Sisa Pakansi - Jenny Seputro
Juara 3 Event Sailing
Sisa PakansiJenny Seputro
Sore itu hari kesembilan, amarah laut sepertinya telah mereda.
Ombak yang kemarin terasa membanting-banting kapal layar padat penumpang itu
sekarang tampak bersahabat. Kilau matahari sore membias di permukaan air. Angin
berembus cukup kencang, mendorong layar yang terbentang lebar.
Wolter Aldershof bersandar pada pagar kayu sederhana di pinggiran
dek. Bibirnya terasa asin terkena angin laut. Hidungnya mencium samar aroma
amis, dia tidak tahu apakah itu berasal dari lautan atau dari dapur kecil
tempat juru masak menyiapkan makan malam sekadarnya untuk para penumpang dan
kru.
Sambil memperhatikan orang-orang berlalu-lalang, Wolter menarik
napas panjang dan mengembuskannya pelan-pelan. Tidak ada orang Belanda selain
dirinya di kapal itu. Memang kebanyakan kapal layar hanya digunakan oleh
masyarakat lokal yang semuanya warga pribumi. Orang Belanda tentu akan memilih
naik kapal uap, selain jauh lebih nyaman, waktu tempuhnya hanya empat-lima
hari.
Wolter sudah tidak sabar. Perjalanannya dari Sampit selain
berbahaya dan melelahkan, juga sangat membosankan.
Ah, sebenarnya bukan hanya bosan. Rasa penasaran, girang,
khawatir, bahkan ketakutan berpadu jadi satu. Dia akan bertemu lagi dengan
Saodah, cinta pertamanya, cinta satu-satunya. Namun, tiga belas tahun bukan
waktu yang singkat, apalagi tanpa saling berkirim kabar.
Kata seorang kelasi, besok siang mereka sudah bisa berlabuh di
Tanjung Perak. Setelah itu pelayarannya akan berlanjut sekitar lima hari ke
Batavia, disambung dengan perjalanan darat menuju Bandoeng.
Seperti apakah Bandoeng sekarang ini? Masihkah sama dengan dulu
ketika dia menjabat sebagai controleur[1]
di Afdeling[2]Parakanmuncang,
mengawasi perkebunan teh? Ayah Saodah seorang pekerja di perkebunan itu.
Terkadang Saodah datang mengantarkan makanan. Beberapa kali mereka berpapasan
tanpa bertukar sapa. Gadis bermata bening itu hanya tersenyum kepadanya.
Suatu hari Wolter datang ke pasar malam yang diadakan sepekan untuk merayakan panen perkebunan. Di antara para penjaja kue dan gula-gula, dia melihat Saodah. Bungkusbungkus kecil manisan dalam genggamannya.
“Tuan Wolter,” sapa gadis itu untuk pertama kali.
Saat itu barulah Wolter mengenal nama si gadis. Sepasang mata yang
seolah-olah tersenyum itu sungguh membuatnya terpikat. Mereka berbincang dan
tertawa, sesaat hanyut dalam kegembiraan warga desa.
Saodah kemudian berpamitan. “Maaf, Tuan. Saya harus mencari adik
saya. Dia pasti sudah lama menunggu.”
Sejak itu, Saodah makin sering datang ke perkebunan. Mereka
menyempatkan waktu bercengkerama. Segera mereka menyadari, cinta sungguh tak
peduli suku, jabatan, dan kemungkinan.
“Aku sudah tidak sabar untuk menjadikanmu istriku,” kata Wolter
ketika mereka bergandengan tangan sepanjang Bragaweg[3].
Mereka baru keluar dari gedung bioskop De Majestic setelah menonton Loetoeng
Kasaroeng, film pertama yang dibintangi para pribumi.
Saodah menunduk. “Aku mencintaimu, Wolter. Tapi aku tidak ingin jadi nyai, jadi gundik, jadi simpanan.”
“Kau tidak akan jadi nyai. Kau satu-satunya perempuan yang kucintai.”
