Sebuah Harapan pada Perahu Kertas - Borsalino
Sebuah Harapan pada Perahu KertasBorsalino
𝑆𝑢𝑛𝑦𝑖 𝑚𝑒𝑟𝑒𝑛𝑔𝑘𝑢ℎ 𝑠𝑒𝑝𝑒𝑟𝑡𝑖 𝑘𝑢𝑏𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 ℎ𝑖𝑡𝑎𝑚
𝑎𝑘𝑢
𝑡𝑒𝑟𝑑𝑎𝑚𝑝𝑎𝑟
𝑑𝑖 𝑎𝑛𝑡𝑎𝑟𝑎 𝑘𝑒𝑘𝑜𝑠𝑜𝑛𝑔𝑎𝑛
𝑑𝑎𝑛 ℎ𝑎𝑟𝑎𝑝𝑎𝑛
𝑚𝑎𝑡𝑖
𝑙𝑎𝑢𝑡
𝑚𝑒𝑛𝑐𝑎𝑏𝑖𝑘 𝑠𝑒𝑡𝑖𝑎𝑝
𝑠𝑒𝑟𝑝𝑖ℎ𝑎𝑛 𝑖𝑚𝑝𝑖𝑎𝑛
𝑗𝑎𝑛𝑗𝑖-𝑗𝑎𝑛𝑗𝑖
𝑙𝑎𝑚𝑎—𝑡𝑒𝑛𝑔𝑔𝑒𝑙𝑎𝑚
𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘𝑝𝑎𝑠𝑡𝑖𝑎𝑛
Langit
merah berkarat menggantung di ujung cakrawala, menyisakan jejak-jejak senja
yang terbakar. Dari bibir pantai, mataku menyapu lepas—batas kabur antara air
dan angkasa. Setiap kali terduduk di sini, aku selalu membawa kanvas lusuh
dengan kuas-kuas yang sudah menipis bulunya. Tanganku bergerak bak melantunkan
syair bisu, mencipta ulang bentuk perahu dengan layar terkembang, berharap
dengan setiap goresan bayangan wajahnya akan muncul kembali dari kejauhan.
Arja
namanya. Lima musim penghujan telah menumbuhkan lumut-lumut di relung
penantianku, sejak ia melipat janji untuk kembali dari negeri jiran. Lima tahun
yang terasa seperti seabad penuh muram durja.
“Aku
pasti akan kembali, Leha.” Begitu katanya waktu itu dengan senyum penuh
keyakinan yang kini hanya menyisakan luka. “Hanya dua purnama. Setelahnya, kita
akan membangun pondok ilalang di tepi laut ini.”
Ia
meninggalkan Karangsemak dengan perahu kayu bercat pudar, bertekad mencari
peruntungan di seberang lautan. Ketika itu, angin kelaparan baru saja melanda
kampung. Kebun-kebun mengering, laut yang dulu murah hati kini mengepal
ikan-ikannya. Bagi anak-anak muda, tidak ada jalan selain mengembara.
Jemariku
terus menari di atas kanvas. Riak-riak kecil menjilati kaki telanjang yang
terendam pasir basah. Lukisan ke-1825, satu untuk setiap nadi yang berdetak
dalam penantian panjang. Terkadang, perahu-perahu itu mengembang menantang
badai, kadang pula melipat pasrah pada angin. Dan selalu sama—perahu yang
merenggutnya dari dekapan.
Aku
lepaskan kertas dari bingkai kanvas dengan gerakan hati-hati. Lipatan demi
lipatan, jemari yang telah kasar oleh tiupan angin bahari membentuk perahu
kertas. Ritual yang aku mulai sejak tahun ketiga, ketika surat-surat berbalut
rindu kembali tanpa pernah menjangkau tangannya.
“Semoga
angin membisikkan jalan pulang di telingamu,” aku berbisik pada udara kosong,
melepaskan perahu kertas ke dalam pelukan ombak. Air asin menggenggam,
menariknya ke tempat yang mungkin sama dengan tempat di mana Arja berada saat
ini.
𝑂𝑚𝑏𝑎𝑘
𝑚𝑒𝑚𝑏𝑎𝑤𝑎 𝑐𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎
𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑚𝑏𝑢𝑛𝑦𝑖
—𝑑𝑎𝑟𝑖
𝑚𝑖𝑚𝑝𝑖-𝑚𝑖𝑚𝑝𝑖
𝑙𝑢𝑘𝑎
—𝑑𝑎𝑟𝑖
ℎ𝑎𝑡𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑟𝑎𝑛𝑎
ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎
𝑡𝑒𝑛𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑢𝑛𝑔𝑔𝑢,
𝑑𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑢𝑠 𝑚𝑒𝑛𝑢𝑛𝑔𝑔𝑢
𝑎𝑘𝑎𝑛𝑘𝑎ℎ 𝑗𝑎𝑛𝑗𝑖-𝑗𝑎𝑛𝑗𝑖 𝑖𝑡𝑢 𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑡𝑒𝑚𝑢?
