Matinya Orang-Orang Dusun - NM Paracetamol



Matinya Orang-Orang Dusun
NM Paracetamol


Sudahlah niscaya jika tak seorang jua yang tak terkejut bilamana mendapati anak bayi di bawah batang kopi, lebih-lebih tatkala hari masih jauh menuju pagi. Demikian pula halnya beberapa warga Dusun Salai kala itu.

Kendatipun demikian, meski susah sungguh menerka-nerka gerangan sebab dan bagaimana pula terjadinya, utama dikarenakan orang-orang itu mengetahui tak barang seorang perempuan jua yang baru-baru melahirkan baikpun yang sedang hamil tua, separuh dari warga akhirnya bermufakat memperlakukan bayi yang dijumpai ini selayak mesti. Dan, itulah yang sama-sama diketahui orang-orang Dusun Salai sebagai hari zahirnya si anak buangan di muka bumi—yang kepadanya diberikan nama Sakdiah, sepekan lepas itu.

Adalah Rumsah, janda malang ditinggal mati suami dan tak beranak pemilik atas tanah di mana kayu kopi itu tumbuh, yang pada ketika itu secara sukarela mengajukan diri untuk membesarkan Sakdiah. Bahkan, ia bersedia belaka mengangkat sumpah merawatnya dengan sebaik-baik menjaga, selama hayat masih di kandung badan. Maka, di tangannyalah Sakdiah diserahkan.

"Semoga tiada lagi hidupmu bersusah hati bersama ia." Kepala Dusun memberi berkat.

Rumsah segera menerima bayi itu dalam derai haru air mata. Betapa bahagia ia, dan nyatanya benar pula hanya ia satu-satunya dari sekian bilangan kepala yang hadir serta di tengah pekat gulita dan hujan yang masih menyisakan gerimis, yang berbahagia.

Syahdan, sejak kehadiran Sakdiah dalam biduk rumah tangganya yang taklengkap itu, Rumsah betul-betul merasa kebahagiaannya menjadi genap. Tuhan menjawab doa-doaku melaluimu, begitu ia selalu memanjat syukur sebab terang saja ia telah mendapat harta berharga nan lama dinanti-nantikannya, yang dulu hanya sebentuk renjana tak kunjung nyata. Baginya, Sakdiah bak muara, tempat di mana ia menemukan pelipur sunyi sepi meraja, yang hampir mengusir habis masa-masa sukacita dalam hidupnya beberapa tahun belakangan.

Namun sayang seribu sayang, suratan tangan sungguhlah tiada satu seorang pun tahu. Begitu pula masa-masa akan datang yang tetaplah bersembunyi di sebalik tabir selalu, dan bahkan berbeda nyata dari ramalan-ramalan orang pintar yang katanya mampu menerawang apa yang masih berada di langit ketujuh—meski benar pula kiranya bahwa tidaklah pernah ada yang sungguh-sungguh begitu rahasia. Dan entah kemudian seluruh isi bumi menyepakati keduanya, begitulah yang terjadi. Bahagia, ternyata tak pernah abadi.

Adalah Rusli, seorang anak tetua adat dari dusun nun berjarak cukup jauh keberadaannya sebagai musabab. Manakala bujang tanggung yang terpikat hati sejak berjumpa dengan Sakdiah di satu acara ngayak, yang kemudian menjalin kasih semasa dua-tiga bulan lantas mengajak si bayi merah yang tumbuh menjadi gadis berparas purna jelita itu untuk kawin dengannya, dari sinilah petaka bermula jadi.

Muasal Sakdiah diribut-ributkan, terutama oleh Cakdat, si bapak Rusli, yang beralasankan tak mau ia menanggung malu bilamana kelak didengar-dengar orang bahwa anaknya telah mengawini seorang gadis tak berasal-usul, tiada jelas keturunan. Maka, meski Sakdiah telah dibawa Rusli sebambangan, Cakdat bersikukuh memaksa gadis itu dipulangkan. Katanya, “Mau ditaruh di mana mukaku?”

