Dadu Berikutnya - Jenny Seputro
Cerpen pilihan babak 1 Battle Royal 2
Dadu BerikutnyaJenny Seputro
Aldo Sindoro menatap surat persetujuan di meja yang terlihat seperti perjanjian kematian. Di sebelah empat lembar kertas itu, sebuah pena merek mahal menunggunya membubuhkan tanda tangan di atas meterai.
“Saya tidak punya waktu seharian.” Seorang pria gempal dengan potongan mirip algojo tampak tidak sabar. Di samping pria itu berdiri Aldi, pria kurus berwajah pucat yang sejak tadi gelisah menunggu keputusan saudara kembarnya.
“Tapi saya belum membaca isi perjanjian ini.” Aldo menatap tanpa minat dokumen yang padat dengan font delapan berspasi satu itu. Dibayar pun dia segan membacanya.
“Intinya seperti yang kubilang tadi, Do.” Aldi menepuk pundak Aldo dan meremas lembut. “Kamu memberikan jaminan pelunasan utangku. Tidak sampai satu minggu. Tadi sudah kita sepakati. Jangan ragu lagi.”
Aldo menarik napas dalam dan enggan melepaskannya. Tiga jam lalu dia telah menandatangani kesepakatan lain, juga di atas meterai, dengan Aldi. Dalam seminggu deposito Aldi akan cair dan cukup untuk membayar kembali semua utangnya. Sejumlah itu pula akan dikembalikan kepada Aldo, beserta tambahan atas kebaikannya menyelamatkan Aldi dari ancaman penjara.
“Ini sangat berat, Aldi. Jumlah itu benar-benar semua yang kumiliki. Aku tidak suka mempertaruhkan seluruh hidupku untuk ketololanmu.”
“Aldo, kita sudah membahasnya berulang-ulang.” Aldi melirik si algojo di sebelahnya. “Cepatlah agar kita bisa segera pergi dari sini.”
Aldo yakin, sepanjang hidup sejak masih sama-sama berada dalam rahim ibunya, segala sesuatu dengan Aldi adalah permainan dan persaingan. Siapa yang keluar lebih dulu, siapa yang lebih tinggi di usia lima tahun, dan siapa yang lebih disayang wali kelas. Setelah besar, mereka bersaing perkara perempuan. Perkara Listyani. Separah apa pun kemelut di antara mereka, pertaruhannya belum pernah sebesar itu.
Dengan tangan gemetar Aldo membubuhkan paraf di setiap halaman dan tanda tangan di atas meterai. Lunas sudah utangku soal Listyani, batinnya.
“Tidak sulit, kan?” Si algojo mengumpulkan lembar-lembar itu, membuat fotokopinya, lalu memberikan kopinya kepada Aldo dan memasukkan aslinya ke sebuah tas kulit. “Silakan transfer jumlah tadi ke rekening ini, Pak Aldo.” Dia mengulurkan secarik kertas kepada Aldo, lalu menoleh ke arah Aldi. “Kalau ini lancar, semuanya beres, Pak Aldi. Semoga tidak ada kesalahan.” Suaranya berat. Tegas. Mengancam.
Kedua bersaudara itu bergegas pergi ke bank untuk membereskan pengiriman uang dalam jumlah sangat besar itu.
“Terima kasih, Aldo. Kamu memang pahlawanku,” kata Aldi di lapangan parkir. Dia memeluk Aldo erat-erat sebelum masuk ke mobilnya dan menghilang di tikungan jalan.
Aldo termenung sambil menggenggam kemudi mobilnya. Kata-kata Aldi terngiang di telinganya dengan suara kanak-kanak: Terima kasih, Aldo. Kamu memang pahlawanku. Terbayang wajah bocah sepuluh tahun itu tersenyum gembira setelah Aldo menyelamatkannya dari para perundung di sekolah. Meskipun kembar, Aldo tumbuh menjadi anak yang gempal dan sehat, sementara Aldi tetap kurus dan sakit-sakitan.