Mbok
Sarinah, pemilik warung serabi di persimpangan jalan menuju pantai, memandangku
dengan tatapan belas kasihan yang sudah sangat kuhafal. “Masih teguh, Leha?”
tanyanya dengan nada yang sama, hari demi hari.
Aku
hanya mengangguk tanpa menghentikan langkah. Tidak ingin terperangkap dalam
nasehatnya tentang betapa aku menyia-nyiakan kesuburan masa muda. Tentang
bagaimana Pranata—putra lurah desa—yang masih mengharapkanku meski sudah
berulang kali aku menolaknya.
“Mereka
yang ditelan selat tidak selalu memuntahkan kembali orangnya, Leha.” Suaranya
mengejar punggungku. “Seperti almarhum bapakmu dulu.”
Kata-katanya
menggema di lorong telinga, menikam bagai sembilu tak kelihatan. Benar, Bapak
juga seorang pengembara samudra. Pergi saat aku baru mengenal nama-nama benda,
tak pernah menyentuh tanah kelahiran lagi. Ibu bilang, teluk telah menghisapnya
ke dasar. Tapi aku tahu, lautan punya bahasa sendiri untuk menyimpan dan
mengembalikan.
“Arja
bukan seperti yang lain,” jawabku tanpa menoleh. Telapak kaki terus membawa
menyusuri jalan tanah berbatu menuju gubuk sederhana di punggung bukit yang
menghadap gelombang. Rumah peninggalan Ibu yang kini hanya dihuni oleh
bisikan-bisikan dan bayangan masa lalu.
Di
meja tua bersudut kasar, tumpukan surat bertinta luntur menunggu dalam diam.
Surat-surat yang tak pernah sampai, kembali dengan cap merah “Alamat tidak ditemukan”. Nama
perusahaan konstruksi di Kuala Daya di mana Arja berjanji akan mengukir nasib.
Aku
membuka jendela kayu yang engselnya sudah berkarat, membiarkan angin pantai
menyelinap masuk bersama aroma garam dan ganggang. Di dinding kamar, ratusan
sketsa wajah Arja terpampang dengan tawa lebarnya yang memperlihatkan gigi
gingsul di sisi kanan, Arja dengan tatapan tajam yang selalu menerawang jauh,
Arja dengan lipatan dahi yang muncul saat ia merasa gelisah.
“Di
mana kau bersembunyi?” tanyaku pada gambar-gambar itu, seperti yang kulakukan
setiap malam sebelum tidur.
Hanya
suara jangkrik mengerik dan dengung nyamuk yang menjawab.
𝐴𝑘𝑢
𝑚𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔𝑖𝑠 𝑝𝑎𝑑𝑎
𝑓𝑜𝑡𝑜 𝑢𝑠𝑎𝑛𝑔
𝑠𝑒𝑗𝑢𝑚𝑝𝑢𝑡
𝑘𝑒𝑛𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔
𝑚𝑢𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑒𝑚𝑢𝑑𝑎𝑟
—𝑠𝑒𝑛𝑦𝑢𝑚
—𝑠𝑎𝑘𝑖𝑡
—𝑎𝑚𝑎𝑟𝑎ℎ
𝑚𝑒𝑛𝑔𝑖𝑘𝑖𝑠
𝑠𝑒𝑝𝑒𝑟𝑡𝑖 𝑔𝑎𝑟𝑎𝑚
𝑚𝑒𝑚𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑗𝑎
𝑠𝑖𝑙𝑢𝑒𝑡
ℎ𝑎𝑟𝑎𝑝𝑎𝑛 𝑡𝑎𝑚𝑝𝑎𝑘
𝑠𝑎𝑚𝑎𝑟 𝑑𝑖 𝑢𝑗𝑢𝑛𝑔
𝑐𝑎𝑘𝑟𝑎𝑤𝑎𝑙𝑎
𝑠𝑒𝑚𝑒𝑛𝑡𝑎𝑟𝑎 𝑟𝑖𝑛𝑑𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝 𝑑𝑖 𝑠𝑒𝑙𝑎-𝑠𝑒𝑙𝑎 𝑎𝑖𝑟 𝑚𝑎𝑡𝑎
“Maaf,
aku tidak bermaksud mengganggumu.”
Suara
itu memecah lamunan panjang. Aku berpaling, mendapati seorang lelaki setengah
baya berdiri beberapa langkah dari tempat dudukku di pasir. Tangannya
menggenggam kamera, dan dari pakaiannya yang tidak lusuh, aku tahu dia bukan
dari penduduk pesisir.
“Aku
melihatmu melukis dari kejauhan,” tambahnya lagi, sedikit mendekat. “Boleh aku
melihatnya?”
Tanganku
secara naluriah langsung menutupi lukisan yang belum selesai. “Tidak ada yang
istimewa,” jawabku sekenanya.
Ia
tersenyum, seulas senyum yang tidak mencapai matanya yang redup. “Aku Bara,
seorang juru potret dari Kota Wangsa. Sedang mengerjakan dokumentasi tentang
kehidupan masyarakat tepi air.”