“Tapi kau orang Belanda, Wolter. Kita ini tidak sederajat.”
Wolter meremas tangan Saodah. Kalau sudah seperti itu, dia memilih
mengganti topik pembicaraan. Dia tahu Saodah benar, hukum negaranya tidak akan
pernah mengakui seorang perempuan pribumi sebagai istrinya. Hukum yang di
matanya terlampau konyol. Wolter lahir dan besar di Hindia Belanda. Dia
mengenal banyak pribumi yang jauh lebih besar hati dan bermoral dibanding
orang-orang Eropa. Dan bukankah dengan siapa menikah adalah hak pribadi setiap
orang?
Wolter memijit-mijit wajahnya yang kaku karena lama tertiup angin
kencang. Tiga belas tahun bukan waktu yang singkat. Segala hal bisa terjadi
dalam kurun selama itu. Bahkan dia sendiri telah banyak berubah.
Apakah Saodah sehat dan baik-baik saja? Apakah dia masih menunggu
Wolter, seperti janjinya di samping perigi pinggir sawah? Tentu wajar bila
Saodah telah melupakan Wolter dan melanjutkan hidupnya sendiri. Akan tetapi,
bagaimana Wolter akan sanggup menerima kenyataan bila Saodah menambatkan hati
pada pria lain? Ah, tidakkah itu kejam membuat seorang perempuan menunggu
selama belasan tahun tanpa kepastian? Lalu, bagaimana dengan anak mereka?
Wolter merinding meskipun udara sore itu cukup gerah. Saodah tidak
pernah mengatakan apa-apa kepadanya perihal seorang bayi. Bertahun-tahun,
Wolter memelihara dan memupuk keberadaan anak itu hanya dalam pikirannya.
Seorang bocah perempuan yang dikandung Saodah, buah cinta mereka. Wolter tidak
tahu alasan dia begitu yakin anak itu ada, berdua bersama Saodah menunggunya
pulang.
“Meneer, makanlah dulu.”
Seorang kelasi mengajaknya bergabung bersama para penumpang lain.
Wolter mengucapkan terima kasih, lalu bergabung dalam antrean.
Sebetulnya, menu inlander kurang cocok di lidahnya, kecuali satu: pindang ikan
buatan Saodah. Dia tidak tahu apakah pindang ikan di tempat lain juga enak atau
apa pun masakan Saodah semuanya enak.
Jarang sekali dia berkesempatan mencicipi masakan kekasihnya itu.
Wolter belum pernah berkunjung ke rumah Saodah, pun menemui keluarganya. Akan
terlalu menarik perhatian bila seorang controleur
berkunjung ke rumah pekerja pribumi.
Akan tetapi, sekalipun sudah dilakukan dengan hati-hati, hubungan
mereka tetap terendus Heindrik Aldershof. Ayah Wolter yang seorang residen di
Borneo itu menggunakan kekuasaannya untuk menarik sang putra ke Afdeling Sampit
dan menjadikannya asisten residen.
Wolter tidak punya pilihan lain. Diiringi deras air mata Saodah, dia berangkat menuju Borneo, meninggalkan janji akan terus berkirim kabar dan sesegera mungkin kembali. “Aku akan menikahimu, bagaimanapun caranya. Tunggulah aku.”
Wolter menyadari, di usianya yang baru 26 tahun, dia adalah
asisten residen termuda. Posisi yang hanya mungkin didapat karena pengaruh
ayahnya. Wolter bekerja bersama Charles de Jonker, pria setengah abad yang
mengemban pesan Heindrik untuk mengawasi dan memastikan Wolter berada di jalan
yang benar.
Charles menyukai Wolter. Pemuda itu cakap dan pintar bekerja.
Charles berusaha dengan banyak cara mendekatkan Wolter dan Elizabeth atau
Annemarie, kedua putrinya. Juga sesekali dengan Helena, keponakannya. Namun,
Wolter kukuh dengan pilihan hatinya.
