Keledai Menyeberang Jembatan - Lanang Irawan

Juara 3 Event Timira




Keledai Menyeberang Jembatan
Lanang Irawan




"Hukum? Siapa yang bisa mendefinisikannya di depan mukaku, sialan? Hukum hanya suara mayoritas yang sedang berkuasa!"

 

'Raban, oh, anak itu,' kata Profesor Hint dalam hati, 'sudah besar dan keberaniannya masih sama.' Lalu, ingatan lelaki tua itu berkelana, dibimbing oleh gemeletuk salju di genting rumah, dan suara televisi yang terus menyiarkan siaran ulang pemakzulan Sang Presiden di suatu negara.

 

Sementara itu, tubuh rentanya berayun-ayun di kursi goyang berbantal empuk. Kayu bakar meretih di tungku penghangat ruangan. Asapnya keluar lewat cerobong, membebaskan diri dari rumah yang sepi, tapi langsung ditekuk oleh udara dingin musim salju.

 

Pada suatu masa, dia pernah tinggal di pedalaman. Orang bilang itu adalah masa pengabdiannya pada peradaban manusia, untuk memajukan sumber daya suatu wilayah.

 

Itu kata orang. Namun, sebenarnya dia memiliki agenda tersendiri, yang rahasia, yang mungkin dia sendiri pun tidak menyadarinya, sebab hasrat itu lebih pengecut dari pecundang paling penakut sekalipun.

 

Tidak banyak orang yang Profesor Hint ingat dalam ketuaannya, tapi Raban adalah murid pertama sekaligus anak adopsinya yang menarik. Dia lahir di tanah berkonflik. Orang tuanya meninggal. Profesor mengadopsinya bersama dua anak lainnya yang senasib, sebab tertarik dengan kepribadian si bocah.

 

Seingatnya, Raban senang bermain raja-rajaan dengan kawan-kawan seusia, dan dia selalu mengambil peran pembebas rakyat. Entah dia mendapat ide itu dari mana, tapi yang jelas saat itu Profesor senang, merasa tergugah. Apalagi ketika melihat mata si bocah yang sering berkilat dan berkata-kata menirukan seorang orator.

 

Kepada Raban, Profesor Hint membisikkan kata-kata yang dia pahami dari pembelajaran dan pengalamannya, dan lain-lain.

 

"Tidak ada yang mewariskan kebenaran, Nak, seseorang harus merebutnya dari mereka yang mengaku memilikinya."

 

Hal itu dia lalukan berulang-ulang, setiap menjelang tidur. Dia tidak menyadari bahwa daripada terlihat seperti orang tua, dia malah terlihat seperti petani yang terus memupuk benihnya agar tumbuh sejalan dengan yang dia pikir, atau seperti seorang pawang yang sedang melatih seekor hewan liar agar ia berani tampil di pertunjukan kelak.

 

Semasa masih mahasiswa, Raban aktif menjadi aktivis, dan dari sana dia membangun koloninya, bersama dengan teman kepercayaannya. Mereka sama-sama murid Profesor Hint. Bedanya, temannya itu tidak diadopsi sebab orang tuanya masih ada.

 

Pedagang-pedagang kaki lima, tukang-tukang ojek, sopir-sopir angkot, orang-orang di pasar, di tempat–tempat ibadah, sudah tahu sepak terjangnya, sebab ada yang mencitrakannya di belakang, secara gelap dan masif. Karena itu, menjadi anggota legislatif, menjadi menteri, lalu menjadi presiden amatlah mulus jalannya. Dia dielu-elukan seperti pahlawan baru. Ditambah lagi pengaruh ayah adopsi yang masih mengakar memberikan dia kesan lebih di mata publik, seperti singa yang memiliki sayap garuda.

 

Saat itulah apa yang Profesor Hint tanam tampak akan berbunga dan berbuah. Setelah pelantikannya, di depan televisi Raban berkata dengan percaya diri, bahwa dia akan membawa perubahan besar. Pendukungnya bersorak. Mereka berkonvoi sehari semalam di jalan-jalan besar.

