Dalam Sunyi Genderang - NM Paracetamol


Dalam Sunyi Genderang
NM Paracetamol


Permulaan hari baru menghangat dan Cik Umar sedang menikmati secangkir kopi bersama seorang kawan di teras rumahnya tatkala Sarman, lelaki 30 tahunan, yang mendapat julukan Pria Sepuluh Betul, secara tergesa-gesa datang kepadanya. Dengan kesungguhan yang tidak pula tampak dibuat-buatnya, ia kemudian mengatakan bahwa Ki Rojah, dukun yang juga pernah dianggap oleh warga Dusun Bekarang sebagai seorang mualim, pagi itu dilihatnya hidup lagi.


Ya, hidup lagi, dan itu bukanlah pilihan kata yang keliru sebab semua orang di dusun ini, tak terkecuali Sarman sendiri, mengetahui Ki Rojah telah mati sepuluh tahun silam. Maka, perihal kabar mengejutkan yang dibawanya tersebut, sontak membuat si kawan Cik Umar menjadi terbatuk-batuk dan menyemburkan kopi yang baru diseruputnya selayak air seduhan itu berisikan seekor cicak. 


"Anak cilaka! Janganlah kau bergurau tak tahu tempat!" tegurnya.


"Aku sangat yakin, Wak. Aku bahkan hampir menabraknya," terang Sarman. "Kakinya menjejak tanah. Tak pakai sandal."


"Kusumpal juga mulutmu lama-lama!" hardik si kawan Cik Umar.


Jelas saja ia tidak percaya, meski ia tahu betul julukan Sarman adalah bukti betapa lelaki itu tidak suka berulah salah. Akan tetapi, bagaimana mungkin seseorang yang telah mati bisa bangkit lagi? Pasti Sarman sedang membuat bualan cerita belaka, pikirnya. Lepas itu, sungguh yang baru ia dengar bukanlah lelucon menarik baginya, ini jikalaulah benar kiranya Sarman memang sengaja hendak membuat semacam gurauan, gurauan yang lebih layak menjadi bahan kelakar pengusir kantuk saat meronda atau teman bercatur di gardu jaga.


"Aku tidak berdusta, Wak!" Sarman bersikeras meyakinkan.


Si kawan Cik Umar bersegera bangkit, sekonyong-konyong hendak menghajar Sarman sebab ia telah dibuat berang dengan cerita yang baginya terlalu dikarang-karang itu. Namun, sesaat sebelum kepalan tangannya mengenai wajah Sarman, Cik Umar lekas bangun dari duduk dan menahan, masih dengan sikapnya yang sedemikian tenang.


"Tak perlu membuat gaduh," cegah Cik Umar kepada si kawan dengan lemah lembut.


"Tapi …."


Cik Umar mengangguk, menatap si kawan dalam diam, mengisyaratkan agar si kawan tenang dan biarlah cukup ia yang akan mengurusi semua itu. Lalu, ia menoleh ke arah Sarman yang bergeming walaupun baru saja nyaris menerima sarapan pagi tak mengenakan.


Pada waktu yang cukup lama bertatapan inilah, dipandang-pandangnya mata Sarman demi memastikan suatu kebenaran di sana. Atau hal lain yang justru ia ketahui, tetapi ingin disimpan Cik Umar sendiri.


"Aku tidak berdusta, Wak," kata Sarman lagi.


Cik Umar mengangguk pelan saja, menghela napas sejenak lalu berkata, "Pulanglah. Aku sudah tahu." Cik Umar pun tersenyum. "Dan kalaulah kau bertemu dengannya lagi, katakan aku akan segera menjumpainya."


Tanpa babibu, Sarman pun lekas berlalu.


Seiring Sarman yang pergi, Cik Umar bersama kawannya duduk kembali di kursi kayu merbau berkelir-kelir, sejajar letak, dengan hanya sebuah meja kayu jati sebagai pembatas keduanya. Ia lantas menyesap lagi kopinya dengan ketenangan seakan tiada satu apa terjadi, sehingga tidak pula menjadi begitu perlu untuk dicemas-cemaskannya. Sementara si kawan, nyatalah ia masih menahan kesal lagi keheranan. Seumur hidup, dari sekian banyak riwayat kematian yang terjadi di dusun itu, tidak pernah barang sekali pun ia mendengar cerita yang begitu mustahil dan sulit diterima akal warasnya.


