Luang dengan Uang dan Kekuasaan - Marjani Zahra Ning
Cerpen pilihan babak 1 Battle Royal 2
Luang dengan Uang dan KekuasaanMarjani Zahra Ning
“Kau selalu bikin aku jatuh cinta di
setiap pertemuan kita.” Luang bertutur tepat di telinga Meira. Untuk sejenak
dia mengamati akibat kalimat itu. Meira bergidik, tersenyum, kemudian menatap
Luang dengan cara yang memuja.
Luang terus menerus menikmati efek
kalimatnya itu. Menikmati kalau dialah pemilik kendali. Bisa saja dia berkata,
“Kau jelek akhir-akhir ini, Sayang.” Tentu ucapan seperti itu beda efeknya.
Meira akan menyalakan kamera ponselnya, menatap dirinya di sana, mencari-cari
apa yang kurang. Kemudian, Luang datang memeluknya, menenangkannya. “Mungkin
kau hanya perlu memotong pendek rambutmu, kira-kira sebahu. Itu akan membuat
lehermu terlihat jenjang.”
Kejadian seperti itu pernah sekali
terjadi. Efeknya terlalu lama dan terlalu melelahkan Luang. Dia mesti
terus-menerus menghujani Meira puja-puji dan hadiah.
*
Meira adalah gula-gula kehidupan.
Manis, tapi tidak mungkin Luang terus-menerus menyesapnya. Dia bisa sakit dan
tentu saja Luang tidak mau itu. Dia ingin hidup seribu tahun lagi.
Kini dia kelelahan. Kemudian ke
balkon dia merebahkan tubuh di atas tikar palem. Sebuah bantal meyangga
kepalanya dan sepoi angin menyapu kulitnya. Itu bikin dia merasa masih di
rumahnya yang lama. Tempat dia memahami bahwa dunia ini tak lebih dari tempat
bermain. Sebab itu, kalau mau jadi pemenang, maka dia harus mengenali jenis
permainannya kemudian menyusun strategi.
Hidup itu sesungguhnya enteng, yang
sulit manusia-manusianya. Dia tersenyum menatap langit-langit rumahnya. “Untuk
hidup seribu tahun lagi,” tuturnya. Kemudian, dia duduk menekuri ponselnya.
Nada sambung terhubung. Tak lama kemudian, seorang lelaki menjawab dari
seberang sana.
“Halo, Pak?”
“Ya, halo. Apa tempat dan
orang-orangnya sudah siap?”
“Siap, Pak.” Orang dari seberang
menjawab dengan nada patuh.
“Saya segera ke sana.”
“Siap, Pak.”
*
Beberapa mata sudah menoleh ketika
mobilnya berhenti. Namun, Luang tidak langsung turun. Dia mengamati
orang-orang, ada yang berdiri gelisah, ada yang tampak bosan, dan ada yang
bersemangat. Mereka semua adalah mangsa, pikirnya. Atau mungkin juga tidak, justru
kebalikannya, diri Luang-lah yang mangsa. Tidak penting sebutannya, yang
penting tangan orang itu memegang paku mencoblos gambar wajah Luang. Demi
coblosan paku itulah dia di sini.
Disalaminya semua orang yang dia
lewati. Senyumnya rekah. Pada beberapa orang, dia berhenti sebentar dan
berbicara dengan mereka. Kemudian, sekali lagi dia meyapukan pandangan mengamati orang-orang. Puluhan tahun yang
lalu, dia pernah ada di posisi orang-orang itu.
Sorak-sorai gembira menyapanya
ketika dia mengambil mikrofon dari tangan pemandu acara. Demi kesopanan, dia
diam menunggu orang-orang itu berhenti. Bukan seperti ini, pikirnya. Dirinyalah
yang punya kendali, bukan mereka.
Luang-lah yang calon pemimpin, calon
pejabat, dan calon pemerintah. Dirinya yang punya uang. Sedangkan orang-orang
ini, merekalah yang dipimpin, yang diperintah, dan yang butuh uang.
Kebenarankah itu? Sesungguhnya Luang
dan orang-orang itu sama saja. Ini hanya soal peran. Luang berperan butuh,
ingin, dan bisa mendapatkan uang itu. Sedangkan mereka berperan butuh, ingin,
tetapi tidak bisa mendapatkannya. Mereka tidak membuat jalannya, Luang
berpikir.
*
Acara tengah berlangsung dan hampir
selesai, ketika tidak sengaja Luang melihat Meira. Dia berdiri jauh dari
panggung, di samping seorang pemuda yang bertas ransel dan memegang kamera.
Untuk sesaat Luang berpikir dia salah lihat. Namun kemudian, dia yakin
perempuan itu memang Meira, memakai jin biru dan kemeja flanel merah. Rambutnya
yang panjang diikat tinggi-tinggi ke tengah kepala.