Sore masih panjang. Aldo memilih jalur lambat dan membiarkan pikirannya mengembara. Dia tidak habis pikir bagaimana Aldi bisa terpuruk dalam judi online. Serakus-rakusnya, seharusnya otaknya yang cemerlang tahu itu perangkap sejuta umat. Mencoba, apalagi sampai kecanduan, adalah kebodohan yang tak termaafkan.
Kemudian Aldo teringat Listyani. Perempuan yang menjadi motivasinya untuk berangkat ke sekolah semasa SMA dulu. Perempuan yang hanya bisa ditatapnya dari jauh, bagai anak ayam merindu rembulan. Perempuan yang mengisi fantasi liarnya siang dan malam. Perempuan yang akhirnya menjadi istri Aldi.
Hingga tiba malam itu, malam paling bersalah dalam hidupnya sekaligus yang tak ingin dilupakannya. Pada suatu senja berhujan, Listyani berdiri di ambang pintunya.
“Aku telah memilih Sindoro yang salah,” katanya dengan tatapan sayu dan bibir bergetar.
Secara naluri Aldo merengkuh iparnya itu ke dalam pelukan. Membiarkan perempuan itu membasahi bajunya dengan air mata. Aldo mengusap punggung dan rambut Listyani dengan lembut. Mereka duduk bersama di sofa, kepala Listyani di bahunya. Aldo tidak biasa melakukan itu dengan almarhumah istrinya yang setahun sebelumnya menyerah kepada kanker payudara.
Akan tetapi, semua terasa begitu alami dengan Listyani. Pun ketika dia membelai pipi perempuan itu dan keduanya bertatapan. Ketika keduanya secara bersamaan memangkas jarak hingga bibir mereka berpagut.
Aldo memarkir mobilnya di depan rumah. Diraihnya map berisi dua perjanjian sangat penting yang disetujuinya hari itu. Ada yang terasa tidak beres, tetapi Aldo tidak tahu apa. Sepertinya dia telah melakukan yang seharusnya, menyelamatkan Aldi dari penjara dan mendapatkan uangnya kembali dalam seminggu.
Sambil menjerang air untuk membuat kopi, Aldo duduk di sofa melanjutkan ingatannya tentang malam itu bersama Listyani. Tangannya turun ke bagian bawah tubuhnya yang merespons.
Di sofa yang sama, dalam temaram
lampu, mereka melucuti pakaian satu sama lain. Lidah Aldo bagaikan kuas sang
maestro menggoreskan garis dan lengkung abstrak di tubuh Listyani.
Perempuan itu gemetar di bawah sentuhan Aldo. Bibirnya yang sensual menggumamkan nama Aldo dalam desah yang lebih merdu dari petikan kecapi para malaikat. Ketika tubuh mereka menyatu, Aldo tahu, Listyani diciptakan untuk dirinya, bukan untuk Aldi.
Tubuh Aldo bergetar, napasnya tertahan. Dia cukup mengulang kejadiannya sampai di situ, pada kepuasan yang hakiki. Bila dia terlambat menghentikan putaran memorinya, dia akan melihat kesakitan di wajah Aldi ketika mengetahui kejadian itu dan kembali tersiksa dengan rasa bersalah terbesar dalam hidupnya.
Aldo mengabaikan ponsel di sebelahnya yang berbunyi. Juga ketel listrik yang berdenting sejak tadi. Setelah mendapatkan napasnya kembali, Aldo bergegas ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Selesai mandi dan menyeduh kopi, Aldo memeriksa ponselnya. Ada pesan dari sebuah nomor asing: Selamat datang. Terima kasih telah bergabung di permainan yang akan membawa Anda menuju puncak. Tugas pertama beserta instruksinya akan dikirim besok pagi. Semua tugas yang tidak dikerjakan terkena denda. Peringatan keras: jangan pernah menceritakan permainan ini kepada siapa pun. Sayangilah hidup Anda!
Aldo yakin pesan yang membuatnya merinding itu salah alamat. Setelah menghabiskan setengah kotak piza sisa kemarin dan menyimpan surat-surat perjanjiannya di laci nakas, dia hanya ingin tidur. Hari itu terlalu melelahkan untuknya.
