Kepada Nasib - Whed
Naskah Pilihan Event Timira
Kepada NasibWhed
Tersebutlah Karmin yang sedang kena sial.
Baginya ia adalah lelaki paling menyedihkan sejagad raya, sampai-sampai mati
pun ia tak pantas. Betapa gelap dunia yang ditempatinya.
Hari-hari lelaki itu sepenuhnya menjadi suram
sejak tinggal di sel. Bernapas pun terkadang ia enggan. Lelaki itu bertahan
demi anaknya yang belum pernah satu kali pun ia tahu rupanya. Dan, satu lagi,
ia bertahan karena ingin menyaksikan Jagad mati tersiksa—itu pun jika ia rela
masuk penjara lagi.
Jika malam tiba, saat matanya tak kunjung
terpejam, ia akan berangan-angan menghabisi adik iparnya itu sampai mampus.
Barulah ia bisa tidur, dan ketika terbangun, ia membayangkan rupa anaknya yang
mirip rupanya: hidungnya, matanya, sampai bentuk bibirnya. Dengan demikian, ia
bisa bangkit untuk pergi mengantre di toilet sebelum akhirnya senam bersama
tahanan yang lain sambil telanjang dada.
Sedari kecil hidup Karmin serba susah.
Sudahlah satu matanya buta permanen. Kakinya panjang pendek sehingga jalannya
pincang. Namun, hidup di penjara ternyata membuat hidupnya makin terasa tidak
berguna—seakan menjadi akhir segalanya. Jika waktu diulang, ia tak ingin
menggadaikan diri di tempat terkutuk itu. Ia ingin bebas dan dapat berkumpul
dengan istrinya walau cuman bisa makan seadanya.
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di
penjara, ia mulai menghitung hari, menghitung sudah berapa lama ia tinggal. Ia
terus menghitung dan menghitung sampai berhari-hari kemudian.
Istrinya datang setelah satu minggu ia
ditahan. Perempuan itu tidak mengatakan apa pun, tetapi air matanya membludak.
Sejak itulah penyesalan Karmin yang pertama
muncul: ia menyesal sebab harus melakukan kesepakatan dengan Jagad. Dan,
penyesalan kedua adalah satu bulan kemudian, saat istrinya datang membawa
kabar: “Bulan depan bayi ini lahir. Aku tidak tahu harus mencari uang ke mana.”
Karmin muntab karenanya; seharusnya semua
biaya hidup istrinya ada yang menanggung! Kegelapan pun melingkupinya. Ia
kerahkan tenaga untuk mengamuk. Istrinya ketakutan. Karmin terus memukuli meja,
menendang-nendang kursi, dan sesampainya di dalam sel, ia membentur-benturkan
kepala ke dinding.
Berbulan-bulan kemudian, tidak ada lagi yang
datang menjenguk Karmin. Hanya sepucuk surat yang datang, mengabarkan bahwa
anaknya lahir dengan selamat dan anggota badannya lengkap. Dikatakan dalam
surat, istrinya juga sehat.
Karena surat itulah, Karmin batal menelan
deterjen yang disediakan di kamar mandi. Ia juga mandi setelah
sebelum-sebelumnya ke kamar mandi hanya kencing dan berak. Ia sudah tampak
kelihatan seperti manusia: rambutnya dipotong dan kumisnya dicukur.
Akan tetapi, keadaan Karmin kembali kacau
setelah tidak ada lagi sehelai surat yang datang.
Ia kerap tersenyum getir apabila salah satu
kawannya dijenguk oleh keluarga. Tahun demi tahun adalah neraka. Ia asing
bahkan bagi debu-debu di sekitarnya.
Akhirnya ia mengambil cara untuk mencekik
dirinya sendiri. Tapi Karmin hidup. Kematian pun bahkan tak sudi menghampiri.
