Hitam Putih - Arius Nala
Naskah Juara Harapan Event Timira
Hitam PutihArius Nala
Udara menggantung berat di ruang tamu sempit berdinding
kayu. Gorden merah pudar membentang, menutup jendela sepenuhnya. Pintu depan
tertutup setengah—sengaja, guna menghalau pandangan tetangga. Dengan jari
gemetar, Ibu Hartati meletakkan ponsel di meja kecil bertaplak lusuh, lalu
duduk di kursi plastik tanpa menimbulkan suara. Lantas, dia mendongak, menatap
pria berjaket hitam yang duduk di depannya.
“Apa ini harus dilakukan, Pak? Apa tidak ada cara lain? Saya
nasabah lama, Pak. Baru kali ini juga saya menunggak,” katanya, dengan suara
pelan, kemudian memastikan bayi di pelukannya tetap terlelap.
Raka menatapnya sejenak. Raut wajahnya tidak berubah, datar.
Alih-alih menjawab, dia meraih ponsel di meja, memeriksanya sebentar lalu
mendongak.
“Maaf, Bu. Ponsel ini tetap harus saya sita. Ini bukan
persoalan nasabah lama atau baru, tapi soal aturan. Sudah perjanjiannya
begini.” Suaranya tenang, tetapi terkesan tegas.
Ibu Hartati menunduk dengan wajah muram. Sekilas, dia tampak
seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi yang terdengar kemudian hanya detak jam
dinding dan helaan napas.
Raka mengeluarkan promise dari tas selempang kecilnya—kertas
kuning yang berisi tanda tangan dan data diri nasabah, perjanjian pinjaman,
serta nomor pembayaran selama sepuluh minggu. Dia menulis kata “macet” di nomor
lima tanpa bicara, lalu memasukkannya kembali beserta ponsel sitaan.
“Terima kasih, Bu.” Dia berdiri, sambil tersenyum, tetapi
tampak seperti hanya formalitas. “Saya pergi dulu.”
Ibu Hartati menyaksikan pria itu keluar dari ruang tamu,
menyusuri halaman depan, dan pergi dengan sepeda motor tanpa meliriknya sedikit
pun. Dia lantas menutup pintu dengan pelan dan berjalan ke kamar.
Langkahnya terhenti di ambang pintu kamar. Tatapannya
tertuju pada anak gadisnya yang sedang tidur, anak yang akan terbangun dan
menyadari bahwa ponselnya tidak ada lagi di sampingnya, lalu mungkin akan
bertanya kepada ibunya di mana benda itu berada—dengan harapan bahwa sang ibu
yang menyimpannya. Tetapi tidak.
Ibu Hartati menelan ludah membayangkan itu. Dia menggigit
bibir, kemudian berkedip terlalu cepat. Dia tidak menemukan jawaban. Lalu, air
matanya jatuh ke lantai yang dingin.
Pada saat yang sama, Raka sedang melintasi jalan utama
menuju kantor. Di dalam tasnya tersimpan empat ponsel sitaan. Meski manajer
sering mengingatkannya agar tidak menyita jaminan nasabah bila mereka memiliki
alasan yang jelas dan masuk akal, Raka tetap melakukannya. Baginya, penyitaan
jaminan bukan soal empati atau kondisi nasabah, melainkan soal ketaatan pada
aturan.
Sejak kecil, dia dibesarkan dalam didikan keras ayahnya yang
menanamkan disiplin sebagai harga mati. Bila ketahuan melanggar peraturan, dia
akan langsung dihukum tegas tanpa ampun. Hukuman yang paling diingatnya datang
saat dia berusia tujuh belas tahun, sekaligus menjadi pengalaman pertamanya
merasakan tamparan seorang pensiunan militer—ayahnya sendiri.
Hari itu, dia ketahuan membolos di tengah jam pelajaran
bersama teman-temannya ketika para guru sedang rapat dan tak ada yang mengawasi
kelas. Dia tidak mengira, begitu tiba di rumah, ayahnya langsung menariknya ke
kamar dan bertanya dengan nada marah.
“Kenapa kau bolos?!”
Dia terdiam. Jantungnya terpacu. Sejenak terpikir olehnya
untuk berbohong, tetapi kemudian dia tersadar bahwa itu hanya akan memperburuk
situasi.
“Jawab!” desak sang ayah. Suaranya tinggi. Tatapannya tajam.
Urat lehernya mencuat.
Raka menelan ludah dengan susah payah. Lalu, dia menjawab
dengan gugup, “Aku dipaksa teman-teman, Ayah.”
Dahi ayahnya berkerut. “Kenapa kau mau?! Apa kau tidak bisa
menolak?!”
“Maaf... Ayah. Cuma kali ini. Tidak lagi. Lagi pula... aku
bersama teman-teman,” jawabnya, dengan suara pelan dan bergetar.
Hanya beberapa detik setelah pembelaan buruk itu, wajahnya
langsung menerima tamparan keras. Refleks, dia menyentuh pipinya yang mendadak
panas, lalu menatap sang ayah dengan sorot tak percaya.
“Ayah...”
“Diam!” bentaknya. “Jadi, kau merasa boleh melanggar
peraturan ketika bersama teman-temanmu?! Begitu?!”
Dia tidak menjawab. Sudah cukup baginya pipi kiri.
“Jika teman-temanmu memaksamu melompat ke jurang, apa kau
akan melompat?!”
Dia tetap tidak menjawab, tidak ingin memperburuk situasi.
Tetapi, setelahnya adalah bagian terburuk yang tak akan pernah dia lupakan.
Sesuatu yang mungkin hanya dialami oleh anak seorang pensiunan militer. Dan itu
berhasil—berhasil membuatnya tidak pernah lagi melanggar aturan apa pun.
***
Raka tiba di parkiran kantor beberapa saat kemudian. Sebelum
masuk, dia menatap motor kantor yang terparkir di sudut, yang selalu digunakan
manajer untuk pulang ke kampung istrinya setiap Sabtu. Padahal, motor itu bukan
untuk urusan pribadi, melainkan menagih. Tetapi menurut manajer, motor tersebut
tidak boleh dipakai menagih karena sudah tiga kali turun mesin—lebih cepat
rusak, katanya. Namun bagi Raka, itu sama saja dengan berkata: lebih baik
merusak motor penagih daripada motor kantor.
Raka kemudian melirik motornya yang tampak kotor dan kusam.
Dia berdecak, menyadari bahwa dia harus mencucinya lagi minggu ini. Setelah
cukup memikirkannya, dia pun masuk dan langsung ke lantai dua.
Kantor Koperasi Simpan Pinjam Abadi Jaya berdiri dua lantai.