"Aku tahu ia memang akan kembali. Aku sudahlah lama mengetahui perihal ini," jelas Cik Umar, seolah mampu menerka apa yang sedang dipikirkan si kawan.


Lantas, Cik Umar mengisap rokok lintingannya dalam-dalam, mengembuskannya, membuat asap putih kekuningan segera melayang-layang membayangi wajah teduh pria 50 tahun itu. Menyerta asap yang perlahan-lahan lesap di ruang terbuka, tampaklah senyum sedingin udara subuh buta di bibirnya.


"Benarkah ia bisa hidup lagi?" Si kawan bertanya, masih juga ia meragu.


"Aku tidak peduli sekalipun itu hantu Rojah," jawab Cik Umar, kemudian ia tertawa.


***


Tidak pernah ada yang tahu secara pasti dari mana asal Ki Rojah. Lelaki berambut sewarna kafan, berjanggut lebat, beserban serta berjubah hitam itu, hanya diketahui tiba-tiba singgah di rumah salah seorang warga, suatu hari di akhir-akhir bulan Muharam. Itu adalah hari-hari di mana Dusun Bekarang telah lama dilanda kekeringan dikarenakan belum juga diguyur hujan lebih dari sembilan bulan.


Sebagaimana yang diyakini para warga, terkecuali si kawan Cik Umar yang tidak percaya takhayul sejak kecil, bila ada seseorang tak dikenal yang tampak menunjukkan ciri-ciri manusia suci serupa wali, atau katakanlah terlihat memiliki kesaktian—setidaknya seperti penampilan Ki Rojah, adalah sebuah keharusan bagi mereka memperlakukannya dengan baik. Masa-masa itu sebagian warga Dusun Bekarang memang masih memegang teguh kepercayaan bahwa muasal mereka, Datuk Ratu Seputih nan mandraguna yang konon katanya bila ke sungai ia menjadi buaya putih berekor buntung dan bila ke darat menjadi macan, digadang-gadang suatu hari akan datang sekadar menengok kehidupan cucu, cicit, pun buyut-buyut keturunannya. Karena ia dipercaya tidak benar-benar pernah akan wafat dan masih ada bersama mereka.


Maka, Ki Rojah pun disambut dengan lebih dari sangat baik, juga penuh sukacita. Kepadanya, disuguhkanlah makanan enak dan tempat tidur terbaik yang dimiliki keluarga ini. Perlakuan baik itu juga dipercaya sebagai upaya mencegah datangnya suatu bala bencana di kemudian hari. Tentu tak ada yang mau ketulahan tersebab hanya mengabaikan. Dan lagi, adalah sebuah ketuahan tersendiri bagi pemilik rumah bila memang terpilih untuk dijadikan tempat singgah orang-orang selayak Ki Rojah.


Bertepatan pula pada malam pertama saat ia menginap inilah, persis ketika hari mendekati fajar, gardu ronda di tengah dusun membuat suara keributan yang mengusik telinga para warga yang masih terlelap, istri-istri mereka yang sedang menanak nasi, ataupun anak-anak yang hendak mengaji di langgar. Kentungan dipukul-pukul, teriakan susul-menyusul. Orang-orang pun segera menyadari apa yang sedang terjadi. Empat ekor sapi piaraan Sarman, si Lelaki Sepuluh Betul, hilang dimaling dari kandangnya, begitu kabar pasti yang kemudian memaksa para lelaki cukup usia segera berkumpul seraya menenteng berbagai senjata: pedang, parang, tombak, kayu, bambu, apa saja yang bisa dijadikan alat menghajar si maling bila berhasil ditangkap nantinya. Ki Rojah, meski masih sebatas tamu, ternyata sudahlah turut serta di tengah kerumunan itu.


