Padamnya Dian di Rumah Mbah Jalal - Hosiah Nasir

Naskah Pilihan Event Timira




Padamnya Dian di Rumah Mbah Jalal
Hosiah Nasir




Aku tidak menyalahkan Mbah Jalal, hanya menyesalku tidak hilang hingga sekarang. Mestinya, dulu kami berjuang agar dian di rumah Mbah Jalal tidak pernah padam, sehingga kami tidak terjebak dalam kegelapan.


Waktu itu aku kelas lima SD. Setiap hari menjelang magrib aku dan teman-teman ke masjid. Aku, Tina, Ratmi, Marni, seringnya kami berempat berjalan beriringan sambil bercanda dan mengobrol apa saja. Kadang, sambil memetik bunga turi yang pohonnya berjajar di tepi parit sepanjang depan rumah Pak Lurah dan Lik Jamhuri.


Kadang kami jalan bergandengan sambil mendongak, menghitung kelelawar yang melintas di atas kepala. Terkadang juga kami balapan lari, dulu-duluan menginjak rumput teki di halaman masjid. Siapa yang paling belakang, akan dikatai pacarnya Sartip–anak samping masjid, berbadan tinggi besar, tapi gaya bicara dan kelakuannya masih seperti anak kecil, padahal dia dua tahun lebih tua dariku.

Kalau sampai masjid belum azan, kami bermain bentengan di halaman masjid. Halaman masjid kami bersih, tanahnya sampai tidak kelihatan; dari pagar tepi parit sampai anak tangga ke serambi masjid, semuanya tertutup rumput teki tebal hingga di kaki rasanya empuk seperti karpet orang kaya. Tidak ada aroma tahi sapi, karena Mbah  Kaum tidak membolehkan siapa pun mengikat sapinya di halaman masjid.

Ketika Lik Tardi memukul beduk, kami menyudahi permainan, lalu duduk-duduk di dekat tembok pagar sumur untuk mengeringkan keringat, sekalian mengambil antrean wudu paling depan. Tempat wudu di sumur masjid hanya ada dua; satu di sebelah barat, satu lagi di sebelah timur bagian dalam pagar sumur.

Ketika mik masjid dihidupkan dan Lik Sabar mengumandangkan azan, kami segera bangkit, menimba air mengisi tempat wudu sebelum harus bergeser ke antrean paling belakang. Kami heran dengan orang-orang tua, kenapa mereka tidak berwudu di rumah, padahal mereka datang setelah azan, dan tidak bermain lari-larian dulu seperti kami. Harusnya mereka tidak akan kentut sampai Lik Sabar ikamah.

Kami melihat sendiri mereka jalan di halaman masjid pelan sekali sambil mengobrol, tapi kami yang datang lebih dulu, harus mengalah. Menyebalkan.

“Wudu di sumur mesjid itu lebih bagus, lebih afdal.” Begitu jawab Mbah Kaum ketika satu saat mendengar kami mengomel.

Kami hanya menunduk serempak, tidak berani lama-lama menatap mata cekung Mbah Kaum yang mendelik.

Pelan sekali Ratmi berbisik padaku. “Mbah Kaum, makin ke sini makin menyeramkan sekali. Mukanya kayak orang kesurupan.” Aku menutup mulut dengan telapak tangan, menahan tawa jangan sampai berbunyi.

Rumah Mbah Kaum di seberang jalan depan masjid. Kata simbahku, dia itu ketua takmir masjid. Saat itu aku tidak paham apa yang dikatakan Mbah. Yang aku tahu, Mbah Kaum itu seperti yang punya masjid. Suka mengatur apa-apa yang ada di masjid. Dulu, dia juga mengajari anak laki-laki mengaji, sebelum matanya sakit lalu kesulitan melihat huruf-huruf Quran.

“Nggak enak ya, jadi anak kecil. Wudu saja harus terakhir, solat harus di belakang, terus kalo ngobrol dimarahin.” Ratmi mengomel ketika kami sudah berbaris di saf paling depan karena masuk masjid pertama, tapi lalu Mbah Parmi menyuruh pindah ke belakang.

