Sesudah Kepergian Barali - Finny Arkana


Sesudah Kepergian Barali
Finny Arkana


Barali mati! Dua kata yang tiba-tiba menampar telinga Karso, pada Senin pagi, ketika Karso baru saja terbangun dan bersiap melakukan peregangan. Anak-anak itu terus berbicara, tapi Karso seolah kehilangan pendengaran. “Jatuh di kamar mandi,” kata mereka. Terdengar samar sekali. Suara mereka seperti datang dari kejauhan, seolah melewati celah waktu. Dan… segala yang ada di sekitar Karso seketika kehilangan warna; bahkan langit yang biru pun berubah kelabu.


Kesuraman dan kehampaan menyelimutinya seperti kabut tebal tanpa ujung. Karso menarik napas dalam-dalam, berusaha merasakan kesegaran udara pagi, tapi yang menyusup ke dadanya hanya kesunyian. Ia dan Barali baru saja menghabiskan separuh malam dengan tawa lepas, membicarakan apa saja yang bisa dibicarakan dua orang sahabat—bahkan menertawakan kematian. Sebelum pulang ke rumah masing-masing pun, mereka masih bercanda dengan mengangkat cangkir tinggi-tinggi, lalu sama-sama menghabiskan teh. Jadi, jatuh di kamar mandi? Karso menolak untuk percaya. Barali bahkan masih bisa berjalan naik turun tangga tujuh lantai; mana mungkin lantai kamar mandi merenggutnya. Tak ada yang salah dengan tehnya, Karso bangun dalam keadaan segar, kok.


“Barali betul-betul mati dini hari tadi, sewaktu langit masih gelap dan semua orang masih tidur,” ucap salah satu anak-anak itu. Suaranya terdengar pelan dan wajahnya menyiratkan kebingungan, ia sendiri masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Namun, Karso hanya diam, udara di sekelilingnya terasa kian menekan.


Ketika langkah anak-anak itu sayup-sayup menjauh dan meninggalkan Karso dalam kehampaan yang semakin tebal, bayangan Barali seketika menyembul—tubuhnya yang tinggi dan tegap; dengan tawa menggema yang membuat dinding-dinding ikut bergetar; janggut kelabunya yang selalu tampak rapi; senyum kecil yang setia menemani tutur katanya; dan anggukan lembutnya di setiap tutur katanya, yang seolah selalu ingin meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja—semua ingatan tentang Barali melayang-layang di depan mata Karso.


Ia kembali duduk di tepi kasurnya yang tipis dan sedikit bau apek, pikiran liarnya tanpa henti menyuarakan keputuasaan: Sial. Ia selalu saja mendadak. Mendadak pergi sewaktu kami masih belia, meninggalkan saya sendirian di panti asuhan; mendadak datang ketika kami sudah sama-sama lapuk; dan sekarang, ia mendadak mati. Apakah saya melewatkan sesuatu? Mungkin, sinyal-sinyal itu ada di setiap kata-katanya, tapi saya terlalu sibuk tertawa untuk menyadarinya. Ah, iya, benar… beberapa waktu belakangan ini, ia memang kerap berbicara soal kebiasaan orang-orang setelah mati, bahwa saat angin berhembus lebih kencang dari biasanya, orang-orang mati sedang meniup-niup tehnya. Tapi, bagaimana saya bisa menyebut itu sinyal? Barali sudah begitu sejak tinggi kami masih sepinggang orang dewasa.


“Hujan itu pertanda orang mati sedang kencing di langit. Jadi, kau jangan keluar rumah saat hujan. Kau tidak ingin kepalamu bau pesing, kan?” kata Barali, dulu sekali, sebelum ia meninggalkan Karso yang akhirnya kelimpungan mencarinya di Panti asuhan.


Sepertinya Barali memang senang membicarakan misteri langit saat akan pergi jauh. Sebelum mengakhiri pembicaraan tadi malam pun, ia berbicara tentang perjanjian dan langit. "Kau ini, Karso, minum teh saja harus pakai ekspresi serius. Seperti sedang membahas perjanjian penting dengan langit,” katanya sambil tertawa kecil. Karso baru menyadari guyonan itu adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar.


Sinar pagi menembus celah jendela, jatuh di atas lengan Karso, seperti cengkraman keras Barali yang memaksanya bangkit dan melangkah menuju rumahnya, untuk menemuinya sekali lagi. Meski tongkatnya sesekali terjepit di sela-sela aspal, kaki-kakinya yang serapuh ranting pohon—yang biasanya berjalan selambat kura-kura—ia paksa berlari secepat kelinci. Ia memaki tubuhnya yang bungkuk serta dua sandal berbeda bentuk dan warna yang entah sejak kapan menempel di kakinya, karena terasa memperlambat langkahnya sampai ke rumah Barali.


