Rahasia yang Ingin Kuceritakan - Winant Fee

 Cerpen pilihan babak 1 Battle Royal 2

Rahasia yang Ingin Kuceritakan
Winant Fee


 

Yang berteduh dari rintik hujan di dangau dengan rokok lintingan yang bau kemenyannya sangat menyengat itu adalah Joko, ndoroku. Usianya belum tua betul, tapi karena pekerjaannya menjadi tukang bajak di sawah membuatnya terlihat lebih tua dari usianya. Pekerjaan itu memaksanya selalu berteman baik dengan terik matahari yang membuat kulitnya menghitam dan berkerut. Padahal dahulu, di kampungnya, ia adalah lelaki berparas tampan dengan kulit sawo matang. Banyak gadis di kampungnya yang tertarik padanya, tapi karena tak memiliki banyak harta, para gadis itu pun menarik diri dan menjauhinya.

Aku telah lama hidup bersamanya. Sejak ndoroku kecil, aku telah ada di rumahnya. Aku lebih dulu dekat dengan bapaknya. Menjadi teman bapaknya selama hampir lima belas tahun  sebelum akhirnya meninggal lima  tahun yang lalu. Akan tetapi, dua tahun terakhir ini, ndoroku telah kehilangan empat petak sawah peninggalan bapaknya. Untung saja, aku tak ikut dijualnya. Jika bapaknya masih hidup mungkin saja hal itu tak akan pernah dibiarkan terjadi. Ndoroku adalah anak kesayangan bapaknya. 

Mula-mula, akan kuceritakan sebuah rahasia tentang bagaimana dirinya bisa kehilangan petak-petak sawah itu. Jika setelah mendengarku kalian tak juga percaya, coba tanyakan pada dua lembu milik Wak Suleh. Sebelum kalian, mereka lebih dulu mengetahui rahasia-rahasia ini. 

Dulu, aku sering menemani ndoroku menggarap sawah-sawah itu dengan bahagia. Hasil panennya bisa digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Pekerjaan sederhana untuk hidup yang sederhana merupakan pola yang diadopsi dari bapaknya. Namun, semuanya berubah. Garapan sawahnya perlahan berkurang semenjak istri ndoroku mulai mengotot minta dibelikan sepeda motor. Katanya, malu sama tetangganya. Padahal, sebetulnya mereka tak perlu-perlu sekali dengan kendaraan itu, kata ndoroku. Namun, daripada berdebat lebih panjang, ndoroku menyetujui permintaan istrinya untuk membeli sepeda motor dengan meminjam uang kepada juragan Jumandi. 

Kemudian setelah sepeda motor itu datang dan dipergunakan oleh istri ndoroku, aku melihat Jumandi, rentenir dan bandar judi di kampung, menjadi sering mengunjungi rumah ndoroku sebelum masa panen tiba. Meminta hak, katanya. Diiringi sumpah serapah dan teriakan,  Jumandi memaksa ndoroku membayar hutangnya. Lalu yang kutahu akhirnya, dua petak sawahnya yang belum dipanen diserahkan kepada Jumandi sebagai penebusan hutang.

Setelah masa tanam kembali tiba, tak ada lagi siulan bahagia ndoroku saat membajak sawah karena dua sawahnya telah hilang. Yang ada hanya bentakan-bentakan yang keluar dari mulutnya ketika para lembu mulai bekerja dengan lamban. Ndoroku menjadi tak begitu semangat lagi bekerja di sawah.

“Herrr ... ckck ... herr ... ckck ... herr!” teriaknya sambil memecut dengan keras lembu-lembu yang membantunya.

Tak sampai di situ, pada musim-musim sebelum panen selanjutnya, kejadian seperti itu nyatanya terulang lagi. Bunga pinjaman dari Jumandi katanya terus bertambah. Rupanya, dua petak sawah yang dulu diberikan kepada Jumandi hanya untuk membayar pokok hutangnya saja. Sementara bunga dari hutangnya tetap berjalan. Akhirnya, dengan perlahan, semua sawah ndoroku mulai beralih kepemilikan. Ndoroku menjadi sering murung. Sering kali juga terdengar ia bertengkar dengan istrinya. Kerap kali ia meninggalkannya istrinya di rumah seorang diri hanya untuk menenangkan batinnya.