“Hus! Anak kecil di belakang, sana! Depan buat orang tua!” Mbah Suti ikut membentak kami yang belum beranjak.

“Padahal, Pak Kiai pernah bilang kalau masjid itu rumah Allah, bukan rumah mbah-mbah. Siapa yang datang lebih dulu, dialah yang dapat saf paling depan yang pahalanya paling banyak.” Tina berbisik padaku setelah terpaksa kami duduk di barisan paling belakang.

“Masa iya, kita harus tua dulu baru bisa sembahyang di depan?” Marni ikut ngedumel, dan aku membenarkan semua yang mereka katakan.

Memang, dengan berbaris di belakang, kami bisa salat sambil mainan. Kadang Ratmi mendorongku dengan sikutnya, lalu aku balas mendorongnya. Kadang aku disenggol dengan pantat oleh Tina, tapi kadang aku yang menyenggol dia duluan. Atau jika tidak ada yang bergerak, Marni sengaja berdeham, lalu aku, Ratmi dan Tina, menyahutnya bergantian. Kemudian setelah salam, kami berbalap lari keluar karena yakin pasti akan dimarahi oleh Mbah Suti dan mbah-mbah lainnya.

Selanjutnya kami menuju rumah Mbah Jalal yang jaraknya sekitar tiga belas rumah dari masjid ke arah timur. Sebenarnya kadang kami agak takut buat ke sana, terutama saat berjalan di belakang rumah Lik Tolip. Rumah Mbah Jalal tidak persis di pinggir jalan, melainkan di belakang rumah Lik Tolip, sementara kanan, kiri, serta belakang rumah Mbah Jalal ada kebunnya Mbah Haji Rokim.

Hafsoh anaknya Mbah Jalal, pernah bilang kalau satu malam saat pulang dari masjid dengan masnya, dia melihat bola api sebesar bal voli terbang di atas belakang rumahnya dari barat ke timur.

Sebenarnya Mbah Jalal pandai membuat lampu ting dari kertas, dan lampu ting buatannya cukup bagus. Bentuknya segi delapan dan warnanya merah, kuning, sama hijau. Sayangnya, Mbah Jalal membuatnya hanya ketika lebaran saja, untuk malam takbiran. Aku suka melihatnya digantung di pohon cengkih pinggir jalan setapak menuju rumahnya, saat ikut Mbah mengantar beras untuk zakat fitrah.

Entah sejak kapan, yang kuingat setiap malam lebaran, Mbah tidak mengantar zakat fitrahnya ke masjid seperti kebanyakan orang, melainkan diantar ke rumah Mbah Jalal. Dan ternyata tidak hanya kami yang membayar zakat fitrah ke rumah guru ngaji itu. Biasanya di sana sudah ada orang lain, atau kami bertemu mereka di jalan.

Meski kadang agak takut kalau tidak terang bulan dan kebetulan sedang kehabisan obor, kami tetap ke rumah Mbah Jalal setiap malam, kecuali malam Jumat, karena Mbah Jalal yasinan bersama rombongan laki-laki yang tempatnya bergiliran di rumah anggotanya.

Sebenarnya, di masjid juga ada yang mengajari kami mengaji, yaitu anak-anak yang sudah lebih besar dari kami dan sudah khatam Quran. Mereka mengaji kitab dengan Pak Kiai Muhlisin. Sambil menunggu giliran mengaji kitab, mereka ditugasi mengajari kami mengaji. Tapi kami sering tidak kebagian giliran karena waktu yang sangat terbatas.

Kalaupun mengaji, jatahnya hanya satu dua baris. Kadang, kami malah disuruh baca sendiri padahal masih bingung, sementara mereka mengobrol. Karena itu,  meski sudah kelas 5 SD, mengajiku masih terbata-bata dan banyak salahnya. Sangat jauh dengan bacaan Hafsoh yang lancar seperti laju sepeda baru di jalan aspal.

