Perca Otak - Erlyna

Cerpen pilihan babak 1 Battle Royal 2

Perca Otak
Erlyna

 

Srupat pulang dengan kepala yang tinggal separuh. Wajahnya kemerahan dan bengkak, seperti baru saja diangkat dari panci rebusan dengan air mendidih. Mulutnya meracaukan sumpah serapah yang tidak jelas. Sementara langkahnya yang biasanya gagah dengan begitu petentengan, tampak terpincang-pincang dan miring ke kanan sebab keseimbangan tubuhnya yang timpang.

Ia masuk ke rumah sambil menendang pintu yang bagian bawahnya telah sompek, lalu mengempaskan tubuh ke amben dengan posisi telentang. Kemeja yang digunakan kuyup oleh keringat yang terasa diperas habis-habisan dari tubuhnya.

“Setan!”

Srupat mengumpat sambil mengacak-acak rambut kepalanya yang masih tersisa dengan kedua tangan, menjambaknya begitu brutal seakan-akan tengah berusaha mencerabut kesialan yang terus datang kepadanya. Lagi-lagi ia kalah taruhan. Padahal, sebelum bermain ia telah berlatih sejak siang, menebak angka-angka yang tersembunyi dalam susunan kartu remi yang sudah sepuluh tahun digelutinya.

Ia bukan pemula. Bukan lagi. Taruhan-taruhan yang dilakukan kerap menguntungkan sehingga membawanya sampai ke titik di mana ia bisa hidup dengan bergelimang harta. Namun, sejak ia menikah dan kehilangan sebagian fokusnya pada permainan, semua keberuntungan yang selama ini menggenanginya seperti terserap habis, persis seperti air yang bertemu spons kering. Sungguh sialan sekali!

Tidak lama kemudian Marleni, istrinya, masuk sambil menenteng dua plastik belanjaan di tangannya. Bibirnya bersenandung merdu. Ia melewati Srupat begitu saja dan langsung menuju ke dapur. Diseduhnya secangkir kopi tanpa gula yang kemudian diletakkan di atas meja, tepat di samping amben tempat Srupat berada.

Marleni melirik kepala Srupat yang tidak lagi sempurna, lalu menghela napas. Ia langsung tahu apa yang telah dialami suaminya.

“Kenapa kamu payah sekali? Itu, kan, cuma permainan?” ucap Marleni sambil berlalu.

“Cuma permainan matamu!”

Marleni tidak menimpali. Ia tahu suaminya sedang kesal. Ia memilih mengeluarkan barang-barang belanjaannya lalu menatanya di dalam lemari penyimpanan agar tidak ikut terprovokasi.

“Cuma bermain kartu, kan? Gampang itu.”

Gagal. Lidah Marleni yang belakangan selalu gatal untuk mengolok-olok suaminya meluncurkan sindiran begitu saja.

Srupat menahan diri untuk tidak lagi menanggapi ucapan istrinya. Ia tahu percuma saja berdebat dengan orang yang merasa dirinya paling hebat. Yang ada malah nanti mentalnya semakin tertekan sebab ia tahu, meski tidak banyak bicara dan tidak acuh, istrinya adalah sosok yang suka menikam dalam diam. Hal itulah yang dahulu membuatnya jatuh ke dalam pesona yang dimilikinya. Ah, bukan pesona, lebih tepatnya adalah perangkap.

Ayah Marleni adalah gembong penjudi yang ditakuti. Dahulu, Srupat yang tengah berada di puncak kejayaannya dalam bermain taruhan angka-angka, memberanikan diri melamar putri bosnya itu. Awalnya ia ditolak, sebab Marleni adalah kesayangan satu-satunya sang Gembong, yang mana ia kelak akan mewarisi bisnis-bisnis gelap yang tersebar di seluruh kota. Merestui lamaran Srupat, artinya sang Gembong harus merelakan semua pencapaiannya itu jatuh ke tangan menantu. Sungguh ia tidak rela. Namun, berkat kegigihan laki-laki yang memiliki banyak tato di tubuhnya itu dalam mencuri hati calon mertuanya, akhirnya izin itu dikabulkan. Sayangnya, Srupat tidak pernah menyadari bahwa pernikahannya dipenuhi oleh tipu muslihat. Alih-alih dia yang mendapat limpahan harta berlipat-lipat, justru sang Gembong itulah yang memerasnya tanpa terlihat. Selama menikah, Srupat hanya boleh menyentuh istrinya jika ia berhasil memenangkan permainan yang diadakan setiap dua hari sekali di salah satu tempat hiburan paling terenal di pusat kota. Sungguh sebuah kehidupan pernikahan yang memuakkan.

