksasa. Di dalamnya ada banyak ruangan tanpa jendela untuk menahan orang-orang sepertiku. Kurun waktu penahanan pun tidak tentu dan tidak jelas. Namun, dari yang kudengar sebelumnya, siapa yang masuk ke Kubah, jarang ada yang keluar hidup-hidup. Alasan kematian para mantan tahanan pun seperti sengaja ditutup-tutupi. Keluarga yang tersisa, dibungkam dengan kompensasi. Jadi, ketika masuk ke sini, aku hanya berharap semoga suatu saat istriku menemukan pria baik yang bisa mencarikannya banyak uang, dan anakku mendapatkan ayah sambung yang berguna. Kalau aku tak berhasil hidup, mungkin kompensasi dari Kubah bisa jadi kado terakhir untuk mereka.

Usai makan, aku duduk sambil menikmati kopi dan rokok. Mateo duduk di kursi sebelahku, lalu berkata, "Anda tidak tampak seperti orang yang takut mati."

Aku mengisap rokok, lalu mengembuskan asap ke atas. "Semua orang akan mati."

"Ya, Anda benar. Dunia pun akan hancur sebentar lagi."

Aku tertawa. "Kupikir kiamat itu hanya dongeng kitab suci."

"Saya lebih percaya kalau kiamat itu seperti tindakan pembersihan. Kalau semuanya dihancurkan, akan lebih mudah untuk memulai dari awal."

Aku mengetuk batang rokok hingga abunya rontok ke lantai sambil membayangkan jika bumi akan rontok seperti buah yang jatuh dari pohon, lalu buah itu meledak, lalu menjadi serpihan sekecil abu. "Aku kurang percaya kalau yang sudah rontok, seperti abu rokok ini, akan bisa menggumpal dan kembali dari awal."

Mateo kembali membuatku sebal. "Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan."

Aku tidak tertarik menanggapi obrolan Mateo. Kumatikan rokokku, lalu kembali berbaring di kasur. Dari jendela kamar, aku bisa melihat pemandangan laut yang selama ini hanya bisa kulihat di lukisan-lukisan yang dipajang di rumah mantan-mantan majikanku. Sejak lahir, masuk sekolah, hingga onani untuk pertama kali, aku tidak pernah keluar dari Siyudad. Perbatasan kota dijaga sangat ketat. Dan karena Siyudad dulu dipenuhi pemberontak, yang kemudian kalah perang, akhirnya seluruh keturunan pemberontak itu, termasuk aku, dilarang keluar dari kota ini dalam keadaan apa pun.

"Anda benar-benar tidak percaya kiamat?" Mateo membuyarkan lamunanku. Ia duduk di kasurnya sambil menatap ke arah jendela, sama seperti yang kulakukan.

"Sebaiknya kita tidur," jawabku sambil memejamkan mata. Aku sedang tidak ingin memikirkan hal-hal abstrak yang tidak bisa kujangkau. Lebih baik, kunikmati sejuknya AC kamar ini, sebelum esok kembali ke ruang pengap dan bau itu lagi.

***

¹ Bukankah telah Kukabarkan kepadamu, wahai Qayin? ² Hari ketika dunia menyalak dan porak-poranda. ³ Jangan sekali-kali kau dan kaummu meragukan itu. Dan ketika (orang-orang) setelahmu meragukan-Ku, Meragukan firman-firman-Ku, Setiap satu dosa mereka, bertukar dengan retaknya matahari. Mereka akan terkubur dalam kerak bumi. Dan di hari mereka dibangunkan, mereka akan menyesal dan mengiba, "Ya Tuhan, beri kami kehidupan kedua, sungguh kami tak akan meragukan-Mu lagi." ¹ Samudera pengampunan-Ku Maha Luas. ¹¹ Kabarkan kepada mereka, (Qayin), sebelum samudera (pengampunan) itu kering. ¹² Aku bersama orang-orang yang berserah diri (kepada-Ku). (AlKaib, Surat ke-21)

 

Kubah tak henti-hentinya memberiku kejutan. Kali ini, aku terbangun di sebuah ruangan yang panjangnya tak lebih dari lima depa dan lebarnya dua puluh langkah, tanpa jendela, tanpa ventilasi, bahkan tanpa pintu. Bagian atas ruangan ada lubang persegi panjang seukuran nampan kecil dan empat lampu dan empat kamera pengawas di setiap sudut. Dalam ruangan itu, ada dua pria yang bentuk tubuhnya mirip tukang pukul rentenir, satu lelaki tua, dua pemuda yang kira-kira berusia dua puluh tahunan, satu remaja laki-laki yang tampak ketakutan, satu wanita muda berekspresi dingin, seorang rahib yang punya senyum menyebalkan, dan aku yang kini kebingungan mencari jalan keluar. Dinding dan lantai ruangan yang putih dan bersih, tak mengurangi suasana mencekam, pengap, dan lapar.