Lantai satu menyerupai rumah kos kecil: ada dua kamar tidur, dua kamar mandi,
dan dapur di belakang. Kamar depan ditempati manajer. Satunya lagi dihuni kasir
dan petugas rekap—dua wanita yang sama-sama berusia dua puluh enam tahun.
Di lantai dua hanya ada satu kamar dan satu ruangan cukup
luas yang difungsikan sebagai kantor, dengan lima meja lengkap dengan kursinya,
diatur sedemikian rupa. Di sudut ruangan itu terdapat pintu menuju balkon yang
juga cukup luas.
Dari lima karyawan, hanya tiga yang menetap di kantor karena
berasal dari luar kota: Raka, kasir, dan petugas rekap. Satu penagih lainnya,
Reza, adalah warga setempat. Dia sudah menikah dan memiliki dua anak, sehingga
lebih memilih pulang ke rumah setelah bekerja. Manajer, Pak Riswan, juga
pribumi dan telah berkeluarga dengan dua anak kembar. Namun, kampung halaman
istrinya cukup jauh—sekitar empat jam perjalanan menggunakan motor. Meski
begitu, dia tetap berusaha pulang, walaupun itu sebenarnya melanggar aturan
kantor.
***
Raka tiba di ruangan dan tidak mendapati siapa pun. Dia
kemudian duduk di kursinya. Sambil menunggu karyawan lain, dia mengisi buku
angsuran dengan mengekol promise satu per satu. Meskipun itu jarang dilakukan
oleh penagih yang sudah hafal nasabah dan setoran, dia tetap melakukannya
karena aturan.
Beberapa menit kemudian, semua karyawan kecuali Reza sudah
berada di ruangan.
Raka melangkah ke kasir seraya menghitung uang di tangan.
“Pencairan pinjaman tiga juta, titipan tiga ratus lima puluh ribu, dan empat
ponsel nasabah.”
Nindi—selaku kasir—menerima uang dan ponsel tersebut tanpa
bicara.
“Ponsel siapa, Pak?” tanya manajer.
Meski Raka berusia dua puluh delapan tahun dan belum
menikah, dia tetap dipanggil “Pak”. Manajer menjelaskan bahwa itu adalah bentuk
penghormatan dan kesetaraan.
“Milik empat nasabah, Pak,” jawabnya.
Manajer memintanya menyebut keempat nasabah yang dimaksud.
Tiga nasabah baru yang menunggak di awal penagihan dengan pinjaman cukup besar
tidak jadi masalah baginya, tetapi lain hal ketika Raka menyebut Ibu
Hartati.
“Ibu Hartati? Bukankah dia nasabah lama?”
“Benar.” Raka melirik kolom lama pinjaman di buku angsuran.
“Pinjaman ketujuh belas.”
Manajer menghela napas dan mengalihkan pandangan sesaat.
“Seharusnya Pak Raka tidak mengambil ponselnya. Dia dulunya nasabah lancar,
Pak. Kemacetan setorannya saat ini bukan karena dia ingin begitu. Saya yakin,
dia pasti sedang susah.”
Sebelum menanggapi ucapan manajer, Raka menyodorkan buku
storting dan pencairan pinjaman ke Riska, selaku rekap, guna ditunai—mengecek
kesesuaian tagihan berdasarkan pengeluaran di lapangan dan titipan di kasir.
“Tapi tetap saja, Pak, itu menunggak,” kata Raka. “Dan
sesuai aturan, jaminan harus disita sampai nasabah melunasi pinjaman sebelum
tanggal jatuh tempo.”
Dahi manajer berkerut. “Tidak perlu begitu, Pak. Kita juga
harus bisa mengerti dengan keadaan nasabah. Harus fleksibel. Mereka juga punya
keluarga.”
Raka terdiam. Dia menatap buku angsuran tanpa ekspresi.
Bersamaan dengan itu, Reza datang dan tatapan manajer teralihkan. Raka
buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku dan memainkannya—bukan karena ada hal
penting.
Reza duduk di sampingnya setelah menitipkan sisa tagihan,
lalu mengisi buku angsuran dan pencairan pinjaman.
“Tunai, Pak Reza?” tanya manajer.
“Iya, Pak.”
Setelah itu, hening. Hanya terdengar tombol kalkulator yang
ditekan cepat dan pena yang menggores kertas.
Beberapa menit berselang, kasir berkata, “Hasil tunainya
pas, Pak Raka.”
Raka mengangguk pelan. “Pak Riswan, boleh saya istirahat
sekarang?” tanyanya.
“Silakan, Pak.”
Raka kemudian masuk ke kamar, menutup pintu, berganti
pakaian lalu berbaring. Dia tidak suka diganggu setelah bekerja. Dia lebih suka
beristirahat hingga pagi.
Belum lama setelah merebahkan tubuh di kasur, samar-samar
dia mendengar kasir berkata bahwa hasil tunai Reza tekor dua ratus lima puluh
ribu rupiah. Reza mengaku telah menggunakan uang tersebut untuk membeli susu
dan popok anaknya. Lalu, terdengar suara manajer yang berkata bahwa dia tidak
keberatan perihal itu selama penagih mengakui dan tetap mengutamakan pelayanan
nasabah lebih dulu.
Raka mendengus remeh mendengarnya. Lagi-lagi melanggar
peraturan, batinnya. Pantas saja jumlah pencairan pinjamannya kurang.
Menggunakan uang tagihan untuk keperluan pribadi adalah salah—apa pun
alasannya. Karena itu akan membuat uang kas merosot dan kasbon untuk melayani
nasabah jadi berkurang. Jika sudah demikian, nasabah akan lunas satu per satu
dan koperasi akan tumbang perlahan-lahan.
Paginya, Raka terbangun pukul tujuh seperti biasa. Tidak
pernah lebih. Selalu pas. Dia lantas mandi, berpakaian, lalu duduk seorang diri
di kantor, mengatur promise, dan memeriksa buku angsuran.
Setengah jam kemudian, barulah semua karyawan berkumpul dan
manajer langsung memulai pengarahan pagi.
“Ada perencanaan hari ini, Pak Raka?” tanyanya.
“Tiga orang, Pak. Total pinjaman lima juta. Berdasarkan
kalkulasi target hari ini, tagihan di lapangan sepertinya tidak akan cukup.
Saya butuh kasbon minimal dua juta,” jawabnya.
Manajer menoleh ke kasir. “Uang kas ada berapa, Bu Nindi?”
“Dua juta, Pak.”
“Berikan Pak Raka kasbon satu juta.”
“Satu juta tidak akan cukup, Pak,” protes Raka.
Manajer berdeham. “Begini, Pak. Semalam istri saya
menelepon. Kedua anak saya sedang sakit, badannya panas. Sudah empat hari belum
sembuh. Karena itu saya ingin meminjam uang kas sebagian.”