Di dalam sel yang pengap dan pesing dan bacin,
Karmin memutuskan berteman dengan sepi, bersahabat dengan gelap. Lambat laun
badannya pun mirip jerangkong. Bibirnya seperti bibir mayat, pucat. Ia jarang
bicara, hanya anggukan dan gelengan saat kawan tahanan menegur lelaki itu.
Dan, beberapa tahun kemudian, pada bulan Juli,
satu bulan sebelum tanggal kebebasannya, sebuah surat datang padanya. Dada
Karmin meledak-ledak. Tangannya gemetaran saat membuka amplop yang membungkus
surat itu. Di sudut ruangan, dekat dengan barisan botol air mineral yang
digunakan untuk menampung air kencing, ia berjongkok, membaca isi surat itu.
Kurang lebih isinya adalah permintaan maaf dari istrinya yang tidak sempat
menjenguk. Istrinya juga mengabarkan keadaan anaknya yang sudah masuk TK besar
baik-baik saja.
Karmin menangis sejadi-jadinya. Antara sedih
dan bahagia rasanya persis. Tak sabar tangannya yang mirip lidi itu mendekap
anaknya, yang ia masih belum tahu jenis kelaminnya, apalagi rupanya.
Hari yang dinanti Karmin tiba. Setelah tujuh
tahun ngendon di penjara, akhirnya ia bisa menghirup udara kebebasan meski
entah mengapa, dadanya masih terasa sesak, seperti ada batu yang mengganjal;
hatinya masih tidak tenang; dan rasa-rasanya cahaya di sekitarnya masih suram
walau matahari bulan Juli begitu mentereng.
Ia berjalan di tepi jalan dengan sempoyongan,
seperti sedang mabuk. Tidak seorang pun yang melintas peduli kepadanya. Bahkan,
daun yang gugur pun memilih menghindar, menjatuhkan diri di aspal ketimbang
mengenai lelaki itu.
Mata Karmin menyipit demi menghalau panas
mentari. Sebentar lagi ia akan sampai di pertigaan yang bila ke arah kanan
adalah menuju rumahnya. Tidak jauh dari pertigaan, Karmin berbelok di gang.
Satu dua orang yang lewat hanya melirik sekilas, kemudian abai. Sepanjang gang,
langkah pincangnya mulai melambat seperti siput. Jantungnya berdetak keras.
Bayangan seorang anak berlari menyambutnya
lenyap dari benak ketika ia dapati halaman rumahnya seperti pembuangan sampah.
Daun-daun kering terhampar. Debu tebal menutupi lantai teras.
Rumah yang berdiri di hadapannya seperti
bangunan tak layak huni. Bahkan, barangkali laba-laba pun kebosanan hidup di
sana. Itu rumahnya, rumah peninggalan orang tuanya yang dibangun dengan bantuan
pemerintah dengan ciri khas cat warna hijau.
Karmin merasakan tulang-tulangnya lolos dari
tubuh. Ia terduduk di dedaunan kering dan megap-megap menahan tangis. Tapi ia
toh akhirnya bangun dan berlari ke pintu, mendorong pintu itu sepenuh tenaga.
Ia mengintip lewat kaca yang sudah tak lagi mirip kaca. Sangat buram, sehingga
ia harus menyingkirkan debu.
Ia tidak bisa melihat apa-apa sebab kaca itu
terhalang gorden. Ia memindai sekeliling, berharap seseorang datang dan
memberinya penjelasan. Tapi rumah-rumah sekitar seolah tidak peduli.
Pintu-pintu tertutup.
Dua remaja yang lewat sama sekali tidak
menganggap Karmin ada.
“Dek!” panggil Karmin kepada remaja itu.
Mereka berhenti, menatap Karmin sejenak, tanpa bertanya ada apa.
“Apa ini benar rumah Karmin?” Karmin hanya
ingin tahu, apakah orang-orang benar-benar melupakannya.
Kedua remaja itu berpandangan sekilas, lalu
mengedikkan bahu.
“Syarifah!” ujar Karmin.
