Kotak Pandora - Nurul Mahakartika



Kotak Pandora 
Nurul Mahakartika 



Aku bisa mencium aroma mawar segar yang menguar dari balik lengan suamiku. Hidungku langsung mengenalinya karena baunya yang cukup khas. Tentu saja hal itu terjadi karena aroma mawar adalah salah satu aroma yang kerap kujadikan pelengkap penampilan sebagai parfum sehari-hari.

Mas Dani terlihat bahagia, terbaca dari sumringah wajah yang merekah, selayaknya bunga yang ia genggam malam ini. Tak ada kata yang terucap dari bibirnya, tetapi aku bisa mengerti maksudnya tanpa perlu penjelasan lagi.

“Aku sudah pesan makanan favoritmu, Sayang,” ucap Mas Dani. Tak lama setelah ia mengatakannya, steak sirloin telah hadir di meja.

“Terima kasih, Mas. Aku happy malam ini,” cetusku kemudian. Aku menyimpan buket bunga darinya di bawah meja.

Tanganku mengambil tangan mas Dani, terasa halus mulus, lembut seperti kulit bayi. Tak berlebihan bila aku mengatakannya seperti sutera. Makanya, aku pun merasa nyaman jika bergenggaman lama-lama dengannya. Tak sia-sia aku selalu cerewet soal tubuhnya selama ini. Pekerjaan Mas Dani menuntut untuk bertemu banyak orang, sehingga tangan adalah aset penting untuk sebuah pertemuan.

Mas Dani membalas sentuhanku dengan kecupan ringan di punggung tangan. Dia mempersilakanku makan setelah selesai memotong dagingnya dalam ukuran yang lebih kecil.

“Hm, enak sekali, rasa steak-nya selalu konsisten dan tak pernah berubah. Bumbunya meresap, gurih dan pedas sekaligus, bahkan terasa lumer di mulut saat digigit. Citarasa yang selalu aku rindu, Mas.” Mataku merem-melek saat mencecap makanan yang ada di hadapanku.

“Iya, makanya kamu suka banget, kan? Nikmatilah. Oh iya, aku punya kejutan lain untukmu, Sayang.” Priaku itu kemudian menjentikkan jarinya. Tak lama setelahnya musik klasik mulai terdengar.

Saat Fur Elise Beethoven dimainkan, aku begitu menikmati irama yang terjalin sambil sesekali menggoyang kepala seiring nada yang mengalir. Tampaknya, suamiku benar-benar mempersiapkan hari ini dengan cermat. Sungguh, aku sedikit saja merasa jadi istri yang berdosa. Perlakuannya yang begitu manis ini tak sebanding dengan kelakuan busukku di belakangnya. 

 Sebelum datang ke restoran ini, aku menemui seseorang yang datang dari masa lalu, Mas Fajar. Serupa namanya, kehadirannya pun seperti memberikan sinar baru untuk hidupku yang mulai terasa hambar bersama Mas Dani.

“Maaf, Honey, aku harus pergi. Hari ini anniversary pernikahanku. Aku janji, besok kita ketemu lagi. Jangan kirim pesan apa pun malam ini. Okay?” ujarku sebelum meninggalkan Mas Fajar dalam kekecewaan.

“Tapi aku masih kangen, Darl, sini kiss dulu lah,” ucapnya sambil memonyongkan bibir.

Aku menampik mulutnya, menggantinya dengan kecupan di pipi kanan Mas Fajar.

“Udah cukup hari ini, Honey. Aku pergi dulu, ya,” tegasku. Aku mengambil tas yang ada di nakas kamar hotel, kemudian melenggang santai seolah-olah tak terjadi apa-apa.

Sehari ini, aku merasa bahagia. Kehidupan bersama “sephia” pria ala Sheila on 7 yang tak terjamah oleh suamiku, ditambah keharmonisan yang diwujudkan oleh ayahnya Nanda itu menjadi pelengkap yang sangat mewah. Anak gadisku sedang bersama sang nenek saat aku menanyakannya pada Mas Dani.