"Tapi, Ayah ...." Rusli membantah.

"Bilalah Rusli tak sedia mengantar kau pulang, biar aku yang melakukannya." Cakdat mengabaikan, dan justru beralih muka kepada Sakdiah yang duduk di tepi ranjang beralaskan tilam kapuk di kamar anaknya itu sebagaimana gadis-gadis larian diperlakukan. "Dan perihal apa pun yang diberikan Rusli kepadamu sebagai pengepik, usah dikembalikan. Simpanlah sebagai permohonan tabik kami," tambah Cakdat.

Meski Rusli hendak berkeras hati pada mulanya, jelas sudah ia menjadi tak lagi berdaya. Terlebih, semua yang hadir di kamar itu terutama, turut menyepakati begitu saja keputusan yang dibuat oleh Cakdat. Jangan sekali-kali kau berlaku mencoreng arang ke muka keluargamu, begitulah kemudian sanak saudara menambah peringatan, yang sudahlah tentu tiada boleh dibantah apalagi dilawan.

Sementara itu, Sakdiah yang sadar siapa dirinya, dalam segenap pasrah menurut pula apa yang menjadi ingin keluarga Rusli. Sedikit yang disesal-sesalkannya hanya mengapa Rusli tak mengatakan seterang mungkin perkara dirinya, yang memang tak lebih dari manusia yang lahirnya tiada diperkenankan, bahkan mungkin telah diharap-harapkan mati semasih dalam kandungan. Sungguhlah Rusli mengetahui belaka perihal ini sebaik Sakdiah mengetahuinya berdasar cerita yang dikisahkan Rumsah kepadanya suatu hari. Akan tetapi, Sakdiah tak menghendaki berbantah-bantahan.

Demikian kemudian pada akhirnya mengapa Sakdiah tak menahan pendirian, yang bila harus menurut hidup di kandung adat dan laku cara di Dusun Salai, gadis-gadis yang pergi sebambangan akan lebih memilih mati jikalau dikembalikan kepada keluarga setelah diajak kawin tetapi perkawinan itu dibatalkan. Berpantanglah diri pulang karena itu akan menjadi aibnya seumur hidup, dan untuk masa yang tak tentu, itu akan menjadi riwayat memalukan pula bagi orang-orang di dusunnya.

Namun, bukankah begitu garis tangan yang dibawanya? Tak lebih dari anak dalam penanggungan malu sehingga pantas dibuang. Bila keluarga Rusli tak berkenan, baginya itu bisa diterima dengan dada lapang. Tiada mengapa, batinnya. Bukanlah salah bunda mengandung, Rusli, kata Sakdiah dalam ketenangan yang sakit, sesaat sebelum ia diantarkan pulang.

Siapa nyana, justru perihal keputusannya itulah yang membikin segalanya lebih menjadi-jadi, menyulut kegaduhan yang susul-menyusul. Manakala orang-orang menyaksikan Sakdiah yang kembali bersama pihak perwakilan Cakdat, yang tentu segera mengundang tanya sebab gelaran ngattak salah—dalam pemikiran mereka inilah yang sedang dilakukan orang-orang itu—tidaklah pernah melibatkan serta calon pengantin perempuan, tetua Dusun Salai beserta beberapa pria yang telah berkumpul di kediaman Rumsah yang menanti-nanti prosesi, tak pelak menjadi berang.

"Apa pula laku kalian?" Seseorang sudahlah menghalau, menghadang, bahkan sebelum mereka—enam orang laki-laki yang tidak sembarangan beserta Sakdiah—menjejak tanah halaman.