Kedua remaja itu berpandangan lagi, lalu
matanya menyipit, seakan mengingat-ingat sesuatu. Beberapa detik kemudian
mereka melongo, dan salah satu remaja itu malah balik bertanya, “Bulek Syarifah yang punya suami om-om
yang punya mobil bagus?”
Istri?
Om Yang Punya Mobil Bagus? Tubuh Karmin yang
kerempeng nyaris ambruk.
“Yang… yang di bawah matanya ada tahi lalat
sebesar biji bunga jam empat?”
Kedua remaja itu mengangguk. “Iya, Pakde.”
Mereka kemudian berlalu. Karmin masih
mematung, ling-lung. Percakapan itu bagai mimpi bagi Karmin. Atau,
jangan-jangan ia memang sedang tidur di penjara lalu bermimpi? Tapi sial,
segala di hadapannya adalah nyata.
Akhirnya ia ke rumah orang tua istrinya yang
hanya berjarak sekitar setengah kilometer. Di sana ia bertemu dengan Jagad,
adik iparnya, yang baru selesai memasukkan baju-baju ke dalam tas besar.
Wajahnya pucat seperti baru saja melihat setan setelah tahu yang datang adalah
Karmin.
“Di mana Syarifah?” Tidak ada basa-basi. Suara
Karmin terdengar dingin dan menusuk. Tatapan matanya kelam dan dalam dan tampak
menyimpan dendam.
“M—Mas Karmin. Bukankah sampean keluar besok?” Jagad gelagapan. Meski Karmin tampak kurus
kering, Jagad tetap saja ketakutan seperti melihat setan. Jagad ingin
mengompol. Kakinya mundur pelan, pelan, dan pelan, lalu tangannya menjangkau
tongkat di samping pintu. Tongkat kayu itu memang selalu berada di sana—untuk
berjaga-jaga saat tukang tagih utang mendatangi.
Satu kali pukulan, Karmin limbung. Bangsat,
pikir lelaki itu. Ia balas memburu Jagad, menarik rambut gondrongnya dengan
kuat.
“Di mana mbakmu, Setan?” Karmin tidak bisa
mengendalikan diri.
“Katamu kau ingin menjamin semua kebutuhannya!
Di mana mbakmu?” Lelaki itu seperti kesetanan. Ia menangkap tongkat kayu yang
dilayangkan kepadanya dari tangan Jagad, menariknya kuat-kuat, lalu
mendorongnya balik. Jagad tersentak mundur.
Karmin terus membabi-buta. Tangannya
menggoyang-goyangkan tongkat yang berhasil ia rebut. Ia hantamkan tongkat itu
ke arah Jagad. Terus hantam hingga mengenai kepala, wajah, leher, apa saja!
Tanpa ampun! Tanpa jeda!
Jagad ingin mengatakan sesuatu, tapi tak punya
kesempatan. Untuk berkata ampun saja ia tak mampu. Darah sudah keluar dari
hidungnya. Pukulan keras terus menghujaninya. Ia tersungkur, tak berdaya.
Karmin baru berhenti mengamuk saat menyadari
tidak ada pergerakan dari tubuh Jagad. Napas Karmin tersengal. Keringatnya
menetes-netes bercampur air mata. Ia pandangi tubuh Jagad dengan penuh rasa
kengerian. Wajah adik iparnya sudah tak berupa, seperti ayam tumbuk yang
dilumuri saus tomat.
Karmin membeku. Ia meraba ingatannya,
menelusuri kejadian tujuh tahun lalu. Ucapan Jagad kembali terngiang: “Mas, aku
akan menjamin hidup Mbak Syarifah, asal jangan bawa namaku saat ditanyai
polisi. Aku akan beri dia uang, menggantikan Mas Karmin.”
Mula-mula Karmin hendak menolak. Tapi ia butuh
uang itu untuk persalinan Syarifah. Ia tak punya apa-apa lagi untuk dijual.