 

Namun, ketika berada dalam lingkup koloninya, Raban bicara sambil menatap remeh lambang negara di dinding ruangan, "Kekuasaan sebenarnya bukanlah tentang hukum atau etika, melainkan siapa yang paling lihai menciptakan makna. Bukankah sejarah selalu ditulis oleh pemenang?"

 

Para koloninya mengangguk, tertawa, dan bertepuk tangan. Mereka lalu bersulang.

 

Dalam ruang tertutup itu Raban dan teman-temannya menciptakan sistem negara menurut penafsirannya sendiri, dimulai dari pemikiran negara bukan lagi rumah keadilan.

 

Tiada hari tanpa perang bagi Raban dan koloninya. Mereka mencabut pilar-pilar hukum lama seperti membongkar fondasi rumah tua, dan membangun istana hukum baru yang bisa mereka ubah bentuknya setiap pagi sambil minum kopi. Raban buas kepada yang berseberangan, karena ingin mengatur ulang maknanya sendiri.

 

Sampai akhirnya, para koloninya, yang juga berpikir bahwa kebenaran harus direbut dari orang yang mengaku memilikinya, berbalik menyerang dan menjatuhkan Raban. Presiden muda itu lalu dimakzulkan dengan tidak hormat. Seluruh asetnya disita. Ide-idenya ditarik dari masyarakat dan diberangus. Raban dipenjara sebagai diktator gila.

 

Dalam ruangan gelap Raban terikat di kursi. Tangannya ditelikung. Kepalanya ditutup kain gelap.

 

"Bagaimana kabarmu, anak emas?"

 

Raban mengenali suara itu. Dia hendak menyebutkan nama si penyapa. Namun, begitu penutup kepalanya dilepas, cahaya lampu yang menyoroti ruangan itu membuatnya silau. Raban memicing. Dadanya gelegak lava di kawah-kawah.

 

"Pengecut!" Raban berteriak, serak. Dia sudah tampak payah. Hatinya apalagi. Tak sedikit pun selama ini dia terka, kalau pengkhianatan akan muncul dari balik ketiaknya. Dia terlalu merasa aman. Barulah kali ini dia merasa janggal akan segala kemudahan kariernya.

 

Orang itu tertawa. Wajah Raban ditangkupnya, dihadapkan pada matanya, lalu dia tersenyum lebar.

 

"Kau tahu? Aku selalu menikmati menjadi raja kecil saat kita bermain raja-rajaan. Dan karena sering dikalahkan olehmu, pembangkang kecil, sampai sekarang pikiranku tidak pernah sepi dari siasat."

 

"Anjing!"

 

Orang itu tertawa lagi. "Dan sebab itulah aku menggigit." Dia berjalan mundur, mencabut pistol, memasang peredam kejut. Dia berbicara lagi sebelum menekan pelatuk, “Lagi pula, aku masih terhitung murid Profesor. Terima kasih atas kerajaannya, kawan!"

 

Lalu, sang revolusioner muda pun mati ditelan sejarah.

 

Sementara itu, dua minggu setelah pemakzulan Sang Presiden, saat Raban ditembak secara rahasia, sebuah suara menggelegar di kepala Profesor Hint.

 

"Satu bayanganmu mati, Hint!"

 

★★★

 

Apa dosaku?

 

Barangkali itulah isi pikiran bocah berusia dua belas tahun itu ketika dia dipaksa melihat keluarganya disalib dan dibakar ramai-ramai.

 

Dia dipegangi di belakang seorang pemuka agama yang memimpin penghukuman dan membacakan dakwaan. Isinya tidak jauh-jauh dari "Murtad", "Mengundang murka Tuhan", dan istilah-istilah lain yang tidak dia paham.

 

Lalu obor sang pemuka agama dilempar ke tumpukan kayu. Si bocah menjerit histeris. Api lekas menjalar, membara, mengemut kulit dan daging kedua orang tuanya yang telanjang. Di kepalanya tercetak bayangan ibu dan ayahnya menjerit-jerit meminta kematian yang mudah, dan itu tersimpan di alam bawah sadarnya seperti kutukan yang kadang tidak dia sadari. Saat itu dia pingsan menahan beban batin tak tertahankan.