Rumsah yang sudah diberi tahu menyoal kedatangan Sakdiah dari perempuan yang semula duduk di beranda rumahnya itu, segera menyusul ke luar menuju halaman. Tergopoh-gopoh ia sembari membenarkan kain panjang, pelengkap kebaya yang dikenakannya senantiasa. Dalam segenap keheranan yang membikin air mukanya menjadi bertanya-tanya, segera disambutnya Sakdiah yang menghambur dalam pelukan, yang tiada lagi mampu membendung air mata kesedihan. Siapa yang tidak bersedih membayangkan ibunda mengetahui kau pulang bersama kabar memalukan? Demikian pula Sakdiah membayangkan, walaupun sekuat hati ia telah menahan-nahan diri.

"Duhai anakku ... apa gerangan terjadi?" tanya Rumsah dalam balut raut kekhawatiran.

Diangkatnya kepala Sakdiah yang singkat waktu membenam di dadanya. Dipandang-pandangnya wajah dengan air mata berlinang tersebut, masih dengan kekhawatiran serupa mencemaskan anak perawan ini di masa kecilnya—manakala ia yang akan berteriak ketakutan apabila melihat kaki seribu ataupun lipan.

Namun, belum jua Rumsah menyambut sahut dari Sakdiah, jerit cemas perempuan-perempuan yang berdiri di ambang pintu, justru telah membuat suasana menjadi gaduh. Muasalnya satu, orang-orang yang dikirim Cakdat, rupanya telah terlibat baku hantam dengan para lelaki Dusun Salai.

"Hei, Kalian!" Rumsah segera mengurai peluknya, menepikan Sakdiah, merangsak maju. "Hentikan! Hentikan!"

Namun apa lacur, mereka yang tengah adu pukul dan sama-sama disulut amarah sebab pembicaraan yang menyinggung, tiada lagi hirau sekalipun Rumsah berteriak dengan penghabisan suara. Bahkan, ia dibuat limbung nyaris rubuh dan mundur beberapa langkah saat salah satu di antara mereka menepisnya. Dan lihatlah, betapa lelaki-lelaki itu tak sopan kepada Rumsah yang telah berusia 50-an.

"Jangan kau hiraukan, Wak Rumsah! Masuklah kalian! Biar ini menjadi urusan kami!" bentak salah seorang, yang baru datang dari belakang rumah Rumsah, hendak turut menyerang.

Akan tetapi, tentu Rumsah takpeduli. Ia mencoba merangsak lagi, membuat beberapa perempuan yang semula hanya terpaku di ambang pintu turut berlarian, mencoba menahan-nahannya.

"Ayo, Rumsah! Jangan kau menjadi dungu! Jangan cari mati!"  Salah satu perempuan itu langsung menariknya.

"Tidak!" Rumsah berontak.

"Jangan bodoh!"

"Tidak!"

"Celaka dua belas kau!"

Tarik-menarik pun tak ayal terjadi. Semakin keras perempuan-perempuan itu mencegah, semakin kuat-kuat pula tenaga yang dikeluarkannya untuk maju. Sementara Sakdiah, dengan tangan gemetar dan wajah memucat, hanya terdiam, sebisu pepohonan di sekeliling rumah itu.

"Bawa Rumsah masuk!" perintah memaksa dari lelaki lain, sembari ia menyabut badik 13 tangan yang terselip di pinggangnya. Wajah itu jelas tiada lagi memancarkan keramahan. Matanya membara, seolah hendak melumat habis lelaki-lelaki kiriman Cakdat segera.

Pada akhirnya, tersebab terlampau banyak yang menarik Rumsah, yang membuat habis daya upayanya, ia pun berhasil diseret menjauh dari mereka yang masih berantem, bukan lagi hanya baku tinju tangan kosong, melainkan telah pula dengan sama-sama menggunakan senjata tajam. Perempuan-perempuan itu, dalam kepanikan, lantas masuk rumah, memalang pintu, mengunci diri dan tak bernyali mencuri lihat kepada mereka di luar halaman, yang tetap melanjutkan pertarungan.

