Tuhan Tidak Bermain Dadu - Oberheim Zildjian Harahap

Cerpen pilihan babak 1 Battle Royal 2 

Tuhan Tidak Bermain Dadu
Oberheim Zildjian Harahap

Entah sudah berapa lama pria itu bergeming, menatap linglung gelasnya yang setengah hampa. Jika ada yang melihatnya pasti mereka mengira bokongnya telah mencair dan melebur bersama kursi takhta. Dulu, pria tua itu dikenal begitu mulia lagi dipuja-puja. Dia seorang perintis asa, seorang bapak negara yang menjadi ujung tombak anak bangsa. Namun, kini matanya tak lagi beringas, akalnya pun tak lagi trengginas. Sang singa telah lumpuh akibat karismanya yang terkikis rapuh. Kini, di belakang punggungnya gemuruh murka kaum jelata tengah berderap, menandakan singgasananya yang nyaris habis disantap.

Tiba-tiba, pintu yang terbuka lebar mengizinkan cahaya menyusup ke dalam ruangan. Seorang panglima militer melangkah masuk seraya tangan kirinya menggenggam sepucuk surat. Usianya mungkin baru memasuki ambang paruh baya. Hidungnya mancung dengan pipi yang sedikit tembam. Panglima itu berhenti di depan meja, tangan kanannya terangkat di dada, lalu ia menunduk hormat.

“Tuan Presiden,” ucap panglima itu sambil tersenyum ramah. Wajahnya yang teduh itu tidak meredupkan wibawa yang ia peroleh selama dirinya menjadi perwira.

“Hentikan sandiwaramu itu, Bocah! Di mana antek-antekmu yang lain? Bukankah itu yang kalian inginkan? Memberondongku dengan peluru senapan?” balas si presiden geram. Tangan kurusnya menggenggam gelas erat-erat dan mata cekungnya sekilas nyalang.

“Saya hanyalah perwakilan rakyat, Tuan. Orang-orang sudah mengepung seluruh penjuru gerbang Istana Negara. Jalanan dibakar dan fasilitas umum dirusak. Mereka menuntut Tuan Presiden keluar atau mereka akan menerobos masuk. Tapi, saya meminta mereka bersabar sebelum bertindak gegabah. Seluruh gedung juga sudah dikosongkan. Saya harap Tuan Presiden mengerti maksud kedatangan saya.” Si panglima lanjut menjelaskan tanpa melepas kontak mata.

“Kau? Sendirian? Apakah kau tidak takut denganku? Bukankah surat kabar sudah mengatakan bahwa pemimpinmu ini sudah gila?”

“Saya yakin Tuan Presiden bukanlah ancaman.”

Pria tua itu semakin geram. Namun, demi menjaga sejumput martabatnya, ia tidak punya pilihan lain selain terdiam. Sesungguhnya dia sudah muak melihat senyum panglimanya itu.

Sialan, jadi begitu caramu bilang bahwa aku tak bertaring lagi?

“Katakan kepadaku, Bocah! Siapa yang akan menggantikanku? Kau? Atau menteriku yang telah berkhianat?!” tanyanya geram.

“Biarlah rakyat yang memilih pemimpinnya.”

“Ha-ha-ha! Sungguh bodoh! Bisa-bisanya kalian memakan bulat-bulat tipu muslihat dari Dunia Barat!” ejek sang presiden. Janggut putihnya yang tak terawat sampai-sampai bergetar mengikuti irama tawanya.

“Demokrasi bisa menyelamatkan negara ini, Tuan.”

“Demokrasi tidak menyelamatkan siapapun! Yang kau berikan kepada mereka hanyalah hak yang sama untuk bermain! Sebatas ilusi kendali dari pilihan yang fana! ”

Menyedihkan, begitu perasaan sang panglima saat melihat pemimpin di hadapannya. Panglima itu pun tak mengacuhkan racauannya dan membuka surat tuntutan lalu membacanya lantang. Ayat demi ayat ia lantunkan dengan bangga layaknya anak kecil yang tengah memamerkan hasil ujiannya. Sang presiden hanya menyesap gelasnya tak peduli. Tanpa perlu mendengarnya pun dia sudah tahu apa isi perjanjian itu: tanggalkan mahkotamu dan tinggalkan istana!