Begitulah pada bulan-bulan pertama, Wolter dan Saodah gencar
bersurat-suratan. Tanpa menunggu balasan, mereka terus meluapkan kerinduan
bersama cerita keseharian masing-masing. Dalam sebulan mereka bisa bertukar
delapan hingga sepuluh surat. Memasuki bulan ketujuh, Wolter tidak lagi
menerima surat Saodah meskipun dia sendiri tidak berhenti mengirim.
Dua bulan setelah Saodah seolah-olah menghilang, Charles masuk ke
ruangan Wolter dan mengempaskan sembilan amplop di meja. Wolter terperanjat
melihat surat-suratnya untuk Saodah. Dia yakin, kiriman dari Saodah juga ada
pada Charles, hanya tidak diberikan kepadanya.
“Kau ini seorang pemimpin, Wolter. Tidak pantas kaulakukan seperti
ini dengan perempuan inlander.”
Sebenarnya, Wolter sudah lama tahu. Semua surat-menyurat yang
berhubungan dengan dirinya akan diawasi dengan ketat. Dia terlalu abai dan
tidak bijaksana sehingga mengira korespondensi yang di luar kewajaran itu akan
aman-aman saja.
Wolter menyimpan perkara Saodah rapat dalam hatinya. Dia tetap
menolak berhubungan serius dengan banyak gadis Belanda yang terpikat, entah
pada wajah atau kedudukannya, dan melemparkan diri ke pangkuannya. Dijadikannya
gadis-gadis itu sarana bersenang-senang, sementara cintanya tetap untuk Saodah
seorang. Sebuah pembenaran yang kerap membuatnya merasa bersalah telah meminta
kesetiaan Saodah menunggunya. Hingga tiga belas tahun! Tanpa kabar berita.
Selesai makan, Wolter memilih kembali ke pinggir dek. Angin malam
terasa dingin, tetapi dia belum ingin kembali ke bilik tempat para penumpang
beramai-ramai tidur berjajar beralas tikar. Tiba-tiba keraguan menyergapnya.
Apa sebenarnya yang dia cari? Betapa naif bila dia mengharap Saodah menunggunya
dengan tangan terbuka, seolah-olah hanya sebulan dia pergi. Bila cintanya untuk
Saodah begitu suci dan keinginannya untuk bersatu demikian kuat, mengapa harus
menunggu sekian lama?
Lagi-lagi Wolter menarik napas panjang dan berat. Masih layakkah
dia kembali kepada perempuan itu? Kehidupan terus bergulir dan begitu banyak
hal yang telah terjadi. Elizabeth dan Annemarie telah lama menikah,
masing-masing sudah punya dua anak. Helena juga sudah punya seorang putra.
Tiga belas tahun Wolter menjalani kariernya sebelum dipromosikan
sebagai residen menggantikan ayahnya. Ya, itulah alasannya dia harus menunggu.
Sebagai residen, dia mempunyai hak menentukan jalan hidup sendiri, selain
karier yang mapan dan uang yang banyak. Dia mengajukan cuti panjang untuk
kembali ke Jawa sebelum memulai posisinya yang baru. Satu kesalahan dilakukan
Wolter. Dia mengatakan niatnya mencari Saodah dan memperistri perempuan itu
sebelum jabatan residen resmi di tangannya.
Heindrik memberikan ultimatum: memilih karier dan jabatan atau
Saodah. Bahkan KPM[4]
dilarang memberikan tiket kapal uap untuknya.
Berdiri
di beranda waktu
Parasmu
terkenang dalam bayang-bayang
Meski
warna kulit dan rambut jadi penghalang
Di
antara sumbang genderang perang
Aku
melangkah tak tentu arah
Pilu
hati seolah keliru menata rindu
Dalam
kepungan gelisah
Ku
bertahan pada bening matamu
Tak
kenal cemas perahu menghadang ombak ganas
Layar
telah terkembang lebar
Menantang
angin yang membawanya mengembara
Masih
kutitipkan sepotong cerita
Pada
riak-riak gelombang di ujung senja
Tentang
sepasang insan menjahit perbedaan
Ketika
kita tak mampu bertukar kabar
Saat praduga beralih buruk sangka
Lelahkah engkau mengejar debar?