Aku
tidak menjawab, hanya menunduk dan melanjutkan goresan kuas. Berharap ia akan
menyingkir jika aku mengacuhkannya.
“Apa
itu kebiasaanmu? Melukis lalu menjadikannya perahu?” katanya lagi. “Aku
memperhatikanmu sejak matahari berganti tiga kali.”
Tanganku
berhenti mendadak. “Kau menguntitku?”
Ia
tertawa pelan. “Tidak, jangan salah paham. Aku hanya merasa tertarik. Baru kali
ini aku melihat perempuan melukis di pantai, lalu membuat perahu kertas dari
lukisannya dan melepaskannya ke laut.”
“Itu
bukan urusanmu,” ketusku.
Ia
mengambil tempat duduk di samping, cukup jauh untuk tidak melanggar batas,
namun cukup dekat untuk mengamati gerakan halus kuasku.
“Ada
seseorang yang kamu tunggu? Atau ...”
Itu
sama sekali bukan pertanyaan, tapi kesimpulan. Tidak akan kujawab, biarkan
saja.
“Sudah
berapa lama?” tanyanya lagi.
“Lima
tahun.”
“Dan
selama itu kamu membuat perahu kertas ini?”
“Setiap
senja. Tidak pernah terlewat.”
Ia
mengangguk perlahan. “Dulu, aku pernah bekerja di tanah seberang. Banyak
pekerja dari Nusantara di sana yang terhalang untuk kembali.”
Tiba-tiba dadaku seperti dihujam belati tumpul. “Apa maksudmu?”
“Banyak.
Ada yang terjerat utang pada calo pengantar. Ada yang terlibat masalah hukum
negeri orang. Ada yang menemukan kehidupan baru dan memilih tidak berpaling
pada masa lalu.”
“Dia
bukan orang yang seperti itu,” bantahku. “Ia berjanji akan menemui dan kembali
padaku.”
Bara
mengangkat tangannya, dengan gestur menyerah. “Aku paham. Lagipula aku hanya
ingin kamu tahu, bahwa terkadang, penantian tidak selalu bermuara sesuai
keinginan.”
Aku
menatap wajahnya tajam. “Kau tidak tahu tentang kami!”
“Itu
benar,” jawabnya. “Aku tidak tahu tentang kalian. Tapi aku tahu seperti apa
rasanya kehilangan.”
Ada
sesuatu dalam getaran suaranya yang mengendurkan amarahku. Seperti denyut luka
yang belum menutup sempurna.
“Kekasihku,”
lanjutnya, “Saat gempa dan tsunami besar di Teluk Parwata, kami sedang berbulan
madu saat bencana itu datang. Aku hanya terbawa hanyut, sementara ... dia
terhisap ke dalam pusaran air.”
Angin
laut tiba-tiba terasa mengiris kulit. “Aku turut berduka.”
Ia
menggeleng, menatap jauh cakrawala. “Tidak perlu. Aku hanya ingin bilang, aku
memahami apa artinya menunggu sesuatu yang mungkin tidak akan pernah
menampakkan wujudnya.”
Kami
tenggelam dalam kebisuan, membiarkan deru ombak mengisi kekosongan. Lukisan
telah selesai, aku melipatnya menjadi perahu, dan melepaskannya ke laut seperti
biasa. Bara tidak berkata apa-apa, hanya mengabadikan momen dengan kameranya.
“Boleh
aku menemuimu lagi besok?” tanyanya, saat aku hendak melangkah pergi.
Entah
mengapa, kepalaku mengangguk tanpa perintah.
𝑅𝑎𝑠𝑎
𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑟𝑑𝑢𝑔𝑎
𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑔𝑖𝑡𝑢
𝑠𝑎𝑗𝑎
𝑑𝑖
𝑎𝑛𝑡𝑎𝑟𝑎 𝑚𝑖𝑚𝑝𝑖
𝑑𝑎𝑛 𝑛𝑦𝑎𝑡𝑎
𝑡𝑖𝑏𝑎-𝑡𝑖𝑏𝑎
𝑖𝑎 𝑎𝑑𝑎, 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑎𝑤𝑎
𝑠𝑒𝑟𝑡𝑎 𝑎𝑠𝑎—𝑝𝑎𝑑𝑎
𝑟𝑒𝑙𝑢𝑛𝑔 𝑗𝑖𝑤𝑎
𝑘𝑒𝑛𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛
𝑙𝑎𝑚𝑎, 𝑠𝑒𝑜𝑙𝑎ℎ
𝑡𝑒𝑟𝑠𝑎𝑝𝑢 𝑜𝑙𝑒ℎ
𝑠𝑒𝑛𝑦𝑢𝑚𝑛𝑦𝑎
𝑎𝑝𝑎
𝑖𝑛𝑖 … 𝑝𝑒𝑛𝑎𝑛𝑡𝑖𝑎𝑛
𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑎𝑘𝑢 𝑑𝑎𝑚𝑏𝑎
𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑖𝑛𝑖?