“Kalau Mas Karmin menyeret namaku,” lanjut
Jagad, “aku pastikan Mbak Syarifah dan Ibu tahu soal pelet yang Mas gunakan.”
Karmin bisa saja tidak menggubris apabila
Syarifah tahu bahwa ia telah kena pelet. Toh, Syarifah terlanjur menjadi
istrinya, dan bahkan sudah bunting. Namun, akan jadi cerita lain bila Syarifah
tiba-tiba minta berpisah. Karmin tidak bakal sanggup.
“Aku juga tidak sudi meminjamkan uangku lagi
kepada Mas Karmin untuk menebus dukun itu.”
Dan, Karmin kalah—ia tak punya apa-apa lagi.
Hanya tujuh tahun. Ia akan bertahan selama itu, pikirnya. Selama hidup Syarifah
ada yang menjamin, ia rela dipenjara.
“Baik. Tapi kamu kudu janji akan membiayai
hidup mbakmu.”
“Tenang, Mas. Aku sudah punya pekerjaan.
Motorku juga sudah ada yang nawar, nanti bisa untuk biaya melahirkan Mbak
Syarifah. Serahkan semua padaku.”
Begitu meyakinkan ucapan Jagad, dan Karmin
percaya pada adik iparnya, sebab ia sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan
istrinya itu. Namun, akhirnya diam-diam ia menyimpan dendam pada Jagad, dan
dendam itu menumpuk lalu meledak.
Tahu-tahu beberapa orang sudah datang menengok
apa yang terjadi di rumah Jagad. Ada yang terkaget-kaget melihat keberadaan
Karmin, dan makin kaget ketika melihat Jagad tergolek. Sorot mata mereka
menguliti Karmin yang masih membeku. Lelaki itu terkepung.
Tak lama kemudian ibu Jagad pulang dari
ladang, menyibak kerumunan sebab mendengar keributan di rumahnya. Matanya
tertumbuk pada Jagad yang wajahnya sudah ditutupi kain oleh tetangga. Ia siap
membabat menantunya dengan sabit, tetapi beberapa orang mencekal lengan wanita
itu.
Sementara itu, Karmin tidak sanggup melawan
saat orang-orang meringkusnya. Jika keajaiban memang ada, Karmin ingin yang
berbentuk kematian. Tapi ia hidup. Ia masih bernapas meski dunianya mendadak
gelap. Dalam kegelapan itu pula ia melihat rasa sakit yang teramat ketika
kembali teringat ajakan Jagad tujuh tahun yang lalu; ketika ia masuk penjara
karena Jagad; dan harus kehilangan anak dan istrinya. Bangsat!
***
Jagad
Malam saat orang-orang menghadiri malam
tirakatan tujuh belasan, Jagad mengajak Karmin menyusup ke rumah demi rumah
untuk mengambil uang atau perhiasan, bahkan kalau bisa motor. Kakak iparnya
tidak akan menolak, Jagad tahu. Lelaki cacat itu tak punya uang, sudah lama
tidak ada pekerjaan, dan istrinya tak lama lagi akan melahirkan.
Jagad meminta kakak iparnya beraksi, sementara
ia berjaga. Rumah pertama yang mereka datangi adalah milik si tua pikun. Pintu
belakang rumahnya selalu lupa dikunci. Uangnya banyak sudah pasti, sebab ia
pemilik gedung indekos di dekat kampus. Ia tinggal sendiri, dan Jagad sempat
melihatnya berangkat ke malam tirakatan.
Tidak ada uang di rumah si tua. Tapi mereka
berhasil mengambil jam tangan dan HP yang tergeletak di meja ruang tengah.
Di rumah kedua, Karmin (yang bertopeng dan
berjaket hitam) berhasil mengambil uang tujuh ratus ribu. Namun, sayangnya ia
harus berpapasan dengan anak si pemilik rumah—seorang gadis umur belasan. Tapi,
Karmin sudah siap: ia menodongkan pisau kepada si gadis, mengancamnya. Karena
itulah Karmin akhirnya berhasil melenggang.