“Nggak apa-apa, Sayang. Sekali-kali. Kita udah nggak pernah dinner bareng kayak gini sejak ada Nanda, lho. Itung-itung kita quality time sebagai suami dan istri. Abis ini mau kemana?” tanya suamiku sambil mengerlingkan mata.

“Hmm, nggak perlu kemana-mana, Mas. Aku agak capek hari ini. Kalau langsung pulang aja nggak apa-apa, kan?” tanggapku.

“Ya udah kalau gitu. Aku ikut aja kata istriku. Mau bawain apa ini buat Nanda? Biar sekalian nanti aku pesan pas minta bill.” Pertanyaan Mas Dani kujawab dengan kalimat “es krim” dan dia mengiyakan.

Kami berdua pulang dengan kebahagiaan di hati masing-masing. Meski aku tidak sepenuhnya tahu hal apa saja yang membuat Mas Dani tampak sangat ceria hari ini, tapi aku yakin bahwa kebahagiaan yang dirasakannya pasti karena aku yang jadi musababnya. 

Siapa yang tak kenal Bulan Amara? Aku cukup terkenal di circle-ku. Sejak SMA, banyak cowok-cowok yang berjuang untuk mendapatkan hatiku. Tak terkecuali Mas Fajar. Dia selalu membual tentang cocoknya kami dari segi nama: Fajar mengisyaratkan pagi, Bulan adalah penanda malam. Kami akan saling melengkapi, begitulah gombalannya tiap PDKT.

Mas Fajar adalah pacarku yang cukup royal kala itu. Dia tak perlu berpikir panjang untuk membelikan beberapa barang yang aku mau, sehingga hal itu meningkatkan kadar gantengnya sampai tiga kali lipat. Kalau aku yang mendeskripsikan, Mas Fajar itu mirip Aliando di-mix Angga Yunanda. Jelas saja dia nggak jelek, kan?

“Ngelamun aja, Sayang. Apa yang kamu pikirin?” tanya Mas Dani. Kami sedang dalam perjalanan menuju rumah.

“Nggak ngelamun, aku lihat jalanan. Bukan malam Minggu tapi tetap macet, ya?” ujarku. Aku tak ingin Mas Fajar menyadari bahwa aku sedang memikirkan orang lain selain dirinya. 

“Oh, iya, Sayang, hari ini aku seneng banget, lho. Ada kabar bagus dari Danita.” Mas Dani mengatakannya dengan antusias.

“Danita? Kenapa dia? Jadi dapat beasiswa ke D.C?” tanyaku tak kalah antusias.

“Yaps, bener banget! Kemungkinan dia berangkat beberapa hari lagi untuk pengecekan kampus. Nanti kita ikut antar dia ke bandara, ya?” Matanya berbinar terang saat mengatakannya. 

“Tentu, Sayang. Nanti kita ajak Nanda juga. Hebat juga adikmu itu. Akhirnya mimpi yang selalu dikoar-koarkan selama ini kesampaian juga.” Aku memandang suamiku saat mengatakannya. Mas Dani hanya tersenyum lebar sebagai isyarat setuju.

“Terima kasih, ya. Aku tahu dia pasti bisa melakukannya. Ah, iya, aku lupa beli hadiah perpisahan. Besok beli, yuk!” ajak Mas Dani.

“Besok? Aduh aku udah ada janji, Mas. Atau nanti aku yang beli hadiahnya juga nggak apa-apa. Nanti aku beli dua atas namamu dan Nanda, gimana? Maksudnya biar sekalian, aku janjiannya juga di mall, kok.” 

Aku segera menambahkan kalimat sebelum Mas Dani menjawabnya, “Lagian, aku perginya juga cuma sebentar, ketemu temen-temen SMA aja. Itupun paling cuma berlima atau enam orang. Mas Dani nggak perlu nganter. Aku bisa jalan sendiri. Beneran, deh.”

Priaku itu melirik sekilas, kemudian kembali fokus pada setir mobil. Aku melihat dia mengangguk pertanda mengerti. Perjalanan kami selanjutnya diisi dengan cerita mengenai kegiatan masing-masing di hari anniversary kami hingga sampai di rumah.

Nanda menyambut kami dengan pelukan dan ciuman bertubi. Tampak kerinduan yang cukup besar dari gesturnya saat berhadapan dengan mama dan papanya.