Kami lantas memutuskan pindah mengaji ke rumah Mbah Jalal. Banyak teman kami yang sudah lebih dulu mengaji di sana. Ada Tono, Aris, Surip, Rani, Inun, dan beberapa anak lain yang rumahnya dekat dengan rumah Mbah Jalal. Berharap tahun depan kami bisa melaksanakan khataman.

Siapa yang tidak ingin khataman, begitu juga aku. Aku ingat benar malam itu, perayaan Maulid Nabi paling meriah yang pernah kusaksikan. Acara khataman terbesar yang pernah diadakan di kampung kami. Bagaimana tidak, peserta khataman yang biasanya hanya empat atau paling banyak enam orang, saat itu berjumlah tujuh belas orang. Tiga orang di antara mereka adalah anak Mbah Jalal; Mba Kurnia, Mas Jalil, dan Hafsoh, anak ke dua belas Mbah Jalal yang paling pintar di antara yang lain, juga di kampung ini.

Selain selalu menjadi juara satu di kelas sekaligus juara umum sekolah, Hafsoh selalu mewakili sekolah kami untuk lomba cerdas cermat, dikirim ke sekolah lain. Dan dia ikut khataman saat masih kelas empat. Itu hanya beberapa anak saja yang bisa. Hebatnya lagi, dia yang memimpin khataman itu. Aku yang saat itu duduk di kursi penonton, tidak berkedip menyaksikannya.

Awalnya, tirai panggung masih ditutup ketika pembawa acara menyebut nama mereka bin bapak mereka satu persatu untuk naik ke panggung. Kemudian tirai panggung dibuka, lalu tampaklah mereka duduk membentuk setengah lingkaran, memakai pakaian serba putih dan kepala mengenakan sorban lengkap dengan ikat kepala warna hitam dan kuning keemasan, persis orang-orang Arab.

Kulihat Hafsoh duduk di depan sendiri, di tengah-tengah. Tampak wajahnya grogi, tapi dia berusaha tenang dan fokus. Sebentar kemudian dia mengucap salam dengan mik di tangannya. Kami menjawab serempak. Lalu kulihat dia menarik napas panjang sampai dadanya bergerak naik, kemudian mulai melantunkan selawat nabi.

“Assalaatuwassalaamu'alaiik....” Nadanya seperti Lik Sabar ketika mengumandangkan tarhim sebelum azan subuh. Aku merinding mendengarnya. Lalu peserta lain menjawab serempak. “Ya Rasulullah....” Kemudian Hafsoh membaca surah Al Bayyinah, surah paling awal dan paling panjang dari peserta lain. Dia juga yang membaca doa khatam Quran.

Aku ingat sekali, kala itu aku duduk tidak jauh di barisan sama dengan simboknya Hafsoh dan di belakang barisan kami, para tamu dari kampung sebelah. Mereka saling berkata.

“Anak siapa itu?”

“Paling kecil, tapi paling pintar,” sahut yang lain.

“Iya, tajwidnya juga pas. Fasih,” kata yang lain lagi.

“Yang jadi orang tuanya pasti bangga sekali.” Suara yang pertama bicara lagi.

Aku menoleh ke simboknya Hafsoh, kulihat dia mengusap ujung matanya sambil tersenyum. Sejak itu, aku makin semangat untuk mengaji di tempat Mbah Jalal. Aku ingin bisa ikut khataman seperti mereka walau tidak duduk di depan seperti Hafsoh. Mungkin juga khatamanku nanti tidak akan semeriah khataman itu karena tidak ada Hafsoh di depan kami. Dia memang bintang yang sinarnya paling terang di antara bintang lainnya.

Saat itu, khatam Quran menjadi semacam simbol bahwa seorang anak sudah mampu bertanggung jawab pada salah satu kewajibannya, kemudian dia bisa melanjutkan mengaji kitab. Mengaji kitab seakan menjadi tanda bahwa dia sudah mulai memasuki remaja karena di dalam kitab sudah ada kajian tentang haid, mandi wajib, dan bagaimana belajar menjadi calon istri yang baik, juga menjadi suami yang baik bagi laki-laki.