Bara
datang keesokan harinya. Dan hari berikutnya. Dan berikutnya lagi. Ia tidak
banyak berbicara, hanya duduk di sisiku, kadang memotret pemandangan, kadang
hanya memandangi riak air. Kehadirannya yang sunyi menjadi semacam penghibur
yang tak terduga.
Pada hari kesepuluh, ia membawa dua cangkir teh dalam termos kecil. “Dari Mbok Sarinah,” katanya, menyodorkan satu cangkir padaku. “Kata beliau, kamu suka teh dengan sedikit gula merah.”
Aku
menerima cangkir itu dengan ragu. “Kamu ngobrol apa saja dengannya tentangku?”
Ia
mengangkat bahu. “Sulit untuk tidak membicarakanmu di perkampungan sekecil ini.
Kamu ibarat kisah hidup yang dipuja.”
“Kisah
hidup?”
“Perempuan
teguh yang menanti kekasihnya kembali dari cengkeraman laut. Seperti Siti
Nurbaya versi baru.”
Aku
tersenyum getir. “Siti Nurbaya meregang nyawa karena hati yang patah!”
“Dan
kamu masih bernapas,” balasnya. “Itulah yang menjadikanmu lebih tangguh
darinya.”
Kami
menyesap teh dalam diam, memandangi matahari yang mulai tenggelam di peraduan.
Lukisanku hari itu berbeda dari biasanya. Bukan perahu layar dengan langit
sebagai latar, melainkan potret Arja yang kulukis dari serpihan kenangan.
Rahang tegasnya, mata jelaga yang dalam, rambut ikal yang selalu berantakan
tertiup angin.
“Dia
rupawan,” komentar Bara.
“Ya,”
jawabku singkat, melihat lukisan itu menjadi perahu kertas. Namun kali ini,
tanganku gemetar, membuat perahu itu tidak sempurna seperti biasanya.
“Kamu
baik-baik saja?” tanya Bara, yang mungkin menyadari perubahan sikapku.
Air
mata turun tanpa permisi, menitik di atas kertas, membuat warna cat menyebar
tidak beraturan. “Aku tidak mampu lagi mengingat bagaimana suaranya,” bisikku.
“Aku berusaha, tapi aku tidak bisa.”
Bara
tidak berkata apa-apa, hanya mengulurkan sapu tangan lusuh. Aku menolaknya,
membiarkan air mata mengalir bebas seperti hujan di musim kemarau.
“Lima
tahun,” kataku terisak. “Lima tahun, 1825 lukisan dan aku mulai kehilangan
jejak bagaimana caranya tertawa.”
“Ingatan
memang selalu berkhianat,” jawab Bara pelan. “Semakin kita genggam erat,
semakin lekas menguap.”
Bara
menatapku dengan sorot yang sulit diterjemahkan. “Hati memiliki mata yang tak
pernah rabun, meski pikiran mungkin kabur.”
Aku
melepaskan perahu kertas itu ke laut, menatapnya tenggelam perlahan. “Kadang
aku dirundung ketakutan,” lirihku. “Takut ia tidak akan pernah kembali. Takut
semua ini hanya penantian yang sia-sia.”
“Dan bagaimana jika itu semua hanya sia-sia?” tanya Bara hati-hati.
Aku
menatap matanya, mencari jawaban yang tidak pernah berani aku tanyakan pada
diri sendiri. “Aku tidak tahu,” jawabku jujur. “Seluruh hidupku, lima tahun
belakangan hanya berputar pada penantian. Bahkan, aku hampir tidak mengenal
lagi siapa diriku.”
Bara
mengangguk, seolah memahami sesuatu yang bahkan tidak aku pahami sendiri.
“Kadang kita perlu kehilangan arah untuk menemukan jalan yang sejati,” ujarnya
penuh makna.
𝐽𝑎𝑛𝑡𝑢𝑛𝑔𝑘𝑢
𝑏𝑎𝑘 𝑑𝑎𝑢𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔
𝑔𝑢𝑔𝑢𝑟
𝑑𝑖
𝑎𝑛𝑡𝑎𝑟𝑎 𝑑𝑢𝑎
𝑚𝑢𝑠𝑖𝑚 𝑦𝑎𝑛𝑔
𝑏𝑒𝑟𝑏𝑒𝑑𝑎
—𝑦𝑎𝑛𝑔
𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑎𝑘𝑎𝑟𝑛𝑦𝑎
𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚
𝑚𝑒𝑛𝑔𝑖𝑘𝑎𝑡
𝑘𝑒𝑛𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔
𝑡𝑎𝑘 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑠𝑖𝑟𝑛𝑎
—𝑠𝑎𝑡𝑢𝑛𝑦𝑎
𝑙𝑎𝑔𝑖 𝑏𝑎𝑔𝑎𝑖
𝑝𝑢𝑐𝑢𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔
𝑚𝑎𝑠𝑖ℎ 𝑚𝑢𝑑𝑎
𝑚𝑒𝑛𝑎𝑤𝑎𝑟𝑘𝑎𝑛
𝑐𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎, 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘
𝑑𝑖𝑡𝑢𝑙𝑖𝑠 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑎𝑚𝑎
𝑑𝑖
𝑝𝑒𝑟𝑠𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛
𝑖𝑛𝑖 ... 𝑎𝑘𝑢 ℎ𝑒𝑛𝑖𝑛𝑔
𝑘𝑒𝑚𝑎𝑛𝑎𝑘𝑎ℎ
𝑙𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑖
𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑎𝑤𝑎𝑘𝑢?