Mereka sama-sama masih saling serang dengan begitu garang, saling tikam sama beringas, pun sama berupaya menghindar demi tak terkena bilah-bilah senjata yang seolah haus darah. Keadaan sudahlah kacau balau dan menjadi tiada lagi terkendali, seumpama pagar-pagar bambu di halaman rumah Rumsah yang tercerabut berserak porak, pun lentana-lentana tanaman Sakdiah yang pula teracak-acak, carut-marut bergelimpangan.

Untuk waktu yang cepat nan singkat tapi lebih dari genap membuat siapa saja bisa segera bertemu Sang Pencipta itu, sejatinya pihak perwakilan keluarga Rusli masih mampu memberi perlawanan. Akan tetapi, menyadari orang-orang yang terus berdatangan, yang niscaya bukanlah hadir demi melerai tikai, tanpa perlu menunggu perintah sebab tiadalah pergulatan itu dibilang seimbang lagi, mereka pun terpaksa melarikan diri satu-satu—meski itu dilakukan dalam upaya susah payah sebab beberapa di antaranya nyata jua mendapat luka tusuk, pun sabetan.

"Woy!"

"Woy!"

"Woy!"

Gemuruh pekik orang-orang Dusun Salai menghalau, mengacung-acungkan senjata, terus memburu, kian menjauh meninggalkan kediaman Rumsah, menuju perbatasan dusun.

Pernahkah kau membayangkan bagaimana larinya orang yang dikejar-kejar ketakutan? Demikian pula orang-orang kiriman Cakdat, yang seolah menerima kekuatan berkali-kali untuk terus memacu kaki sehingga berlari sedemikian kencang. Beruntung, ternyata tiada seorang jua yang menunggu, guna mencegat mereka dari arah berlawanan.

***

"Kita telah sepakat berdamai." Kepala Dusun Salai berkata di hadapan warga yang ia kumpulkan, empat hari berselang selepas keributan, keributan yang membuat suasana dusun itu sempat menjadi tak ubahnya dalam keadaan sedang berperang.

Meski beberapa yang berkerumun menunjukkan gurat ketidakpuasan sebab masih mendendam, mau tak mau menurut saja. Keseganan kepada tetua, pun kepada para pemuka adat dari dusun-dusun tetangga beserta kepala-kepala dusunnya yang turut dalam upaya mendamaikan, demikianlah yang menjadi alasan. Maka, demi menghargai hasil mufakat itu, demi tak dianggap kurang ajar pula, mereka menyetujui bilamana perkara keributan telah dianggap selesai.

Sementara perdamaian serta-merta telah dibuat hitam atas putih, berteken dan bercap jempol sebagai bukti keabsahan, berbeda nian halnya dengan Rumsah, terutama Sakdiah. Bak tengguli ditukar cuka, masam-masamlah hari-hari anak perawan yang batal diperistri Rusli ini. Sejak kembalinya, ia menjadi tenggelam dalam kubangan nestapa, sehingga menjadi tak mau menyentuh makan. Walaupun kepedihan itu datangnya agak belakangan, tapi tak dapat dipungkirinya bahwa rasa sakit telah kian bertambah-tambah.

Kadangkala, dalam keadaan nyaris silap, ia kerap menjadi ingin berteriak mengutuk diri. Dan apabila mengingat Rusli, mengingat-ingat perempuan-perempuan yang datang selepas keributan di halaman rumahnya tempo hari, makinlah itu menambah kesedihan hati. Terlebih saat ia mencuri dengar pada ketika perempuan-perempuan Dusun Salai mencaci-maki Rumsah, mengata-ngati dirinya sebagai anak pembawa sial, penebar aib, pembikin malu, pembuat gaduh, hingga bagi mereka kemudian ia dianggap tidak pantas untuk hidup di dusun itu lagi, memberat-beratlah beban penderitaan si anak perawan.

"Percayalah, Rumsah! Tidaklah diterima bumi dan langit anakmu itu. Ia anak haram jadah!" Begitu yang dikatakan salah satu dari perempuan-perempuan yang datang.

"Haram jadah, bila bukan anak setan!" Yang lain menambah penghinaan.