Ketika terbangun, lagi-lagi Aldo menemukan pesan aneh dari nomor asing semalam. Tugas pertamanya adalah mengambil sebungkus paket dari suatu alamat dan mengantarnya ke alamat lain yang akan diberikan kemudian. Tertulis upah yang akan diterimanya bila berhasil menyelesaikan tugas itu, juga sejumlah besar denda yang harus dibayar bila dia gagal melakukan yang diminta. Pesan itu hanya satu arah. Dia tidak bisa membalas untuk bertanya.
Meskipun terasa konyol, rasa penasaran Aldo membuatnya pergi ke alamat yang tertulis. Tempatnya tidak begitu jauh, sekitar empat puluh menit di jalanan ramai lancar. Alamat itu ada di sebuah perumahan kelas bawah, sebuah rumah yang sepertinya sudah lama tidak dihuni. Aldo mentertawakan kebodohannya termakan prank itu ketika dia melihat sebuah bungkusan dekat pintu depan, sebagian tertutup sulur tanaman dari halaman yang tidak terawat.
Aldo berdebar. Tidak ada siapa-siapa di tempat itu, hanya sebuah paket terbungkus koran yang menanti kedatangannya. Pelan-pelan diambilnya bungkusan itu dan dibawanya ke mobil. Cukup berat untuk ukurannya. Yang pertama terlintas di pikirannya: bubuk narkotika. Dia menimbang-nimbang untuk membukanya.
Bunyi denting ponsel mengejutkan Aldo. Ada pesan baru mengatakan alamat pengiriman. Sedikit di luar kota, sekitar satu setengah jam menurut GPS. Dia diminta makan di sebuah kedai, lalu tidak sengaja meninggalkan bungkusan itu di bawah meja sudut.
Aldo menelepon Aldi. Mungkin, kembarannya tahu apa yang terjadi. Setidaknya, Aldi yang pintar tahu harus bagaimana. Setelah tiga kali panggilannya tidak terjawab hingga putus, Aldo menyerah. Sudah kepalang basah, dia akan mengantarkan barang itu.
Benar saja, di alamat yang dimaksud ada sebuah warung. Pemiliknya seorang ibu tua. Menu di situ sederhana, harganya juga tidak mahal. Aldo memesan seporsi gado-gado dan segelas teh panas, lalu memilih meja sudut. Setelah yakin tidak ada yang mengawasi, dia meletakkan bungkusannya di lantai merapat dinding.
Di tengah jalan pulang, Aldo mendapat pesan lagi. Terima kasih telah melakukan tugas pertama dengan baik. Silakan mengecek saldo Anda.
Aldo membuka aplikasi banking-nya dan terkesima melihat upah yang dijanjikan benar-benar telah masuk ke rekeningnya. Jumlah yang lumayan untuk beberapa jam kerja, tetapi dengan risiko tertangkap sebagai pengedar obat. Dia bersemangat, sekaligus takut. Dia telah menjadi bagian dari sebuah sindikat kriminal!
Seharian itu dia berusaha menghubungi Aldi, tetapi gagal. Dia juga tidak punya nomor Listyani yang baru.
Dua hari kemudian, Aldo terbangun oleh suara gedoran di pintu depan. Dia bergegas membuka pintu dan hanya mendapati sebuah bungkusan plastik hitam polos tanpa nama. Dengan ragu dia membukanya dan menemukan setelan kemeja dan celana panjang housekeeping dengan nama sebuah hotel terbordir di dada.
Pesan di ponselnya berbunyi: Kamar 609. Ambil satu barang pribadi dan kirimkan ke alamat yang akan diberikan nanti. (Boleh lipstik, perhiasan, atau pakaian dalam).
Aldo tercenung. Sekarang dia harus menjadi seorang pencuri. Permainan apa yang sedang dimainkannya dan bagaimana dia bisa terlibat? Dia juga tidak berani mengabaikan tugas, siapa tahu dendanya benar-benar akan dipotongkan dari rekeningnya.
Sepanjang jalan menuju hotel yang dimaksud, Aldo terus berusaha menghubungi Aldi. Dia yakin saudaranya tahu tentang permainan itu. Jangan pernah menceritakan permainan ini kepada siapa pun. Sayangilah hidup Anda! Aldo mematikan teleponnya. Sekali lagi dia meragu.