Tepat saat orang-orang ini selesai membagi tugas menjadi kelompok-kelompok pencarian, meski mereka pun tidak mengerti ke mana harus mencari sebab ketidaktahuan sapi itu hilang jam berapa, saat itu pulalah Ki Rojah menunjukkan kemampuan.


"Mohon maaf, jikalau boleh urun saran, sebaiknya kita pergi ke sungai. Sapi-sapi itu sedang akan diseberangkan, tak lama lagi. Kita belum telat untuk menghalau," ujar Ki Rojah yang disambut orang-orang dengan saling pandang.


"Siapa kau?" Salah satu dari mereka gegas bertanya, saat baru menyadari ternyata ada orang asing di antara mereka. Rupanya, kepanikan membuat mereka tidak memperhatikan Ki Rojah sekalipun pria itu berpenampilan paling berbeda.


"Jaga bicaramu!" Seseorang yang lain, yakni pria pemilik rumah yang disinggahi Ki Rojah, lekas menyahut. "Beliau bersamaku," jelasnya.


Semua mata pun segera beralih tuju padanya, yang saat itu pula ia langsung menarik beberapa orang menjauh dari kerumunan untuk diberi penjelasan.


"Hati-hati kau! Beliau ini bisa jadi wujud Datuk Ratu Seputih," terangnya seperti orang berbisik-bisik. "Tidakkah kalian perhatikan?"


Maka tak panjang cerita, usai diberi sedikit penjelasan, orang-orang ini segera paham, lantas kembali ke kerumunan seraya menyalim takzim kepada Ki Rojah, lekas meminta maaf pula bilamana dianggap telah lancang. Keadaan pun menjadi berbeda sepenuhnya, di mana mereka merasa seolah-olah dilindungi kekuatan maha besar dalam upaya pencarian.


Berhari kemudian, selepas keberhasilan Ki Rojah membantu menemukan sapi Sarman persis seperti yang dikatakannya—kendatipun si maling tidak tertangkap—orang-orang menjadi sering datang berkunjung menemuinya untuk mengantar makanan atau meminta didoakan. Mereka berkeluh kesah pula perihal hujan yang tak kunjung turun dari langit yang membuat ternak mereka kurus-kurus karena sulitnya mencari rumput, dan mereka menjadi tidak pernah bisa bercocok tanam sebab tanah sawah yang mengering. Hanya mengandalkan air dari curahan hujan, ternyata membuat mereka benar-benar takberdaya, kepayahan pula dalam keadaan paceklik.


"Tak usah risau," kata Ki Rojah. "Tiga hari setelah ini, hujan akan turun, berhari-hari."


Ajaib, ternyata hujan benar-benar turun tiga hari kemudian. Betapa bahagia rasa hati mereka saat itu hingga bahkan membuat bukan hanya anak-anak yang bermain hujan-hujanan. Orang-orang, takpeduli seberapa tua usia, berlari-larian ke luar rumah, bersorak-sorak. Dan, di antara sorakan itu terdengar nama Ki Rojah yang makin diagung-agungkan. Sebab ini pula, mereka lantas menjadi semakin yakin bahwa Ki Rojah benar-benar wujud Datuk Ratu Seputih yang sedang kembali, untuk membebaskan mereka dari dera derita segala kemalangan.


Kenyataan bahwa Ki Rojah memiliki kesaktian, juga sebagai bentuk pengabdian serta hatur terima kasih, orang tua Sarman menghibahkan sebidang tanah untuknya tak jauh dari tepi sungai, bersebelahan dengan makam keramat Datuk Ratu Seputih yang dibangun lengkap dengan pondokan. Di sana pula segera didirikan rumah panggung untuk si junjungan baru, disokong oleh warga dengan tenaga atau apa pun yang mampu mereka perbuat. Dan sejak itu, Ki Rojah mulai mengajar ilmu kanuragan kepada siapa saja yang mau berguru, mulai melayani gadis atau bujang yang meminta pengasihan, hingga mengobati bermacam penyakit orang-orang. Itu tidak hanya berlaku bagi warga sekitar, tetapi juga kepada warga di luar Dusun Bekarang. Seketika, Ki Rojah pun menjadi kondang.