Bulan
bergulir seperti roda pedati. Bara masih menetap di penginapan dekat pantai,
memperpanjang proyek yang seharusnya hanya berlangsung sepuluh hari. Setiap
senja, ia menemaniku melukis. Kadang ia membawa penganan, kadang buku tua,
kadang cerita dari pelosok negeri yang pernah ia jejaki.
Aku
mulai menantikan kehadirannya, meski tidak pernah mengakuinya secara
terang-terangan. Suatu hari, ketika hujan lebat menggagalkan ritual senja, Bara
datang ke rumah dengan membawa kotak kayu cendana.
“Apa
ini?” tanyaku kebingungan.
“Bukalah,”
jawabnya dengan senyum misterius.
Di
dalam kotak itu terdapat sebuah bingkai foto ukuran besar. Di dalamnya,
tersusun rapi, potret-potret perahu kertas buatanku yang mengapung di laut,
diabadikan dari berbagai sudut dan waktu. Di bagian bawah, terukir kalimat:
“1.825 Harapan Yang Dihanyutkan Ombak.”
Air
mataku menetes tanpa tertahan. “Kamu memotret semuanya?”
“Hanya
yang terbaru, sejak aku hadir dalam kisah ini,” jawabnya. “Tapi aku
menghitungnya dari ceritamu. 1.825, bukan?”
“Lebih
banyak sekarang. 1.872 perahu, tepatnya.”
Ia
tersenyum. “Aku ingin menanyakan sesuatu yang mungkin akan melukai perasaanmu?”
Aku
mengangguk ragu.
“Jika ... jika ia memang tidak kembali, sampai kapan kamu akan meneruskan penantian ini?”
Pertanyaan
itu mengusikku selama berhari-hari setelahnya. Tidak ada jawaban yang
menenangkan, tidak ada kepastian yang bisa aku rangkul. Hanya ada kerinduan
yang semakin luntur, dan kelelahan yang semakin menguasai setiap serat jiwa.
𝐶𝑖𝑛𝑡𝑎
𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎
𝑝𝑒𝑟𝑠𝑖𝑎𝑝𝑎𝑛
𝑙𝑒𝑚𝑏𝑢𝑡
𝑠𝑒𝑝𝑒𝑟𝑡𝑖 𝑒𝑚𝑏𝑢𝑛
𝑝𝑎𝑔𝑖
𝑚𝑒𝑟𝑎𝑗𝑢𝑡
𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑖𝑚𝑝𝑖-𝑚𝑖𝑚𝑝𝑖
𝑢𝑠𝑎𝑛𝑔
𝑚𝑒𝑛𝑦𝑖𝑠𝑎𝑘𝑎𝑛
ℎ𝑎𝑟𝑢𝑚 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑎𝑘
𝑡𝑒𝑟𝑙𝑢𝑘𝑖𝑠𝑘𝑎𝑛
𝑘𝑎𝑢—𝑚𝑒𝑚𝑏𝑎𝑤𝑎
𝑐𝑎ℎ𝑎𝑦𝑎 𝑡𝑖𝑝𝑖𝑠
𝑑𝑖 𝑢𝑗𝑢𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑛𝑗𝑎
𝑚𝑒𝑛𝑔𝑢𝑏𝑎ℎ
𝑚𝑒𝑑𝑎𝑛 𝑙𝑢𝑘𝑎
𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖
𝑡𝑎𝑚𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑘𝑎𝑐𝑖𝑡𝑎
“Dahulu,”
kataku pada Bara suatu senja, saat kami duduk bersisian di tepian pantai
seperti biasa, “aku percaya bahwa cinta sanggup meruntuhkan tembok ruang dan
waktu. Jika aku cukup setia, cukup sabar, ia akan merasakan kesetiaan ini dan
kembali menemuiku.”
Bara
mendengarkan dalam diam, seperti yang selalu ia lakukan.
“Tapi
sekarang ... sekarang aku gamang. Mungkin ia telah menemukan kebahagiaan di
tempat lain. Mungkin ia tidak pernah mencintaiku sedalam aku mencintainya.
Mungkin ... mungkin ia telah menyatu dengan dasar lautan.”
Aku
melukis perahu terakhir yang ke-1.900, dengan tangan bergetar. Bukan perahu
dengan layar terbentang seperti biasanya, melainkan perahu rusak dengan layar
tercabik. Potret ketakutan terdalam yang selama ini aku sembunyikan.