Usai menuturkan semua tuntutan, panglima itu meletakkan surat di atas meja bersama sebuah pena. Alih-alih menandatangani perjanjian, sang presiden justru menjadikannya sebagai alas gelas, menyisakan lingkaran basah yang merembes di atas kertas. Sungguh perlawanan yang sia-sia. Sumpah serapah di luar istana kian riuh bergentayangan, seolah-olah mengikuti ketegangan yang meningkat di dalam ruangan.

“Anda pernah menjadi simbol kemerdekaan, Tuan. Seorang bapak yang dihormati rakyatnya, disegani bangsa asing! Kenapa … kenapa Tuan melakukannya?” lirih sang panglima.

Sang presiden mendelik.

“Sebatas menguji jangkauan tanganku.”

Selangkah sebelum tirani, di titik itu perjalanan politik sang presiden terhenti. Tanpa segan-segan ia membujuk para pejabat kabinet untuk melantiknya sebagai pemimpin sepanjang masa. Pemusatan kekuasaan juga berimbas kepada ekonomi yang terpuruk, membuat rakyat kian tersiksa. Demi menunjukkan supremasinya, presiden itu bahkan memprovokasi kedaulatan negara tetangga. Puncaknya adalah langkah sang presiden yang melindungi rekan-rekan sejawat, meskipun telah terbukti mereka semua terlibat pemberontakan yang bejat. Rakyat pun semakin geram menyaksikan pemimpin yang dulu mereka puja perlahan menjadi seorang diktator biadab. “Aku hanya ingin melihat apakah Tuhan masih di sini,” lanjut sang presiden.

“Tuhan bersama pejuang revolusi.” Panglima menatapnya dengan dingin.

Presiden itu tersenyum mengejek. “Kau berani bertaruh, Bocah?”

Panglima itu spontan melangkah mundur saat pria tua di depannya mengeluarkan dua butir dadu dan sepucuk pistol revolver dari laci kabinet. Enam butir peluru terjatuh di atas meja setelah silindernya dikosongkan. Panglima mengernyitkan alis saat pria tua itu mengosongkan gelas, membiarkan sisa minumannya menggenang di atas lantai. Seandainya orang-orang di luar sana tahu berapa nilai minuman yang terbuang pasti mereka tak lagi menahan diri merobohkan gerbang. Satu tegukan saja bisa membiayai keluarga kecil selama seminggu.

“Dadu adalah hakim yang paling adil.” Presiden itu memasukkan kedua dadu ke dalam gelas. Dia mengocoknya sesaat dan melemparnya ke atas meja. Wajahnya menyiratkan kekecewaan saat dadu itu menampilkan dua angka yang sama.

“Zeus, Poseidon, dan Hades. Ketiga dewa itu bahkan menghormati keputusannya dalam membagi kekuasaan. Berkat perputaran dadu, pertikaian mereka bertiga berakhir. Tanah Yunani diselamatkan oleh perjudian. Ah, sial!”

Pada putaran kedua, dadu-dadu itu masih menunjukkan angka yang sama.

“Bukankah permainan dadu yang sama membuat lima bersaudara kehilangan segalanya?” sahut sang panglima. Presiden itu tersenyum mendengarnya.

“Ah! Mahabaratha! Aku tak tahu kau membaca literatur klasik?”

“Ada banyak hal yang tidak Tuan ketahui. Seandainya Tuan keluar dari Istana Negara, mungkin seorang presiden akan lebih mengenal rakyatnya,” cibir sang panglima yang sudah muak dengan permainannya. Alih-alih tersinggung, pria tua di depannya itu justru terkekeh.

Akhirnya, pada putaran ketiga dadu itu menunjukkan dua angka yang berbeda.

“Enam dan lima. Berarti selisihnya satu, bukan?”

Seketika itu juga sang presiden menyejajarkan enam peluru di atas meja. Satu peluru ia masukkan ke dalam revolver dengan begitu gesit. Silindernya ia putar lima kali dan moncongnya diarahkan tanpa sedikit pun ragu yang tebersit.

“Tuan Presiden … apa yang—”

“Inilah pembuktianku!” Pistol itu meletus.