 

Bocah itu tidak (atau belum) tahu apa-apa, dan karena itulah dia terbebas dari hukuman. Di hari nanti, barulah dia akan paham kalau bagi seseorang fanatik seperti pemuka agama itu, dosa dari ketidaktahuan tidak sebesar dosa melawan sebuah ideologi yang diklaim turun dari langit.

 

Umatnya hanya harus memilih patuh atau bodoh, sebab pilihan lain berarti penyiksaan atas nama penyucian.

 

★★★

 

Profesor Hint membuka amplop cokelat yang baru dia ambil dari kotak surat di halaman rumah. Bau getah pinus dari lem perekatnya menyerbu hidung. Dia sedikit terbatuk sambil membenarkan kacamata yang telah bertengger di pangkal hidung. Pagi itu, sebulan setelah pemakzulan Raban, dia membaca surat ditemani teh manis yang tiba-tiba menjadi terasa pahit. Keningnya yang keriput kian mengerut.

 

"Bapak, aku sudah menjadi Tuhan, tapi tak ada umat yang ingin diselamatkan."

 

Surat itu tidak memuat nama pengirim. Namun, panggilan "Bapak" membuat ingatannya melesat kepada murid kedua yang diadopsinya di tanah berkonflik dulu. Dia adalah Eka.

 

Beda halnya dengan Raban yang tertarik pada kekuatan politik, Eka lebih condong pada logika dan sains. Dia senang belajar segalanya, mulai dari fisika, matematika, sampai bahasa kuno dan ilmu modern. Eka kecil jarang bermain, tidak mudah didekati, dan selalu menjadi anak yang duduk lebih lama di perpustakaan dari siapa pun. Eka juga yang pertama kali minggat dari rumah meskipun tidak lupa berkirim surat. Dia tidak suka alat komunikasi elektronik, berbanding terbalik dengan profesi dan nama besarnya.

 

Suatu hari, saat melihat Eka terpekur dengan buku yang terbuka, Profesor Hint mendekatinya.

 

"Apa yang kamu pikirkan?"

 

Eka terperanjat, tapi kemudian dia bertanya, "Bapak, apa itu kebenaran?"

 

Profesor Hint tersenyum. Dia ikut duduk di sisi Eka.

 

"Kebenaran. Kebenaran adalah cerita biasa, Nak, tapi dikisahkan dengan cara paling cerdas." Profesor Hint mengusap kepala Eka. "Monyet serakah, kura-kura pintar, kancil membodohi buaya. Semua itu bisa menjadi kebenaran selama kamu dapat mengakalinya agar terbukti."

 

Profesor Hint lantas tersadar dari lamunan dan segera menyalakan televisi. Lalu dengan agak tidak sabar dia menggonta-ganti saluran, mencari berita internasional, sampai dia menemukan highlight di sebuah kanal, "Pendiri Riset Global Muda, Eka, Hilang di Gunung Es Islandia."

 

Pembawa berita lalu menyebutkan pelanggaran-pelanggaran yang Eka lalukan. Mulai dari memalsukan data, menyabotase hasil penelitian yang mengorbankan banyak nyawa, teknologi ciptaannya yang menyebabkan jutaan orang lumpuh syaraf, dan lain-lain.

 

Menurut pembawa berita, Eka sempat diadili meskipun tidak ditahan, tapi yang ditampilkan di televisi hanya cuplikan ketika Eka berkata, "Apa itu kesalahan kalau seluruh dunia hanya memedulikan hasilnya? Kalian pikir ilmu pengetahuan masa kini melayani kebenaran? Bodoh, segalanya hanya milik pasar dan kekuasaan! Munafik!"

 

Sebelum berita itu mencuat, suatu malam, Eka mendengar kabar kejatuhan Raban dari peneliti-peneliti lain setelah dua hari dia disidang. Meskipun secara emosi dia tidak merasa terhubung, tetapi Raban dan dirinya tumbuh dari akar yang sama. Eka mendengkus. Kepribadian Raban kecil melintas di kepalanya.

 

"Satu-satunya kesalahanmu adalah terlalu mudah dibaca. Seharusnya kau meragukan semua orang." Eka berkata, lalu tertawa kecil setelah mengingat keadaannya sendiri. "Manusia memang rakus, Kak, munafik, selalu ingin terlihat bersih."