Srupat menatap kopi hitam yang aromanya mulai memenuhi tenggorokan. Ia menelan ludah, menahan diri untuk tidak meraih gelas tersebut. Terakhir kali ia menenggak habis kopi buatan istrinya itu, kepalanya terasa tertusuk-tusuk. Sakitnya bukan main.

Ia lalu menatap langit-langit. Pikirannya dipenuhi oleh banyak hal. Jika begini terus, ia benar-benar akan kehilangan seluruh bagian tubuhnya. Sama seperti perputaran roda kehidupan, pertaruhan dalam permainan yang ia ikuti tidak akan pernah menemukan kata berhenti. Sekali saja ia terjun ke sana, ia tidak akan pernah menemukan pintu keluar kecuali kematian. Bahkan jika pun ia sampai mati, arwahnya barangkali akan gentayangan sebab diteror oleh para pemain lain yang tidak kenal kata menyerah.

Waktu kemenangan demi kemenangan terus datang kepadanya dahulu, ia sama sekali tidak pernah mencemaskan hal itu. Ia yakin bisa melalui segalanya sebab telah memiliki banyak pengalaman. Sepasang matanya itu seolah-olah bisa menembus angka-angka yang tersembunyi di balik kartu yang dipegang lawan.

Akan tetapi, siapa sangka jika ia akan tiba pada titik di mana satu per satu keberuntungan itu hengkang dari garis takdirnya? Sambil terus memandangi sarang laba-laba yang bergoyang-goyang, Srupat berpikir keras bagaimana caranya ia bisa melarikan diri, entah dari permainan yang tidak mengenal kata berakhir itu, atau bahkan dari kehidupan yang membuatnya terasa ingin mati berkali-kali.

Saat sedang merasa terombang-ambing, Marleni datang sambil menyodorkan sepiring gorengan yang masih hangat. Wanita itu melirik kopi hitam yang masih utuh. Ditatapnya sang suami yang masih saja terus melamun sambil menatap langit-langit rumah.

“Jadi begini caramu memperlakukanku?”

Srupat menoleh sambil menatap istrinya yang selalu tampak jelita.

“Apa masalahmu?”

“Jadi kamu sudah enggan lagi denganku?”

“Omong kosong apa yang kamu bicarakan itu, hah?”

Srupat mulai naik pitam. Pikirannya yang sudah semrawut semakin tidak karuan menghadapi ucapan istrinya yang melantur-lantur.

“Kamu sudah tidak mau lagi menyentuhku, bahkan kini hidangan yang kusuguhkan juga diabaikan.”

Srupat menghela napas. Laki-laki itu bangkit dari posisi telentang ke duduk bersila, menghadap Marleni yang kini tengah mengeluarkan rokok dan menjepitnya di bibir berpoles gincu merah.

Siapa bilang Srupat sudah kehilangan nafsunya? Ia bahkan setengah mati menahan diri agar tombaknya tidak berdiri tiap kali melihat Marleni. Kecantikan dan kemolekan yang dimiliki istrinya itu, selalu membangkitkan gairah persetubuhan yang menggila. Ia susah payah menjaga wibawa. Namun, tetap saja mulutnya enggan mengeluarkan kata-kata.

Marleni menatap ke arah suaminya yang hanya memelototinya. Diembuskannya asap rokok yang terperangkap di mulutnya dengan kesal. Ia lalu menenggak habis kopi hitam yang semula ia siapkan untuk suaminya, tetapi tidak disentuh sama sekali. Hatinya terasa sakit menerima penghinaan begitu rupa.

“Ayo kita bercerai.”

Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Marleni, sambil mengepulkan asap rokok yang kini aroma pekat tembakaunya membuat sesak ruangan. Srupat terkesiap.

Belum sempat ia memberi aba-aba, Marleni telah lebih dahulu menancapkan sebuah belati tajam ke dadanya berkali-kali. Menciptakan nganga dan memperlihatkan isinya yang koyak. Meski dipenuhi oleh cinta, segala yang tersimpan di sana telah menjelma petaka. Srupat telah kehilangan segala-galanya.

“Tidak. Tunggu, mengapa kita harus bercerai?”