Perpisahan
menjelma beban tak tertahan
Tilas
kasih habis tergilas
Bagai
janji hati yang terbengkalai
Kini
jangkar telah dilempar
Gelora
jiwa kembali berkobar
Engkaulah
rumah tempatku pulang
Kita
kan sambung kisah yang sempat terpenggal
Biar
lesap segenap lara dan sedu sedan
Izinkan
aku menatap lagi binar wajahmu
Lebih
rupawan daripada rembulan
Peluit melengking nyaring ketika kereta api dari Batavia memasuki
Stasiun Bandoeng. Sengaja Wolter turun di pusat kota Parijs van Java itu untuk melihat perkembangannya dalam dekade
terakhir.
Wolter menjajaki peron tanpa tergesa-gesa. Empat jam perjalanan
darat memang tidak panjang, tetapi tubuhnya sudah lelah setelah enam belas hari
berlayar. Kakinya kaku, pundaknya pegal, matanya sepat, perutnya lapar. Namun,
hatinya girang sekaligus waswas. Sungguh tidak terbayang apa yang akan terjadi
sore nanti. Dia bahkan tidak tahu persisnya rumah Saodah selain lokasi desanya.
Itu pun tiga belas tahun lalu.
Keluar dari stasiun, Wolter memutuskan mengisi dulu perutnya yang
kosong. Dia mampir ke sebuah kedai di Jalan Kebon Kawung, memesan stamppot[5] dan
roti gambang.
Lepas siang, Wolter menyewa bendi menuju Desa Ciparay. Sembari
tubuhnya mengayun pelan seirama derap langkah kuda, Wolter membuka tas kulit
yang dibawanya dan mengeluarkan sebuah boneka beruang kecil. Hadiah yang sangat
terlambat, tetapi dia yakin anaknya akan menyukai boneka itu.
Empat puluh menit kemudian mereka tiba di desa tujuan. Kepada
seorang lelaki tua bersarung dan berkopiah, Wolter bertanya di mana tempat
tinggal Saodah.
“Rumah Nyai Saodah? Lewat situ.” Si bapak memberi arahan kepada
tukang bendi. Nyai? Wolter kembali berdebar. Tentu karena anak mereka yang
berdarah Eropa, Saodah disebut nyai. Kasihan, dia membenci panggilan itu.
Setelah tiga kali bertanya, mereka tiba di sebuah rumah sederhana dengan pekarangan luas.
Wolter membayar bendinya. Berdiri di pinggir jalanan tanah
berbatu, dia memperhatikan seorang gadis yang sedang bermain sendirian.
Rambutnya cokelat muda, kulitnya putih. Dia tampak lebih muda daripada yang
dibayangkan Wolter.
Mata Wolter menghangat. Luapan perasaan mendesak dari perut ke
dadanya, membuat napasnya sesak. Dia menghampiri dengan hati-hati, tidak ingin
membuat gadis itu ketakutan.
“Apakah ini rumah Saodah?” Wolter merasa gadis itu bisa mendengar
debur jantungnya.
Gadis itu menoleh, wajahnya persis Saodah. Dia memperhatikan
Wolter sesaat, lalu berlari masuk ke rumah. Segera kemudian seorang wanita
muncul dengan gadis tadi mengekor di belakangnya.
Wolter gemetar. Perempuan di hadapannya tampak begitu dewasa dengan berat beban hidup tergambar di wajahnya. Dia mengenakan kebaya brokat dan kain sarung. Rambutnya disanggul dan sudah agak berantakan. Tubuh itu lebih gemuk dan kulitnya lebih cokelat dari yang diingat Wolter.
"Saodah …." Tenggorokan Wolter kering. Kakinya menancap di tempatnya berdiri.
Sejenak perempuan itu mengamati tamunya. "Maaf, Tuan siapa?"