Suatu hari, aku melihat Jumandi datang ketika ndoroku tak ada di rumah selepas bertengkar. Tanpa sungkan, Jumandi masuk ke rumah itu lewat pintu dapur dan langsung disambut oleh istri ndoroku. Perempuan itu lantas bergelayut mesra di lengan Jumandi sambil tertawa-tawa. Jumandi dengan beringasnya melumat bibir istri ndoroku. Tangan Jumandi meremas bagian dada milik perempuan itu. Aku yang saat itu berada di pojok dapur hanya bisa terdiam. Perilaku aneh istrinya itu kusebut rahasia yang ingin kuceritakan pada ndoroku, tapi aku tak memiliki cara untuk mengatakannya. 

“Apa yang kau inginkan?” tanya Jumandi kepada istri ndoroku itu. 

“Aku ingin memakai kalung emas, Mas,” jawabnya. 

"Nanti akan kuberi uang untuk membelinya, Sayang.” 

Mereka tertawa-tawa lagi sebelum akhirnya masuk dan mengunci pintu kamar. Beberapa detik kemudian, aku mendengar suara-suara aneh dari dalam kamar. Aku tak pernah melihat perlakuan seperti itu dilakukan oleh ndoroku kepada istrinya. 

Semalam, selepas Magrib ketika hujan masihlah turun, dan suasana menjadi senyap, aku melihat juragan Jumandi kembali datang ke rumah ndoroku ditemani oleh Marto, kaki tangannya. Aku mendengar keributan di dalam rumah itu perihal bunga hutang yang masih tersisa dalam catatan milik Jumandi. Bujangan tua itu mengancam akan menyita rumah ndoroku jika tak lekas membayar.

“Juragan, jangan ambil rumahku. Aku tak lagi memiliki harta selain rumah ini. Aku berjanji akan segera melunasinya. Aku janji,” ucap ndoroku sambil memohon kepada Jumandi.

“Baiklah, akan kuberi waktu seminggu. Jika dalam seminggu kau tak mampu melunasi, kau tahu apa yang harus kau lakukan bukan?” Jumandi menatap ndoroku dengan senyum menyeringai. Aku sungguh berharap, ndoroku menemukan jalan keluar untuk menyelamatkan rumah ini. 

Jumandi lantas pergi meninggalkan ndoroku yang masih terlihat gusar sambil sesekali menjambak rambutnya. Istrinya tampak keluar dari kamar sesaat setelah Jumandi pergi. Dielusnya punggung suaminya itu. 

“Mas, apa yang harus kita lakukan?” 

“Entah! Rasanya aku ingin mati saja. Aku muak dengan permainan ini!” teriaknya sambil menuding istrinya itu.

“Jika kamu mati, bagaimana hidupku selanjutnya, Mas? Aku sungguh tak ingin kehilanganmu.”

Ndoroku tampak menangis dalam pelukan istrinya. Namun, di balik punggung ndoroku, bibir wanita itu justru menyunggingkan senyuman.

Ketika langit mengarak mendung tadi pagi, ndoroku pergi ke rumah Pak Royani yang sawahnya akan dibajaknya, aku melihat istri ndoroku berbicara dengan benda pintar. Aku menyebutnya sebagai benda pintar karena layarnya bisa menampilkan wajah orang. 

“Kapan aku bisa datang?” tanya seseorang dalam benda pintar itu. 

“Nanti, suamiku belum pergi ke sawah,” jawabnya. 

“Ha ha ha, baiklah. Aku bersiap-siap dahulu.”

“Iya, Mas Sayang. Akan kulayani kau dengan sepenuh jiwa,” ucapnya sambil tertawa manja.