Srupat mulai gagu. Ia teringat ucapan ayah mertuanya yang mengancam akan membuatnya membayar mahal jika sampai pernikahan yang dijalaninya berakhir. Srupat kalang kabut mirip orang kesetanan saat Marleni bahkan mengabaikan penolakannya pada keputusan yang dibuat. Sungguh, demi apa pun, Srupat tidak ingin bercerai. Ia masih ingin menjalani kehidupan yang terkadang membuatnya gila. Ia memang berkali-kali merasa gagal, tetapi ia tidak sungguh-sungguh saat mengatakan ingin mati.

Ia belum siap menghadapi kematian. Bahkan kini, saat satu per satu bagian tubuhnya terancam dipenggal oleh kegagalan yang mulai membayang-bayang, Srupat tetap ingin hidup. Ia ingin bisa mengembalikan tubuhnya selengkap mungkin, hidup berbahagia bersama Marleni dan memiliki anak-anak yang lucu, Srupat ingin menjalani kehidupan biasa seperti orang-orang lainnya, bukan kehidupan yang pengap sebab setiap napas miliknya adalah sebuah pertaruhan.

Sayangnya, hanya ia yang menginginkan hal itu.

Malam harinya, Marleni angkat kaki dari rumah yang kini mulai kehilangan kemegahan. Wanita itu melangkah cepat sambil menggeret koper besarnya, meninggalkan Srupat yang terbengong-bengong tanpa bisa mengatakan apa-apa.

“Sialan!”

Srupat membentur-benturkan kepalanya, membuat otak miliknya meninggalkan bentuk aslinya, dan kini menyerupai perca-perca tidak berharga. Beberapa bahkan membentuk gumpalan kecil, berjatuhan ke lantai dan terinjak oleh kakinya sendiri. Srupat menjelma sebuah gambaran nyata bagaimana sebuah kesenangan bisa begitu menyengsarakan. Ia benar-benar terjebak dalam lingkaran setan yang bahkan setan itu sendiri enggan memasukinya.

Akan tetapi, laki-laki itu tidak serta-merta kehilangan tekad. Beberapa saat setelah kepergian Marleni, ia mendatangi tempat hiburan, menemui ayah mertuanya dan mengajukan sebuah tawaran.

Suara tawa menggema memenuhi ruangan saat sang Gembong mendengar apa yang dikatakan oleh Srupat. Laki-laki yang kepalanya telah dipenuhi uban keperakan itu tidak menduga bahwa laki-laki yang menikahi anaknya adalah sosok yang sangat bodoh. Jauh lebih bodoh dari keledai dungu yang terus jatuh ke lubang yang sama berkali-kali. Bagaimana tidak? Laki-laki itu mengatakan akan terus bermain bahkan sampai seluruh tubuhnya habis tidak bersisa, dengan satu syarat: jika ia menang sekali, segala yang telah hilang darinya harus kembali.

“Bukankah penawaranmu itu sangat curang?” tanya sang Gembong sambil menarik pipa tembakau dari bibirnya.

“Saya mempertaruhkan segalanya, benar-benar segalanya yang saya punya. Jadi izinkan saya mengambil kembali semua yang seharusnya menjadi milik saya. Saya pasti akan menang.”

Sang Gembong terdiam sejenak. Ia menatap ujung pipa tembakau yang mengepulkan asap dan sorot mata Srupat secara bergantian.

“Baiklah, jika kamu sangat ingin bermain. Aku akan menyiapkan untukmu lawan yang tepat.”

“Kapan saya bisa mulai?”

“Hari Minggu, datanglah kemari tepat tengah malam.”

Srupat mengangguk pelan lalu melangkah meninggalkan tempat hiburan tersebut. Sepanjang perjalanan, ia memegangi kepalanya, yang baru disadarinya terus menjatuhkan otaknya dalam gumpalan-gumpalan kecil. Ia tidak boleh kehilangan isi kepalanya, tidak sebelum kemenangan yang sudah lama sekali ia impikan datang dan melambungkan kembali namanya.

Hari-hari menjelang permainan yang telah ditentukan, Srupat melatih kepekaannya. Ia mempelajari persentase kemungkinan dari angka-angka yang akan muncul tiap kali tumpukan kartu itu dikocok. Ia menumbuhkan kembali bakat-bakat terpendamnya yang bisa menganalisis pergerakan lawan, terutama pancaran sorot mata yang bisa menggambarkan deretan kartu yang didapat.