“Kami bawakan es krim, Nak. Ayo kita makan. Setelah itu gosok gigi, ya?” ucapku.

Okay, Mama,” jawab Nanda sambil melompat-lompat kegirangan.

“Mas, aku ganti baju dulu, baru nanti nemenin Nanda,” pamitku. Mas Dani mengiyakan sambil memperhatikan Nanda yang sedang menyantap dessert kegemarannya itu.

Tak hanya dengan maksud mengganti pakaian, sebenarnya aku mencoba untuk mengalihkan perhatian mereka agar bisa menghubungi Mas Fajar. 

{Honey, aku free besok siang sekitar jam 11, ayo ketemu di Mall A, ya. Aku mau cari kado buat iparku di butik XX}

Tak sampai lima menit, Mas Fajar membalas pesanku.

{Oke, Bulanku. Sebentar aja, ya? Nanti aku sempetin, soalnya udah kangen banget. Sayangnya, aku ada banyak pekerjaan yang nggak bisa ditinggal.}

Saat membaca pesan Mas Fajar, tiba-tiba aku tercenung. Bukan karena pesannya yang hendak menyempatkan diri untuk bertemu, melainkan karena ada pekerjaan yang harus dilakukan. Benar. Mas Fajar juga sudah punya istri dan anak. Dia menghubungiku beberapa bulan lalu dengan niat awal untuk menyambung koneksi yang sudah lama terputus.

[Halo Bulan Amara, si cantik jelita, mantanku yang punya senyum menawan menggoda hati. Apa kabar?]

Pesan gombal yang disampaikannya waktu itu jelas membuat hatiku berdesir. Apalagi, aku sedang ada masalah dengan Mas Dani kala itu. Pesan pertama itulah yang menjadi cikal bakal pada pesan-pesan lainnya. Kemudian berlanjut pada pertemuan-pertemuan yang dirancang sedemikian rupa agar pasangan kami tak curiga. Aku tahu dari ceritanya bahwa pernikahannya baru berjalan dua tahun dan belum dikaruniai momongan.

“Sayang, udah belum? Ganti baju doang lama amat. Nanda udah nyariin,” panggil Mas Dani. Dia mengetuk pintu kamar dalam empat ketukan, kemudian membuka pintu kamar tanpa kupersilakan.

“Iya, Mas, tadi sekalian bersih-bersih. Aku nemenin Nanda sekarang, ya,” ucapku. Aku melipir menghindari Mas Dani dengan cepat sebelum dia menyadari sesuatu yang tak biasa dari sikapku.

***

          {Udah di mana, Darl? Aku ada di resto H nggak jauh dari butik XX yang kamu sebut. Ayo cepat ke sini sekalian makan siang bareng}

Aku sedang berkeliling untuk mencari hadiah yang tepat untuk Danita saat mendapati pesan masuk dari kekasih gelapku, Mas Fajar. Mataku tertumbuk pada satu tas mungil, kemudian segera ke kasir untuk membayarnya. Setelah itu, aku keluar dari butik agar lebih mudah mengakses ponsel.

Ketika hendak membalas pesan, ekor mataku tiba-tiba menangkap sesuatu yang terasa familiar. Seseorang yang tinggi, berkemeja magenta, berdasi garis-garis dengan warna senada dengan celana hitam polos lewat di depanku. Mas Dani. Aku bertemu suamiku di mall ini. Padahal, kemarin aku tidak menyebutkan lokasinya dan dia sudah mengiyakan aku pergi sendiri demi mencarikan hadiah perpisahan untuk adiknya.

“Ngapain dia ke sini? Bukannya sekarang masih jam kerja?” lirihku.

Aku mengikuti Mas Dani ke sebuah toko perhiasan yang tak jauh dari lokasiku. Betapa kagetnya saat aku mendapati suamiku sedang merangkul seorang perempuan dengan dress merah tanpa lengan, memperlihatkan bentuk tubuhnya yang bak model profesional. Dari gerak tubuh keduanya, aku bisa merasakan bahwa ada hubungan mereka bukan sekadar bos-karyawan atau teman sepermainan. Pasti lebih dari itu.