Oi, betapa sakit Sakdiah membayangkan bagaimana perempuan-perempuan itu melabrak Rumsah, yang tidaklah selayaknya dijadikan tempat melampias kemarahan. Bolehlah mereka murka sebab mungkin suami mereka, atau anak mereka, atau pula kekasih-kekasih mereka menderita luka buah perkelahian, tapi bukankah ia baikpun Rumsah ibundanya tak menghendaki itu? Mereka melakukannya sendiri, sungguh tiada satu memaksanya jua.

"Aku sudah lama berkawan kemalangan, Nak. Tak usah kau menjadi terlalu khawatir." Rumsah meyakinkan Sakdiah bahwa ia tiada mengapa, sekalipun anak gadisnya itu jelas melihat pias wajah Rumsah, dan betapa kedua tangan perempuan itu gemetaran.

"Mak ...." Sakdiah tak kuasa melanjutkan ucapan. Bibirnya bergetar.

Lalu, dalam keheningan yang lebih mengigilkan hati, keduanya beradu pandang, perlahan mendekat, saling peluk. Sungguhlah itu tiada jerit, tiada pekik, tak pula mereka mengisak-isak terkecuali membiarkan air mata mereka luruh, dengan sedikit guncangan di tubuh. Hanya itu saja. Walaupun pada akhirnya, yang kemudian terjadi jauh lebih hebat dari hujan badai.

"Tak apa, Nak. Percayalah." Rumsah menyeka air matanya, setelah meluahkan perasaan.

Lepas itu, Rumsah pergi ke belakang rumah, menyendiri. Barangkali udara sejuk di sana bisa mendamaikan hati, pikirnya. Enggan pula ia dilihat Sakdiah dalam keadaan (terus) menangis. Setidaknya, harus ada salah satu yang berusaha tegar, menguatkan, dan ia merasa itu adalah tanggungannya. Lihatlah, Tuhan. Apakah masih kurang derita yang menyiksaku ini? Pikiran Rumsah menerawang jauh menembus baris pepohonan.

"Kunyana hujan setiup angin. Rupanya banjir meluah tumpah. Kusangka usai derita batin. Rupanya getir bertambah-tambah." Rumsah berpantun dengan begitu menghayati.

Lalu, memejam ia. Air matanya sudahlah jatuh tentu, satu-satu, perlahan-lahan. Sayangnya, Sakdiah tiada akan pernah tahu perihal ini.

***

Teruntukmu, kekasihku ....

Maret, 1989

duhai rembulan si pungguk malam

tidakkah genap tanya menyuratku

tidakkah pula begitu tatar sabarku

ataukah kesiaan semata ia kiranya

sungguh, tak mekar mawar bila tiadamu

nisscaya tak pula getar debardebarku

sebab padamu semata segala ingin

labuh bidukku tiada lain

o, rembulan si pungguk malam

redup pancarmulah sempurna terang

sungguh, kepada engkau sgala tuju

penenang jiwa penentu lakuku

maka sambutlah olehmu lidah

sekedar salam penyambut sahut

usahlah impian berlarut kisah

tangguku srasa di ujung maut

Bersedialah, Sakdiah. Kutunggu kau pukul tiga sore, pekan depan. Kita kawin.

Rusli

Ah, pandainya takdir bermain-main, batin Sakdiah. senyumnya kemudian tersungging, menyerta sebias sirat kepedihan di matanya yang hitam. Lalu, sepucuk surat berisikan puisi pemberian Rusli itu ditekuknya seraya memejam. Kala itu pulalah sebutir air matanya jatuh di atas kertas, menjejak basah di sana, merebakkan tinta-tinta pena begitu saja.

"Biar aku bantu kau mengemas."

Rumsah muncul tiba-tiba dan langsung masuk kamar Sakdiah demi melihat kain-kain yang berserakan di dekat almari pakaian. Gadis ini memang hendak berkemas, yang kemudian terhenti setelah menemukan surat pemberian Rusli di antara lipatan kain pakaian,

"Mak," kata Sakdiah. "Bolehkah aku mati di sini?"