 

Malam itu dia lalu diam-diam membereskan dokumen-dokumen penelitiannya dan memasukkannya ke dalam koper besar. Setelah mengganti setelan, dengan berbekal senter, Eka keluar dari rumahnya dengan hati-hati lewat jalan rahasia. Dia tahu, di luar, mata-mata pemerintah dan perusahaan besar dunia selalu mengawasinya. Hanya karena dia merahasiakan hasil akhir penelitiannya-lah mereka tidak bergerak.

 

Eka tahu semahal apa ide-ide dan keahliannya, karena itu dia menjadi ancaman besar bagi mereka. Di samping memiliki rahasia mereka, Eka pun tidak takut mati. Lagi pula dia sudah terbiasa menangani manusia mati. Namun, saat itu, dia berpikir belum pas waktunya untuk mati.

 

"Seseorang sepertiku harus mati dengan cara yang besar," bisiknya kepada diri sendiri.

 

Setelah jauh dari rumah bermil-mil jaraknya, di hutan pinus yang daun-daunnya beku oleh salju, Eka tiba-tiba merasa perlu mengirim surat kepada Bapak. Dia masih tidak tahu ke mana tujuan selanjutnya, tetapi di negara lain, di tempat batu, dia berpikir akan lebih aman dan lebih leluasa melanjutkan uji cobanya. Kalau saja dia menemukan mata-mata pers di laboratoriumnya lebih cepat, tentu tidak perlu kabur seperti itu.

 

 

Surat itulah yang kemudian diterima Profesor Hint, sehingga dia tahu bahwa Eka masih hidup, sedang bersembunyi, dan siap-siap menggali lubang baru untuk menjerumuskan dunia di lain hari. Profesor Hint tersenyum.

 

Akan tetapi, ketukan di pintu membuat Profesor terkejut. Dia meletakkan surat di kursi dan menutupinya dengan bantal, lalu berjalan membuka pintu dengan tubuh gemetar.

 

Seorang pemuda tersenyum.

 

"Apa kabar, Prof?"

 

★★★

 

Barangkali benih yang mulus akan tumbuh dari buah yang busuk. Barangkali itulah alasan si pemuka agama mengurus si bocah dari keluarga sesat itu kemudian. Namun, barangkali pengurusan itu pun merupakan hukuman keberlanjutan atas sisa-sisa kesesatan keluarga si bocah.

 

Barangkali.

 

Tidak ada yang jelas. Tiada yang pasti bagi bocah itu. Tiada yang dapat dia percayai bahkan dirinya sendiri, selain kebenciannya yang meluap-luap terhadap segala jenis agama.

 

Baginya, agama-agama itu tidak lain hanya aturan jumud dan ritual kelabu yang dibalut pelajaran moral dan etika yang munafik. Tiada ketulusan dan kebenaran di dalam agama mana pun selain kebodohan beku dan pengkultusan semu.

 

Bocah itu lalu kabur dari pengawasan si pemuka agama setelah dia merasa mampu. Secara rahasia dia bergabung dengan organisasi bawah tanah dunia penentang segala dogma, yang mendanai segala pendidikan dan kehidupannya kemudian.

 

Dia berotak cemerlang, dan karena itu dia sampai pada kesimpulan bahwa ilmu hanyalah permainan tafsir, dan dunia bisa dijungkir balikan dengan kekuatan pikir.

★★★

 

Profesor Hint tersenyum lebar. Dia memeluk pemuda yang mengenakan jaket tebal bertudung. Tidak bisa dia pungkiri bahwa waktu membawakan kesepian lain ke pangkuan masa tuanya, dan tiada obat untuk itu selain melihat orang yang dia anggap anak mengunjunginya seperti sekarang, sekalipun anak itu tidak berguna.

 

"Dolan, anakku," kata Profesor Hint sambil melepaskan pelukannya. Dia lalu menuntun Dolan masuk dengan langkah khas lelaki tua berumur senja. "Kapan kau tiba di negara ini? Apa yang kau dapat dari menjelajahi dunia, Nak?"