Aku memperhatikan dari jauh karena tak ingin terlihat oleh keduanya. Tampak si gadis sedang memilih beberapa kalung. Mas Dani mengangguk setuju dengan pilihannya, kemudian si gadis memberikan kecupan di pipinya.

Sebentar. Aku tak bisa berpikir jernih saat melihatnya. Lututku terasa lemas, kepalaku berkunang-kunang. Aku perlu sesuatu untuk menetralisir keadaan dan mencerna semuanya.

Ponselku bergetar karena telepon dari Mas Fajar. Aku bahkan sampai melupakannya sejenak karena Mas Dani menggeser perhatianku. Tanpa berpikir panjang, aku segera menyusul lelaki sephiaku ke restoran yang disebutkannya. Saat di sana, aku lebih banyak diam.

“Ketemu sama aku bukannya seneng malah cemberut. Nggak suka, ya? Padahal aku ada cerita bagus soal kawanku yang punya kenalan detektif swasta. Dia baru saja menyelesaikan kasus bagus yang berkaitan dengan perusahaan audit. Temenku cerita, pekerjaannya rapi dan bagus,” ujar Mas Dani.

Perkataannya itu tiba-tiba memberiku ide blirian.

“Aku bisa minta kontak temenmu? Sepertinya aku juga butuh detektif untuk menyelesaikan sesuatu.” Mataku berbinar seolah mendapatkan durian runtuh.

“Buat apa, Sayang? Buat nyelidikin apa, sih? Penting banget?” tanyanya. Meski begitu, dia tetap mencarikan nomor kawannya. Aku pun langsung menghubunginya untuk menyampaikan maksud dan tujuanku. Mas Janu, kawan Mas Fajar itu, sangat ramah dan menyambut permintaanku dengan senang hati.

Setelah mengantongi nomor dari teman Mas Janu, aku membuat beberapa rencana. Aku pun melanjutkan aktivitasku seperti biasa setelah kembali ke rumah.

Sore harinya sepulang bekerja, Mas Dani mendatangiku, memberikan back hug dan kecupan di pipi. Dia tidak mengetuk pintu kamar seperti biasanya, langsung menghampiriku yang sedang duduk memandang ponsel demi menyelesaikan pekerjaan.

“Gimana, Sayang, sudah dapat hadiahnya?” tanyanya.

“Sudah. Aku beliin tas, Mas. Aku cuma beli satu, tadi udah nggak kepikiran mau beli hadiah lainnya karena teman-teman sudah menunggu. Nggak apa-apa, kan?” jawabku kemudian.

“Iya, terima kasih, ya. Sebenarnya aku tadi juga beli hadiah buat Danita, tapi emang nggak ngomong sama kamu karena kemarin katanya kamu mau beli dua.”

Saat mendengarnya, aku berharap Mas Dani membawa kotak berisi perhiasan jika tak mau aku berburuk sangka kepadanya. Namun, prediksiku meleset. 

“Aku beliin donat. Dia suka sekali donat yang di Gerai Panda. Kalau kamu lagi nggak sibuk, ayo pergi ke rumahnya sekarang. Kalau lagi repot, kita bisa ke sana nanti malam. Gimana?” Mas Dani memberikan dua pilihan.

“Ya sudah, aku nyiapin Nanda dan ganti baju dulu, ya. Kita ke sana sekarang, biar pulangnya nggak kemalaman. Besok Nanda sekolah.”

Aku langsung overthinking karena kedatangannya ke toko berlian tadi jelas bukan demi memberikan hadiah untuk adiknya. Baiklah, kini saatnya aku beraksi. 

Okay, tunggu aku sebentar, ya. Aku masih ada beberapa kerjaan yang perlu dirampungkan. Mas Dani main dulu sama Nanda, ya?” ujarku.

Tanpa dikomando, lelakiku itu menutup pintu kamar, mengizinkanku melanjutkan kegiatan. Selepas Mas Dani pergi, aku langsung menuju ke aplikasi hijau, memberikan pesan kepada kenalan Mas Janu, namanya Handoko. Beruntung, Handoko fast respons, sehingga basa-basi kami sebagai perkenalan pun berjalan singkat saja.