Deg.

Tangan Rumsah mendadak terhenti dari kegiatan merapikan pakaian. Betapa menusuk dan menyedihkan hatinya apa yang barusan dikatakan Sakdiah itu. Namun, untuk sekali lagi, ia tabahkan jiwanya. Ia sembunyikan kenyataan perasaannya yang sebenarnya.

"Sakdiah ...." Rumsah bangkit, melangkah, lalu duduk di sisi Sakdiah, di tepi ranjang. "Kita akan tetap hidup, Nak." Ia tersenyum seraya meletakkan dua telapak tangannya di dua belah pipi Sakdiah.

"Bukankah tidak ada yang hidup selamanya, Mak? Mati ... ya, segera atau nanti, apakah ada bedanya?"

Rumsah mengerjap, menjadi susah payah ia menelan ludah. Lalu, menjadi tak kuasa pula ia untuk tidak menangis kemudian. Namun, kali itu akan sedikit berbeda, sebab itu adalah kali pertama tangisnya mulai bersuara. Pelan, sedikit keras, lalu menjadi-jadi serupa kanak-kanak dirusak mainannya.

Wajar kiranya mengapa Rumsah begitu. Sungguh sulit baginya apabila membayangkan perempuan-perempuan Dusun Salai yang akan merajam Sakdiah jika ia tidak pergi meninggalkan dusun. Rumsah telah mencuri dengar pembicaraan mereka semalam setelah mengendap-endap dalam suasana dan perasaan yang mencekam.

"Aku sudahlah lama ingin mati, Mak," kata Sakdiah lagi. "Aku hanya tidak tahu bagaimana membunuh diri." Ia tersenyum dalam keputusasaan, dingin tapi tenang.

Seketika, Rumsah meraung lebih keras.

Sementara itu, di jalan perbatasan Dusun Salai, para lelaki, tua-muda, tengah bersiap untuk bertaruh dalam gaduh demi mempertahankan kehormatan nan adiluhung, takpeduli dengan apa itu mesti ditebus. Demikian setidaknya satu alasan sehingga pedang, parang, badik, belati, payan, dan apa saja harus diangkat untuk membunuh. Perang sesama suku berbeda-beda dusun memang sedang akan terjadi di sana.

Adalah Rusli sekali lagi sebagai asbabnya. Rupanya, perdamaian hanya terjadi di atas kertas, dan itu tidaklah mampu meredam dendam. Tiada beda dari orang-orang Dusun Salai yang merasa terhina perkara Sakdiah, Rusli beserta bujang-bujang dusunnya tidak terima pula perlakuan orang-orang Dusun Salai tempo hari. Bedanya, bujang Dusun Salai adalah orang pertama yang harus mati.

Tersebab kematian satu orang dari Dusun Salai inilah, tak ayal membuat beberapa anak bujang di dusun itu merasa perlu membuat perhitungan. Maka, dalam rencana masak-masak, mereka balas menculik salah seorang, kemudian disembelih ia hingga putus kepala. Tak terima, Dusun Salai segera mendapat balasan dengan matinya tiga orang sekaligus.

Balas-membalas tentu tak terelakkan. Nyawa harus dibayar nyawa, walaupun mereka mengetahui belaka bahwa nyawa yang hilang takkan pernah kembali lagi. Maka tiadalah kiranya berpanjang cerita, perang itulah jawaban pamungkasnya—meski kemudian itu bukan hanya menjadi perang milik kedua dusun penyebab tikai, melainkan menjadi perang dusun-dusun sekitar yang serta-merta dengan kerelaan hendak menyumbang nyawa beralasan membela saudara, kawan, atau boleh jadi sesama iblis.