Aku ingat sekali telah menghabiskan banyak makanan kemarin. Namun, sejak bangun di tempat ini, perutku terus bermusik, seperti tahu apa yang kupikirkan. Tiba-tiba dari lubang atas ruangan, turun nampan yang diulurkan dengan tali. Di dalamnya ada sembilan butir telur, air minum kemasan gelas, dan selembar kartu. Kami, kecuali Mateo, mendekati nampan. Salah seorang tukang pukul yang kepalanya mirip pentol korek, mengambil kartu itu dan membaca tulisannya dengan lantang: "Selamat berjuang."

Kami saling memandang. Dapat kulihat, mereka semua bingung dengan maksud tulisan itu. Aku langsung mengambil sebutir telur dan air, lalu menyantapnya. Begitu pun dengan yang lain, kecuali Mateo. Aku mengambil bagian Mateo, lalu melempar kepadanya. Ia menangkapnya dan mengucapkan terima kasih.

"Orang-orang sok suci dan sok gengsi," ucap seorang pemuda sambil menatap Mateo.

Mateo tidak menanggapi. Ia lantas menyantap telur dan meminum airnya hingga habis. Tiba-tiba perutku bermusik lagi saat melihat Mateo. Telur dan air itu sepertinya tidak membuatku kenyang, malah membuatku semakin lapar. Namun, aku mencoba mengusir hasrat itu dengan duduk meringkuk di sudut ruangan. Orang-orang dalam ruangan, sepertinya merasakan hal yang sama.

Itu hari pertama kami. Aman. Tidak ada pertengkaran. Namun, tak ada yang menyangka bahwa itu adalah awalnya. Di hari kedua, makanan yang diberikan semakin membuat gila. Kami hanya memakai sebutir apel tanpa minuman. Semua masih bisa mengendalikan diri untuk tidak merebut jatah yang lainnya. Di hari kedua pula, aku buang air kecil dan menampungnya dalam gelas plastik bekas air kemasan. Yang lain pun melakukan hal yang sama. Mungkin kami akan membutuhkannya beberapa hari ke depan.

Hari berikutnya, dua pria tukang pukul itu mulai menggila. Saat tahu makanan yang datang hanya sepuluh butir kelengkeng, mereka tak mau berbagi dan langsung mengantongi sendiri makanan itu. Dua pemuda dalam ruangan itu mengamuk, lalu mereka saling berebut. Aku, Mateo, pria tua, wanita, dan remaja yang selalu ketakutan itu hanya menonton mereka. Tanpa kuberi tahu, pasti kau sudah bisa menebak siapa yang menang. Tak perlu kuceritakan bagaimana bentuk dua pemuda itu sekarang karena itu pasti akan membuatmu tak sudi lagi makan dengan saus tomat.

"Ada lagi yang mau berebut?" tanya tukang pukul gondrong kepada kami.

Aku tidak minat menjawab. Mateo sudah kehilangan senyumnya. Si pria tua mungkin sadar diri dan tampak pura-pura tak dengar. Si wanita dingin hanya menampakkan ekspresi datar. Sementara si remaja itu mulai menangis. Dua tukang pukul itu lantas duduk dan menikmati hasil rebutannya.

"Memangnya menangis bisa membuat kenyang?" sindir wanita dingin kepada si remaja.

"Aku ingin pulang." Remaja itu makin terisak-isak.

"Hanya orang gila yang betah tinggal di neraka ini!" balas si wanita dingin lagi.

"Tenang, semua. Ini bukan neraka, tapi penyucian dosa. Kalian akan masuk surga begitu siksaan di sini berakhir." Mateo kembali dengan senyum menyebalkan.

Si wanita dingin menatapnya sinis. "Sampai sekarang, aku tak bisa mengerti jalan pikiran orang-orang sepertimu."

"Anda tidak perlu mengerti, Nona. Cukup Anda berserah diri kepada Tuhan, maka Tuhan akan memudahkan urusan Anda."

"Kalau begitu, kau berdoa saja yang banyak supaya kita keluar dari tempat terkutuk ini!"

Si pria tua menyela, "Daripada bertengkar, lebih baik kita mencari cara agar bisa bertahan bersama-sama."

Aku berpikir sejenak sambil memandangi dua tukang pukul yang sekarang sedang rebahan.

"Kita berlima, mereka cuma berdua. Jangan biarkan mereka merebut makanan kita lagi."

Empat orang lainnya mengangguk. Dan entah kenapa, kami semua tiba-tiba menguap bersamaan. Selanjutnya, aku hanya ingat bahwa kami semua mengantuk berat dan mulai merebahkan diri di lantai.

