Mawar yang Retak - Jenny Seputro
Mawar yang RetakJenny Seputro
Tanganku gemetar ketika jemariku
membelai sepotong wajah pada pigura berdebu itu. Mungkin, Tuhan sedang setengah
mabuk ketika menciptakannya sehingga hasilnya seperti itu: perpaduan malaikat
dan iblis dalam satu tubuh.
Kukembalikan pigura itu ke dalam dus
besar yang berisi pigura-pigura lain dan buku-buku yang tak kalah kotor. Usia
laki-laki itu sekarang sudah lewat lima puluh. Kemungkinan besar wajahnya tidak
lagi setampan yang di foto itu. Mungkin sorot mata dan senyumnya tidak lagi
mampu meluluhlantakkan pertahananku. Namun satu hal yang tidak akan pernah
berubah, pertalian darah di antara kami.
Setelah bersin tiga kali dan menyapu
hidung dengan punggung tangan, kulayangkan pandang ke seluruh ruangan dengan
putus asa. Satu-satunya kamar di loteng ini memang sudah menjadi gudang sejak
awal mula. Cat dinding yang masih terlihat karena tidak tertutupi rongsokan
tidak jelas lagi warnanya. Rak-rak besi yang berjajar di ketiga sisi ruangan
dipenuhi sarang laba-laba. Aku bergidik membayangkan berapa banyak laba-laba di
sekitarku.
Sebuah jendela besar yang bila dilihat
dari sudut tertentu tampak terbuka, sebenarnya selalu tertutup rapat hingga
ruangan ini begitu pengap dan menyesakkan. Ada dua alasan jendela itu tidak
pernah dibuka. Pertama karena terlalu sulit mengaksesnya dengan tumpukan barang
dan dus yang menghalangi. Kedua, tuas jendela itu sudah karatan dan seluruh
kusennya telah lengket. Tidak ada yang sanggup membukanya dan Ibu, hingga akhir
hayatnya, tidak berniat memperbaikinya.
Lantai ruangan yang berukuran sekitar
lima kali enam meter itu penuh dus dan barang-barang besar yang terbungkus
koran, plastik, atau terpal. Menyentuhnya saja aku jijik. Bila kusibak dengan
sedikit kasar, terlihat jelas debu tebal beterbangan di bawah sepotong sinar
matahari yang masuk lewat jendela tak bertirai itu.
Sebenarnya bisa saja aku menyewa orang
untuk membersihkan loteng, membuang semua barang yang ada sebelum menjual rumah
itu, toh, aku tidak membutuhkan apa-apa. Sebagian besar barang kenangan milik
Ibu. Namun, bagaimana aku tega, seolah-olah mengenyahkan Ibu dan segala
tentangnya dari ingatan.
Sejak melihat foto dalam pigura tadi,
keinginanku membereskan loteng itu sirna. Siluman yang bertahun-tahun lelap di
dasar pikiranku mulai terbangun.
Kuturuni tangga kayu perlahan, suara
deritnya di tiap pijakan membuatku menggenggam erat pegangan yang juga berdebu.
Aku sangsi apakah anak-anak tangga yang curam itu sanggup menahan berat
tubuhku. Pantas Ibu tidak pernah naik ke loteng sejak kesehatannya menurun dua
tahun silam.
Kuambil ponsel yang ternyata masih
dalam mode senyap. Ada dua panggilan tak terjawab dari Mas Rinto dan beberapa
pesan. Kutelepon balik suamiku.
"Maaf, Mas, tadi hapeku masih
senyap. Kayaknya aku perlu orang bersihin dulu loteng itu, baru nanti aku
pilah-pilah barangnya. Sekarang bisa jemput aku?"
"Oke, sekalian makan, ya. Kita ke
sate pengkolan itu."
"Oh ya, Mas, besok aku mau ke
Banten. Mau ketemu Om Agit. Sudah sepuluh tahun lebih enggak ketemu."
"Aku masih kerja besok. Akhir
pekan saja. Aku juga belum pernah ketemu beliau."
"Aku bisa pergi sendiri,
Mas." Jantungku bertalu. "Mau bahas soal warisan Ibu. Kita nanti saja
kapan-kapan silaturahmi."
Tidak kusangka Mas Rinto setuju.
Kuusapkan telapak tangan yang berkeringat ke samping kemeja.
Kuhampiri kamar di sebelah dapur. Itu
dulu kamar tidurku, yang sejak aku menikah dipakai Ibu sebagai ... ya,
lagi-lagi gudang. Ranjangnya penuh barang dalam kantong-kantong plastik
supermarket. Dulu ketika setiap tempat belanja menyediakan kantong plastik, Ibu
selalu mengumpulkan sebanyak-banyaknya untuk menyimpan rongsokannya.
Akan tetapi, bukan perkara
barang-barang itu yang mengganggu pikiranku, melainkan ingatan pada malam
ketika hujan turun begitu deras dengan kilat dan petir sambar-menyambar. Usiaku
tiga belas tahun saat itu.