Raka menatap manajer dengan raut datar. Dia sebenarnya ingin
berkata bahwa apa yang diucapkan manajer tidak ada kaitannya dengan masalah
ini. Tetapi, dia memutuskan untuk tidak mengatakannya karena itu sama saja
berkata bahwa kesehatan anak manajer tidak lebih penting daripada melayani
nasabah—dan tentu itu akan memicu perdebatan.
Akhirnya dia hanya berkata, “Tapi, satu juta tidak akan
cukup, Pak.”
Manajer memejamkan mata sejenak sebelum berkata dengan
tegas, “Layani saja nasabah yang bisa dilayani, Pak. Yang tidak bisa, tunda
saja hingga besok atau minggu depan. Atau katakan saja belum ada pencairan.”
Raka tidak membantah. Dia hanya tersenyum hambar. Meski
begitu, jantungnya sama sekali tidak terpacu, emosinya pun tidak tersulut. Dia
hanya merasa kasihan pada pemilik koperasi ini karena usahanya dikelola oleh
orang-orang yang tidak tepat.
“Pak Reza ada perencanaan?” tanya manajer, melihat Raka
tak kunjung merespons dan malah memainkan ponsel.
“Ada tiga juta, Pak. Tagihan di lapangan sepertinya akan
lebih.”
“Bawa pulang sisa uang tagihan setelah melayani nasabah
lama. Tidak perlu mencari nasabah baru. Kas sedang kosong.”
“Baik, Pak.”
Setelah itu, pengarahan pagi selesai. Raka berangkat dengan
kasbon satu juta. Dan sesuai kalkulasinya, dia hanya bisa melayani dua nasabah
dengan total pinjaman empat juta. Sehingga sisanya, pinjaman satu juta atas
nama Ibu Ratni, terpaksa ditunda.
“Maaf, Bu. Minggu ini belum ada pencairan dari kantor,
adanya minggu depan,” kata Raka, mencoba membujuk Ibu Ratni yang tampak
kesal.
“Saya kan sudah bilang dari minggu lalu, Pak. Bagaimana,
sih? Kenapa jadi tidak bisa? Saya itu butuhnya sekarang, bukan minggu
depan!”
Raka merasakan gejolak di dadanya. “Saya minta maaf, Bu.
Hari ini benar-benar belum ada pencairan. Banyak nasabah yang meminta pencairan
dan semuanya saya tunda. Ini arahan manajer. Tapi saya janji, minggu depan
pasti bisa.”
“Ya sudah!” Ibu Ratni mengeluarkan uang seratus tiga puluh
lima ribu lantas membantingnya ke atas meja. “Ini! Saya lunasi saja! Lebih baik
saya pinjam di koperasi lain!”
Setelah itu, Ibu Ratni berdiri meninggalkan Raka di ruang
tamunya.
Raka menyusuri halaman depan dengan kesadaran bahwa dia baru
saja kehilangan nasabah lancar yang ditawarnya setengah mati saat pertama kali
bertemu. Hal itu lantas menyulut rasa tidak nyaman di dadanya—bukan marah,
bukan kesal, hanya tidak nyaman karena kehilangan nasabah yang seharusnya bisa dipertahankan.
Sesampainya di kantor sore itu, Raka langsung menyampaikan
keluhannya terkait Ibu Ratni.
Manajer lantas berkata dengan suara prihatin, “Tidak
apa-apa, Pak. Saya akan bantu cari nasabah baru.”
Raka tidak menanggapi. Dia hanya fokus mengisi buku angsuran
dan menuliskan pelunasan Ibu Ratni. Setelah resornya ditunai dan hasilnya pas,
dia langsung masuk ke kamar dengan raut dingin tanpa bicara sedikit pun.
Malamnya, di beranda warung dekat kantor, Pak Riswan duduk
di sadel motor sembari menekan ponsel ke telinga. Tangan kirinya menenteng
kantong plastik berisi sebungkus Indomie goreng dan satu butir telur.
“Halo, Lin. Bagaimana keadaan anak-anak, sudah baikan?”
tanyanya dengan cemas begitu teleponnya tersambung.
“Iya, Mas. Setelah dibawa ke puskesmas, kondisi mereka mulai
membaik.”
“Syukurlah, Lin. Kalau butuh apa-apa, bilang saja, apalagi
menyangkut anak-anak.”
“Iya, Mas, nanti aku kabari. Untuk sekarang, belum.”
“Iya. Tapi, mereka sudah benar-benar sehat, kan?”
“Sudah, Mas. Mereka baru selesai makan.”
“Oh, ya sudah. Kalau begitu sudah dulu, Sabtu nanti aku
pulang.”
“Iya, Mas.”
Pak Riswan memutuskan sambungan dan pulang ke kantor dengan hati
lega. Namun dibalik kelegaan itu, dia masih sedikit merasa bersalah terhadap Raka
perihal tadi sore. Dia menangkap bahwa Raka sepertinya marah. Karena itu, dia
langsung naik ke lantai dua setelah menyantap Indomie di kamar. Di sana, dia
mendapati Raka sedang duduk di kursi kasir sembari memainkan ponsel.
“Pak Raka sedang apa?” tanyanya, tersenyum tipis.
“Tidak, Pak. Hanya duduk saja.” Raka tampak tergesa-gesa
saat memasukkan ponsel ke saku.
Pak Riswan berjalan dan duduk di kursi penagih. Raka
mendekat lalu duduk di sampingnya.
Pak Riswan mengeluarkan bungkus rokok dari saku dan
menyodorkannya. “Pak Raka mau?”
“Boleh, Pak.” Dia mengambil sebatang lalu menyundutnya
dengan korek sendiri.
“Kerja di koperasi melelahkan, ya, Pak?” tanya Pak Riswan
setelah mengembuskan asap rokok. Pandangannya tertuju pada tulisan di
dinding—visi dan misi koperasi.
Raka berdeham. “Tidak juga, Pak. Biasa saja.”
Sebenarnya, dia ingin jujur bahwa dia sudah lelah selama
lima bulan terakhir. Tetapi dia mengurungkannya karena “lelah” yang dia maksud
mungkin sedikit berbeda.
“Saya sendiri sudah bertahun-tahun di koperasi ini, Pak.
Sebelumnya bukan di unit sini—di kota lain. Tapi saya meminta ditempatkan di
sini karena lebih dekat dengan anak dan istri.”
Raka mengangguk sembari menyesap rokok. Dia sebetulnya sudah
menebak hal itu sejak lama. Tetapi dia tidak ingin membahasnya.
“Saya juga pernah di posisi Pak Raka. Pernah jadi penagih.
Pasti sangat kesal kehilangan nasabah lancar yang awalnya sulit ditawarkan
pinjaman.”