***

Keesokan harinya, kami diberi dua potong daging panggang dan dua pisau. Dua tukang pukul itu langsung mengambil semua makanan. Aku yang sudah sangat kelaparan, mendekati mereka dan merebut satu potong daging. Namun, mereka menodongkan pisau ke leherku.

"Ini milik kami! Ini pasti hadiah karena kami menumbangkan dua manusia tak berguna ini!" Si gondrong menekan pisau itu ke leherku hingga terasa perih.

Tiba-tiba ia terjungkal. Si wanita dingin, memukul belakang kepalanya dengan nampan. Si gondrong berang dan menampar wanita itu hingga tersungkur. Di luar dugaan, Mateo yang biasanya lebih suka jadi penonton, tiba-tiba saja mendekat dan meninju pelipis si gondrong. Tidak tampak kuat, tapi cukup membuat si gondrong terhuyung.

Kami mulai ribut. Pria tua yang kelihatan lemah tak berdaya itu bahkan berkali-kali membantuku memukuli si kepala pentol korek. Remaja itu sibuk mengamankan daging panggang yang tersisa. Saat aku berhasil merebut pisau dari si pentol korek, kutusuk matanya dua kali. Ia menjerit kesakitan. Sangat lantang. Karena terdengar berisik, maka kugores lehernya hingga darahnya muncrat ke wajahku. Ia terbatuk-batuk, lalu mengejang.

Sementara itu, Mateo dan si wanita dingin, tampak kewalahan menghadapi si gondrong. Saat si gondrong lengah, kutusuk lehernya dari belakang. Ia memegang tengkuk, lalu menoleh menghadapku dengan mata membelalak. Karena aku tidak suka tatapannya, kuiris tenggorokannya hingga ia tumbang dan matanya terpejam.

Kami terpaku dengan napas terengah-engah. Malam itu, kami berlima menikmati daging panggang dengan saus darah.

***

Ruangan mulai bau. Sekumpulan belatung mulai membangun koloni di mayat dua pemuda yang mati lebih dulu. Dan kami harus mengakrabkan diri dengan bau busuk yang menyerbu segala penjuru.

Ketika jam dua belas siang, nampan terjulur dari atas ruangan. Tidak ada makanan, hanya ada sebotol air mineral kemasan 600 ml dan selembar kartu bertuliskan: "Hanya ada satu pemenang yang akan jadi utusan selanjutnya."

"Lelucon apa lagi ini?" Aku meremas kartu itu, lalu memasukkan ke mulut dan mengunyahnya.

Empat orang lainnya hanya terdiam setelah membaca tulisan di kartu yang kini telah merayap di dalam ususku. Aku meneguk air dalam botol, lalu memberikannya kepada Mateo. Mateo meminum sedikit, lalu mengopernya kepada si wanita dingin. Wanita itu tak langsung minum, ia malah menatap kami dan berkata, "Apa maksudnya, kita harus saling membunuh untuk menemukan pemenang?"

Kami terdiam lagi. Kemarin kami bekerja sama untuk membunuh demi dua potong daging. Dan kali ini, kami dipaksa bermusuhan demi menjadi utusan. Kubah makin memuakkan. Aku bertekad menang agar tahu siapa cecunguk yang tega menganggap nyawa kami sebagai mainan.

"Tidak perlu ada yang menang. Kita harus melewati ini sama-sama." Mateo mengambil botol dari tangan si wanita dingin, lalu mengulurkannya kepada remaja penakut.

"Aku cuma ingin pulang," ucap remaja itu. Sejak darah muncrat ke wajahnya kemarin, ia seakan-akan takbisa menangis lagi.

***

Aku terbangun saat merasakan sesuatu menindih tubuhku. Ketika membuka mata, kulihat wanita dingin itu menunggangiku seperti naik kuda. Tidak usah kujelaskan bagaimana detailnya, intinya ia sedang mengusahakan sesuatu yang aku sendiri takbisa mengerti. Aku menatap sekeliling, Mateo dan yang lainnya tampak pulas, sementara wanita itu membungkam mulutku dengan tangannya.

"Sssh, aku sudah lama tidak melakukan ini." Dan ia melanjutkan kegiatannya lagi.

Aku sempat mabuk dan melayang. Saat memejamkan mata karena akan sampai ke puncak, tiba-tiba tubuh wanita itu ambruk begitu saja di atas tubuhku. Pisau menancap di lehernya. Si pria tua yang melakukannya.

"Dia pengkhianat," ucap si pria tua. Dan kulihat tangan kanan si wanita dingin menggenggam pisau.