“Kenapa kamu tidak bilang ada orang di rumah?”
“A—aku tidak tahu, Mas.”
Jagad sebenarnya tahu, sebab ia sudah mengirim
pesan kepada si gadis, memintanya untuk muncul. “Tenang, masku tidak bakal
melukaimu, aku jamin. Nanti aku beri upah sepadan, Nis. Setelah ia pergi, kamu
boleh memberitahu tetangga bahwa kamu melihat maling.”
Ia lalu mengarahkan kakak iparnya menuju rumah
Pak RT. Katanya, Bu RT punya perhiasan baru. Ada kalung dan gelang.
“Tapi kamu harus jaga yang benar!” ujar Karmin
dengan napas ngos-ngosan. Ia menyelipkan pisau lipat—yang telah digunakan untuk
mengancam si gadis rumah kedua—ke saku celana.
Dan, pada rumah ketiga itulah, Karmin kepergok
anak Pak RT. Di sana pula, semua bermula. Karmin dihakimi, dilaporkan ke
polisi. Beberapa menit kemudian, Jagad datang menghampiri, bertanya apa yang
terjadi. Wajahnya agak pucat, barangkali karena takut bakal diseret ke kantor
polisi bila Karmin melanggar kesepakatan.
Sebelum polisi datang, Jagad memang sempat
memberi Karmin arahan. Memeluk kakak iparnya itu seperti hendak berpisah lama,
pura-pura menderita atas kejadian yang menimpa. “Kalau kita sama-sama
dipenjara, siapa yang bakal membiayai Mbak Syarifah?” Begitu bisik Jagad,
sehingga Karmin akhirnya menyanggupi permintaan adik iparnya. Dan, sewaktu ia
berkata demikian, uang ratusan ribu-lah yang melayang-layang di benaknya.
***
Syarifah
Menangis tersedu ia ketika suaminya ditangkap
polisi. Tapi hatinya sama sekali tidak berduka. Cukuplah ia memikirkan segala
penderitaan yang pernah ia lalui: hari-hari ketika sang ayah tiada dan
hari-hari ia kawin dengan suaminya. Demikianlah caranya bersedih.
Orang-orang di sekitar tak kalah sedih,
terenyuh melihat wanita hamil yang bakal ditinggal suaminya masuk penjara.
Mereka menenangkan, tapi ada juga yang berbisik menyudutkan. Bagi beberapa
orang maling tetaplah maling, tak sepantasnya dikasihani.
Malam-malam sepi pun Syarifah lalui sendiri.
Ia sudah lega, setidaknya untuk tujuh tahun ke depan. Ia berhasil menyingkirkan
suaminya berkat Jagad. Namun, artinya ia harus memberi imbalan yang pantas
untuk adiknya. Perempuan itu sudah berjanji akan membayar banyak.
“Mbak tidak setuju kamu jadi pembunuh. Jika
ada cara lain, lakukanlah, asal jangan membunuh laki-laki itu!”
Jika boleh jujur, Jagad ingin sekali kakak
iparnya itu mati. Sudahlah menggunakan pelet demi mendapatkan kakaknya, lelaki
itulah yang juga menyebabkan ayahnya tiada. Menurut Jagad, Karmin pantas mati.
“Tapi dia sudah bikin Bapak jantungan, Mbak.”
“Mungkin iya, mungkin tidak, Jagad.” Sorot
mata Syarifah kosong tiap kali mengingat peristiwa kematian sang ayah. Benar
adanya bahwa sang ayah mengalami gagal jantung setelah mendengar kabar Syarifah
hendak kawin dengan Karmin.
“Apa tidak ada laki-laki lain?” kata sang ayah
kala itu. Namun, Syarifah ngotot ingin kawin dengan Karmin, tidak mau dengan
yang lain.