{Aku berikan waktu satu minggu bisa kan Mas? Nanti aku tambahin bonus kalau berhasil.}

{Bisa, Mbak. Atur aja. Saya butuh beberapa hal untuk memulai penyelidikan. Tolong disiapkan agar saya bisa mulai bergerak.}

Handoko memberikan beberapa list pertanyaan terkait informasi dasar Mas Dani. Sebenarnya, aku bukan tak bisa menyelidikinya sendiri, melainkan aku lebih memilih untuk terima bersih ketimbang ribet dengan hal-hal yang “nggak penting” seperti ini. Waktuku lebih berharga untuk pekerjaan dan bertemu dengan Mas Fajar yang sekarang terasa lebih bersinar di mataku.

Aku masih tak habis pikir dengan kelakuan Mas Dani. “Apa yang kurang dariku? Apa yang membuatnya berpaling? Bukankah aku jelas lebih baik segalanya dari perempuan itu?” batinku.

“Sudah selesai belum, Sayang, ayo kita berangkat!” Ajakan dari Mas Dani mengagetkanku. Dengan cepat aku berganti baju, kemudian mengambilkan pakaian ganti untuk Nanda. 

***

Tak perlu menunggu sampai satu minggu, di hari kelima setelah memberikan pekerjaan kepada Handoko, aku mendapatkan kabar darinya. Rupanya informasi yang diberikannya cukup detail tentang si perempuan dress merah itu. Mulai dari nama lengkap, riwayat pendidikan, pekerjaan, hobi, dan kegiatan sehari-hari. Baiklah aku akan memulai rencana selanjutnya. 

Saat menerima pesan Handoko, aku sedang makan siang dengan Mas Dani di sebuah kafe dekat kantornya. Lelaki itu sedang ke toilet saat ponselnya berdering beberapa kali. Karena takut telepon yang penting, dering panggilan berikutnya pun kuangkat. Aku bisa meminta maaf dan mengatakan bahwa Mas Dani sedang ada kegiatan di luar selama jam makan siang.

          {{Halo, Bro! Kejutan banget kamu minta aku buat nyelidikin istrimu. Kamu tahu nggak kalau istrimu juga mencurigaimu? Hahaha. Istrimu kenalan sama aku dari temennya temenku. Lah, dia nggak sadar kalau aku itu udah berteman denganmu lebih dari 10 tahun! Lucu kali lah. Istrimu juga selingkuh. Nanti aku kirim via email untuk detailnya, ya. Jangan lupa transferannya, ya, Bro! Bisa-bisanya aku dapat untung dobel dari pasangan suami istri yang saling mencurigai.}}

          Apa? Aku mengalihkan telepon dari telinga ke depan wajahku. Nama “SMA-Handoko” tertulis di sana. Mataku berkedip mencoba mencerna semuanya. Aku kembali meletakkan ponsel di meja, kemudian chatting Mas Janu. Aku menanyakan perihal SMA tempat Handoko belajar, lalu dijawab dengan nama SMA yang sama dengan Mas Dani.

          Astaganaga! Buah simalakama!

          Belum selesai kekagetanku, ponselku berbunyi lagi. Rupanya ada pesan dari Danita. 

{Bagaimana cuaca hari ini? Apa semua baik-baik saja? Nanda sehat?}

Aku tersenyum kecut saat membaca pesannya.

“Pesan dari siapa, Sayang?” tanya Mas Dani setelah selesai dari toilet.

“Dari Danita, dia menanyakan kabar kita dan Nanda.” Aku menjawabnya sambil menahan perih dalam dada.

“Oh, oke. Nanti aku telepon dia. Kalau sudah selesai makan, kita balik, yuk. Jam makan siang udah kelar, aku kudu balik kantor,” ucap Mas Dani.

Kami segera menyelesaikan pembayaran dan bersiap untuk pulang.

{Di sini kelabu. Anginnya cukup kencang. Kamu tak perlu khawatir. Di sini semuanya baik-baik saja. Nanda sehat, kami pun sehat. How about Washington D.C?”}

Setelah mengirimkan pesan balasan kepada Danita, aku memandang jalanan di luar kafe yang penuh lautan manusia. Suasana yang padat membuat ruang gerak terasa sempit dan udara jadi semakin panas seolah-olah semua orang berebut mencari udara segar. 