Sejak malam itu, semua yang tersisa jadi waspada. Aku sulit mempercayai semua yang ada di dalam ruangan ini. Pria tua yang sebelumnya tampak lemah dan takberani melakukan apa-apa, kini selalu menatapku dengan tatapan yang takbisa kujelaskan. Satu-satunya yang tidak berubah hanya Mateo. Ia tidak banyak bicara dan lebih suka duduk bersila sambil memejamkan mata. Meditasi, katanya.

Kami tidak pernah diberi makan lagi. Dan kurasa ini yang membuat si pria tua dan remaja penakut itu makin hari makin menggila. Mereka memotong mayat-mayat dalam ruangan, lalu memakannya. Aku dan Mateo hanya bertahan dengan minum air kencing masing-masing. Aku memang bertekad menang, tapi tidak dengan cara membunuh lagi. Berada satu ruangan dengan lima mayat, sudah cukup membuatku gila.

Namun, rupanya itu berbeda dengan si pria tua dan si remaja. Pada hari ketujuh sejak kami tak tak diberi makan lagi, mereka mulai kehilangan kendali. Si pria tua menyerang Mateo dan si remaja menyerangku. Selama ini, memang mereka yang menyimpan pisau sejak si wanita dingin itu tewas.

Aku kalah tenaga. Remaja itu, entah kenapa, berubah jadi kuat dan seperti kerasukan setan. Ia berhasil melukai tangan dan kakiku. Kami berguling di lantai dan masing-masing saling mempertahankan diri. Aku sulit bergerak saat remaja itu menindih perutku dan mengarahkan pisaunya ke wajahku. Namun, akhirnya aku berhasil mementalkan pisaunya dan membalikkan keadaan. Kupukul rahang kirinya tiga kali dan ia menangis.

"Maafkan aku. Aku cuma ingin pulang," ucapnya sambil menangkupkan tangan.

Aku tak sampai hati untuk memukulnya lagi. Maka, aku berbalik hendak meminum sisa air kencingku di sudut ruangan. Namun, tiba-tiba Mateo menubrukku dari belakang. Pisau itu telah melubangi punggungnya yang kini tak henti mengucurkan darah. Sementara remaja itu berdiri di dua langkah dari kami sambil mengacungkan pisau.

"Mateo!" Aku membalikkan tubuhnya dan menepuk pipinya, lalu mencari keberadaan si pria tua. Dan kutemukan ia tak jauh dari mayat si wanita dingin.

"Saya membunuhnya," ucap Mateo terputus-putus.

"Kenapa kau melindungiku?"

Mateo terbatuk-batuk. "Anda utusan terpilih." Mateo membelalak, tubuhnya mengejang, lalu terkulai di pangkuanku. Ia berakhir.

Aku masih membeku. Tidak percaya jika ada seseorang yang rela mengorbankan nyawa untuk melindungiku. Padahal, aku dan Mateo tak pernah akrab atau mengakrabkan diri. Ternyata jalan pikiran Mateo memang takbisa dimengerti banyak orang. Dan detik itu juga, aku memantapkan iman.

Saat bisa menguasai diri, aku menatap si remaja yang kini juga menatapku sambil mengacungkan pisaunya. Aku menderanya dengan sisa-sisa tenaga dan letusan amarah. Ia pantas mati. Seperti kata Mateo, akulah utusan terpilih. Maka, aku harus menang dan keluar dari sini.

¹ Suatu ketika Qayin berdiam diri di puncak Bukit Girik. ² Langit bersinar-sinar, dan turunlah Malaikat Ande. ³ (Ande bertanya): "Apa yang membawamu sampai di sini, wahai Qayin?" Qayin berkata, "Seorang anak datang kepadaku. Ia bertanya, apakah setelah bumi berakhir, akan ada awal yang baru? Tuhan menunjukkan kepada Qayin, lewat Ande. Pohon Lule (sejenis bunga-bungaan) di depannya tiba-tiba layu. Ia (pohon itu) kering dan gugur. Di dekatnya, pohon baru tumbuh. ¹ Tuhan berkata, "Seperti itulah kehidupan kalian." (AlKaib, Surat ke-23)

Aku keluar dari Kubah dan membawa misi baru: mempercepat kiamat. Satu dosa anak manusia, satu langkah menuju kehancuran. Para keturunan Qayin Sang Utusan, ingin mewujudkan dunia baru, dunia tanpa manusia-manusia tercela. Dunia dihancurkan, lalu dibangun kembali. Di hadapan para keturunan Qayin, aku bersumpah, akan kuwujudkan kehancuran itu dengan caraku.


Next Post Previous Post
1 Comments
  • Aprilia
    Aprilia 8 December 2024 at 15:48

    Keren 👏

Add Comment
comment url