Tidak ada seorang pun yang tahu perihal pelet,
sampai suatu hari, Jagad mendapati Karmin menyemprotkan minyak dari sebuah
botol kecil. Mula-mula Jagad tidak terlalu peduli. Namun, dari seorang kawan,
Jagad tahu bahwa botol minyak milik Karmin adalah minyak pelet—persis dengan
botol yang diceritakan sang kawan. Dari sanalah, Jagad jadi senang mengancam
Karmin. Karena sudah tertangkap basah, Karmin mengaku, dan terkadang harus
memberi uang tutup mulut. Namun, tak jarang pula lelaki itulah yang pada akhirnya
meminjam uang pada Jagad untuk membayar sang dukun.
Tanpa Jagad, Syarifah tak tahu bahwa ia
terpengaruh oleh ilmu pelet. Perempuan itu hanya merasakan sesuatu yang
mengganjal, tapi tak juga tahu apa yang sedang menimpanya. Selain itu, jauh
sebelum menikah, ia sering melamun, dan melihat rupa Karmin di benaknya. Hanya
rupa Karmin. Kemudian bayangan lelaki itu perlahan jarang muncul ketika
Syarifah sudah resmi menjadi istri si pemilik bayangan.
Segalanya lalu terjadi karena kebetulan;
kebetulan Syarifah bertemu dengan seorang lelaki necis; kebetulan Syarifah
sudah tak ingin hidup dengan Karmin lagi; dan kebetulan Syarifah hamil dari
lelaki yang sempurna dan mapan. Sebutlah Darma, nama lelaki kaya itu. Mereka
bertemu di kantor kelurahan ketika Syarifah hendak mengambil bantuan beras
milik ibunya.
“Aku tidak tahu Dik Syarifah sudah punya
suami,” kata Darma ketika mengantarkan beras ke rumah ibu Syarifah. Matanya
menyapu tubuh Syarifah dari pucuk kepala hingga kaki. Warna kulit Syarifah
cokelat gelap, tapi terlihat terawat. Bibirnya ranum. Matanya seperti mata
burung hantu. Tahi lalat menempel di bawah mata kirinya. Senyumnya semanis gula
jawa.
Syarifah telah terhipnotis oleh pesona lelaki
itu. Malamnya ia tidak bisa tidur, terbayang-bayang wajah Darma. Ia pun jadi
lebih sering pulang ke rumah ibunya demi bisa bertemu dengan lelaki itu.
Apabila mendengar suara mobil Darma berhenti di halaman rumah ibunya, berdebar
hebat jantung Syarifah.
Lelaki itu pun lebih sering mengunjungi rumah
ibu Syarifah. Pada lain kesempatan, ia mengajak Syarifah jalan-jalan dengan
naik mobilnya. Sebab itulah Syarifah jadi tergila-gila pada Darma, ketagihan
naik mobil bagus. Ia bahkan pasrah ketika tubuh sintalnya digagahi oleh lelaki
itu.
Malam-malamnya dipenuhi oleh angan-angan untuk
bisa bersanding dengan Darma. Tak jarang pula ia memikirkan cara berpisah
dengan suaminya yang tidak sempurna, yang tidak berduit, yang tidak gagah.
Tidak disangka-sangka, kehamilannya telah membuat ia nekat mencari akal untuk
meninggalkan Karmin. Ia akhirnya mengandalkan Jagad.
Dan, karena Jagad pula, ia bisa berpisah
dengan suaminya. Syarifah tak harus sembunyi-sembunyi untuk memadu kasih dengan
Darma.
“Mas, sesungguhnya aku telah mengandung
bayimu.” Begitu ia memberi kabar pada Darma di dalam mobil saat perjalanan
pulang dari pasar. Suasana di mobil menjadi sedingin malam. Darma membeku, tapi
tidak juga mengelak—hanya bertanya-tanya benarkah bayi itu bayinya. Mobil
menepi, dan Darma cukup bilang, tenang,
Mas percaya suatu saat kita akan hidup bersama.