Raka tak mengucapkan apa-apa meski sangat ingin membenarkan
ucapan itu. Dia hanya lanjut menyesap rokok lalu mengamati asapnya yang
perlahan menghilang di bawah sinar lampu putih.
“Tapi, ada yang lebih penting dari itu, Pak. Saya tahu Pak
Raka sangat taat aturan. Cergas di lapangan. Mampu mengembangkan resor satu.
Tapi, kesejahteraan karyawan jauh lebih penting dari semua itu.”
Raka menatap Pak Riswan sejenak. Raut wajahnya tidak
berubah. Lalu dia berpaling.
Pak Riswan membuang abu rokoknya di asbak sebelum lanjut
bicara. “Saya juga tahu Pak Raka tidak pernah meminjam uang kas atau mengambil
tagihan di lapangan. Pak Raka sangat jujur. Tapi, sebenarnya tidak masalah
kalau Pak Raka ingin meminjam uang. Saya dan kasir tidak keberatan. Asalkan
bilang, kami pasti bisa memahami. Kami juga punya keluarga, Pak, punya
kebutuhan, yang tentu tidak bisa diduga-duga. Dan mungkin Pak Raka juga
begitu.”
Pak Riswan menoleh, menatap Raka dalam-dalam. Senyum dan
sorot matanya tampak ramah.
“Karena itu, saya harap Pak Raka bisa sedikit memahami
keadaan sekarang. Saya dan karyawan lain jelas ingin usaha ini lebih maju dan
berkembang. Tapi kami juga tidak bisa mengabaikan keluarga. Contohnya Nindi.
Dia hanya memiliki ibu dan satu adik laki-laki. Ayahnya ketahuan selingkuh dan
menikah lagi saat dia masih berusia lima belas tahun. Dan sedihnya, sang ayah
tidak memberi nafkah sama sekali setelah itu. Karena itulah dia sering meminjam
uang kas.”
Raka balas menatap Pak Riswan dan ruangan mendadak hening.
Lalu, dia berpaling dan mengangguk pelan dua kali.
Pak Riswan kemudian berpaling dan mengganti topik. Dia
menceritakan pengalamannya saat masih jadi penagih dan sengaja berlama-lama di
rumah nasabah yang punya anak gadis yang kini jadi istrinya. Lalu, dia lanjut
menceritakan penagih sebelumnya yang memakai promise untuk diri sendiri dengan
nada jengkel, lantas ditutup dengan ceramah agar Raka tidak melakukan hal yang
sama. Setelah merasa cukup berceloteh, dia pun pamit turun ke lantai
satu.
Raka berdiri saat langkah pria itu tidak terdengar lagi. Dia
kembali duduk di kursi kasir, membaca beberapa buku, dan mengekol promise resor
satu dan dua hingga larut malam.
Paginya, perdebatan sengit terjadi lagi. Raka membutuhkan
kasbon karena banyak nasabahnya yang mendekati lunas dan harus diberikan
pinjaman ulang. Tetapi dia tidak mendapatkannya karena Nindi—secara
kebetulan—juga membutuhkan uang untuk biaya sekolah adiknya di kampung.
“Pak Raka,” kata manajer, “tunda dulu pencairan pinjaman
yang kecil. Atau lewati saja rumah mereka. Atau kalau Pak Raka tetap ingin
menagih agar tagihan normal, katakan saja pada mereka belum ada pencairan.”
Raka berdecak selagi telunjuknya menyusuri kolom angsuran
nasabah yang dia maksud. “Tapi, Pak, semua nasabah ini lancar. Mereka tidak
pernah telat membayar.”
Manajer tampak berpikir. Dia melirik Nindi dan langsung
murung setelahnya. “Biarkan saja dulu, Pak. Katakan saja pada mereka belum ada
pencairan dari kantor.”
Raka hanya menanggapi dengan anggukan kosong, lalu
memasukkan promise ke tas dan menutup buku dengan gerakan tegas. Begitu pengarahan
selesai, dia langsung turun ke lapangan dengan keyakinan bahwa hari ini pasti
lebih mengecewakan.
Sorenya, di balkon lantai dua, Nindi berdiri menatap langit mendung
di kejauhan sambil menelepon ibunya. Wajahnya tampak sedih ketika sang ibu
bertanya perihal kabar.
“Nindi baik-baik saja, Bu,” jawabnya, berdusta.
Dia tidak baik-baik saja. Kepalanya sakit setiap kali dia
memikirkan dirinya sendiri yang sudah tujuh tahun menjadi tulang punggung
keluarga. Dia tidak bisa membeli apa pun selain kebutuhan. Namun, dia juga
tidak punya pilihan selain bertahan. Dia sayang ibu dan adiknya melebihi apa
pun, dan rasa itulah yang memberinya kekuatan hingga mampu bertahan selama ini—meskipun,
sesekali dia mendapati air matanya membasahi pipi saat tengah malam, keluar dengan
sendirinya karena beban yang tidak pernah diceritakan.
“Syukurlah, Nak. Jaga kesehatan, ya,” kata ibunya di
ujung telepon.
“Iya, Bu. Uang sekolah Aris sudah dibayar, kan?” tanyanya.
Dia sudah mentransfer uang tersebut tadi pagi dan melebihkannya sedikit.
“Sudah, Nak. Tadi Ibu sendiri yang ke sekolah.”
Nindi tersenyum tipis. “Oh, iya, Bu.”
Tak lama kemudian, samar-samar terdengar bunyi langkah
menaiki tangga. Nindi menoleh dan berkata, “Sudah dulu ya, Bu. Nindi kerja
dulu.”
“Iya, Nak.”
Setelah memutuskan sambungan, dia bergegas kembali ke
kursinya. Manajer muncul dari tangga diikuti rekap. Mereka kemudian duduk di
kursi masing-masing.
Hanya beberapa detik berselang, bunyi motor Raka terdengar
di parkiran. Pria itu dengan wajah datarnya langsung mendekati kasir.
“Pencairan pinjaman dua setengah juta, titipan dua ratus
tiga puluh ribu, simpanan keluar seratus lima puluh ribu,” katanya, dengan
suara dingin dan tanpa menatap kasir sama sekali.
Raka kemudian mengambil buku angsuran, pencairan pinjaman,
juga kertas simpanan keluar sebelum duduk.
“Simpanan keluar, Pak? Ada nasabah yang lunas?” tanya
manajer.
“Iya, Pak, dua orang. Nasabah lancar,” jawabnya, juga tanpa
menatap manajer sama sekali. Dia hanya fokus mengisi buku tanpa ekspresi.
Manajer tidak merespons—hanya menelan ludah dan diam menekuri
permukaan meja.
Raka menyodorkan buku storting dan pencairan pinjaman ke
rekap setelah mengisinya.