***


"Akhirnya kau datang juga." Suara itu berasal dari atas pohon beringin dengan akar-akar gantung lebat menjuntai menyentuh tanah.


Cik Umar yang sedang memasuki pelataran kediaman Ki Rojah yang terbengkalai tetapi masih kokoh, menghentikan langkah, kemudian tersenyum. "Maaf, lama menunggu. Tapi aku kira kau pun tahu aku pasti datang," sahutnya tanpa mendongak dikarenakan ia tak lagi perlu menebak siapa pemilik suara itu.


Ki Rojah tertawa, lantas turun begitu saja. Ia melayang tak beda dari seringan kapas tertiup angin, mendarat beberapa langkah di belakang Cik Umar, tanpa gemeresik.


"Kau masih terlihat menyedihkan rupanya," kata Ki Rojah kemudian, mencela.


"Dan kupastikan kau akan segera mendapatkan balasan semua sumber kesedihanku."


Alih-alih takut, jauh pula menjadi terenyuh, Ki Rojah justru tertawa lagi, dengan tawa membahana yang segera dibawa kesiur bayu pada pepohonan besar lain di sekeliling yang menjulang serupa raksasa, bergoyang-goyang, seolah turut bersorak-sorai mentertawakan penderitaan batin yang dipendam Cik Umar sepuluh tahun lamanya—sesuatu yang hanya di ketahui keduanya saja.


"Kau tahu, Mar?'" kata Ki Rojah sambil memutar badan, melangkah pelan berlawanan arah dari Cik Umar dengan sisa-sisa tawanya. "Seharusnya kau tidak mencampuri urusanku," lanjutnya seraya berhenti dan memandang jauh ke arah pondokan keramat Datuk Ratu Seputih yang menyedihkan, yang tampak seperti tempat kesenangan bangsa jin membuang anak.


"Dan begitu pula seharusnya kau," balas Cik Umar, tanpa berubah posisi sedari tadi.


Ki Rojah membalik badan, melangkah lagi ke arah Cik Umar sembari mengikik geli. "Hanya kau terlampau jauh mengusikku," jawabnya.


Cik Umar tersenyum, nyaris tertawa. Tidak salah? Begitu ia hendak menyahut, tetapi urung. Bagi Cik Umar yang merupakan seorang pimpinan maling ternak, garong, bajing loncat, tetaplah Ki Rojah yang memulai perselisihan. Sebab, Ki Rojahlah orang yang sering membantu warga menggagalkan ternak-ternak yang dicuri anak buahnya, termasuk sapi si Pria Sepuluh Betul pada malam pertama kehadirannya di Dusun Bekarang. Menjadi bertambah-tambah lagi sebab setelah peristiwa itu, banyak orang yang sering meminta bantuan kepada Ki Rojah saat ternak mereka hilang. Tentu saja, keberhasilan Ki Rojah menjadi kegagalan bagi Cik Umar.


Itu belumlah cukup, sampai pada puncaknya adalah di suatu hari manakala salah satu dari dua anak lelaki Cik Umar yang sebagaimana buah jatuh tak jauh dari pohon, tertangkap saat hendak maling di dusun nun cukup jauh dari Dusun Bekarang. Ia mati, dibakar hidup-hidup oleh warga yang mengamuk.


Hal ini kemudian diperparah sebab selepas ditinggal mati si anak, istrinya, cinta sejatinya sebelum Cik Umar menikah kedua kali dengan gadis bau kencur, ditemukannya menggantung diri di belakang rumah. Dalam jerit dan kepedihan tertahan itulah, Cik Umar lantas menduga-duga sepenuh yakin bahwa segala musibah baikpun dengan tertangkapnya banyak anak buah, itu pasti masihlah ulah Ki Rojah.