Syarifah merasa melambung, bersamaan dengan
sentuhan lembut di tengkuknya yang mengundang desir. Ikatan rambutnya lepas.
Rambut ikalnya tergerai bebas.
Ia ingin waktu berhenti saat itu juga. Tapi,
waktu terus berjalan, dan berbulan-bulan kemudian perutnya membuncit.
Syarifah pikir, saat Darma tahu mengenai
kehamilannya, hidupnya akan sempurna seperti dalam drama cinta. Ia akan
dimanjakan, diratukan. Sayangnya, perempuan itu salah. Ia salah, dari awal
sudah salah sebab mengkhianati suaminya.
Sejak Karmin masuk penjara, Syarifah didatangi
tiga tamu lelaki. Ia tidak menyangka tamu-tamu itu akan membawa petaka. Mereka
menunggangi Syarifah dengan bergilir dalam keadaan perut buncit.
“Kami sudah membayar mahal pada Pak Darma,”
ujar salah satu tamu lelaki itu pada Syarifah ketika perempuan itu memohon
ampun.
Seketika ia ingin menenggelamkan diri ke perut
bumi. Mati jika perlu. Tapi ia hidup. Ia masih perempuan yang harus menanggung
lara dengan menangis sampai pagi. Ia memukul-mukul perutnya yang besar,
berharap perut itu meledak. Tapi tidak ada yang terjadi: yang tersisa hanyalah
dadanya yang sesak dan perutnya yang nyeri tak terperi.
Keesokan paginya ia menemui Karmin di penjara.
Dan, di sana, ia tumpahkan lagi kepedihannya dengan menangis, tanpa bicara,
tanpa bercerita apa-apa. Hanya menangis.
Sampai akhirnya Syarifah melahirkan, Darma
membawa perempuan itu ke kediamannya. Ibu Syarifah dengan rela melepasnya sebab
uang yang ia terima sudah cukup, dan yang wanita itu tahu, Syarifah akan
dirawat dengan baik. Darma adalah suami yang baik—meski hanya akan menikahi
anaknya secara siri—dibandingkan Karmin yang cacat, pikirnya.
Syarifah tak tahu di mana bayinya. Tahu-tahu
ia mendapati dirinya terbangun di kamar bagus, sendirian di pagi buta. Ia
terkurung, tak bisa ke mana-mana selain ke kamar mandi. Untuk makan saja ada
yang mengantar makanan ke kamar.
Beberapa hari kemudian barulah ia tahu bahwa
ia adalah budak. Tepat satu bulan kemudian, datanglah laki-laki tak dikenal,
menggerayangi tubuhnya. Lalu, di lain malam, laki-laki lain yang datang.
Namun, Syarifah tidak memberontak. Ia sudah
tidak punya tenaga untuk melawan. Air matanya meleleh sepanjang malam, sampai
ia tertidur, dan dalam tidurnya ia memimpikan seorang bayi cantik yang lucu dan
montok. Terkadang, bila terjaga saat tengah malam, perempuan itu
menyenandungkan lagu pengantar tidur untuk si bayi.
***
Tersebutlah Karmin yang sedang kena sial.
Baginya ia adalah lelaki paling menyedihkan sejagad raya, sampai-sampai mati
pun ia tak pantas. Betapa gelap dunia yang ditempatinya.
Ia punya istri yang entah ke mana, di mana,
masih hidupkah? Dalam benak Karmin, Syarifah sedang menertawakan kebodohannya.
Bodoh sebab telah mempercayai adik iparnya.
Ia punya anak yang ia sendiri tidak tahu jenis
kelaminnya. Tidak tahu rupanya.
Begitulah… sebab yang Karmin tahu, Syarifah
tengah mengandung besar saat lelaki itu masuk penjara. Ia punya istri, punya
anak, dan punya adik ipar yang bangsat. (*)
Sltg, 21 Juli 2025