Ia jadi ingat ketika Barali mengejeknya setiap kali mereka naik tangga bersama. "Kau ini terlalu lambat, Karso," kata Barali sambil tertawa kecil, "sepertinya umurmu bertambah lebih cepat dari usiamu. Nanti aku ajarkan cara berjalan cepat, biar tidak kalah sama anak-anak." Barali selalu melangka sedikit lebih cepat, dan kemudian menoleh ke belakang, memberikan senyum jahil pada Karso yang tertatih di belakang.


Samar-samar, rintihan pilu dari pekarangan rumah Barali menyapa telinganya. Karso mempercepat langkah. Di sana, punggung istri Barali dan ketiga anak lelakinya tampak bergetar. Wajah mereka tenggelam di balik handuk kecil yang digenggam masing-masing. Rintihan dari istri, anak-anak, kerabat, dan kenalan-kenalan mereka seperti asap hitam tebal yang memenuhi pekarangan, ruang tamu, hingga setiap sudut rumah Barali.


Semua itu terasa kontras dengan sikap Karso yang hanya mematung di ambang pintu. Seseorang membantunya mendekat ke tubuh Barali yang terbaring di tengah ruang tamu, membantunya membuka kafan, lalu menutupnya kembali. Di mata Karso, Barali hanya sedang tertidur, dan mungkin sedang bermimpi sedikit lebih lama. Namun, segalanya di sekeliling Karso perlahan memudar menjadi bayang-bayang, suara menghilang satu demi satu, cahaya menguap, dan… Karso hilang kesadaran.


Pada hari ketiga kepergian Barali, Karso terbangun. Dan, sambutan perawat itu—yang terdengar seperti sindiran—tertangkap pertama kali olehnya, “Anda tidur lama sekali, Pak Tua,” katanya.


Ia beranjak, tetapi tubuhnya kaku, dan selang infus cukup mengganggu pergerakannya.  Jadi, ia menarik-narik selang itu.


“Jangan dilepas, Pak Tua, saya baru memasangnya.” kata perawat itu lagi. Ia tidak mengangkat kepala dan tetap sibuk melanjutkan kesibukannya di bawah sana, “Satu atau dua jam lagi saya akan datang melepasnya, ya. Ibu sudah menyediakan makanan di meja, makan yang banyak, Pak Tua. Bagaimanapun yang hidup harus tetap melanjutkan hidup. Kami akan tetap berada di sampingmu, Pak Tua. Bersemangatlah.”


Perawat itu pergi dan Karso kembali tidur menyamping. Ia mengabaikan makanan di meja, mengabaikan omelan istrinya di depan pintu yang bersaut-sautan dengan denting mangkok dan sendok tukang bakso, juga mengabaikan gorden gorden yang berkibar-kibar di atasnya. Ia hanya berbaring di tempat tidurnya dan membiarkan ingatannya mengembara.


Ia ingat, suatu sore panti asuhan yang biasanya sepi mendadak ramai karena kedatangan seorang anak laki-laki tampan, berpakaian rapi, tampak terpelajar, turun dari mobil bagus. Raut wajahnya murung, dan semakin murung saat seseorang yang datang bersamanya berkata, “Kami menitipkannya di sini dulu, tapi kami tidak berjanji akan menjemputnya dalam waktu dekat. Orang tuanya meninggal beberapa bulan lalu, dan ada terlalu banyak hal yang harus diurus.”


Ia ingat, malamnya anak lelaki itu diantar ke kamar yang sama dengannya, dan petugas panti meminta mereka untuk akur. Dengan sedikit dorongan, anak lelaki itu bergerak menuju ranjang pada tingkat kedua dari ranjangnya.


Ia ingat, pada tengah malam, punggung anak lelaki itu bergetar hebat, dadanya tersengal-sengal, dan ia merintih dalam tidurnya. Karso menepuk punggungnya hingga anak lelaki itu kembali tertidur. Besoknya anak lelaki itu memperkenalkan dirinya sebagai Barali.


Ia ingat, tujuh bulan sejak kedatangan anak lelaki itu, mereka semakin lengket. Mereka seperti bayangan dan tubuh yang tidak terpisahkan, hingga suatu hari anak lelaki itu mengajaknya ke toko mainan sebab ia selalu ingin punya satu mobil-mobilan, dan anak lelaki itu membelikan untuknya. Ia bertanya dari mana uang itu, namun anak lelaki itu tidak menjawab, dan justru membuat sebuah pernyataan, “Kau harus ingat, Karso, kita ini saudara… sudah sejak belum terlahir ke dunia, kita sudah bersaudara. Kita hanya terlahir dari rahim yang berbeda. Kemanapun aku pergi, kau akan kucari.”