"Ini aku, Saodah. Wolter. Aku kembali untukmu!"
"Saya bukan Saodah." Perempuan itu menggeleng sambil
tesenyum tipis. "Saya Sainah, adiknya."
Wolter tahu Saodah punya seorang adik perempuan, tetapi mereka
belum pernah bertemu. Ternyata kakak beradik itu begitu mirip. "Di mana
Saodah? Aku harus menemuinya."
Sainah kembali menggeleng. "Tuan terlambat tiga tahun. Dia
meninggal terkena malaria."
Wolter belum pernah terjun ke medan perang, tetapi saat itu dia
tahu bagaimana rasanya ketika sebutir peluru menembus jantung. Dia menggigit
bibir, tatapannya terpaku ke tanah.
"Saodah tetap menunggumu sampai saat terakhirnya, Tuan. Dia terus menyebut namamu."
Wolter mengusap ujung matanya. Tatapannya beralih ke gadis kecil berkepang dua.
"Dia ...."
"Namanya Nining. Dia anak Saodah."
Ada sesuatu melompat di dada Wolter. "Dua belas tahun usianya?"
"Oh, Nining baru sembilan tahun." Sainah merangkul gadis
yang sekarang bergelayut di sampingnya. "Masuklah dulu, Tuan. Biar saya
buatkan kopi atau teh."
Sambil menunggu Sainah menyeduh kopi, Wolter duduk di ruang makan.
Matanya tertumbuk pada sebuah kain sarung yang terlipat rapi. Dia ingat sarung
itu milik Saodah, dipakai beberapa kali ketika menemuinya. Wolter juga ingat
pernah melepaskan lilitan sarung itu dari pinggang Saodah.
"Tolong ceritakan tentang Nining," kata Wolter begitu
Sainah kembali dari dapur membawa nampan berisi dua cangkir kopi.
"Seorang mandor perkebunan menyukai Saodah, Tuan. Saodah
mati-matian menolak karena dia setia menunggumu. Tapi ayah kami memaksa karena
Saodah sudah terlalu tua untuk menikah dan mandor itu memberi kami banyak uang.
Ayah mengancam akan mengusir Saodah bila tidak menurut. Akhirnya kakakku
menyerah, ditambah dia benar-benar patah hati karena surat-suratnya tidak
pernah Tuan balas lagi."
Wolter ingin menjelaskan, tetapi tahu tidak ada gunanya. Hatinya
makin sakit mendengar Saodah berjuang habis-habisan demi cinta mereka,
sedangkan dia bersenangsenang dengan banyak perempuan dengan dalih hanya
sebatas fisik.
"Mandor itu sudah punya istri dan anak. Saodah benar-benar
benci dijadikan nyai. Dia tidak mau—"
"Jadi gundik, jadi simpanan," potong Wolter. Hatinya
hancur untuk kedua kali. Nining bukan anaknya. Gadis dalam khayalannya selama
ini, anak dari rahim Saodah ternyata ada, tetapi dari benih seorang mandor
keparat. Verdomme![6]
Sainah melihat perubahan air muka Wolter. Dia bisa merasakan
kemarahan dan kesakitan pria di hadapannya. Dari cerita-cerita kakaknya, Sainah
merasa telah mengenal lakilaki itu. Setidaknya segala hal baik tentangnya.
Semua yang membuat seorang wanita jatuh cinta.
"Ceritakanlah perjalanan Tuan dari Sampit ke sini."
Sainah berusaha mencairkan suasana.
Wolter menceritakan perjalanannya. Juga tentang kehidupannya di
Sampit sebagai asisten residen. Akhirnya dia menceritakan pula surat-menyurat
yang diputus dengan paksa itu.
Sainah tercenung. Andai Saodah tahu, mungkin dia tidak akan
menyerah dalam sakit hati, mengira Wolter telah berpaling hati dan
melupakannya.
