Asal Bapak Senang - Jenny Seputro
Asal Bapak Senang
Jenny Seputro
Bapak sedang puber kedua, mungkin ketiga. Di usianya yang kepala enam, aku
tidak menyalahkan bila dia bosan menduda selama enam belas tahun.
Kenyataannya dia baik-baik saja selama enam belas tahun itu. Tiba-tiba dia
punya pacar baru, janda beranak tiga yang semuanya sudah merantau ke
mana-mana. Sama-sama sendirian, sama-sama kesepian.
"Aduh, Bang! Ati-ati, dong!" seruku kesal ketika angkot menerabas lubang
besar di jalanan hingga semua penumpang terguncang dan bibirku tergigit.
Sakit!
Aku yang meminta pertemuan keluarga ini dilangsungkan. Kupanggil dua kakak
dan satu adikku untuk berkumpul di rumah Bapak siang ini. Pada dasarnya kami
berempat tidak setuju Bapak menjalin hubungan dengan janda itu dan aku tahu
betul alasan masing-masing. Mas Eko dan Mas Dirman tidak ingin warisan yang
hanya sedikit itu harus dibagi lagi ke orang lain. Wulan tidak rela berbagi
kasih sayang Bapak karena sejak kepergian Ibu, dia manja tak alang-kepalang
sama Bapak.
Sedangkan aku, terus terang aku tidak begitu peduli. Ah, bukan seperti itu.
Aku jarang bertemu Bapak, mungkin hanya dua atau tiga kali dalam setahun.
Sekalipun hanya bersebelahan kota, pekerjaan dan kesibukan tidak
memungkinkan aku sering berkunjung. Jadi seandainya Bapak punya istri baru
yang bisa menemaninya, mungkin itu hal yang baik. Namun, aku kesal karena
ketiga saudaraku tidak berhenti mengadu, mengeluh, marah-marah, curhat
perkara Bapak ke aku!
"Sudah bau tanah masih macam-macam," umpat Mas Eko pada satu
kesempatan.
"Hus! Jaga mulut!" sahutku kesal. Terus terang aku tidak suka kata-kata
seperti itu, apalagi tentang keluargaku dan keluar dari mulut keluargaku.
Lagi pula, menurutku Bapak belum tua. Dulu para eyang hidup sampai sembilan
puluh lebih.
"Dia mulai jadi bahan gunjingan di pasar. Tahu, kan, duda dan janda dekat
tanpa ikatan?" Begitu aduan Mas Dirman minggu lalu.
"Lalu maumu aku gimana, Mas? Bilanglah sama Bapak kalau memang enggak
suka."
"Ya kamu yang bilang, lah. Kan, kamu yang yang dekat sama Bapak."
"Suruh Wulan sana. Dia yang paling dekat."
"Wulannya enggak mau."
Ketika kutanya, Wulan menjawab, "Nanti Bapak jadi sentimen sama aku, Mbak.
Mending Mbak aja yang ngomong. Kan, dari dulu Bapak memang rada anu sama
Mbak."
Setelah ini, tentu Bapak akan makin anu denganku. Biarlah, daripada siang
malam aku diteror ketiga saudaraku sementara Bapak enak-enakan pacaran.
Angkot berhenti di pinggir jalan besar. Dari situ harus masuk dua gang
sebelum sampai rumah Bapak. Itu juga salah satu alasan aku malas mengunjungi
Bapak. Buat aku yang kelebihan berat badan dan sama sekali tidak pernah
berolahraga, rasanya seperti memanggul karung beras seperempat kuintal
selama sepuluh menit.
"Eh, Jeng Rahmi dateng. Udah lama ya, enggak mampir," kata ibu yang aku
tidak tahu namanya. Setiap kali aku ingin bertanya ke Bapak siapa nama
tetangganya itu, tapi tidak pernah ingat. Aku sungkan bertanya langsung
karena dia mengenaliku dan kami sudah sering bertukar sapa, juga sempat
mengobrol. Masa baru sekarang kutanyakan namanya?
Di depan rumah Bapak, sambil mengatur napas yang ngos-ngosan agar tidak
dikira baru lari maraton, aku mengucap salam. Pagarnya tidak terkunci dan di
teras ada banyak pasang sandal. Sepertinya aku yang terakhir tiba.
Wulan keluar dan berbisik sesuatu, tapi tidak tertangkap olehku.
"Apaan, sih? Ngomong yang jelas."
Wulan mendelik. Lalu dengan gerakan mata dan sambil meneleng-nelengkan
dagu, dia menunjuk ke dalam rumah. Kulihat seorang perempuan sedang menaruh
gelas-gelas dan piring camilan ke meja tamu tempat Bapak dan kedua kakakku
duduk. Sekilas dia tampak seperti Ibu dan untuk sepersekian detik aku
mengira Ibu kembali dari kubur dan itu membuatku merinding.