Ia ingat, ia terlalu senang memiliki mobil-mobilan sehingga pernyataan itu hanya melintas di depan hidungnya. Ia baru menyadarinya seminggu kemudian, ketika hujan berpetir, dan mobil yang sama membawa pergi saudaranya.


Ia ingat, ia tidak berlari keluar dan mengejar mobil itu sebab takut kepalanya bau pesing. Setelah Karso pikir-pikir, bau pesing di kepalanya sepertinya tetap lebih baik daripada tidak ada Barali sama sekali.


Ia ingat, berpuluh-puluh tahun setelah mobil itu membawa saudaranya, sebuah mobil putih berhenti di depan rumahnya dan lelaki gagah turun dari mobil. Lelaki itu memberi salam di depan pintu rumahnya, lalu membuka sepatunya, lalu memperkenalkan diri sebagai saudaranya yang terbawa mobil puluhan tahun lalu di panti asuhan.


Ia ingat, ia tidak dapat tidur setelah kedatangan lelaki itu, sebab selalu ingin duduk berdua dan membicarakan banyak hal.


Ia ingat, lelaki gagah itu selalu mengatakan, “Karso, jika aku mati duluan, rasakanlah embusan angin di bawah mangga tempat kita selalu minum teh. Aku sedang menyampaikan sesuatu padamu. Itu bisikan yang hanya kau yang tahu.” Meski ia hanya tertawa-tawa, lelaki itu tetap melanjutkan, “Kalau kau lihat ranting dan daunnya bergoyang, aku sedang melambai-lambai padamu. Aku pohon mangga di pekarangan belakang rumahmu itu.”


Karso bangun dan memasang bantal khusus di bawah punggungnya, lalu berbaring kembali. Kini ia telentang. Tak pernah ia sadari, langit-langit rumahnya ternyata sudah selapuk dirinya. Pada langit-langit itu ia berbisik pelan. Pelan sekali: Barali, saya ingin jadi angin dan terbang ke tempatmu, lalu minum teh di sampingmu, atau sekadar melintas di bawah janggut kelabumu.


Hari-hari berlalu, hujan datang dan pergi, namun Karso masih setia mengurung diri di dalam kamar. Ia hanya bergerak beberapa kali sehari—saat ke kamar mandi, saat makan dua tiga suap, atau sekadar mengubah posisi tidurnya tiap beberapa jam.


“Pak Tua, saya akan memasang kateter jika kau terus menahan kencingmu dan tidak bergerak dari tempat tidur. Apa kau tahu, memakai kateter itu menyakitkan dan—mungkin, di usiamu—kau akan sedikit malu.”


Karso bergeming, dalam hati ia mengumpat perawat itu terlalu cerewet, dan jika saja ia bisa, ia akan memecat perawat itu. Namun, ia tahu, jika mengikuti bisikan hatinya, omelan istrinya akan semakin panjang dan mungkin baru berhenti ketika ia sudah menyusul Barali. Jadi, demi menjaga ketenangan, Karso menelan kalimat yang sudah hampir keluar.


“Laki-laki tidak menyukai perempuan cerewet,” sindirnya.


“Kau benar, Pak Tua. Mungkin itu sebabnya saya masih sendiri.” Perawat itu tak mampu menahan tawa, “Tapi, Pak Tua, perempuan juga tidak suka lelaki pendiam.”


Kali ini, ia yang tersindir. Dalam hati ia mengeluh pada Barali: Lihat, Barali, bagaimana saya bisa menuruti perawat cerewet ini? Kesendiriannya itu karena dia terlalu pandai mengembalikan kata-kata orang tua.


“Pak Tua, kenapa kau tidak keluar rumah dan menelusuri kembali jejak-jejak Pak Barali, mungkin itu akan mengobati sedikit kerinduanmu.” Perawat itu berhenti sejenak, sengaja memberi jeda waktu, “Minumlah teh kesukaan Pak Barali, ibu sudah menyajikannya di atas meja. Untuk sekali ini saja, ya. Besok-besok puasa teh lagi.”


Saat pergi, perawat itu sengaja membiarkan pintu kamar Karso terbuka lebar. Angin segar berembus. Kata-kata perawat itu menggema dalam kepalanya, seperti kaset rusak yang terus memutar ulang lirik yang sama. Kars membuat keputusan, ia akan menelusuri jejak-jejak Barali, berharap akan menemukan Barali pada jejak itu.