Sebagai bapak, Cakdat yang tentu saja menjadi salah satu yang terlibat, yang ternyata harus menerima kenyataan lebih pahit sebab sebelum perang akan betul-betul pecah ia telah lebih dulu kehilangan tiga anak bujang—termasuk Rusli, yang kesemuanya ditikam malam-malam, bahkan pada malam yang sama, rupanya telah turut serta bersama orang-orang dusunnya, yang memutuskan lebih dulu menyerang.

Akan tetapi, jauh sebelum tiba di tempat kedua dusun akan bertemu—orang-orang Dusun Salai mengetahui jua perihal penyerangan ini dan telah menyongsong di perbatasan—dan berperang, ia justru menempuh jalur lain. Ia memutar masuk kebun-kebun, memisahkan diri, menuju sebuah rumah, yang sejatinya berada di tengah-tengah Dusun Salai.

Cakdat tentu tiadalah mungkin melewati jalan utama dan melintasi berbaris-baris rumah warga Dusun Salai yang dibangun di atas tanah cukup luas dan jarang-jarang, dengan pohon-pohon randu sebagai pagar samping yang memisahkan satu sama lain itu. Cakdat kiranya sudahlah akan mati sebelum sampai ke tempat tujuannya. Dan, berbekal ingatan yang baik terhadap jalan-jalan belakang di Dusun Salai, singkat waktu ia pun telah berdiri di bawah sebatang kopi, tempat di mana Sakdiah dulu diketemukan. Kau tidak salah bila ia memang menuju rumah Rumsah!

Namun, betapa terkejutnya ia manakala tiba di sana, di samping kediaman janda itu nyata jua kegaduhan sedang terjadi, lebih-lebih dilakukan oleh kaum perempuan. Dari tempat berdirinya, jelas terlihat nyata Sakdiah yang terikat di batang pohon mangga samping rumah itu. Ia telah bersimbah darah, mulai dari wajah hingga ke bawah tubuh. Sementara Rumsah, dalam upaya memberontak yang tiada arti sama sekali, tengah dipegangi jua. Maka, segera saja Cakdat berlari menuju perempuan-perempuan itu, yang kiranya telah kembali menggenggam batu dan hendak melempari Sakdiah yang sekarat mendapat siksa.

Dalam ketidakmengertian tetapi sadar sepenuhnya, Cakdat tiada peduli lagi apakah hadirnya akan disadari warga dusun itu.

"Pergi! Mau cari mati kalian?!" ancamnya.

Ia terus berteriak seraya mengayunkan pedangnya yang tiada lagi terbungkus sarung, menebas-nebas membabi buta kepada perempuan-perempuan itu. Meski tiada satu yang terkena sebab memang disengajanya sekadar menakut-nakuti, nyatanya mereka betul-betul ketakutan.

Perempuan-perempuan itu panik, bahkan menjadi tak bernyali sekadar melempar batu kepada Cakdat. Mereka lalu berlarian lintang-pukang, menjerit-jerit dengan wajah pias. Tiadalah pula mereka peduli apakah masuk parit, menubruk pagar, jauh lagi sekadar menginjak-injak tanaman, sebab batang pisang pun seolah takmampu jadi penghadang. Dan secepat itu pula yang tersisa hanya ia, Rumsah, dan Sakdiah si gadis malang.

Rumsah sudahlah tidak sadarkan diri, terbaring di tanah dengan bekas cekalan memerah di tangan maupun kaki. Perempuan itu tentu sudahlah serupa anak kecil yang baru bermain tanah, sehingga begitu semrawut. Sementara Sakdiah yang telah berada di ambang pintu menjemput maut, bernapas putus-putus.

Cakdat berdiri bimbang sesaat. Pandangannya berpindah-pindah cepat kepada Rumsah, pun kepada Sakdiah. Ia menjadi tidak tahu mana yang pertama harus didatanginya sebab keduanya hanya sedikit berbeda, tetapi tentu sama-sama menyedihkan. Namun pada akhirnya, ia memilih mendatangi Sakdiah; alasan mengapa ia ke sana.