Sementara pada keadaan berbeda, nama Ki Rojah menjadi kian harum selain semakin dinabi-nabikan. Ini sudahlah pasti berbanding terbalik dengan apa yang sesungguhnya dialami Cik Umar dan komplotan. Bahkan, si kawan yang biasa menemaninya minum kopi saban pagi itu telah menjadi kadang berlaku gila kadang berlaku waras dan tidak normal lagi, tiada sebab bila bukan dikarenakan harus mengalami nasib sial yang lebih menyedihkan: kehilangan istri juga lebih dari tiga orang anak lelakinya, yang juga maling.


Maka sebab amarah—meski itu tidak pernah ditunjukkan kepada warga—Cik Umar mulai menghasut orang-orang untuk mengusir Ki Rojah, dan terutama kepada mereka yang akhirnya menyadari bahwa lelaki yang mengaku masih titisan Sunan Gunung Jati itu ternyata berotak mesum, dan telah menghamili beberapa gadis yang datang kepadanya untuk meminta pengasihan. Keramahan dan kesahajaan Cik Umar, pun tabiat buruk yang tersembunyi meski tidak terlalu rahasia, ternyata berhasil membuat orang-orang percaya hingga kemudian tersulut begitu saja.


Pada suatu malam, dipimpin Cik Umar dalam rencana yang sungguh matang, orang-orang akhirnya mendatangi dan meringkus Ki Rojah dengan begitu mudah. Ia lantas digiring dalam keadaan dua tangan terikat dan telanjang, sebab saat penggerebekan ia tengah berasyik-masuk dengan salah satu gadis yang menginap, gadis yang sedang meminta jodoh dan pengasihan. Dan seperti apa yang dikatakan Cik Umar kepada para warga, itu adalah hari nahas bagi si dukun, sesuai perhitungannya. Cik Umar tentu tidak menganggur atau berbadan kosong.


Warga yang mengamuk, apalagi bagi mereka yang harus menanggung malu atas aib yang menimpa anak gadis, tentu sudahlah berang. Orang-orang ini lantas mengguyur tubuh Ki Rojah dengan berliter-liter minyak tanah yang mereka bawa.


"Bakar!"


"Bakar!"


"Bakar!"


Demikian teriakan-teriakan sarat amarah itu memecah malam, keluar dari mulut orang-orang yang mengelilingi Ki Rojah. Akan tetapi, sesaat sebelum salah satu warga hendak menyulut tubuh Ki Rojah dengan obornya, Cik Umar berteriak dengan penghabisan suara: tunggu! Kontan, suara-suara itu surut perlahan, menyisakan Cik Umar yang mendekat kepada Ki Rojah yang terbaring pasrah di tanah.


"Seharusnya, kau tidak pernah datang ke dusun kami, Saudara," bisik Cik Umar setelah ia sedikit berjongkok.


Ki Rojah bisa merasakan bagaimana orang-orang ini yang tak lagi menganggapnya, cukup dengan melihat senyum Cik Umar yang meledek dan penuh penghinaan itu. Lantas, ia berkata, "Kau akan menyesal, Umar. Kupastikan kau akan sangat menyesal."


Cik Umar tertawa puas. "Lihatlah, ia mengacam!" serunya kepada semua orang, yang baru bisa tertawa kemudian.


Ki Rojah tersenyum. "Aku tidak akan pernah bisa mati," katanya. "Aku akan hidup lagi."


"Sampai berjumpa di neraka!" desis Cik Umar.


Tidak berselera lagi meladeni Ki Rojah, ia berdiri sempurna, menatap wajah para warga sesaat, lalu dengan ketenangan yang mengerikan Cik Umar berkata, "Tetak ia. Barulah kalian bakar."


Parang-parang segera mengacung demi menyambut perintah Cik Umar. Dan dalam singkat waktu, pekik-pekik pun bergemuruh, membawa amarah para warga untuk segera dituntaskan. Maka, malam yang dingin tetapi sejatinya telah berkobar-kobar itu, pelan-perlahan mulai menyeruakkan amis darah nan pekat, menyebar dari tanah basah memerah, tempat di mana Ki Rojah dimutilasi sebelum dibakar. Sementara sedikit jauh dari kerumunan, adalah Cik Umar yang menatap, memperhatikan bagaimana nasib akhir si dukun melalui celah-celah kaki para warga, dengan ketenangan tak berbanding.