“Aku
lelah, Bara,” ucapku, untuk pertama kalinya mengucapkan apa yang selama ini aku
kunci rapat-rapat. “Aku lelah menunggu.”
Bara
menatapku lekat, matanya menyimpan pemahaman yang dalam. “Apa yang ingin kamu
lakukan sekarang?”
Aku
menatap lukisan perahu rusak di tangan, lalu hamparan laut yang membentang luas
di hadapan. Laut yang telah menelan 1.899 harapan sebelumnya.
“Melepaskan,”
jawabku lirih, melipat lukisan itu menjadi perahu untuk terakhir kalinya.
Kali
ini, saat melepas perahu kertas itu ke laut, aku tidak berbisik
"Kembalilah padaku" seperti biasanya. Melainkan, “Selamat jalan,
Arja. Semoga kebahagiaan menemukanmu, di mana pun kau berada.”
Perahu itu meluncur di atas air, terbawa arus menjauh, hingga menjadi titik kecil di kejauhan, lalu lenyap sama sekali—seperti harapan yang akhirnya aku relakan pergi. Air mata mengalir, bukan air mata kesedihan, melainkan air mata pelepasan. Lima tahun penantian, berakhir dalam satu momen.
Bara
menggenggam tanganku erat. Aku tidak menariknya, tidak melepaskannya.
𝐾𝑖𝑡𝑎
𝑗𝑎𝑙𝑖𝑛 ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑒𝑝𝑒𝑟𝑡𝑖
𝑎𝑘𝑎𝑟 𝑑𝑎𝑛 𝑏𝑢𝑚𝑖
—𝑠𝑎𝑙𝑖𝑛𝑔
𝑚𝑒𝑛𝑔𝑢𝑎𝑡𝑘𝑎𝑛
—𝑠𝑎𝑙𝑖𝑛𝑔
𝑏𝑒𝑟𝑝𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛
𝑐𝑖𝑛𝑡𝑎
𝑘𝑖𝑡𝑎 𝑏𝑎𝑔𝑎𝑖
𝑝𝑜ℎ𝑜𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑟𝑖𝑛𝑑𝑎𝑛𝑔
𝑡𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡
𝑏𝑒𝑟𝑡𝑒𝑑𝑢ℎ, 𝑑𝑎𝑟𝑖
𝑠𝑒𝑔𝑎𝑙𝑎 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑖
𝑘𝑒ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝𝑎𝑛
𝐾𝑖𝑡𝑎
𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑢𝑛𝑔𝑎𝑖
𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑡𝑒𝑚𝑢
𝑑𝑖 𝑚𝑢𝑎𝑟𝑎
𝑚𝑒𝑛𝑔𝑎𝑙𝑖𝑟
𝑏𝑒𝑟𝑠𝑎𝑚𝑎—𝑚𝑒𝑛𝑢𝑗𝑢
𝑙𝑎𝑢𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑎𝑘
𝑡𝑒𝑟ℎ𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎
𝑛𝑎𝑚𝑢𝑛
...
𝑙𝑎𝑛𝑔𝑖𝑡
𝑡𝑖𝑏𝑎-𝑡𝑖𝑏𝑎 𝑚𝑢𝑟𝑎𝑚
𝑎𝑛𝑔𝑖𝑛
𝑚𝑒𝑟𝑎𝑢𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑑𝑖ℎ𝑎𝑛
𝑜𝑚𝑏𝑎𝑘
𝑚𝑒𝑛𝑔𝑎𝑚𝑢𝑘 𝑡𝑎𝑘
𝑡𝑒𝑟𝑡𝑎ℎ𝑎𝑛
𝑠𝑢𝑛𝑔𝑔𝑢ℎ
... 𝑎𝑘𝑢 𝑡𝑎𝑘 𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛
𝑘𝑒ℎ𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛—𝑠𝑒𝑝𝑎𝑟𝑢ℎ
𝑗𝑖𝑤𝑎𝑘𝑢, 𝑙𝑎𝑔𝑖
Dua
tahun kemudian, aku berdiri di atas perahu nelayan, memandang matahari terbenam
di ujung cakrawala. Di samping, Bara mengarahkan lensa kameranya—mengabadikan
momen yang sama yang telah ia abadikan ratusan kalinya.
Kami
menikah di awal musim hujan tahun lalu, upacara sederhana di hamparan pasir
tempatku dulu selalu menunggu. Mbok Sarinah tersenyum lega saat menaburkan
bunga melati di atas kepalaku, dan berbisik, “Akhirnya kau terbebas, Leha.”
Dan
aku memang bebas. Bebas dari penantian yang mengurung, bebas dari kenangan yang
membelenggu. Bara mengajariku melihat dunia melalui mata kamera, melihat
keindahan dalam hal-hal sederhana yang dulu tidak pernah kuhiraukan.
“Lihat,”
kata Bara, menunjuk ke arah matahari yang tenggelam. “Bukankah ini sempurna
untuk potret terakhir dalam buku kita?”
Proyek
kami—buku fotografi tentang kehidupan masyarakat pesisir—akan diterbitkan bulan
depan. Namaku dan namanya akan tercetak berdampingan di sampul: Fotografi oleh
Bara. Narasi oleh Leha.