Selain itu, khataman juga menjadi semacam legalitas khatamnya anak tersebut. Dengan ayam ingkung yang dibawa setiap anak yang khataman, lalu didoakan oleh Pak Kiai, kemudian dimakan ramai-ramai oleh yang khataman setelah sebagian diambil untuk Pak Kiai dan beberapa pemuka kampung, setiap anak akan merasa lega, diakui, dan memasuki masa remaja. Mungkin, cara berpikir kami juga akan berubah, misalnya seperti mulai mengenal lawan jenis.

Sayangnya, ketika aku memasuki juz 21, sesuatu yang tidak pernah kami bayangkan terjadi. Satu malam ketika bulan baru kelihatan setengahnya, kami ke rumah Mbah Jalal seperti biasa. Kala itu tanpa obor karena langit cukup cerah. Ketika aku, Ratmi, Tina, Marni, Rani, Surip dan beberapa anak lainnya sampai di samping rumah Lik Tolip, kami menyadari ada yang tidak terlihat, yaitu rumah Mbah Jalal.

“Lo, mana rumah Mbah Jalal?” Rani menghentikan langkah, lalu kami mengikuti.

“Rumah Mbah Jalal ilang!” Surip berteriak.

Aku memicing, mencari apa yang bisa kulihat. Hanya bayangan hitam sebesar rumah. Tidak mungkin rumah Mbah Jalal hilang, tidak masuk akal. Memangnya siapa yang bisa mencuri rumah?

Tanpa ada yang memerintah, kami serempak berjalan tergesa menuju rumah Mbah Jalal. Dan benar, rumah Mbah Jalal masih ada di tempatnya, tapi gelap gulita, tidak ada sama sekali bagian rumah itu yang tampak ada dian menyala.

Kami sudah memeriksanya sampai ke belakang rumah berdinding bambu itu. Bahkan, kami sudah mengucap salam berkali-kali, tidak ada jawaban. Surip sudah memanggil-manggil nama Mbah Jalal berulang kali, tetap sepi. Dan aku sudah pula memanggil Hafsoh hingga beberapa kali, tetap saja tidak ada yang menyahut. Simboknya Hafsoh juga tidak membukakan pintu seperti biasanya.

“Ke mana, mereka?” Aku bertanya entah kepada siapa.

“Apa mereka sudah tidur semua?” Rani balik bertanya.

“Apa mereka tidak punya minyak tanah sama sekali?” Surip selalu saja tidak bisa bicara pelan.

“Hayo, siapa yang belum bawa minyak tanah? Sekarang giliran siapa yang bawa?” Marni yang di sebelahku ikut bersuara.

“Aku udah.” Jawab kami berbarengan.

“Kamu sudah bawa belum, Rip?” Tono mulai meledek Surip.

“Iya, belum. Aku ... lupa.” Surip menjawab setelah agak lama diam.

“Jangan-jangan, Mbah Jalal tau kalo kamu nggak bawa minyak, lalu Mbah Jalal marah dan tidak mau lagi mengajar kita ngaji. Mbah jalal kan emang sakti, bisa mengobati orang sakit hanya dengan air putih. Jadi bisa saja dia tau kalo kamu nggak bawa minyak walau kita belum sampai ke sini,” Aris malah ikut menakut-nakuti.

 

“Tidak mungkin. Narto tidak pernah bawa minyak tanah, tapi Mbah Jalal tidak marah. Katanya nggak papa, kasian, karena Narto anak yatim. Aku dengar sendiri Mbah Jalal bilang begitu, waktu itu.” Surip sedikit menjauh dari kami.

Meski tidak membayar dengan uang selama mengaji di rumah Mbah Jalal, tapi kami biasa membawa minyak tanah secara bergantian, meski Mbah Jalal tidak pernah meminta apa pun pada kami. Aku hanya ingat Mbah jalal pernah berkata saat kami selesai mengaji.