Saat masa penghabisan eksekusi, manakala pancaran cahaya kobaran api kemudian mulai membuat tubuh-tubuh di sekeliling Ki Rojah menjadi tampak menguning kemerahan, saat itulah Cik Umar tiba-tiba terkesiap oleh suatu sebab, dan tanpa sadar mulutnya bersuara dengan mata mendelik: anakku?!


Cik Umar panik, sungguh-sungguh dalam kepanikan luar biasa. Berlarilah ia berusaha menerobos demi mendapati siapa sesungguhnya yang dibakar itu. Namun malang sungguh malang, semua terlambat. Terlampau terlambat. Jangankan berhasil membelah kerumunan, bahkan suaranya pun teredam kegaduhan. Cik Umar terpaku dengan tubuh gemetar, kemudian menangis.


Itulah kiranya yang sebenar-benar terjadi, alasan dari segala kesedihan Cik Umar selama sepuluh tahun kemudian, alasan yang kemudian membawa langkahnya menemui Ki Rojah seorang diri hari itu, sepekan setelah Sarman mengatakan si dukun bangkit dari kematian.


"Mari kita tuntaskan!" Cik Umar mulai memperjelas tujuan mendatangi Ki Rojah. "Sekarang saatnya membuktikan kulit siapa yang lebih tebal!"


"Seharusnya kau masih jauh perjalanan untuk menghadapiku di sini seorang diri."


"Semoga ucapanmu benar, Rojah." Cik Umar lantas melepas sarung yang melilit di pinggangnya, berputar arah, membuat keduanya berhadap-hadapan. "Cukup tubuh Sarman yang kau pergunakan terakhir kali," katanya.


Ki Rojah tertawa lagi. "Ternyata kau tahu siapa yang menggerakkan tubuhnya ke rumahmu pagi itu," ujarnya.


Cik Umar masih hanya kembali tersenyum. Ia tak menjawab barang sepatah meski nyatanya memang benarlah ia mengetahui siapa yang mempengaruhi tubuh dan pemikiran Sarman. Hanya saja, saat itu ia takmungkin berterus terang sebab ada si kawan. Ia tidak mau si kawan terlibat, demi menolak terulangnya kejadian sepuluh tahun lalu. Sebab, cukup baginya kehilangan terlalu banyak, yang bahkan sempat membuatnya serasa benar-benar mati. Cik Umar tentu sangat paham bagaimana rasanya bangkit dari kematian semacam itu. Dan sungguh, selain buruk, itu sangat sulit hingga masa sepuluh tahun pun tak dirasanya akan cukup memulihkan.


"Aku tunggu kemampuan terbaikmu!" tantang Ki Rojah.


Cik Umar pun segera melempar sarungnya ke udara, dengan tetap tidak mengalihkan pandangan dari Ki Rojah. Sementara sarung itu berputar-putar menunggu turun kembali, keduanya mulai mempersiapkan senjata masing-masing: Cik Umar mencabut sebilah badik, sedangkan Ki Rojah mencabut keris.


"Aku tahu kau sudah siap." Cik Umar tersenyum.


Beradu tatap seraya memasang kuda-kuda, kini keduanya hening, menciptakan kesunyian serupa angin yang juga secara tiba-tiba seolah berhenti berembus di sana. Sementara itu, gelungan sarung terus berputar-putar, turun perlahan-lahan seolah ada yang menahan-nahan laju geraknya menyentuh tanah, yang sesungguhnya tiada beda pula dari keduanya: Ki Rojah datang menuntaskan dendam lama tertahan, sedang Cik Umar lebih kepada menghendaki kebangkitan hidup sebenarnya dari kematian yang lebih menyiksa dari kematian itu sendiri.


"Mari," kata Ki Rojah.


Sarung itu pun menjadi lebih cepat turun, dan dengan kecepatan yang sama mereka memasuki gelungan kain itu seraya mengacungkan senjata, bersiap saling tikam.


"Mati kau!"


Darah pun mulai tercecer.[]


Lampung, 100922



Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url