Kemudian aku beralih memperhatikan langit yang tampak biru cerah, penuh dengan gumpalan awan putih yang berderet-deret. Cuaca hari ini tampaknya sedang ceria, berkebalikan dengan perasaanku.

Aku menghela napas panjang. Dalam radarku, semuanya kini terasa masuk akal. Bagai membuka kotak pandora, hatiku carut marut mendapati fakta di depan mata. Sikap Mas Dani pun terlihat berubah setelah mengetahui aku punya rahasia juga. Ah, semuanya memang sudah salah sejak awal mulanya. Aku memikirkan satu peribahasa yang cocok denganku saat ini: Digenggam takut mati, dilepas takut terbang.

[]

Banjarnegara, 12 November 2024

 

***

Catatan:

Arti peribahasa dari “Digenggam takut mati, dilepas takut terbang” yakni menghadapi suatu permasalahan yang sangat sulit; berada dalam keadaan yang serba salah.

***

Aplikasi Materi Kelas dalam Cerpen

1.     Deskripsi lima indera

a.     Olfaktori: Aku bisa mencium aroma mawar segar yang menguar dari balik lengan suamiku. Hidungku langsung mengenalinya karena baunya sangat khas.

b.     Visual :

·       “Nggak ngelamun, aku lihat jalanan. Bukan malam Minggu tapi tetap macet, ya?” ujarku.

·       Setelah mengirimkan pesan kepada Danita, aku memandang jalanan yang penuh lautan manusia.

·       Kemudian aku beralih memperhatikan langit yang tampak biru cerah, penuh dengan gumpalan awan putih yang berderet-deret.

c.     Auditori : Saat Fur Elise Beethoven dimainkan, aku begitu menikmati irama yang terjalin sambil sesekali menggoyang kepala seiring nada yang mengalir.

d.     Taktil : Tanganku mengambil tangannya, terasa halus mulus, lembut seperti kulit bayi. Tak berlebihan bila aku mengatakannya seperti sutera

e.     Gustatori : “Hm, enak sekali, rasa steak-nya selalu konsisten dan tak pernah berubah. Bumbunya meresap, gurih dan pedas sekaligus, bahkan lumer di mulut saat digigit.”

2.     Konflik Internal

Si aku merasa ada konflik batin setelah mengetahui bahwa sang suami punya perempuan lain. Dia ingin mengetahui lebih dalam tentang perbuatan suaminya. Di sisi lain, si aku juga punya perasaan ingin menyembunyikan perselingkuhannya, terlihat dari sikapnya yang selalu ingin menghindar jika sudah bersinggungan dengan Mas Fajar.

Si aku ingin mengetahui sejauh apa hubungan sang suami dengan WIL-nya, tetapi si aku malah tidak menyadari kesalahan yang dilakukannya dengan PIL-nya. Ibarat peribahasa, kuman di seberang laut tampak jelas, gajah di pelupuk mata tidak tampak.

3.     Simbolisme pada Ending

Saat ditanya adik iparnya, Danita, si aku menjawab dengan simbolisme kalimat yang berkebalikan dengan fakta di lapangan. Jawaban si aku dengan mengatakan “Di sini kelabu. Anginnya cukup kencang”  tidak selaras dengan deskripsi “langit yang berwarna biru cerah, penuh dengan gumpalan awan putih yang berderet-deret” memberikan isyarat bahwa yang dinyatakan “kelabu dan berangin” oleh si aku adalah terkait dengan perasaannya yang sedang tidak baik-baik saja setelah semua hal yang terjadi dalam hidupnya.

Simbol “Kotak Pandora” yang menjadi judul dan closing dalam cerita ini juga memberikan makna tentang rasa ingin tahu yang justru menimbulkan bencana, sesuai sejarah riwayat aslinya. Rasa ingin tahu si aku mengenai suaminya yang selingkuh justru membuka tabir kebenaran, dan malah menjadi boomerang untuk dirinya sendiri.

 


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url