“Kalian harus belajar ngaji yang benar, supaya nanti ngaji kalian juga benar seterusnya. Kalau dari awal ngaji kalian sudah salah tajwidnya, sampai nanti akan salah seterusnya. Dan kalau kalian besok mengajari anak ngaji, ngajinya juga akan salah, begitu seterusnya. Makanya, sekarang kalian jangan malas belajar ngaji. Besok kalau sudah besar, kalian bisa ngajari ngaji yang benar.”

Kami mengangguk-angguk sampai Mbah Jalal melanjutkan. “Kalian tau tidak, ngajari ngaji itu, walau tidak dibayar, akan menjadi tabungan di akherat. Karena jika seseorang ngajari ngaji orang lain dengan benar, sampai yang diajari bisa ngaji, setiap ilmunya dipakai, yang ngajari akan terus mendapat bagian pahala walau dia sudah meninggal dunia.”

“Wuih. Enak bener.” Surip nyeletuk.

“Enak, tapi ingat, ngajinya harus bener dulu. Makanya, semua anak dan cucuku, aku ajari ngaji sendiri. Selain biar punya tabungan pahala, aku dosa jika mereka ngajinya asal dan salah.” Mbah Jalal mendelik ke Surip, dan Surip hanya cengengesan.

Mendengar penjelasan Mbah Jalal, kami makin mantap mengaji di sana. Dan tidak hanya kami, makin lama, makin banyak saja anak-anak yang mengaji di rumah Mbah Jalal. Kalo tidak salah, aku pernah menghitungnya sekitar lima belas orang. Sampai-sampai sudah azan isya, Mbah Jalal belum selesai menyimak kami mengaji satu persatu. Mbah Jalal lantas meminta bantuan istrinya untuk mengajari anak-anak perempuan.

Akan tetapi, malam itu, kami sepeti tersesat dalam gelap. Kami tidak tahu apa sebab rumah Mbah Jalal tidak diterangi satu pun dian. Sampai anak-anak lain datang, tidak ada yang tahu kenapa hingga akhirnya kami memutuskan kembali ke masjid. Dan ketika sampai halaman masjid, Mbah Kaum duduk di serambi laki-laki dan memanggil kami dengan lambaian tangan.

 

“Dari mana, kalian? Bukannya mengaji malah pada keluyuran.” Mbah Kaum mendelik.

“Dari tempat Mbah Jalal. Ini mau ngaji, tapi ....” Hanya Surip yang berani menjawab, itu pun tidak tuntas.

“Tapi kenapa?” Mbah Kaum membentak.

“Makanya, ngaji itu di masjid saja. Kalian itu kan, generasi penerus masjid, harusnya menghidupkan masjid, ngaji di masjid. Bukan malah menghidupkan rumah Jalal, sementara masjid jadi kosong kayak lapangan.” Tidak ada yang menjawab. Dalam hati, aku merasa seperti ada sesuatu.

“Sudah, sana! Ngaji. Kalo tidak ada yang mengajari, ngaji sendiri, saling menyimak!” Mbah Kaum mengibaskan tangannya, menyuruh kami bergegas pergi.

Kami pun segera bubar. Anak laki-laki masuk serambi laki-laki, dan kami berkumpul di serambi perempuan. Tidak ada yang membuka Quran, kami hanya diam melingkari lampu semprong.

“Coba nanti kita tanya Hafsoh.” Aku memberi ide dan disetujui yang lain. Namun, sampai Lik Sabar mengumandangkan azan, Hafsoh tidak muncul. Padahal, biasanya menjelang isya dia ke masjid untuk bermain dengan kami, lalu salat isya di masjid dan pulang bersama.

 

“Besok, kita ke tempat Mbah Jalal lebih awal.” Marni meminta kami berjanji sebelum pulang ke rumah masing-masing.

Besoknya, setelah salam, kami buru-buru keluar, berlari menuju rumah Mbah jalal. Dan rumah Mbah Jalal masih gelap seperti kemarin, juga tidak ada sahutan ketika kami memanggil. Begitu juga di hari-hari berikutnya. Hafsoh pun tidak pernah muncul ke masjid, padahal bulan sudah melewati purnama. Kami pun sejenak melupakan petak umpat, bentengan, gobag sodor, atau kalong-kalongan seperti yang biasa dilakukan setelah isya.