“Harus! Aku tidak rela jika selangkanganmu hanya dinikmati oleh Joko. Aku benci laki-laki yang telah merebutmu dariku!” 

“Tidak akan lama lagi aku akan menjadi milikmu seutuhnya, Mas. Rencana kita sebentar lagi pasti berhasil.”

Suara laki-laki  di benda pintar itu terdengar tertawa. Namun, tiba-tiba ndoroku sudah terlihat berdiri di pintu dapur. Wajahnya tenang, tapi aku melihat sorot matanya menajam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya meskipun istrinya tampak terkejut dengan kehadirannya dan dengan cepat menaruh benda pintar itu di saku celananya. Ndoroku lantas pergi ke sawah membawa serta diriku tanpa berpamitan.

Lihatlah kini, ndoroku yang duduk di dangau menjadi terlihat lebih sering melamun. Ia pun sering menjambak rambutnya yang mulai agak panjang itu. 

“Akan aku ikuti permainanmu ini wahai Sulastri. Kau menunggu permainan ini berakhir, kan? Tapi, akan aku pastikan bahwa permainan ini tak akan pernah berakhir! Kupastikan nanti kau akan terkejut!” sedetik kemudian aku melihat ia menangis sesenggukan.

Ndoroku mengusap mukanya dengan kasar. Ia kemudian beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke arahku. Sepertinya ia sudah siap untuk bekerja lagi. Aku berjanji akan membantunya dengan baik. Namun, aku menjadi sangat terkejut ketika ndoroku mengentakkan kakinya dengan sangat kuat.

Brak! 

Aku patah. Ndoroku terjerembap di lumpur sawah. Lalu, ia bangkit dan membantingku. Ia tampak begitu kesal padaku.

“Kenapa pula kau harus rusak! Bagaimana aku harus bekerja lagi!” teriaknya.

Kalian tak perlu kasihan padaku, tapi kasihanilah ndoroku. Ia begitu terlihat frustrasi, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa untuk menenangkannya. Wajahnya tampak lebih gusar dari tadi. Ia berusaha memperbaiki, tapi sepertinya aku tak lagi bisa berguna dengan baik. Aku kembali di bantingnya sebelum akhirnya punggungku benar-benar patah menjadi dua. Kini, aku bukan lagi singkal bajak yang utuh seperti sediakala. 

Konon katanya, yang merasa amat sakit akan lebih bisa menyakiti tanpa ampun. Aku mulai khawatir ketika ndoroku memotong dan meruncingiku dengan sebilah golok yang sangat tajam. Berulang kali ia mengelusku dengan lembut, tapi sorot matanya tak pernah bohong; penuh kemarahan. Aku takut menebak-nebak apa yang dipikirkannya, sebab kini aku benar-benar dibuat menjadi sangat tajam. 

Dalam kegelapan malam yang dingin. Ndoroku pergi dengan membawa serta diriku dalam bentuk yang lain itu. Dengan mengendap-endap, ndoroku masuk ke rumah Jumandi. Aku mendengar napas ndoroku menderu sebelum akhirnya ia membawaku berlari jauh. 

Mungkin permainan ini telah usai bagi Jumandi, tapi tidak bagiku dan juga ndoroku. Kuberi tahu satu rahasia lagi, bahwa akulah yang menyimpan bau anyir darah milik Jumandi yang membuatnya meregang nyawa sebab jantungnya telah hancur tertusuk-tusuk. Akulah yang menyimpan bukti kebenaran tentang kemarahan ndoroku malam itu, dan bisa saja kini aku dan ndoroku sedang dicari-cari.

Sementara itu, aku telah dikubur di bawah dangau milik ndoroku. Katanya, biar aku berkumpul lagi dengan bagian diriku yang lain. Dan tolong, rahasia ini jangan kalian ceritakan kepada siapapun agar permainan ndoroku tak berakhir begitu saja.

 

Lampung, 08 Januari 2025.

 


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url