“Sempurna,”
jawabku tersenyum.
Tiba-tiba, angin kencang bertiup dari tengah laut, mengguncang perahu kami. Awan gelap bergulung-gulung di kejauhan, pertanda badai merangkak mendekat. “Kita harus kembali ke daratan,” kata Bara, penuh kekhawatiran.
Tapi
terlambat. Gelombang semakin tinggi, perahu kami terombang-ambing bagai daun
kering di musim gugur. Wajah Bara memucat, tangannya gemetar saat berusaha
mengendalikan kemudi.
“Bara?”
tanyaku cemas.
Ketakutan
menyelimuti seluruh tubuh. Kami telah terlalu jauh dari pantai, dan badai
semakin ganas. Ombak besar menghantam perahu, membuatnya oleng tak terkendali.
Bara terlempar ke laut.
“BARAAA!”
teriakku, berusaha meraih tangannya yang menggapai-gapai permukaan.
Terlambat.
Bara lenyap ditelan buih gelombang. Aku berusaha mencari sosoknya, tapi
kegelapan dan ombak membuat segalanya mustahil.
“Bara!”
teriakku putus asa.
Tidak
ada jawaban. Hanya amukan badai dan deru ombak. Aku terlempar dari perahu,
mencoba berenang sebisaku kembali ke sisa-sisa puing perahu. Kulihat kamera
Bara mengapung di permukaan. Aku meraih dan memeluknya erat. Air mata bercampur
dengan air laut yang terasa semakin pahit.
Hujan
turun dengan lebatnya, kilat menyambar-nyambar, seolah langit pun ikut meratapi
nasib buruk ini. Sisa perahu terus terombang-ambing, semakin jauh dari daratan,
semakin dalam ke tengah perairan.
Aku
menggigit bibir hingga berdarah, mencoba menahan isak tangis. Rasa sesak yang
sama, rasa kehilangan yang sama, seperti mimpi buruk yang berulang.
“Jangan
lagi,” bisikku pada angin laut. “Kumohon, jangan ambil lagi orang yang
kucintai.”
Tapi
laut seolah tidak mendengar. Ia merenggut Bara dariku, seperti ia merenggut
Arja dulu. Dan sekarang, mungkin akan merenggutku juga.
Saat
aku mulai lelah, aku memandang langit gelap dengan tatapan kosong. Sensasi
tenggelam perlahan terasa tidak asing—seperti perasaan menunggu yang dulu aku
rasakan setiap hari. Menunggu sesuatu yang tidak pernah datang. Menunggu dalam
ketidakpastian tanpa ujung.
Aku
menggenggam kamera Bara erat-erat, menyelipkan sehelai kertas di
dalamnya—sketsa terakhir, potret kami berdua yang selalu aku bawa ke mana pun
pergi.
Mungkin ... mungkin hidup
memang tentang menunggu. Menunggu bahagia, menunggu duka, menunggu mati.
Pandanganku
mulai kabur. Di kejauhan, aku melihat siluet perahu besar mendekat. Entah
nyata, entah halusinasi di ambang maut.
Dalam
ketidaksadaran yang semakin menelan, di antara dingin yang menusuk sumsum, aku
merasakan sepasang tangan kuat menarik tubuh dari air. Suara-suara samar,
teriakan panik, dan wajah-wajah asing berputar dalam penglihatan yang semakin
mengabur.
𝐾𝑖𝑛𝑖
...
𝑠𝑒𝑛𝑗𝑎
𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑙𝑢𝑘𝑖𝑠𝑎𝑛
𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 𝑤𝑎𝑟𝑛𝑎
ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎
𝑔𝑎𝑟𝑖𝑠 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑏𝑢
—𝑚𝑒𝑚𝑏𝑒𝑛𝑡𝑎𝑛𝑔
ℎ𝑎𝑚𝑝𝑎!
𝑑𝑒𝑟𝑚𝑎𝑔𝑎
ℎ𝑎𝑡𝑖 𝑠𝑢𝑛𝑦𝑖 𝑘𝑒𝑚𝑏𝑎𝑙𝑖,
ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑠𝑖𝑠𝑎-𝑠𝑖𝑠𝑎
𝑚𝑒𝑚𝑜𝑟𝑖 𝑏𝑒𝑟𝑔𝑒𝑚𝑢𝑟𝑢ℎ
𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 ℎ𝑒𝑛𝑡𝑖!
—𝑠𝑖𝑎𝑙!
𝑎𝑘𝑢
𝑔𝑎𝑔𝑎𝑙 𝑙𝑎𝑔𝑖
...
𝑏𝑎ℎ𝑡𝑒𝑟𝑎
𝑐𝑖𝑛𝑡𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔
𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑎𝑘𝑢 𝑖𝑚𝑝𝑖𝑘𝑎𝑛
𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑖𝑛𝑖
ℎ𝑎𝑛𝑐𝑢𝑟,
𝑡𝑒𝑟ℎ𝑒𝑚𝑝𝑎𝑠 𝑟𝑒𝑎𝑙𝑖𝑡𝑎
𝑝𝑖𝑙𝑢!