Tiga detik kemudian lima prajurit yang sejak tadi bersiaga mendobrak masuk. Senapan mitraliur yang mereka bawa sontak diacungkan ke seluruh ruangan. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat orang yang berada di atas singgasana tengah tertawa seperti kesetanan. Suaranya yang parau sungguh membuat merinding bulu kuduk. Sementara itu, sang panglima berhasil meraih pistol, mengalihkan arah moncongnya dari dagu pemimpin tiran. Lubang peluru di langit-langit menjadi saksi gagalnya permainan dijalankan.

“K-komandan?!”

Sang panglima tidak berbicara. Hanya dengan satu tangan ia memberikan isyarat kepada lima ajudannya untuk meninggalkan ruangan. Kelima prajurit itu pun mematuhi titah atasan. Sang panglima terbelalak saat melihat orang gila itu masih tergelak-gelak. Pada awalnya ia mengira tawa itu ditujukan kepada dirinya. Namun, mata yang berkaca-kaca menyiratkan pesan yang berbeda.

“Tua bangka sialan! Kau benar-benar gila rupanya!” teriak sang panglima sembari membalut luka bakarnya dengan sapu tangan. Sedikit hormat yang ia simpan di sudut hatinya telah hangus tak tersisa. Dengan ganjil tawa itu terhenti seolah-olah lenyap menguap di udara.

“Kau tak tahu kegilaan sebelum duduk di kursi ini, Bocah! Kau tak berhak menghakimi sebelum kau menekan pelatukmu sendiri! Kau pikir sudah berapa lama aku bermain dengan Tuhan?! Setiap malam! Setiap kali pistol itu tidak memuntahkan peluru, setiap malam aku tertidur tanpa lubang di dagu, maka Tuhan memihak kepadaku!”

Tuhan tidak bermain dadu!

Tangan sang panglima menghantam meja keras-keras. Tatapannya dingin, tetapi hatinya membuas. Selama sekian detik ruangan itu hening. Hanya terdengar suara napas yang tak selaras dari dua insan yang nyaris tak waras. Pada saat itu sudah tak ada lagi hierarki jabatan. Strata usia sudah tak lagi membatasi setiap ucapan. Pada detik itu, mereka berdua adalah lawan politik yang sepadan.

“Mungkin. Mungkin kau benar.” Sang pemimpin tiran itu mulai mengusik kesunyian.

“Mungkin kita yang bermain-main seperti Tuhan. Yang pasti … Tuhan tidak bersamaku lagi.”

Tiba-tiba, ia berdiri meninggalkan kursi singgasana. Tangannya meraba dinding perlahan mencoba mencari jalan. Langkahnya gontai berusaha mencapai sisi kiri ruangan. Singa yang dulu gagah perwira kini melangkah dengan kaki terpincang-pincang.

“Satu hal yang harus kau ingat, Bocah. Seandainya semua orang melempar dadu, maka siapa yang harus menekan pelatuk?!

“Berhenti kau tua bangka! Mau kabur ke mana kau?!”

Pria tua itu menoleh ke belakang sambil tersenyum. “Tentu saja menemui rakyatku.”

Bahasa tubuhnya begitu jemawa saat ia membuka jendala beranda. Kedua tangannya terbuka seolah-olah ia hendak memeluk setiap jiwa di luar istana. Kini dia berdiri di tempat yang sama seperti dua puluh tahun lalu, di saat ia berorasi membangkitkan gelora merdeka. Namun, kali ini berbeda. Alih-alih sambutan hangat dan pekikan penuh semangat, pemimpin itu justru menerima sumpah laknat karena dianggap sebagai pengkhianat.

Sang pemimpin tiran lalu berbalik menghadap panglimanya. Senyumnya melengkung janggal menyiratkan pesan nista. Bibirnya pun bergerak tanpa mengucapkan sepatah kata. Lalu, yang terjadi selanjutnya ….

“Berhenti!”