Lobi hotel budget itu tampak lengang. Tidak ada yang memperhatikan Aldo masuk dan melenggang ke arah toilet. Setelah berganti seragam, dia menuju lift ke lantai enam. Jantungnya berdebar kencang. Dia bukan orang bersih, tetapi seumur-umur belum pernah mencuri. Apalagi yang akan dilakukannya ini terasa seperti skenario film-film aksi. Tanpa latihan, tingkahnya mungkin akan mencurigakan. Dia mengetuk pintu 609, tidak sekeras debur jantungnya.
Pintu terbuka. Seorang wanita berpakaian minim dengan riasan tebal menyambutnya. Aldo terpana, tanpa sadar matanya menyusuri sosok ayu di hadapannya dari rambut yang tersanggul tinggi, leher yang jenjang, tengkuk yang putih mengundang, buah dada yang memberontak dari tanktop warna kulit tanpa bra di baliknya, turun ke ….
“Ada apa, ya? Saya tidak memanggil servis.”
Aldo tergagap. “Maaf, saya permisi memeriksa kran shower. Tadi ada masalah di lantai ini.”
Perempuan itu tersenyum genit dan mempersilakan Aldo masuk. Aldo segera menuju kamar mandi dan menutup pintunya. Dia menarik napas sambil berusaha menenangkan jantungnya.
Kamar mandi itu sangat berantakan. Handuk besar dan kecil bertebaran di lantai di antara pakaian kotor. Di meja dekat kran terhampar alat-alat rias, botol-botol perawatan wajah, sekotak kondom, dan sebotol cairan pelumas. Aldo menimbang barang apa yang jika hilang tidak akan disadari pemiliknya. Entah mengapa, Aldo justru memilih sebuah g-string yang teronggok di lantai. Setelah menjejalkannya ke saku celana, Aldo keluar dan cepat-cepat berpamitan.
Setelah mengirimkan benda itu ke tempat yang diminta, Aldo mengarahkan mobilnya ke rumah Aldi. Hampir dua jam Aldo menembus kemacetan dan tiba di depan rumah saudara kembarnya selepas magrib. Rumah itu gelap, tidak seperti rumah-rumah di sekitarnya. Seorang petugas keamanan bersepeda menghampirinya. “Ini rumah kosong, Pak. Pemiliknya sudah pindah minggu lalu.”
***
Sejak kematian kedua orang tua mereka, Aldo dan Aldi hanya memiliki satu sama lain dan keluarga mereka. Putra tunggal Aldo pergi merantau setelah menyelesaikan kuliah, dua tahun sebelum sang ibu berpulang. Sejak itu Aldo menjalani hari-harinya sebagai agen lepas asuransi, mengumpulkan sedikit demi sedikit tabungan yang akhirnya habis untuk membayar kegilaan Aldi. Sekarang, keparat itu menghilang. Depositonya belum cair.
Aldo menghabiskan setengah gelas anggur merah dalam sekali tenggak. Hampir sebotol dihabiskannya sejak duduk melamun sepanjang malam. Tiba-tiba dia teringat surat perjanjian yang tidak dibacanya. Mungkin di antara empat halaman penuh tertulis tentang permainan gila itu.
Sedikit terhuyung, Aldo mengambil lembar-lembar itu dari laci nakas. Dia duduk di sofa, berusaha memfokuskan matanya yang buram pada huruf-huruf kecil yang dia yakin sengaja dibuat untuk menyesatkan orang. Setelah mengerjap berkali-kali, dia memutuskan mengambil kaca pembesar. Disusurinya kalimat demi kalimat sehubungan dengan judi online yang terasa wajar sesuai pengetahuannya hingga tiba di halaman ketiga.
Disebut di sana sebuah permainan sebagai puncak dari perjudian itu. Permainan yang bukan sekadar judi, tetapi demi mencapai kekayaan yang sesungguhnya. Permainan yang melibatkan kemampuan berpikir, keberanian, pengambilan keputusan yang cerdas, dan risiko. Dijabarkan potensi imbalan yang bisa diterima tidak akan habis sekian turunan. Mata Aldo yang berkunang-kunang sudah tidak sanggup lagi membaca. Dia tertidur di sofa.