Seperti batu yang sudah tertanam ratusan tahun pada tanah, tubuhnya bergerak kaku dan berat. Perlahan, ia meraih tongkat di sisi kanan tempat tidur, tepat di samping bantal yang mulai menunjukkan titik-titik hitam. Karso menghirup kehangatan angin sore, dan hangatnya menjalar pelan ke dalam rongga dadanya. Ia menyerahkan segala tujuan pada kakinya, yang perlahan menapaki jalanan beraspal tipis di depan rumahnya, lalu berhenti beberapa langkah dari saung tempat Barali selalu berkumpul bersama para lansia. Ledakan tawa Barali yang khas, selalu menggema di antara mereka, bahkan seringkali menggetarkan dinding-dinding saung. Karso, sesekali juga hadir dalam perkumpulan itu, tentu atas paksaan Barali.


“Kau harus berkumpul bersama orang lain agar lebih berenergi, Karso,” kata Barali.


Karso berdehem. Bayangan Barali seperti hidup lagi dan sedang duduk tenang di saung. Seperti ada yang melambai dan memanggilnya bergabung bersama orang-orang di sana. Dan, entah sejak kapan ia sudah berdiri tepat di ambang saung.


“Mari duduk di sini, Karso. Kami baru saja berbincang untuk bertamu ke rumahmu nanti malam.” Seseorang di antara mereka menyadari kehadirannya.


Dengan perasaan sedikit kikuk, Karso melangkah dan bergabung dalam kelompok lansia itu.


Seorang lansia lain ikut menyela dengan tawa kecil, “Sore-sore seperti ini lebih baik ngobrol ngalur ngidul, ya, kan? Daripada di rumah dengar si ibu mengomel, bikin suntuk, lebih baik ke sini saja.”


Karso mengangguk-angguk pelan dan sesekali tersenyum tipis. Janggut kelabunya yang belum tersentuh sisir seminggu bergerak-gerak tertiup angin, seiring dengan baju dan celananya yang kusut. Rambut panjangnya tergerai bebas, memberi kesan bahwa ia lebih mirip seorang petapa yang baru saja menyelesaikan puasa empat puluh harinya, daripada pria yang berjalan di antara orang-orang


“Datanglah ke sini saat kau merindukan Barali, Karso. Barali suka duduk di tempatmu sekarang duduk.”


Karso hanya bergeming. Diam, tak bergerak seperti patung. Ia tetap begitu sampai saung hening dan baru kembali ke kamarnya setelah langit benar-benar gelap.


Esoknya, Karso termenung di bawah pohon mangga di belakang rumahnya—tempat ia dan Barali sering menghabiskan sore bersama. Tetapi, kursi kosong di sampingnya membuat hatinya terasa ikut kosong. Sehingga ia memaku pandangannya pada pohon mangga di depannya, setidaknya pohon mangga itu adalah Barali—atau setidaknya, membawa kembali rasa kehadiran Barali.


Ia terpejam dan mendengarkan. Ia tidak pernah menyadari sebelumnya, daun-daun mangga yang saling bergerakan rupanya bisa membawa ketenangan. Ia tidak pernah menyadari bahwa angin yang berembus di bawah pohon mangga itu terasa sejuk. Bahkan, ia baru menyadari bahwa tetangganya punya suara yang bagus saat bernyanyi. Karso mengangguk pelan, seolah memahami sesuatu yang selama ini terlewatkan. Ingatannya mundur pada suatu sore, saat ia datang lebih lambat dari Barali. Saat itu, Barali duduk diam dengan mata terpejam, sambil mengangguk-angguk. Rupanya, Barali sedang mendengarkan bisikan alam, pikirnya.


Saat suara jangkrik mulai terdengar di kejauhan, Karso beranjak dan kembali ke dalam rumah. Kali ini, ia tidak lewat pintu samping; ia lewat pintu depan, tempat istrinya menjual teh—dengan langkah yang terasa lebih berat. Karso menyerahkan lima belas ribu dan meminta maaf karena terlambat membayar uang titipan hutang teh Barali—setidaknya itulah yang ia ingat, Barali berkali-kali menekankan perihal meminta maaf. Perempuan itu menggangguk saja, kemudian lanjut membersihkan dagangannya.


Karso terhenyak seketika. Untuk pertama kalinya dalam pernikahan mereka, ia mengucapkan maaf kepada istrinya. Padahal perempuan itu hanya mengangguk tanpa kata, tetapi anehnya, dalam keheningan itu ada kehangatan muncul di dada Karso, seperti sesuatu yang sudah lama tersembunyi, namun kini mulai terasa. Kata maaf, barangkali, memang lebih ampuh daripada semua perdebatan kecil yang mereka simpan di sudut rumah.


Dalam keheningan itu pula, Karso memutuskan untuk tetap menelusuri jejak-jejak Barali. Karso ingin kembali menyusuri semuanya—setiap sudut kota, setiap gang kecil yang dulu mereka lewati sambil tertawa, dan setiap tempat yang menyimpan kenangan mereka. Ia ingin merasakan kembali keberadaan Barali dalam jejak-jejak itu.


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url