“Tunai?” tanya Riska.
“Iya.”
“Langsung tunai, Pak?” tanya manajer. “Apa tidak sebaiknya
ditunda dulu? Mungkin titipan tagihan Pak Reza lebih sore ini. Kita bisa
kembali besok ke nasabah itu dan memberinya pinjaman.”
Raka mengeluarkan ponsel dari saku dan memainkannya. Ada
jeda yang cukup lama sebelum dia menanggapi.
“Tidak perlu, Pak,” katanya, masih menatap layar dan sedikit
tersenyum. Tetapi semua orang di ruangan bisa melihat bahwa itu senyum tawar.
“Kenapa begitu?”
Ada jeda lagi. Sedetik, dua detik, lebih.
“Mereka sudah meminjam di koperasi lain—di depan mata
saya.”
Suasana di ruangan langsung terasa lebih berat dan menekan.
Wajah kasir dan rekap tampak tegang. Jari mereka tetap bekerja, tetapi pikiran
mereka sepertinya merayau.
Manajer menghela napas panjang. Ucapan Raka barusan membuat napasnya
tertahan. “Tidak apa-apa, Pak.” Suaranya melembut. “Nasabah memang seperti
itu.”
Raka tersenyum tipis, singkat, dan tidak sampai ke matanya.
Reza datang beberapa menit kemudian, seolah menggeser
ketegangan sesaat. Setelah menitipkan uang tagihan dan melaporkan total
pencairan pinjaman ke kasir, dia duduk.
“Tunainya pas, Pak Raka,” kata kasir beberapa menit
setelahnya.
Raka tidak merespons. Dia hanya sibuk memainkan ponsel dan
sesekali melirik tasnya.
“Besok bisa tahan tagihan, Pak Reza?” tanya manajer. “Resor
satu butuh kasbon. Banyak nasabah yang berhenti dan harus diganti. Kalau tidak,
target global akan turun dan kita akan mendapat teguran dari atasan.”
“Tunggu, Pak.” Reza membuka buku angsuran, memeriksanya
sebentar lalu berkata, “Tidak bisa, Pak. Besok banyak perencanaan pinjaman
besar dan setoran mereka lancar. Tagihan sepertinya pas.”
Manajer menghela napas lebih panjang. Dadanya terasa
berat. Wajahnya tampak seperti seseorang yang sebentar lagi akan
menghantamkan kepalan ke meja.
“Saya istirahat dulu, Pak,” kata Raka, memasukkan ponselnya
ke saku.
Manajer menatapnya beberapa detik dengan sorot lemah sebelum
berkata, “Silakan, Pak.”
Raka berdiri, masuk ke kamar, mengunci pintu, dan tidak
keluar lagi hingga pagi.
***
Akhir bulan, tepatnya di hari kelima minggu terakhir,
Koordinator Wilayah Koperasi Simpan Pinjam Abadi Jaya, Pak Yudistira, tiba di
kantor seperti biasa. Dia lantas memeriksa buku angsuran, storting, target
global, rekap, kasir, bon karyawan, dan lainnya dengan teliti. Semua karyawan
tertunduk tegang sore itu di kursi masing-masing. Kecuali manajer, yang duduk
di samping Reza karena Pak Yudistira menggunakan kursinya.
“Bon karyawan benar hanya di minggu keempat, Bu Kasir?”
tanya Pak Yudistira. Suaranya pelan, tetapi menggema, seolah sebagian suara itu
keluar dari dadanya.
Wajah Nindi semakin tegang. Dengan sedikit gugup dia
menjawab, “Benar... Pak.”
Pak Yudistira kemudian memeriksa buku angsuran resor satu
dan berkata setelah beberapa detik membolak-balik halaman, “Banyak nasabah yang
berhenti, Pak Raka?”
“Iya, Pak. Mereka ingin berhenti dulu. Saya sudah berkunjung
beberapa kali untuk memberikan pinjaman. Tapi mereka belum mau.”
Pak Yudistira mengangguk, lalu mendongak menatap Raka.
“Nasabah yang dulunya lancar dan sekarang berhenti, usahakan diberikan pinjaman
ulang, Pak. Sulit mencari nasabah lancar.”
“Baik, Pak.”
Kunjungan Pak Yudistira hanya berlangsung satu hari. Selain
memeriksa buku, dia juga menyetujui gaji karyawan. Setelahnya, dia pergi, dan
kantor terasa longgar kembali.
Besok malamnya, tutup buku selesai dan semua karyawan
menerima gaji. Manajer tidak bertolak ke kampung istrinya karena sudah malam.
Dia memutuskan untuk pulang keesokan harinya. Karyawan lain menikmati malam di
tengah kota—kecuali Raka. Dia menghabiskan waktu di kursi kasir, memeriksa
beberapa buku hingga larut malam.
***
Pada bulan berikutnya, kejadian seperti di bulan sebelumnya
masih terjadi bahkan lebih parah. Karyawan selain Raka bergantian meminjam uang
kas dengan alasan keluarga dan kebutuhan. Hal itu lantas membuat Raka kesulitan
melayani nasabah karena kasbon yang sedikit.
Raka menyampaikan masalah itu suatu pagi pada manajer
setelah meletakkan ponselnya di meja, dan manajer langsung memerintahkan Reza
untuk menahan tagihannya. Namun, Reza menolak, karena banyak nasabah lancar
yang meminta pencairan.
Manajer kemudian mengalihkan tatapannya ke kasir. “Berapa
jumlah uang kas, Bu Nindi?”
“Lima ratus ribu, Pak,” jawabnya.
Manajer mengernyit. “Bukannya di laporan yang Ibu kirim di
grup WA masih lima juta lebih?”
Nindi mendengus pelan. “Itu laporan tanpa memasukkan bon
karyawan, Pak. Bon karyawan mencapai lima juta.”
Wajah manajer mendadak tampak sepuluh tahun lebih tua. “Jadi
begitu.”
“Tidak masalah, Pak. Saya akan berusaha melayani nasabah
yang meminta pencairan,” kata Raka, tersenyum tipis, lalu memasukkan ponsel ke
saku.
Manajer terdiam. Hanya ada jeda yang cukup panjang sebelum
dia mengakhiri pengarahan.
Sebelum berangkat menagih, Raka mendekati kasir. “Bu Nindi,
boleh saya pinjam ponsel sebentar? Saya ingin menelepon nasabah. Paket saya
habis.”
Nindi menyodorkan ponselnya. Raka menerimanya, lalu
melangkah ke balkon dan menelepon nasabah. Setelah itu, dia membuka WhatsApp
beberapa menit sebelum mengembalikan ponsel tersebut.