Srupat sungguh mempelajari segalanya. Benar-benar segala-galanya.

Lalu hari yang ditentukan pun tiba. Srupat yang telah datang dua jam lebih cepat dari waktu yang ditentukan, memelotot tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dadanya berdebar-debar kencang sekali saat lawannya datang dengan langkah-langkah pelan dan gemulai. Kaki jenjang itu seperti telanjang, hanya dibungkus dengan sepatu jaring hitam setinggi mata kaki. Sosok tersebut mengenakan celana pendek yang hanya menutupi bokong sintalnya yang memantul-mantul tiap bergerak. Sementara dadanya, demi Tuhan, ia ingin meremasnya sekeras mungkin. Srupat gemetar bukan buatan di tempat ia duduk saat menatap sosok di seberangnya: Marleni.

Wanita itu tersenyum manis kepadanya, memperlihatkan sepasang lesung pipi yang dahulu pernah setengah mati ia jilati sampai pagi. Rambutnya yang panjang dipotong tepat di bawah telinga, berwarna merah kehitaman yang tampak berkilau-kilau terkena pantulan cahaya. Di hadapannya, Marleni menjelma sosok yang paling membuatnya tidak bisa mengendalikan diri.

Bahkan saat permainan dimulai dan kartu telah dibagikan, Srupat benar-benar kehilangan fokus. Bukan hanya setengah, tetapi hampir seluruhnya. Alih-alih membaca pergerakan mata lawan, ia justru dibuat tenggelam begitu dalam di telaga itu.

Begitulah sang Gembong mengatur siasat. Laki-laki culas itu tidak pernah menarik kata-katanya, termasuk saat mengatakan bahwa Srupat harus membayar mahal jika sampai pernikahan dengan anaknya berakhir. Dan ia menjadikan ucapan itu nyata senyata-nyatanya.

Srupat mulai kehilangan satu demi satu anggota tubuhnya. Golok pemenggal itu kini menari-menari di pelupuk matanya tiap kali tumpukan kartu dibagikan dan segala miliknya dipertaruhkan. Sayangnya, Srupat telah salah perhitungan. Ia sungguh tidak tahu diri karena menganggap bisa mengendalikan sang Gembong yang kini berayun-ayun tenang di kursi goyang.

Marleni tidak banyak bicara. Seperti sosok yang selama ini dikenalnya, wanita itu selalu tahu kapan waktu yang tepat untuk melancarkan serangan. Ia bermain-main menyalurkan kesenangan, dengan nyawa orang sebagai taruhan.

Dan kekalahan demi kekalahan telah membuat Srupat kehilangan harga diri. Ia ingat betul, dahulu, ia pernah merasa begitu jemawa membanggakan diri. Namanya melambung tinggi dan ia benar-benar berada di atas angin. Ia mengantongi semua strategi permainan dan telah khatam dengan segala bentuk kecurangan. Sayangnya, ia lupa bahwa di atas langit masih ada langit yang bahkan jauh lebih tinggi. Ia yang tengah terlena pada apa-apa yang mengelilinginya, tanpa sadar telah terempas dengan keras, bersiap menghadapi kenyataan paling pahit yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Di atas meja bandar, Srupat berusaha membuka mata kanannya. Di seberang, Marleni tersenyum penuh makna. Srupat hanya punya satu kesempatan lagi untuk bermain dan harus menang apa pun yang terjadi. Ia telah kehilangan segalanya: harta, takhta, bahkan tubuh yang sangat dibanggakannya. Nyawanya sendiri kini tengah melandai-landai sedepa di atas kepala.

Namun, haram baginya untuk menyerah. Ia masih memiliki kepala untuk dipertaruhkan, meski bentuknya sudah tidak utuh lagi. Dan di dalam kepalanya itu, di antara gumpalan-gumpalan perca otak yang tersisa, terselip sebuah kartu joker.

Ia memanglah telah jatuh, terjerembap begitu dalam. Namun, itu hanya raganya. Jiwanya masihlah jiwa yang sama, yang memiliki tekad kuat seperti tahun-tahun kejayaan yang lalu. Begitu juga dengan rahasia-rahasia kemenangan yang dahulu ia gunakan, yang hanya diketahui olehnya dan Tuhan.

Srupat samar-samar membalas senyuman Marleni dengan seringai. Permainan yang sesungguhnya baru saja dimulai.

 

Pwr, 8 Januari 2025

 


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url