Aku, Marni, Ratmi dan Tina, hanya duduk malas di gorong-gorong, melihat anak-anak laki-laki bermain kejar-kejaran.

“Eh, besok, cari Hafsoh di sekolahan. Tanyai dia, kenapa dian di rumahnya mati semua.” Surip tiba-tiba sudah berdiri di samping kami.

“Ya!” Kami berempat berteriak serempak.

“Kenapa nggak terpikir dari kemarin?” Marni spontan berdiri.

“Kemarin aku lihat-lihat pas istirahat, nggak keliatan dia.” Surip lalu ngeloyor pergi.

Besoknya kami mencari Hafsoh di kelasnya. Dia sedang duduk sendirian. Wajahnya kelihatan muram, tidak ceria seperti biasanya. Dan dia berusaha menghindari tatapanku ketika kami mendekatinya.

“Hafsoh, kenapa rumahmu gelap setiap malam? Apa simbokmu nggak punya minyak tanah?” Aku bertanya pelan-pelan setelah berdiri di sampingnya.

“Kami tadi malam membawa minyak tanah.” Marni berdiri di sampingku.

Hafsoh diam dan menggeleng.

“Lalu, kenapa?” Rani mendekat ke samping meja.

‘Kalian ... ngaji di mesjid saja.” Hafsoh tetap tidak mau memandang ke arah kami. Dan jawaban Hafsoh mengingatkanku pada kata-kata Mbah Kaum malam itu.

“Memangnya, kenapa?” Marni mendesak.

Awalnya Hafsoh tidak mau cerita apa pun pada kami. Tapi setelah dipaksa dan kami berjanji tidak akan membocorkan pada siapa pun, Hafsoh akhirnya bercerita.

Katanya, empat hari lalu, sore menjelang magrib, Mbah Kaum datang ke rumahnya. Dia mendengar Mbah Kaum bicara pada bapaknya.

“Biarkan anak-anak ngaji di masjid, Lal. Masjid jadi kosong gara-gara semua anak kamu giring ke sini.”

“Aku tidak pernah menggiring mereka. Mereka sendiri yang datang ke sini.”

“Tapi kamu tidak menolak mereka.”

“Mana mungkin aku menolak anak-anak yang mau belajar ngaji?”

“Mereka sudah ada tempat ngaji, yaitu masjid. Dan gara-gara kamu, masjid jadi kosong melompong setelah magrib.”

“Tapi ....”

“Tidak usah merasa paling pintar dan paling benar, Lal. Kalau mau ngajari anak cucumu ngaji, silakan saja, tapi jangan kosongkan masjid. Jangan sesat. Dukun seperti kamu tidak pantas jadi guru ngaji.”

“Aku bukan dukun!”

“Lalu apa namanya kalo kamu mengobati orang-orang sakit hanya dengan air, hanya untuk mendapat imbalan beras atau telur?”

“Jaga omonganmu, Cipto! Itu fitnah. Aku hanya mendoakan mereka, meminta kesembuhan kepada Gusti Allah untuk mereka. Air yang kuberikan kepada mereka hanya air yang kutiupkan bacaan Quran. Rosulullah juga mengobati dengan cara itu kan, To? Dan aku yakin, hanya Gusti Allah  yang punya kuasa menyembuhkan mereka, bukan aku dan air itu hanya perantara. Juga bukan anakmu.”

“Ah, sudahlah!”

“Satu lagi, To. Aku tidak pernah meminta imbalan apa pun ke mereka yang meminta obat atau yang belajar ngaji di rumahku. Aku hanya melakukan kewajiban.”

“Mereka bukan anak-anakmu, jadi bukan kewajibanmu.”

“Baik, kalau begitu. Mulai malam ini, aku tidak akan lagi ngajari anak orang ngaji. Kamu saja yang ngajari mereka. Kamu yang tanggung jawab atas bacaan mereka.”