Sorenya, setelah meletakkan ponselnya di meja dan
menyerahkan buku storting serta pencairan pinjaman ke rekap guna ditunai, Raka
menyampaikan ke manajer bahwa banyak nasabah yang berhenti total sebab tak
dapat dilayani. Dia juga menambahkan bahwa mereka seharusnya bisa dilayani jika
kasbon sedikit memadai.
Mendengar hal itu, manajer lantas menegaskan ke semua
karyawan agar tidak meminjam uang kas untuk sementara waktu, juga menegaskan
bahwa selanjutnya uang kas akan difokuskan untuk melayani nasabah lama dan
baru.
Semua karyawan mengangguk.
Raka kemudian memasukkan ponselnya ke saku, lalu masuk ke
kamar setelah resornya ditunai.
***
Sehari sebelum koordinator wilayah melakukan kunjungan akhir
bulan, tepatnya saat pengarahan pagi, Raka tiba-tiba berkata ingin mengundurkan
diri. Semua karyawan sontak terkejut, menatapnya menunggu penjelasan. Tetapi
dia hanya diam—seolah sengaja membiarkan keheningan yang menjelaskan.
“Ada apa, Pak? Kenapa mendadak?” tanya manajer dengan wajah
berkerut.
Raka mendongak, tersenyum tipis. “Saya mau pulang kampung,
Pak. Ibu saya sedang sakit.”
Manajer menunduk muram. Dia menduga bahwa alasan sebenarnya
Raka berhenti bukanlah itu. Namun apa pun alasannya, dia tetap tidak bisa
menahan karyawan yang ingin berhenti, karena sistem kerja tidak menggunakan
kontrak—setiap karyawan bebas keluar kapan saja selama tidak meninggalkan
masalah di koperasi.
“Baik, Pak. Saya tidak bisa menahan kalau itu alasannya.
Tapi setelah gajian, Pak Raka harus menunjukkan kepada saya rumah semua nasabah
paling tidak satu minggu. Setelah itu, baru resor bisa dialihkan kepada saya dan
Bapak bisa berhenti sepenuhnya,” kata manajer.
“Baik, Pak.”
Koordinator wilayah tiba di kantor keesokan harinya. Pak
Yudistira menanyakan perihal mengapa Raka ingin berhenti, dan jawabannya persis
seperti saat manajer yang bertanya. Pak Yudistira kemudian mengatakan bahwa itu
tidak menjadi masalah selama tidak ada pemakaian promise atau selisih saldo di
lapangan.
“Saya jamin tidak ada, Pak. Selama ini tunai saya juga pas,”
tegas Raka saat itu.
Pak Yudistira mengangguk pelan. Lalu, dia memeriksa buku
angsuran resor satu dan mendapati banyak nasabah yang lunas tanpa pencairan
ulang. Dia lantas menanyakan sebabnya.
“Benar, Pak,” jawab Raka. “Itu karena kurangnya kasbon dan
pinjaman nasabah yang terlampau besar untuk resor yang targetnya kecil.
Seharusnya nasabah tidak diberi pinjaman besar jika target belum mencapai
seratus persen pinjaman terbesar di resor. Dan, bukannya saya membela diri,
keadaan resor memang sudah demikian sebelum dialihkan ke saya. Saya hanya
bertahan di kapal yang sedari awal sudah bocor.”
Pak Yudistira terdiam sejenak sebelum berkata, “Saya bisa
paham soal itu, penagih sebelumnya memang banyak pemakaian. Tapi, kenapa
kasbonnya kurang? Bukankah di laporan tertera bahwa uang kas cukup banyak?”
Wajah kasir sontak memucat. Tangannya mengepal di lutut
hingga buku-buku jarinya memutih. Dia tahu dia mungkin akan dipecat jika Raka
berkata jujur. Tidak ingin itu terjadi, dia pun melirik penuh harap kepada manajer.
“Uang kas dibagi dengan resor dua, Pak,” jawab manajer,
menangkap maksud tatapan kasir. “Resor tersebut juga butuh perbaikan setelah
dipegang oleh penagih sebelumnya. Banyak nasabah palsu.”
“Kalau itu masalahnya, seharusnya ada kasbon dari atasan,”
kata Pak Yudistira. “Tapi sebelum mengajukan itu, saya akan mengecek kembali
kertas tunai beberapa bulan terakhir kedua resor dan mengecek jumlah nasabah
barunya.”
Raka tersenyum samar. Dia tahu bahwa di kertas tunai resor
dua tidak tertera kasbon yang cukup banyak. Ditambah lagi titipan tagihannya
selalu lebih dari titipannya. Hal itu akan menjadi pertanyaan. Mengembalikan
banyak titipan dengan asumsi membawa kasbon tanpa perkembangan target yang
signifikan jelas sesuatu.
“Baik, Pak,” kata manajer.
Setelah memeriksa semua buku dalam sehari, Pak Yudistira pun
pergi dengan pikiran yang tidak sama lagi. Terutama setelah dia memeriksa
kertas tunai dan nasabah baru di masing-masing resor dengan lebih dalam dan teliti.
Ada yang janggal, pikirnya. Tetapi dia belum sepenuhnya yakin.
***
Satu minggu kemudian, resor satu telah dialihkan kepada
manajer. Tidak ada pemakaian di lapangan. Bahkan selisih lima ratus rupiah pun,
tidak. Semua promise pas. Semua nasabah jelas. Harus diakui, itu adalah hal
yang luar biasa, sehingga manajer berterima kasih kepada Raka sebelum Raka meninggalkan
kantor sore itu.
“Saya akan tetap menerima Pak Raka jika suatu hari nanti
ingin bekerja lagi,” katanya, mengulurkan tangan.
Raka menyambut tangan itu. “Iya, Pak. Mungkin suatu hari
nanti.”
Setelahnya, Raka pun berpamitan ke semua karyawan, lalu
berbalik dan menuruni tangga. Tanpa berlama-lama di parkiran, dia langsung menyalakan
motor dan pergi meninggalkan Kantor Koperasi Simpan Pinjam Abadi Jaya untuk
selamanya.
***
Dua minggu setelah Raka berhenti, Pak Riswan terkejut saat
tiba di kantor sepulang menagih. Di lahan kosong di samping kantor, terparkir
Honda Mobilio putih yang dikenalnya. Dia tahu, seharusnya pemilik mobil itu
tidak berkunjung minggu ini.
Pak Riswan dengan benak dipenuhi pertanyaan melangkah naik
ke lantai dua. Betapa terkejutnya dia saat melihat Pak Yudistira duduk satu
meja dengan Pak Wayan Juniarta—yang adalah pemilik koperasi ini. Dan di depan
meja mereka, Nindi berdiri dengan kepala tertunduk lesu dan wajah muram.