Paginya lagi-lagi dia terbangun oleh gedoran di pintu. Kali ini, sebuah bungkusan kecil diletakkan di atas keset. Di dalamnya ada bungkus plastik kecil berisi bubuk putih dan tiga lembar foto seorang wanita.
Pesan di ponselnya berbunyi: Kafe dan bar Narami, 20.00. Masukkan dalam minumannya.
Aldo bergidik. Apakah itu racun? Setelah menjadi pencuri, apakah sekarang dia akan menjadi pembunuh? Permainan itu sudah terlalu jauh menjarah nuraninya. Malam itu, Aldo memutuskan tidak melakukannya. Sepanjang malam dia gelisah, menatap ponselnya menunggu teguran, terlonjak setiap kali muncul notifikasi.
Ingin sekali Aldo menghubungi putranya, meminta pendapat apakah sebaiknya melapor ke pihak berwajib. Namun, ancaman di awal cukup untuk membuatnya bungkam. Dia membayangkan telah terikat dalam suatu jaringan mafia. Berani melanggar berarti mati.
Ketakutannya mewujud nyata ketika keesokan paginya sebuah bungkusan seukuran kotak sepatu kembali datang di pintu rumahnya. Di dalamnya ada bangkai seekor tikus dengan kepala hampir putus dan isi perut terburai.
Setelah rasa mualnya teratasi, Aldo mengecek saldo rekeningnya. Jumlahnya berkurang drastis. Mereka tidak main-main.
Seminggu setelah hari perjanjian, Aldo pergi ke bank untuk memindahkan deposito Aldi yang telah cair ke rekeningnya. Dia membawa surat perjanjiannya dengan Aldi. Setelah itu, dia akan melaporkan semuanya ke pihak berwajib.
“Ini surat apa, Pak?” tanya petugas bank yang masih cantik di usia paruh baya.
“Perjanjian dengan bank bahwa uang akan otomatis ditransfer ke saya sejumlah ini, Bu.”
Petugas itu mengernyit. “Kami tidak pernah mengeluarkan surat seperti ini, Pak.”
“Tidak mungkin ada kesalahan. Tolong dicek lagi.”
Petugas itu pergi membawa surat perjanjian, lalu kembali bersama seorang laki-laki berjenggot dua warna dan berkacamata tebal.
“Marshal. Saya manajer di sini.” Pria itu menjabat tangan Aldo. “Maaf, dari mana Bapak mendapat surat ini?”
Aldo menceritakan semua, bahwa perjanjian itu dibuat di rumah Aldi ketika seorang wakil dari bank datang membawa surat itu untuk ditandatangani pihak bank, Aldi, juga Aldo.
Marshal menggeleng. “Kami tidak pernah mengirim petugas ke rumah klien, Pak. Seandainya ada perjanjian seperti itu, harus dilakukan di cabang. Surat ini juga palsu. Kalau Bapak perhatikan jelas, logonya berbeda dengan logo bank yang asli.”
Aldo melongo, jantungnya mencelos. Sekarang dia sungguh tidak punya apa-apa lagi. Sisa akal sehat Aldo memutuskan untuk tidak melapor. Untuk sementara dia membutuhkan uang dari pekerjaan laknatnya.
Sesampainya di rumah dia menemukan lagi bungkusan. Di dalamnya ada bungkusan lagi yang lebih kecil dan foto seorang laki-laki berwajah bule. Pesan di ponselnya merujuk sebuah stan di pameran seni dan perintah untuk memasukkan bungkusan itu ke tas yang dibawa si bule.
Aldo menatap wajah bule yang kebapakan itu dengan hati teriris. Wajah orang yang akan dia hancurkan hidupnya.
Malam itu, Aldo melanjutkan membaca butir-butir di surat perjanjiannya. Di halaman empat tertulis bila hendak berhenti dari permainan, dia harus membayar semua utang (bila ada) dan mencari penggantinya. Dia akan bebas setelah sang pengganti resmi menandatangani perjanjiannya.
8 Januari 2025