Kata Hafsoh, Mbah Kaum lalu pulang setelah dia dan simboknya keluar ke ruang tamu untuk membela bapaknya. Sejak itu, Mbah Jalal tidak lagi menyalakan dian di rumahnya. Kata Hafsoh, hanya satu dian di ruang tengah sebelum mereka tidur.

Mendengar cerita Hafsoh, ingin rasanya mendatangi Mbah Kaum saat itu juga. Melempar mukanya yang menyebalkan dengan sandal, menyiram dian-diannya dengan air biar tidak bisa menyala lagi, biar rumahnya gelap seperti rumah Mbah Jalal.

Akan tetapi, semua orang dikampung kami tahu siapa Mbah Kaum. Dia termasuk orang kaya di kampung kami. Bahkan, Mas Heri anak semata wayangnya, satu-satunya Mantri Kesehatan di kampung kami. Dan hanya orang-orang yang duitnya banyak yang ketika sakit bisa berobat ke kliniknya, karena setelah diperiksa, katanya harus membayar cukup mahal.

Makanya, kami tak bisa apa-apa selain mengikuti kata Hafsoh. Walau kenyataannya, sejak itu setiap habis magrib kami hanya malas-malasan di masjid.

Kecuali Rani. Ibunya yang seorang guru, yang katanya gajian tiap bulan, bisa memanggil guru ngaji ke rumahnya. Sementara kami, jangankan membayar guru ngaji panggilan dari kampung sebelah, untuk uang saku sekolah saja, kadang dapat, kadang tidak sama sekali.

Orang tua kami juga bukan muridnya Mbah Jalal, dan mereka sangat tidak sabar ketika mengajari kami mengaji, tidak seperti simboknya Hafsoh. Dan ternyata tidak hanya aku, Marni dan Ratmi, mereka juga bilang tidak betah mengaji di rumah.

“Mamak sering nyubit kalo aku ngajinya salah-salah.” Ratmi bilang sambil bibirnya monyong.

“Simbokku juga iya, suka marah-marah. Aku baca panjang, katanya kepanjangan. Aku baca pendek dibilang kurang panjang. Serba salah.” Marni bahkan mengaku sering kabur dari rumah kalau simboknya bersiap mengajari dia mengaji.

Kami pun kompak tidak pernah pulang setelah salat magrib di masjid, beralasan langsung mengaji, padahal hanya mainan di halaman masjid. Dan tidak terasa hingga azan isya kami tidak menyentuh Quran.

Sampai sekitar tiga minggu kemudian, di Senin pagi sebelum aku berangkat sekolah, terdengar siaran dari masjid; berita orang meninggal dunia. Badanku gemetar dan lemas setelah mendengar nama yang disebut dalam siaran, Mbah Jalal. Bapakku bilang, memang sudah dua kali jumatan Mbah Jalal tidak kelihatan. Padahal, biasanya tidak pernah absen. 

Kadang, Mbah Jalal bertugas menjadi muazin ketika salat Jumat, bergantian dengan Mbah Kaum. Aku suka mendengar azan Mbah Jalal. Nadanya nelangsa, aku jadi membayangkan ketika dunia ini baru ada dengan semua tumbuhan hijau yang basah dan segar, tapi kadang aku juga membayangkan seperti di padang mahsyar setelah kiamat.

Saat mendengar kabar meninggalnya Mbah Jalal, di mataku langsung terbayang wajahnya yang tenang, adem, dan nerima. Aku izin untuk bolos sekolah, dan ternyata teman-teman yang lain juga. Kami bertemu di halaman rumah Mbah Jalal. Perasaan kami campur aduk; sedih, sakit, marah, rasanya seperti ada yang kosong  dan gelap. Entah apa namanya.  

Berdiri di belakang barisan kursi kayu panjang, kami semua hanya diam. Aku sibuk dengan perasaanku yang tidak keruan, mungkin yang lain juga. Sesekali kudengar entah siapa menyedot ingus dengan hidung, kadang aku sendiri melakukannya. Sesekali kurasakan mataku pedih, lalu ada yang bergerak turun dari sana.