Sekilas, dia melirik ke arah Pak Riswan sebelum menunduk kembali.
Keterkejutan Pak Riswan tidak hanya sampai di situ. Tubuhnya
semakin tegang saat melihat dua pria berwajah datar dengan pakaian rapi duduk
di kursi penagih. Tidak hanya mereka, di kursi kasir dan rekap juga duduk dua
wanita yang belum pernah dilihatnya.
Dia menelan ludah, lalu mendekati Pak Yudistira yang
langsung menatapnya dengan sorot dingin. Sementara itu, Pak Wayan tampak sibuk
memeriksa buku dan promise yang tertumpuk di meja seolah tidak memedulikannya.
“Silakan duduk di kursi penagih, Pak,” kata Pak Yudistira.
Suaranya kali ini lebih menggema, lebih tegas, dan lebih menekan.
Kedua pria di tempat penagih bergeser, memberi ruang duduk
untuk Pak Riswan.
Pak Wayan mendongak tanpa ekspresi. “Di mana penagih resor
dua? Kenapa belum pulang?”
Pak Riswan buru-buru merogoh saku. Jarinya gemetar tanpa dia
sadari. “Masih di lapangan, Pak. Saya akan coba telepon,” katanya, sedikit gugup.
Suaranya bergetar.
“Silakan.”
Tak lama kemudian, Reza pun tiba. Sama seperti Pak Riswan,
dia terkejut mendapati kunjungan yang tidak biasa. Dia kemudian duduk di
samping Pak Riswan. Kasir dan rekap juga sudah duduk di tempat mereka,
berdampingan dengan dua wanita berwajah datar.
“Kenapa, Pak? Ada yang salah?” tanya Pak Yudistira, menyulut
rokok.
“Tidak, Pak. Hanya... tidak biasanya Bapak berkunjung di
minggu kedua,” jawab Pak Riswan dengan suara pelan dan sedikit menunduk.
Pak Yudistira tampak tidak ingin buru-buru menanggapi,
seolah sengaja agar suasana di ruangan semakin menyesakkan.
“Tidak ada bon, Pak?” tanya Pak Wayan, menyundut rokok tanpa
menatapnya.
Pandangan Pak Riswan seketika mengabur sejenak. Kepalanya
langsung berdenyut teringat kemarin dia meminjam uang kas cukup banyak untuk
membiayai anaknya yang baru masuk sekolah. Jelas akan berdampak buruk jika dia
jujur. Dia sadar itu. Tetapi raut wajah Nindi dan tatapan tajam Pak Yudistira
membuatnya ragu untuk berbohong.
Dia akhirnya menghela napas sebelum menjawab dengan suara
yang lebih pelan, “Ada, Pak. Kemarin saya meminjam uang kas. Kedua anak saya baru
masuk sekolah. Butuh baju dan lain-lain, Pak.”
Pak Wayan hanya lanjut menyesap rokok, raut mukanya tidak
berubah. Lalu, dia bertanya lagi, “Pak Reza tidak ada bon?”
Reza langsung menjawab jujur setelah beberapa kali menelan
ludah, “Ada, Pak. Untuk membeli susu dan popok anak.”
Pak Wayan menaruh rokoknya di tepi asbak, lalu menyatukan
jari jemarinya di atas meja. Dia mendongak, menatap Pak Riswan dan Reza
bergantian.
“Begini,” katanya, “saya tidak keberatan kalian meminjam
uang kas. Tapi aturannya jelas tidak di minggu kedua. Saya rasa kalian tahu
alasan di balik aturan itu. Selain karena kalian sudah menerima gaji di akhir
bulan, bon di awal bulan juga membuat pelayanan nasabah menurun drastis. Saya
bisa paham kalian butuh uang. Tapi tidak begini caranya. Jika terus-terusan
seperti ini, kalian akan kehilangan banyak nasabah. Dan itulah yang saya lihat
di resor satu. Pelunasan, simpanan keluar, dan kurangnya nasabah baru. Kalau
terus begitu, resor akan tumbang cepat atau lambat.”
Semua karyawan mendengarkan sambil tertunduk. Udara terasa
seberat timbal. Keheningan seakan berputar hebat di tengah ruangan, menyulut
sesak yang tidak tertahankan.
“Kemudian kasir,” kata Pak Wayan, membuat Nindi tertunduk lebih
dalam. “Saya sudah ingatkan berkali-kali di WA—jangan pernah meminjamkan uang
kas kepada karyawan kalau bukan di minggu terakhir. Tapi Ibu Nindi lebih
memilih membohongi saya di belakang.”
Pak Riswan melirik Nindi dan bisa melihat jelas getaran di
bahunya.
“Maaf... Pak,” kata Nindi, dengan suara yang terputus-putus
karena isakan. Air matanya jatuh tepat di antara kedua pahanya yang rapat. Dia bingung
harus bagaimana jika hal ini sampai membuatnya dipecat. Dia tidak punya tujuan.
Dia merasa berat untuk pulang kampung walaupun dia sangat merindukan ibu dan adiknya.
Ibunya tidak bisa lagi jadi tulang punggung keluarga, terlebih adiknya. Hanya dialah
yang bisa diharapkan dan dia sadar itu. Namun, sekarang posisinya berada di
ujung tanduk. Dia hanya bisa berharap Pak Wayan mau sedikit memahami kondisinya—yang
sudah dia jelaskan sebelum Pak Riswan tiba di kantor.
“Kemudian untuk resor dua,” kata Pak Wayan, meraih rokoknya
di asbak. “Saya baru saja memeriksa buku angsuran dan macet. Saya cukup
terkejut saat menemukan beberapa nasabah yang dulunya di buku macet, masuk ke
buku angsuran, tapi tidak lunas di buku macet. Semoga saja saya salah sangka
bahwa Pak Reza menggunakan pelunasan mereka.”
Keheningan seakan menjerat ruangan beberapa detik. Pak Wayan
menyesap rokok. Reza menelan ludah. Pak Riswan menatap permukaan meja dengan
sorot tak percaya.
Reza sebenarnya ingin membenarkan dugaan Pak Wayan. Dia
ingin mengakui bahwa dia memang menggunakan saldo pelunasan nasabah macet yang
diberikan pinjaman ulang. Tetapi, dia tahu, Pak Wayan tidak akan memaklumi
alasannya menggunakan saldo tersebut, meskipun itu untuk membeli baju sekolah
dan susu anaknya. Dia sadar bahwa itu tindakan yang salah apa pun alasannya.
Karena itulah dia memilih diam.
Namun, di satu sisi, dia sebenarnya terpaksa melakukannya.
Dia tidak sanggup menyaksikan anaknya meneguk susu kaleng, juga tidak sanggup melihat
anaknya berangkat ke sekolah dengan seragam lusuh. Dia tidak ingin gagal sebagai
ayah—sekalipun dia harus gagal menjadi orang jujur.