Satu-satunya darah daging yang masih hidup, inilah kenyataannya. Tidak salah, Cakdat-lah yang membuang bayi Sakdiah, buah hubungan main-main dengan perempuan lain tetapi tak mau ia kawini. Mengingat Rumsah, seseorang yang pada masa-masa mudanya pernah ia menjadi belahan jiwa dan betapa Cakdat tahu belaka telah menjanda dan kesepian, adalah alasan mengapa Sakdiah dibuangnya ke sana. Manalah ia tahu apabila takdir kembali mempertemukan ia dengan bayi tak berdosa itu, yang harus menerima kemalangan tiada henti, yang kemudian akan segera mati usai dirajam perempuan-perempuan yang mengalami kesialan buah dari pertikaian kedua dusun. Ya, begitulah kiranya.

"Sakdiah ... anakku ...." Cakdat bersuara dan hendak meraih Sakdiah ke pelukannya. Matanya kini berkaca-kaca.

Gadis itu tentu masih terikat berteman batu-batu sekepalan tangan di antara kakinya. Dadanya naik-turun, lambat-lambat, dan begitu berat. Lalu sebelum napas itu betul-betul terhenti, Sakdiah bersuara antara memanggil, berdesis, pun berbisik: "Mak ...," ucapnya, nyaris takjelas.

Pedang di tangan Cakdat akhirnya jatuh begitu saja. Tubuhnya mulai terasa lemas, seolah otot serta belulangnya tercerabut paksa. Lalu, air matanya jatuh. Sementara di tempat lain, ada Rumsah yang sejatinya tengah tersenyum, seolah tengah melepas segala penderitaan, demi menyambut malaikat maut yang datang menjemput.

"Aaa ...!" teriak Cakdat.

Suara pria yang setahun lebih tua dari Rumsah itu menggema dan segera dibawa kesiur bayu pada dahan dan ranting, pada pucuk-pucuk pohon, terbawa ke atas langit yang sedianya telah mengandung mendung, tetapi belum juga hujan diturunkannya, seolah menunggu korban menjadi genap untuk dimandikan.

Sementara di bawah naungan langit itu pula, asap hitam membumbung-bumbung dari rumah-rumah yang mulai terbakar. Dan manakala kau bisa melihat di sebalik pekat, di sana ada mereka yang sama menunggu maut, termasuk Cakdat. Ya, beberapa lelaki bersenjatakan pedang yang penuh bercak darah, sedang menuju ke kediaman Rumsah. Mulut perempuan-perempuan itulah penghantar pesan.

"Akulah yang seharusnya mati," kata Cakdat putus asa, berjalan keluar dari kediaman Rumsah.[]

Catatan:

·       Ngayak: acara muda-mudi di satu hajat baik pernikahan atau khitan, di mana bujang-gadis akan duduk berhadap-hadapan, kemudian mereka bisa berkenalan dengan cara si bujang yang lebih dulu melemparkan surat kepada si gadis pilihan. Bujang cukup datang ke acara itu membawa pena, kertas disediakan pemilik hajat.

·       Sebambangan: adat sebelum dua pasangan resmi menjadi suami-istri. Perempuan akan dibawa lari si lelaki ke rumahnya tanpa izin ke orang tua si perempuan.

·       Pengepik: bisa dikatakan sebagai pemberitahuan kepada pihak keluarga perempuan yang anaknya dibawa sebambangan. Biasanya akan berupa uang atau barang berharga, seperti emas.

·       Ngattak Salah: prosesi di mana pihak laki-laki mengirim perwakilan ke rumah si gadis yang dibawa sebambangan. Kedua keluarga akan bertemu, membicarakan kelanjutan kedua anak yang akan menikah. Pada tahap ini, adalah kesempatan pihak keluarga perempuan untuk mengajukan permintaan bila ada kekurangan-kekurangan yang perlu ditambah.

·       Tangan: satuan ukuran panjang ibu jari.

·       Payan: tombak.


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url