“Kenapa
dia di sini?” Luang bertanya-tanya. Kemudian dia gelisah. Laki-laki di
samping Meira itu terlalu menarik untuk diabaikan. Usianya muda dan tentu saja
dia lebih cakap dalam hal apa pun, kecuali mungkin dalam soal menghasilkan
uang.
Luang tidak sanggup mengalihkan
pandangannya. Meira itu miliknya. Tidak mudah mendapatkannya. Dia nyaris putus asa, ketika sekilas dia
melihat Meira tersenyum kepadanya. Sebuah lampu peluang.
Meira tidak seperti perempuan
lainnya. Dia beda dan tidak sekali pun, Luang berpikir bakal melepasnya. Tidak
akan, tangannya mengepal.
“Ada apa, Pak?” Salah satu timnya memegang pundaknya.
“Tidak apa-apa,” jawabnya sambil
meremas tangan. Kemudian, dia berusaha rileks. Namun, alih-alih perasaannya
membaik justru dia merasa semakin kacau. Dia ingin menangis, dan itu membuatnya
bingung dengan dirinya sendiri. Sudah sejauh itukah dampak kehadiran Meira
kepadanya?
Dirinya adalah lelaki sejati. Dia tidak bisa membiarkan Meira
mengendalikannya. Tidak juga dia rela
Meira menduakannya.
Perempuan simpanan adalah sebuah
peran. Setiap peran ada syaratnya dan syarat darinya adalah setia. Walaupun
dirinya jelas tidak setia pada apa pun dan siapa pun, kecuali pada dirinya
sendiri.
Namun, hanya sejauh itukah status Meira? Perempuan simpanan? Dia bertanya pada dirinya sendiri.
Saat itu juga Luang tahu jawabannya. Tidak.
*
Luang melihat, bersama wartawan
lainnya Meira berjalan mendekatinya. Tim
suksenya sudah memberitahu akan ada sesi wawancara. Yang tidak diketahui Luang,
Meira ada di antara pewarta itu.
Baru saja beberapa jam yang lalu
mereka bersama. Kini keduanya serupa orang asing bagi masing-masing yang lain.
Kemudian, Meira menyodorkan mikrofon ke wajah Luang.
Seketika Luang gugup. Meira yang
anggun dan berwibawa khas wanita berwawasan. Dia indah melebihi bunga mana pun
yang pernah dilihatnya.
“Kenapa Bapak tidak pernah membawa
Ibu ketika berkampanye?” Luang limbung. Dia tidak menyangka pertanyaan seperti
itu yang akan didapatnya.
“Berkampanye itu artinya menghadapi
tantangan dan tantangan tidak ada yang bikin nyaman. Sedangkan saya ingin dia
selalu merasa nyaman, karena itu saya tidak pernah mengajaknya. Saya lebih suka
bepergian sendiri, maksud saya berkampanye.”
“Hal apa saja yang dilakukan istri
Bapak demi membantu Bapak memenangkan pemilu ini untuk kedua kalinya?”
Pertanyaan dari pewarta yang lain.
“Peran istri saya sangat besar
sekali dan saya rasa saya tidak perlu mengungkapkannya. Itu tidak penting untuk
diketahui masyarakat. Yang jelas dialah pendukung utama cita-cita saya.” Luang
mengakhiri kalimat itu dengan tersenyum.
“Apa Ibu tidak khawatir kalau Bapak
main belakang?” Meira bertanya lagi.
“Apa?” Untuk sesaat Luang
terperangah. Mana bisa begitu pertanyaan
Meira. Luang seketika geram. Kesadarannya kalau dialah yang harus memegang
kendali, kembali.
“Ibu tahu saya seorang lelaki yang
setia.” Sengaja Luang memberikan jeda.
“Dan saya akan setia kepadanya, selamanya.” Dia dan Meira sama-sama tahu
itu tidak benar. “Saya sangat mencintainya.” Lewat kalimat itu Luang menitipkan
pesan kalau istrinya tidak akan pernah menjadi pilihan dibandingkan dengan
wanita mana pun, termasuk Meira. Namun, bukan berarti Meira boleh lepas
darinya.
Apa maksud Meira dengan pertanyaannya itu? Apa dia cemburu? Luang bertanya-tanya. Dari dalam
mobil, dia memperhatikan Meira diantara kerumunan teman-temannya. Mereka sedang
berbagi makanan. Lelaki kameramen
mengunyah. Sedangkan Meira sendiri tertawa. Tawa topeng, Luang tahu kalimatnya
tadi berefek sedih kepadanya.
*
Behari-hari Luang tidak menemui
Meira. Dia juga tidak meneleponnya. Tidak juga dia mencari postingan terbaru
perempuan itu.