Pak Wayan kemudian melanjutkan, “Tidak hanya itu. Saya juga
sudah mengekol beberapa promise dan menemukan tekor sebanyak dua jutaan. Itu
baru beberapa promise, dan itu baru selisih. Belum lagi promise yang fiktif
jika ada. Tapi saya berharap itu tidak ada meski saya ragu.”
Pak Riswan menatap Reza dengan kecewa. Dadanya semakin sesak
melihat Reza tak menanggapi dugaan itu seolah membenarkannya. Padahal, dia sudah
memberikannya keringanan, juga sudah membiarkannya menggunakan uang tagihan.
Dia tidak menyangka bahwa semua itu tidaklah cukup bagi Reza.
“Kemudian,” ujar Pak Wayan, “saya juga baru tahu bahwa Pak
Riswan sering pergi setiap Sabtu. Padahal, hari Sabtu adalah waktu untuk
mengontrol storting, target, dan beberapa hal lainnya. Saya benar-benar tidak
habis pikir. Apalagi menggunakan motor kantor yang seharusnya digunakan
menagih.”
Pak Riswan langsung tersentak dan tertunduk lebih
dalam. Dia tidak terpikir untuk membantah. Tidak sama sekali. Bahkan dia tidak
terpikir siapa yang telah memberitahu Pak Wayan perihal itu. Dia sudah
kedapatan berbuat salah terlalu banyak, sehingga merasa tidak pantas untuk
sekadar berbicara, apalagi protes. Dia hanya bisa mencengkeram pahanya hingga terasa
sakit. Namun, sakit itu pun tak mampu menghalau sesak akibat beban yang menindih
dadanya.
“Besok, kasir dan rekap akan diambil alih oleh Ibu Olfin dan
Ibu Hesti. Kemudian, resor satu dan dua akan diambil alih oleh Pak Hendra dan
Pak Ishak,” kata Pak Wayan.
Wajah Pak Riswan, Reza, Nindi, dan Riska seketika tampak
menyedihkan.
“Tapi, Pak, apa tidak ada jalan lain? Saya... Saya butuh
pekerjaan, Pak.” Nindi yang pertama kali merespons. Matanya basah. Dan wajahnya
penuh harap.
Namun, Pak Wayan menjawab tegas bahwa tidak ada cara lain
dan keputusannya sudah bulat. Nindi lantas tertunduk kembali, tetapi dengan
isakan yang membuat perut orang-orang di ruangan—kecuali Pak Wayan—bergolak.
“Mulai besok, Pak Riswan dan Pak Reza menagih bersama Pak
Hendra dan Pak Ishak untuk menunjukkan semua alamat nasabah. Jika ada promise
yang tidak jelas, akan saya bebankan ke pemegang resor, begitu juga dengan
selisih antara promise dan buku angsuran. Setelah seminggu penagihan dan resor
terbukti bersih, resor akan langsung dialihkan dan kalian boleh pulang ke
kampung masing-masing,” ucap Pak Wayan dengan nada tegas.
Pak Riswan mendongak dengan wajah muram. “Tapi, Pak,
bagaimana dengan kami semua? Kami punya keluarga, Pak. Apa benar-benar tidak
ada solusi lain?”
Pak Wayan terlihat menghela napas. “Akan saya pikirkan ke
depannya, meskipun saya sebenarnya tidak ingin mempekerjakan orang-orang yang
pernah bermasalah. Saya akan menghubungi kalian jika membutuhkan karyawan, tapi
itu kemungkinan yang sangat kecil.”
Pak Riswan langsung merasakan dadanya seperti terhantam
batu. Napasnya tertahan. Dia sulit membayangkan bagaimana hidup ke depannya.
Terutama anaknya, yang baru masuk sekolah.
Dia kemudian memohon kembali kepada Pak Wayan agar memberinya
kesempatan dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya. Namun, Pak Wayan hanya
mengatakan hal yang sama dengan lebih tegas—menandakan bahwa keputusannya sudah
tidak bisa diubah lagi.
“Sisanya akan saya serahkan ke Pak Hendra dan Pak Ishak.
Bekerjalah sesuai dengan aturan, dan ingat pesan-pesan saya sebelum kita ke
sini,” tegas Pak Wayan lagi.
“Baik, Pak,” kata Pak Hendra dan Pak Ishak nyaris bersamaan.
“Kalau begitu, kami pergi dulu.”
Pak Wayan berdiri diikuti Pak Yudistira. Mereka kemudian
menuruni tangga dan pergi begitu saja—meninggalkan ruangan yang kini terasa
mengimpit bagi Pak Riswan, Reza, Nindi dan Riska.
***
Pada saat yang sama, Raka sedang duduk di teras kosnya yang
baru disewanya seminggu, menikmati secangkir kopi dan angin lembut sore hari.
Ketika mendongak memandang langit yang cerah, ponselnya berbunyi pelan.
Dia mengeluarkan benda itu dari saku, lalu membuka WhatsApp
sebelum kemudian menyulut rokok. Layar ponsel menampilkan satu pesan masuk dari
nomor yang tidak tersimpan. Dia membukanya.
Isinya adalah ucapan terima kasih dari Pak Wayan.
Dia tersenyum, tetapi nyaris tidak terlihat. Dia kemudian
menghapus pesan itu tanpa membalasnya setelah yakin bahwa itu dari Pak Wayan,
lalu menyeruput kopinya yang manis dan menyesap rokok dalam-dalam.
Dia kembali mendongak ke langit, mengamati kawanan burung
yang terbang bebas di udara. Sedetik kemudian, perasaan hangat mengaliri
dadanya. Dia merasa lega, terutama setelah tahu bahwa bukti-bukti kecurangan
yang dikirimnya minggu lalu berhasil menyelamatkan usaha seseorang. Bukti itu
berisi banyak hal—termasuk rekaman suara saat pengarahan, foto promise yang
bermasalah, foto buku kasir, foto saldo yang tidak dilunaskan di buku macet dan
masih banyak lagi.
Dia melakukan hal tersebut bukan karena kecewa. Dia hanya
merasa bahwa sudah seharusnya peraturan ditaati dan tidak boleh dilanggar. Jika
seseorang melanggarnya, dia harus merasakan akibatnya. Dan itulah yang dia
lakukan—menyingkirkan orang-orang yang tidak menaati peraturan, yang mungkin
akan berujung menghancurkan usaha orang lain jika tidak dihentikan.
Tetapi yang jelas, dia tidak melakukannya karena emosi
negatif apa pun. Dia hanya ingin menyelamatkan usaha orang lain.
Itu saja. Tidak lebih. Dan dia berhasil.
Tamat