Terlambat. Pemimpin tiran itu telah menjatuhkan diri dari balkon lantai tiga. Seketika raganya jatuh menghantam tanah, diiringi bunyi sesuatu yang patah. Di waktu yang sama, massa yang mengamuk sontak menerobos gerbang istana. Mereka tidak rela membiarkan sang pemimpin tiran pergi sebelum dia merasakan derita. Satu persatu dari mereka mengerubungi jasadnya layaknya gerombolan anjing hutan yang kelaparan. Mereka melucuti pakaiannya, meludahi setiap jengkal tubuhnya, lalu membawa sisa jasad sang diktator untuk dipamerkan di alun-alun kota. Sementara itu, sang panglima yang menyaksikan dari atas beranda hanya bisa menganga.

Rusuknya seakan-akan menghimpit dada. Tenggorokannya perlahan menyempit, putus asa mengais-ngais udara. Di tengah kekalutan itu ia berjalan mundur, hingga akhirnya mendarat di kursi singgasana. Sulit dipercaya kawanan binatang buas di bawah sana adalah rakyat jelata yang hendak ia berikan dadu yang sama. Jiwanya begitu terguncang, sampai-sampai sang panglima tidak menyadari betapa tidak nyamannya kursi yang tengah ia duduki. Hanya tiga kakinya saja yang menjejak di lantai. Bantalan duduknya terbuat dari busa yang telah menipis.

Kelek kayu jatinya tinggi sebelah asimetris. Sandarannya pun berdiri kaku, lurus satu garis.

Berikutnya giliranmu, Bocah!

Itu adalah pesan terakhir si tua bangka sebelum ia meloncat. Tanpa berpikir panjang, panglima itu mengocok dadu. Keangkuhan itu membutakan akal layaknya candu, sampai-sampai ia termakan gertakan oleh sosok yang saat itu telah menjadi hantu. Namun, kesombongan itu tidak bertahan lama. Kedua dadu yang ia lempar menunjukkan angka enam dan satu. Dengan ragu-ragu ia mengisi kelima lubang silinder dengan peluru. Napasnya terputus-putus. Dahinya bermandikan peluh. Lalu, ia memejamkan mata seraya mengarahkan moncong di bawah dagu.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Lalu detik menjadi menit. Lalu menit menjadi realita. Lalu realita mengiris luka. Pada akhirnya sang panglima sadar bahwa dirinya tak seberani yang dia duga.

“Keparat!”

Benda-benda di depannya menjadi sasaran amarah. Gelas dan botol minuman keras ia singkirkan dari atas meja. Surat tuntutan pun ia robek hingga menjadi serpihan sejarah. Nyaris saja ia hendak mengulangi permainan, sebelum akhirnya ia mendengar sayup-sayup lagu kebangsaan. Pengeras suara di jalanan riuh membahana menyampaikan pesan propaganda kemenangan. Kita menang! Kita menang! Terkutuklah tirani! Terpujilah Tuhan bersama para pejuang!

Pelan-pelan napasnya terkumpul kembali mengikuti alunan merdu di luar sana. Pelipisnya berdenyut lambat, berusaha sekali lagi menjalin logika. Sang panglima yang sebelumnya tampil perkasa, kini hanya bisa terduduk pasrah sembari menyandarkan kepala. Di tengah kegelisahan yang tersisa, sebaris pertanyaan terlintas dalam benaknya:

Bagaimana bisa orang gila itu bertahan di kursi secacat ini?

Hitungan tahun kelak berlalu dan pertanyaan itu tak kunjung terjawab, bahkan ketika ia terbuai dengan kursi yang sama. Di masa mendatang nanti akan ada banyak orang yang menggantikan sang panglima. Mereka adalah pemimpin yang dipilih atas dasar kerakyatan, dia yang lebih muda, dia yang lebih berilmu, hingga dia yang lebih bijaksana. Bokong yang datang silih berganti membuat kursi hampir remuk tak bersisa. Entah mengapa orang-orang justru semakin bengis memperebutkannya.

Sementara itu, mereka yang bergerombol di bawah kaki meja terus menuntut perubahan, walaupun nyatanya mereka hanya bisa dipuaskan dengan kesempurnaan. Apabila semesta menolak campur tangan, maka mustahil dadu yang terus bergulir itu bisa dihentikan. Sayangnya, panglima itu benar. Tuhan tidak bermain dadu. Tuhan telah menelantarkan meja permainan, membiarkan manusia binasa sendirian.


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url