"Om Agit, aku takut."
Adik bungsu Ibu itu mengangkat wajah
dari majalah yang sedang dibacanya, meletakkannya di sofa keras, lalu beranjak
menghampiriku. Sejak bercerai dari Ayah, Ibu harus bekerja double-shift dan Om Agit yang menjadi asisten dosen di Jakarta
diminta menjagaku.
"Enggak usah takut, sini Om
temenin."
Di ranjang itu, kami berbaring
bersisian. Ketika petir menyambar kencang, refleks aku memeluknya. Dia tidak
mengurai pelukan itu. Dia diam mendekapku, memberiku rasa damai dan aman.
"Apa kita boleh begini, Om?"
tanyaku lirih.
"Bunga mawarku yang cantik, kamu
mau kita main sandiwara jadi suami istri?"
Aku belum menjawab ketika kami
bertatapan. Kubiarkan bibirnya menyentuh bibirku sebelum melumatnya lembut. Aku
tahu sedikit tentang urusan suami istri. Ibu guru pernah menjelaskan meskipun
tidak mendetail. Aku juga pernah ikut membaca majalah dewasa yang diselundupkan
Arif ke kelas.
Malam itu, Om Agit mengajariku cara
menjadi seorang istri.
Ibu tidak tahu, pagar yang dipasangnya
telah memakan tanaman kesayangannya. Berkali-kali aku dan Om Agit bermain
sandiwara selama lima bulan dia tinggal bersama kami. Hingga aku kemudian paham
dia telah merenggut kehormatanku dan menghancurkan hidupku, berulang-ulang.
Om Agit menyelesaikan kontrak kerjanya
dan pindah ke Banten. Sejak itu, kami belum bertemu lagi. Dia seolah-olah
menghilang. Dia bahkan tidak datang ke pernikahanku. Anehnya, Ibu tidak pernah
membicarakannya. Tidak pula berusaha menghubungi meskipun punya alamat adiknya
itu.
Aku menduga, tetapi tidak pernah
berani menanyakan, bahwa sebenarnya Ibu tahu apa yang terjadi.
Keesokan siangnya, dalam kereta yang
membawaku ke Stasiun Rangkasbitung, aku masih mempertanyakan tujuanku
mendatangi Om Agit. Aku tidak tahu bagaimana harus berhadapan dengannya setelah
semua kejadian itu. Mungkinkah kami sama-sama berpura-pura tidak ada yang pernah
terjadi?
Keputusanku mendatanginya muncul
begitu saja kemarin, ketika aku menemukan fotonya di loteng Ibu. Foto yang
mengobrak-abrik hati yang telah susah payah kutata selama empat belas tahun.
Membongkar kembali amarah dan gejolak perasaan yang tidak pernah mampu
kujabarkan dengan kata-kata.
Menjelang sore, aku berdiri di depan
rumah sederhana di ujung desa. Rumah-rumah di sana tidak begitu banyak dan berjarak
cukup lebar satu sama lain. Di
sekitarnya terhampar lahan-lahan kosong yang hanya ditumbuhi ilalang dan
menjorok ke arah hutan terbentang kuburan.
Lututku gemetar, entah karena
perjalanan setengah kilometer dari jalan raya tempat angkot berhenti atau
karena aku belum siap dengan yang akan kuhadapi. Kuketuk pintu sambil mengucap
salam.
Pintu terbuka. Seorang anak laki-laki
berusia sekitar tujuh tahun berdiri di depanku, diam tanpa sepatah kata.
"Saya Mari, keponakan Om Agit. Om
Agitnya ada?"
Bocah itu menggeleng.
"Kamu anaknya Om Agit?"
Dia mengangguk.
"Ibumu ada?"
Kembali dia menggeleng.
"Kamu tahu ayahmu ada di
mana?"
Anak itu mengangguk, lalu menunjuk ke
arah hutan tempat batu-batu nisan terhampar.
***
Tanah berbatu di jalan setapak itu
masih basah sisa hujan tadi pagi. Aroma petrikor yang tidak kusukai tajam
menusuk hidung. Angin yang berembus kencang sebenarnya hangat, tapi tubuhku
menggigil. Kakiku yang mengenakan sandal terbuka basah menginjak rerumputan.
Hal yang biasanya membuatku sangat kesal sepenuhnya kuabaikan.
Aku hanya menggumamkan terima kasih
kepada anak Om Agit. Aku cepat-cepat berbalik dan melangkah pergi, tak ingin
dia melihat embun di mataku. Aku bahkan tidak tahu apa yang kurasakan saat ini.
Sedih? Kehilangan? Atau justru marah? Setelah segala perlakuannya kepadaku, dia
menghilang. Dan sekarang, setelah bertahun-tahun mengobrak-abrik pikiran dan
perasaanku, berani-beraninya dia mati!
Tanpa sadar kedua tanganku mengepal.