Sudah sempat Luang berpikir, kalau
hubungannya dengan Meira berakhir begitu saja. Hanya dari sebuah wawancara yang
untuk apa dilakukan? Apakah wawancara itu akan mengundang penonton yang banyak?
Luang merasa itu mustahil. Kecuali, dirinya ketahuan selingkuh, baru hal itu
menarik minat orang-orang.
Luang menyesap kopinya. Sekarang
sudah masa tenang. Namun, dia seperti orang yang linglung padahal sedang berada
di rumah. Kemudian, pada istrinya dia berpamitan hendak jalan-jalan sendiri.
Membebaskan diri dari pikiran tentang pemilu, katanya. Istrinya menggangguk.
Sebab hal itu sudah Luang lakukan sejak mereka masih pasangan baru.
Jalan-jalan sendiri artinya dia
membawa mobil sendirian. Mobil butut yang tidak dikenali orang-orang, kecuali
orang terdekat Luang. Setelan pakaian dan sepatunya seperti orang yang hendak
berolahraga. Dipakainya topi dan masker,
juga kacamata.
Beberapa menit kemudian, dia
memarkir mobilnya di samping lapangan sepak bola di kompleks perumahan Meira.
Tidak ada siapa-siapa di sana. Luang memperhatikan. Kemudian, dia menengok jam
tangannya. Perilaku konyol karena ponsel yang sedang ditatapnya menampilkan jam
digital.
Luang pun menyadari kalau itu
pengaruh gugup. Gugup yang mengingatkan dia ketika Meira melemparinya
pertanyaan menghentak. Napasnya berat. Luang sangat membenci situasi ini,
menjadi seseorang yang bukan pengendali.
Jemarinya sedikit gemetar saat
menekan nama Meira. Ditunggunya nada sambung yang menyebalkan itu berganti
dengan nada akrab yang dipujanya.
“Halo.” Nada itu, nada orang baru
bangun. Luang lega karena itu artinya kesadaran Meira belum seratus persen.
“Mau ketemu?”
“Apa?”
“Aku ada di sisi lapangan. Kalau
dalam lima belas menit kau tidak datang aku pergi.”
“Oke,” jawab Meira. Nadanya acuh tak
acuh membuat Luang geram.
*
Lima belas menit itu serupa lima
belas jam. Rasanya lama sekali, Luang merasa kalut. Dia merindui perempuan itu
setengah mati. Kalau Meira tidak datang, dia memutuskan akan memarkir mobilnya
di depan rumah perempuan itu. Ini gila,
pikirnya. Dia benar-benar kehilangan kendali sekarang, pada dirinya juga pada
Meira.
Disentuhnya layar ponsel itu. Empat
belas menit, tersisa satu menit. Setelah itu, dia akan menelepon Meira. Lalu,
bunyi pintu berayun terbuka, Meira masuk dan suasana di dalam mobil pun
berubah.
Luang masih cukup waras untuk tidak
merengkuh Meira. Namun, matanya merah dan bibirnya getar. Ditatapnya perempuan
itu yang memandang ke depan ke jalan kosong.
“Kau ….” Luang tidak mampu
melanjutkan kalimatnya. Napasnya sesak.
“Aku adalah mainanmu, bukan?”
“Apa?”
“Statusku tidak lebih dari perempuan
selingan.”
Simpanan, pikir Luang. “Kenapa
kau bilang begitu?”
“Sebab begitulah kenyataannya.”
“Siapa yang bilang?”
“Aku.”
“Kau tidak seperti itu.”
“Lalu apa?”
“Kau … adalah candu. Aku tidak bisa
meninggalkanmu, tetapi tidak bisa juga aku sepenuhnya memilikimu.”
“Kenapa?”
“Aku punya istri dan aku
mencintainya.”
“Benar. Benar juga kan perkataanku.
Aku hanya selingan.” Tangis Meira pecah. Ini
salah, ini salah, pikir Luang.
“Ra.” Luang takut-takut bicara.
“Apa arti diriku?” Meira
menghentikan tangisannya.
“Gula-gula kehidupan,” spontan Luang
menjawab.
Akhirnya Meira menoleh kepadanya.
“Tanpa diriku, kau bisa tetap melanjutkan hidup ‘kan? Karena aku hanyalah
gula-gula kehidupan sedangkan istrimu pasti hidangan utama kehidupan.” Seketika
Luang terkesiap. Sebab itu seratus persen benar.
“Meira, aku mencintaimu.”
“Sialnya aku. Aku juga mencintaimu.”
Luang tersenyum. Ditatapnya Meira yang kini kembali memandang jalanan.
“Ada tempat makan baru yang enak?”
Meira mengangguk. Kemudian dia
menyebutkan sebuah jalan. Ke sanalah mereka pergi dan tanpa diskusi lagi.
Permainan ini tidak akan berakhir, pikir Luang. Tidak akan pernah.
B, 8 Januari 2024