Sepanjang kami berdiri, tidak henti-henti orang datang melayat. Sepertinya tidak hanya dari kampung kami. Kulihat banyak juga orang dari kampung sebelah, dan ada guru-guru di sekolah kami juga.

Beberapa orang yang keluar dari rumah Mbah Jalal, ada yang berbisik keras pada yang lain. “Bersih banget.”

Kami saling pandang, menduga-duga, dan tak berbuat apa-apa. Aku ingin menerobos masuk, melihat wajah Mbah Jalal terakhir kali, memeluk Hafsoh, dan menyalami simboknya, tapi kuurungkan. Aku hanya bisa mengepalkan tangan menahan semua yang ada di dada.

Di kuburan saat jenazah Mbah Jalal dimasukkan ke liang lahat, tangan kami saling berpegangan kuat sekali. Kami menahan tangis sampai sesenggukan. Dan ketika azan lirih berkumandang, aku spontan menoleh ke arah suara. Itu Mas Jalil yang azan, tapi kenapa aku seperti mendengar suara Mbah Jalal?

Setelah Mbah Jalal meninggal, beberapa hari kami tidak ada yang pergi ke masjid. Rasanya malas sekali mau melalukan apa pun. Ketika berangkat sekolah dan melewati rumah Mbah Jalal, yang kami lihat adalah rumahnya malam itu, yang tidak lagi diterangi nyala dian, dan seketika menambah kosong hati kami yang kebingungan, kehilangan guru mengaji.

Anak-anak yang sudah mengaji kitab, sibuk dengan hafalan mereka, apalagi yang mengaji kitab gundul, katanya pusing sampai rambutnya rontok hampir ikut gundul. Ada juga yang setelah lulus SD melanjutkan ke pondok. Sebagian besar malah memilih merantau ke Jakarta, katanya mau mengadu nasib. Akhirnya, lampu semprong di beranda masjid pun sering mati setelah magrib.

Keceriaan kami pelan-pelan kembali ketika Pak Heri, anak Mbah Kaum satu-satunya yang jadi Mantri Kesehatan di kampung kami, membeli televisi besar dan berwarna. Senang sekali saat kami boleh masuk rumahnya yang bagus di samping rumah bapaknya, dan menonton televisi. Bahkan, yang mengaji kitab pun buru-buru karena mau ikut menonton di sana.

Anak laki-laki teman-teman kami, sudah diwanti-wanti agar besok kalo sunat di sana saja. Katanya, setelah disunat mereka akan diberi hadiah sarung baru dan peci. Dan tentunya boleh terus menonton televisi. Dan sejak itu, tanpa disadari, perihal khataman perlahan mulai memudar dari mimpi kami.

Mbah Kaum juga pernah bilang pada kami. “Sekarang, kalo kalian,  keluarga kalian, ada yang meriang, langsung bawa berobat ke sini. Jalal sudah mati, tidak ada lagi yang bisa mengobati selain anakku, Mantri Heri.”

Saat itu kami saling pandang. Jujur, hatiku tidak terima mendengar Mbah Kaum bicara begitu, tapi dia benar, bagaimanapun, Mbah Jalal sudah meninggal. Jika kami sakit, mau tidak mau, kami mesti berobat ke Mantri Heri walau ongkosnya cukup tinggi. Kecuali, anaknya Mbah Jalal ada yang menuruni bapaknya.

Seiring waktu, aku pun  akhirnya mengerti; Mbah Jalal memang baik, suka menolong orang. Makanya, orang-orang tidak sekadar kasihan, tapi juga percaya dan ingin memberi apa yang mereka punya dengan senang hati, sebagai imbalan dan balas budi. Sementara Mbah Kaum, dia sudah menjual sebagian besar sawahnya demi membiayai sekolah anaknya sampai jadi Mantri. Tentu saja, dia tidak mau semua itu sia-sia.


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url