Kutarik lengan Wulan ke tempat yang tidak terlihat dari dalam. "Kenapa dia
ada di sini? Terus gimana kita mau bahas sama Bapak?"
"Lha ya itu, Mbak. Kata Bapak, Bu Lastri sudah bukan orang lain. Enggak
papa kita bahas di depan dia.”
Aku baru tahu namanya Lastri. "Ya enggak mungkin dong, bahas tentang
hubungan mereka di depan orangnya. Bener-bener nganu bapakmu itu."
"Bapakmu juga, Mbak." Wulan selalu kesulitan menyembunyikan perasaan. Bila
dia tidak menyukai seseorang, biasanya orang itu akan menyadarinya. Namun,
kali ini aku merasa Wulan bingung dengan pendapatnya sendiri.
"Orangnya baik, Mbak. Ngayomi, jadi berasa Ibu kembali. Baru pertama ketemu
tapi dia bisa bikin aku nyaman. Terus aku lihat Bapak jadi segar, dulu-dulu
kan kusut, tua, jelek gitu, Mbak."
"Wulan! Mbakmu diajak masuk sini!" seru Bapak dari dalam.
Aku jadi tidak enak, ketahuan sejak tadi membicarakan mereka. Kami masuk
dan terjadilah acara perkenalan yang rikuh itu. Setelah itu kami semua
duduk.
"Sebelum ngobrol, ayo dicoba dulu puding susu paling enak bikinan Lastri,"
kata Bapak dengan nada bangga seperti ketika anak-anaknya mendapat juara
waktu sekolah dulu. "Kalau sudah nyoba yang ini, puding bakeri terkenal pun
jadi enggak enak."
Waduh, sepertinya Bapak lupa aku punya intoleransi laktosa. Aku juga tidak
membawa tablet laktase yang biasa kutelan sebelum menikmati produk
susu-susuan. Mau menolak makan, aku tidak tega demi melihat wajah Lastri
yang bersinar bangga. Semua yang lain langsung meraih gelas masing-masing
dan menghirup isinya sambil menggumam kenikmatan.
Semoga kali ini aman, kali ini aman, kali ini aman. Kucoba sesendok puding
itu. Wah, Bapak benar, enak pakai banget. Dalam sekejap gelas di tanganku
kosong. Mau minta untuk dibawa pulang, kok sungkan.
Setelah semua selesai makan dan berebut menyampaikan puja-puji, pembicaraan
yang lebih serius dimulai. Semua menatapku. Sialan! Kuberikan sinyal mata
kepada Mas Eko.
Mas Eko berdeham. "Kemarin Rahmi ngajak kita ngumpul di sini, mau ngobrol
sama Bapak katanya. Silakan, Dek Rahmi."
Rasanya ingin kucangkul kepala Mas Eko. "Begini, Pak. Kami banyak dengar
dari orang-orang sekarang Bapak dan Bu Lastri dekat. Jadi kami pikir, kalau
memang sudah cocok, kenapa enggak menikah aja?"
Ketiga saudaraku membelalak dengan ekspresi penuh menuduh: Kau pengkhianat!
Salah sendiri melempar semua urusan kepadaku. Sedari awal aku tidak pusing
bila Bapak ingin menikah lagi. Perkara warisan yang sedikit itu tidak akan
banyak berimbas pada keuangan keluargaku. Seharusnya mereka yang berjuang
menentang, bukan aku.
Lastri tertawa. Di luar dugaan, dia berkata, "Aku dan Mas Bagas enggak
pernah mikir ke sana." Lalu pasangan itu bertatapan, tidak lama, tapi aura
kemesraan itu menguar kental. Omong kosong bila mereka tidak pernah
memikirkannya.
Mungkin sadar tidak sepatutnya berada di tengah rapat keluarga, Lastri
membereskan dan membawa gelas-gelas kosong ke dapur.
Bapak menarik napas panjang, lalu bangkit dari sandaran dan duduk dengan
kedua siku bertumpu di pahanya. "Bapak enggak bermaksud mencari ganti ibu
kalian. Selamanya, Bapak mencintai Ibu. Bapak ini sudah tua, sudah enggak
nyari esek-esekan. Bapak cuma perlu teman ngobrol, biar enggak cuma tivi
yang ngomong sama Bapak."
Kami berempat terdiam. Bukan karena Bapak yang biasa ceria dan jenaka
tiba-tiba serius, melainkan, aku yakin, karena setiap kami merasa tertampar.
"Kalau Bapak mau menikah lagi, kami rela, kok. Biar bisa tinggal serumah
dan halal." Mas Dirman buka suara.
"Wulan juga jadi punya ibu baru," ujar si bungsu meski wajahnya masih
tampak ragu. Di sampingnya, Mas Eko masih membisu.
Bapak tertawa. "Ya, nanti Bapak pikirkan lagi. Menikah itu tidak sederhana.
Banyak hal yang harus dipikirkan masak-masak, menyatukan dua keluarga.
Kalian akan punya saudara-saudara tiri."