“Bertahanlah!”
Sebelum
kesadaran hilang sepenuhnya, sekilas aku melihat wajah di antara para
penyelamat itu. Wajah yang begitu akrab sekaligus asing. Wajah dengan
kerut-kerut baru, rambut yang lebih pendek, tapi mata yang sama—mata yang
pernah aku tatap bertahun-tahun lamanya dalam kenangan.
Arja...?
Mungkin
hanya khayalan. Mungkin hanya keinginan terakhir seorang perempuan yang tidak
pernah berhenti menunggu, meski telah belajar melepaskan.
Aku
teringat satu hal: perahu kertas terakhir yang aku lepaskan dua tahun lalu,
perahu dengan lukisan layar tercabik, perahu yang membawa pesan selamat
tinggal. Mungkin, setelah 1.900 kali mencoba, laut akhirnya memutuskan untuk
mengembalikan, bukan merenggut. Atau mungkin, seperti yang selalu dikatakan
Mbok Sarinah, laut memang selalu punya bahasanya sendiri yang tak pernah kita
pahami.
𝐷𝑖𝑎𝑚
𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑠𝑎
𝑝𝑎𝑙𝑖𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑦𝑎𝑦𝑎𝑡
𝑘𝑒𝑡𝑖𝑘𝑎
𝑘𝑎𝑢—𝑚𝑎𝑠𝑎 𝑙𝑎𝑙𝑢
𝑦𝑎𝑛𝑔 ℎ𝑎𝑑𝑖𝑟 𝑑𝑖
ℎ𝑎𝑑𝑎𝑝𝑎𝑛𝑘𝑢
𝑚𝑒𝑚𝑏𝑎𝑤𝑎
𝑠𝑒𝑟𝑡𝑎 𝑙𝑢𝑘𝑎
𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑠𝑒𝑏𝑎𝑔𝑎𝑖
𝑝𝑒𝑛𝑔𝑖𝑟𝑖𝑛𝑔
𝑡𝑎𝑤𝑎
𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘
𝑎𝑝𝑎?
𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘
𝑎𝑝𝑎, 𝑘𝑎𝑢 ℎ𝑎𝑑𝑖𝑟
𝑘𝑒𝑚𝑏𝑎𝑙𝑖
𝑠𝑖𝑎𝑝𝑎𝑘𝑎ℎ
𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ 𝑡𝑒𝑟𝑙𝑢𝑘𝑎?
𝑎𝑘𝑢
𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑢𝑛𝑔𝑔𝑢,
𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑘𝑎𝑢 𝑦𝑎𝑛𝑔
𝑝𝑒𝑟𝑔𝑖?
𝑠𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛
𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑘𝑢𝑏𝑢𝑟
𝑗𝑎𝑛𝑗𝑖-𝑗𝑎𝑛𝑗𝑖𝑚𝑢
𝑎𝑑𝑎𝑘𝑎ℎ
𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑖𝑠𝑎
𝑠𝑒𝑙𝑎𝑖𝑛 𝑖𝑟𝑜𝑛𝑖?
𝑝𝑒𝑟𝑔𝑖𝑙𝑎ℎ
𝑑𝑎𝑛 𝑙𝑢𝑝𝑎𝑘𝑎𝑛
𝑠𝑒𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘𝑛𝑦𝑎
𝑏𝑖𝑎𝑟𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑘𝑢
𝑚𝑎𝑡𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚
𝑑𝑎𝑚𝑎𝑖
—𝑡𝑎𝑤𝑎
𝑝𝑒𝑐𝑎ℎ
—𝑡𝑎𝑛𝑔𝑖𝑠
𝑟𝑒𝑠𝑎ℎ
—𝑙𝑒𝑛𝑦𝑎𝑝
𝑡𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑖𝑠𝑎
𝑙𝑒𝑝𝑎𝑠𝑘𝑎𝑛
𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔
𝑚𝑒𝑛𝑔𝑖𝑘𝑎𝑡𝑚𝑢
ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑖𝑡𝑢 𝑑𝑎𝑛
𝑚𝑎𝑠𝑎 𝑙𝑎𝑙𝑢
𝑏𝑢𝑎𝑛𝑔
𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔
𝑡𝑒𝑟𝑖𝑛𝑑𝑎ℎ—𝑦𝑎𝑛𝑔
𝑝𝑒𝑟𝑛𝑎ℎ 𝑘𝑖𝑡𝑎
𝑙𝑎𝑙𝑢𝑖 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑎𝑚𝑎
𝑎𝑛𝑡𝑎𝑟𝑎
𝑟𝑖𝑛𝑑𝑢 𝑑𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑝𝑢𝑡𝑢𝑠𝑎𝑠𝑎𝑎𝑛,
𝑠𝑖𝑎𝑝𝑎𝑘𝑎ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔
𝑚𝑒𝑛𝑎𝑛𝑔?