Wolter menyeruput kopi. Pikirannya kembali pada hal-hal yang
mengganggu. "Jadi setelah Saodah meninggal, mandor itu pergi, membiarkan
Nining begitu saja?"
Sainah tertawa kecut. "Dia pergi saat Nining masih tiga bulan. Kabarnya dia dapat nyai yang lebih cantik dan pintar merayu di kampung sebelah. Saya tidak heran karena Saodah selalu bersikap dingin kepadanya."
"Jadi setelah Saodah pergi … kau yang mengurus Nining?"
"Ya, Tuan."
"Suamimu tidak keberatan?"
Sainah kembali tersenyum pahit. "Suami saya juga sudah
meninggal, Tuan. Ditembak tentara Belanda karena dikira mata-mata."
Hati Wolter mencelos. Betapa hancur kehidupan dua kakak beradik itu akibat ulah bangsanya. "Maaf."
"Mungkin sudah takdir kami, Tuan."
Mereka sama-sama terdiam sebelum Sainah bangkit. “Saya punya
pisang, biar saya gorengkan sebentar.”
Sebetulnya Wolter tidak ingin merepotkan, tetapi dia butuh menenangkan hatinya yang kalut. Dia tidak bisa berhenti menyalahkan diri yang begitu pengecut, memilih hidup nyaman di Sampit sementara gadisnya tidak tahu alasan dirinya menghilang begitu saja.
Seandainya dia segera kembali, Saodah tidak akan dipaksa menikah dengan mandor itu.
Mungkin dia juga akan tinggal di tempat yang lebih baik hingga tidak terkena malaria.
Sainah kembali dengan sepiring pisang goreng. “Maaf, Tuan. Saya cuma punya ini.”
“Sepertinya enak sekali.” Wolter mengambil sepotong, mengunyah kudapan manis gurih itu dan menelannya dengan susah payah. Kerongkongannya terasa tersumbat. Kemudian dia meneguk habis kopi yang tersisa di cangkirnya.
"Aku permisi dulu. Terima kasih untuk … semuanya."
"Apakah Tuan akan menetap di Jawa?"
Wolter menggeleng. "Aku akan mencari penginapan dan tiket
untuk berlayar kembali ke Sampit."
Sebenarnya Wolter tidak yakin apa yang hendak dilakukannya. Satu-satunya harapan dan yang diyakininya sebagai tujuan hidup telah terenggut. Masihkah ada gunanya kembali ke Sampit setelah dia menentang ultimatum ayahnya dan menandatangani surat pengunduran diri?
Wolter mengeluarkan boneka beruang dari tasnya. "Ini untuk Nining."
"Ah, berikanlah langsung kepadanya, Tuan. Dia pasti senang sekali."
Sainah memanggil Nining yang masih bermain di halaman. Ketika Wolter memberikan boneka itu, senyum Nining merekah.
"Terima kasih, Tuan," katanya malu-malu.
Wolter mengulurkan kedua lengan, hendak merengkuh gadis itu dalam pelukannya.
Nining mundur selangkah, berusaha
bersembunyi di balik Sainah.
“Tidak apa-apa, Ning. Berikan pelukan untuk Tuan Wolter yang baik
itu,” kata Sainah setengah berbisik.
Nining masih ragu, tetapi dia maju mendekat dan membiarkan Wolter mendekapnya sesaat.
"Mampirlah bila lain waktu Tuan datang lagi ke sini," kata Sainah.
Di balik punggung Nining, Wolter membalas senyum adik kekasihnya
itu. Tatapan mereka beradu. Tampak bening sepasang mata Saodah yang tidak
lekang dari ingatannya. []
26 Maret 2025
[1] Pengawas
[2]
Pembagian administratif tingkat III yang merupakan bagian dari keresidenan
[3]
Jalan Braga, Bandung
[4]
Koninklijke Paketvaart Maatschappij, maskapai kapal uap terbesar di Hindia
Belanda
[5]
Makanan tradisional Belanda berupa kentang tumbuk dengan sayuran dan daging
asap
[6]
Brengsek