Ah, yang satu itu tidak terpikirkan olehku sebelumnya. Benar sekali, satu
hal menerima Lastri ke dalam keluarga, tetapi menerima ketiga anaknya juga
adalah hal yang sangat berbeda.
Sore itu kami pulang tanpa membawa kepastian. Bapak masih akan memikirkan,
sementara kami berempat kehilangan pendirian. Berhubung arah rumahku
berlawanan dengan mereka bertiga, aku harus naik angkot sendirian menuju
halte bus.
Dalam angkot itu, aku mulai merasakan efek puding susu di perutku. Aku
menimbang apakah baiknya aku memesan Gocar saja, selain lebih cepat dan
nyaman, bisa diantar langsung ke depan rumah. Namun, tarifnya berkali-kali
lipat ongkos bus. Menurut jadwal, bus akan datang tiga menit lagi. Kurasa
aku masih bisa tahan.
Lima belas menit kemudian, bus keparat itu tak kunjung datang. Perutku
sudah melilit sejak tadi. Sejauh mata memandang, tidak ada warung atau
depot, apalagi WC umum. Aku melirik bapak-bapak di sebelahku, menimbang
apakah dia akan tahu bila aku kentut sedikit. Toh, halte itu penuh.
Sekalipun sampai tercium, dia tidak akan tahu siapa pelakunya.
Seorang nenek renta yang berdiri di depanku tiba-tiba seperti tersandung
sesuatu. Aku terkejut. Apa jadinya bila nenek yang tampak berusia sembilan
puluhan itu terjatuh? Aku merasa sangat bersalah tidak bisa memberikan
tempat duduk untuknya. Bila aku berdiri, bisa terjadi ledakan di celanaku.
Keterlaluan sekali anak-anak muda yang tidak punya rasa kemanusiaan, dengan
cueknya duduk sambil bermain ponsel.
Seperti anak muda yang sedari tadi mencuri-curi pandang ke arahku. Mukanya
agak mirip si Parmin waktu muda dulu. Ah, apa jadinya bila aku menikah
dengan cowok brengsek itu? Betapa Tuhan selalu punya cara memberi tahu
umat-Nya. Manusia saja yang sering tidak peka.
Perutku kembali bergolak, rasanya seperti dipelintir. Belum tampak
tanda-tanda bus sialan itu akan datang. Karena tidak tahan lagi, aku
memutuskan kentut sedikit dan langsung panik ketika terasa hangat. Matilah
aku!
Aku tidak peduli lagi. Kupesan Gocar. Karena tidak tahu alamat pastinya,
kuberi perkiraan di peta. Lima menit kemudian seorang sopir Gocar mengirim
pesan. Katanya dia tidak tahu posisiku dan memintaku jalan ke Indomaret
terdekat. Setan alas! Berdiri saja sulit, malah disuruh jalan. Kujawab bila
dia tidak tahu, aku akan menunggu yang lain.
Ternyata si sopir ngeyel. Setelah berbalas-balasan pesan lebih panjang dari
yang pernah kulakukan dengan suami, akhirnya dia menemukanku. Sebuah sedan
kuning ngejreng berhenti di depan halte, membunyikan klakson, lalu
sopirnya membuka jendela dan meneriakkan namaku. Semua yang menunggu di
halte serentak menoleh ke arahku. Sempurna!
"Mas, bisa tolong mampir ke tempat yang ada toiletnya?"
"Tadi pesannya kan enggak pakai mampir, Mbak,"sahut sopir yang sudah ubanan
itu dengan menyebalkan.
"Tapi ini darurat, Mas. Kalau sampai kecelakaan dalam mobil, bukan salahku,
ya."
Sepertinya itu membuat si sopir berpikir. Setelah menimbang untung rugi,
dia bersedia mampir ke sebuah tempat makan.
Leganya luar biasa, sekalipun aku tahu serangan itu akan kembali hingga
berkali-kali. Setidaknya aku yakin akan bertahan hingga tiba di rumah.
Aku melihat foto seorang gadis manis dalam pigura kecil pada dasbor mobil.
Aku tidak biasa berbasa-basi dengan sopir, tapi kali ini aku ingin
berkomentar. "Putrinya cantik, Mas. Masih kuliah, ya?"
Si sopir tersenyum. "Itu istri saya," katanya dengan bangga, membuatku
ternganga.
"Kaget ya, Mbak? Orang-orang juga pada kaget. Tapi ya, kami merasa
cocok."
"Istri pertama, Mas?"
"Oh, kedua. Yang pertama meninggal lima tahun lalu. Anak saya sudah
besar-besar. Cucu saya sudah dua."
"Terus, anak-anak enggak ada yang protes, Mas?"
"Untungnya enggak. Mereka ikut senang saya bahagia."
Aku tersenyum mendengarnya. Dan untuk kebetukan-kebetulan kecil yang
dipakai Tuhan untuk menjawab
umat-Nya. []
Wellington, 15 November 2024