Entah sejak kapan napasku memburu. Air mata yang sedari tadi kutahan kini
mengalir lepas.
Getaran ponsel dalam tas
mengejutkanku. Ada panggilan dari Mas Rinto. Aku lupa mengabarinya telah tiba
di Rangkasbitung. Kubiarkan hingga getarnya berhenti dan nama Mas Rinto di
layar berubah menjadi panggilan tak terjawab. Kukirim pesan untuknya bahwa aku
sudah tiba di kampung Om Agit. Setelah itu kumatikan ponsel.
Kakiku terus melangkah menuju deretan
nisan yang tidak lurus. Usia Om Agit, kuhitung cepat di kepala, baru 51 tahun.
Masih terlalu muda untuk mati. Apakah dia sakit atau kecelakaan merenggutnya
begitu saja? Apakah dia mengingatku selama berpisah dan menjelang detik-detik
kematiannya?
Kuedarkan pandang, pada pohon-pohon
kamboja yang meluruhkan daun-daunnya di atas gundukan-gundukan itu. Yang mana
makam Om Agit? Aku tidak ingin berkeliling seluruh kuburan, dari nisan ke
nisan, mencari namanya.
Seorang penggali makam tampak
meletakkan cangkul dan beranjak ke gubuk kecilnya. Aku berhenti untuk menyeka
air mata, menarik napas panjang beberapa kali dan berharap wajahku tidak tampak
terlalu menyedihkan. Seharusnya orang itu tahu letak makam Om Agit.
Aku berjalan menghampiri. Pria itu
membelakangiku, rambut gondrongnya tergerai. Dia seperti sedang mengaduk kopi
di meja kayu. Tiba-tiba rasa takut menyergapku. Memang aku bukan lagi perawan
muda, tapi aku sendirian. Sejauh mata memandang hanya barisan nisan dan
pohon-pohon kamboja. Jalan setapak yang kulalui berkelok dan hilang dari
pandangan jauh sebelum mencapai rumah penduduk terdekat.
Seperti orang tolol aku berdiri
mematung. Bila aku berbalik dan berjalan cepat, mungkin dia tidak akan
menyadari kehadiranku. Namun, kedatanganku akan sia-sia. Aku perlu menuntaskan
kemarahan dan kegelisahanku, melepaskan belenggu Om Agit dari hidupku.
"Permisi." Aku mendengar
suaraku bergetar. "Saya mencari makam Bapak Agit Supardono. Apa Bapak tahu
ada di mana?"
Laki-laki itu menoleh. Aku membelalak.
Kurasakan darah meninggalkan kepalaku dan tubuhku ringan. Lututku lemas. Kakiku
membatu, tak mampu kugerakkan. Aku bermaksud berteriak, tetapi yang keluar
hanya gumam lirih. "Se ... setan!"
"Mari? Hei, aku bukan
setan." Lelaki itu tangkas menangkap tubuhku yang limbung. "Ini aku,
Mari. Siapa yang bilang aku sudah mati?"
"Om Agit ... Om ... masih hidup?
Lalu, ngapain di sini?"
"Bekerja." Dia mengulurkan
cangkir kopi yang tadi dibuatnya. "Panjang ceritanya. Nanti kuceritakan
semua. Lihatlah dirimu. Sehat dan segar. Sudah berapa anakmu?"
"Dua. Yang besar kelas satu, yang
kecil baru masuk TK. Istri Om kerja?"
"Ya, dia jualan di pasar
kecamatan."
"Tadi anak Om yang bilang Om ada
di sini. Kupikir ...."
Om Agit tertawa miris. "Gibran
gagu. Tidak mungkin dia bilang begitu."
Aku menatapnya. "Oh, maaf. Ya,
dia hanya menunjuk ke sini dan aku berpikiran yang terburuk."
"Aku pun akan berpikir
begitu." Om Agit tersenyum. "Ibumu baik?"
Aku mengalihkan pandang, lalu
menunduk. "Dia meninggal sebulan lalu."
Om Agit tidak bersuara. Aku tetap
menunduk dan tidak melihat ekspresi wajahnya. Kami sama-sama diam untuk waktu
yang entah berapa lama sembari aku menyusut air mata.
Tiba-tiba lengan kekar itu merengkuh
tubuhku, menariknya ke dada yang bidang. Semua yang kusimpan rapat-rapat
bertahun-tahun meledak bagai bendungan bobol. Aku menangis sejadi-jadinya dalam
pelukannya.
Om Agit hanya diam, membiarkanku
mencurahkan segenap rasa frustrasi dan kekecewaan. Kupukuli dadanya, kucakari
lengannya. Apakah dia tidak tahu betapa aku kehilangan, betapa aku
merindukannya?
Dia mendekapku makin erat, seerat pada
malam-malam gerimis ketika kami bermain peran. Sementara matahari mulai
terbenam, melukis bayang-bayang panjang batu-batu nisan dalam keheningan.
Wellington, 12 November 2024