 

"Cukup lama, Prof, cukup untuk mengetahui apa yang terjadi kepada kedua kakakku," kata Dolan, lalu dia melanjutkan perkataannya dengan enteng, "Di luar, aku juga mendapati bahwa tidak semua ajaran agama seburuk yang Profesor bilang."

 

Hal itu membuat Profesor Hint membeku. Segera saja pikiran lelaki tua itu diisi ingatan mengenai sosok di hadapannya.

 

Dolan adalah anak adopsi ketiganya. Anak yang dia nilai sebagai anak paling lamban.

 

Bila Raban menjawab pertanyaannya dengan ide-ide revolusioner pintar dan Eka menjawab dengan otak keilmuan, Dolan malah menjawab dengan balik bertanya sambil melayangkan sorot bodoh menjengkelkan, "Kenapa Prof bertanya demikian?" atau dengan jawaban paling naif, "Aku tidak tahu, Prof. Mungkin aku akan memahaminya nanti."

 

Di lain sisi, dia kadang melihat Dolan bukan sebagai anak bodoh, melainkan sosok yang tidak dapat puas bahkan dengan pemahamannya sendiri. Dolan selalu terlihat meragukan segalanya, sambil terus mencari jawaban atas keraguannya itu. Dolan adalah lubang hitam.

 

Namun, itu sama sekali tidak memuaskan Profesor, karena dia tidak bisa menanam benihnya pada produk gagal. Oleh karenanya, tak ada beban di hatinya ketika Dolan pamit untuk menjelajah.

 

"Raban mati, Eka hilang. Namun, Prof masih memiliki banyak bayangan, kan? Tentu saja selain aku."

 

Profesor Hint tersadar. Dia menatap Dolan dengan pandangan lain.

 

"Apa maksud kedatanganmu?"

 

"Untuk bertanya," kata Dolan. "Apa yang kau tanamkan kepada kami, Prof? Dan apa yang mati dalam pengajaranmu dulu?"

 

Hening. Seumur hidup, Profesor Hint tidak menduga bahwa pertanyaan seperti itu akan datang kepadanya seperti anak panah dari arah yang tidak terkira.

 

Setelah satu menit, Profesor lalu menghela napas, membuka suara, "Kau tahu? Bagiku agama tidak lain hanya ritus kesombongan yang mengklaim kebenaran tunggal. Segala pelajaran yang mereka anggap sebagai cinta kasih hanyalah bualan, dan para penganutnya cuma orang-orang tolol yang senang menganiaya orang yang tidak sepaham dengan mereka."

 

Profesor lalu diam lagi, menarik napas dan menghembuskannya. "Aku hanya meniadakan arah, Nak, supaya kalian menemukan arah baru. Apa kau datang untuk mendakwaku karena itu?"

 

Dolan berdiri. Salju masih turun di luar. Dia melewati kursi goyang Profesor Hint, mendekati tungku perapian, menambahkan kayu.

 

"Tidak. Aku datang bukan untuk menuduh, Prof. Aku hanya ingin bertanya, kenapa kami harus sepaham dengan kebencianmu? Di mana kebebasan mencari arah yang sering kau dengungkan itu?"

 

Profesor Hint diam.

 

"Untuk apa Prof menginginkan kami bebas, bila sebenarnya Prof mengurung kami sendiri dengan doktrin dan pemahaman Prof?"

 

Profesor Hint tak menjawab. Bukan karena pertanyaan Dolan yang beracun, melainkan karena kepalanya yang tiba-tiba terasa sunyi.

 

Baru sekarang dia menyadari bahwa selama ini ada yang telah hilang dari dirinya, tapi entah apa. Makin dia mengingat, makin dia yakin bahwa sesuatu yang hilang itu telah lama hilang, dan dia tidak menemukan 'yang hilang' itu di mana pun bahkan setelah kembali ke negaranya sendiri.

 

Kesunyiannya terjeda oleh Dolan yang berdiri untuk berpamitan. Anak itu meninggalkan satu bungkus teh kesukaan Profesor di meja sambil berkata,

 

"Prof, di luar sana aku juga mempelajari sesuatu, bahwa kebebasan tanpa cinta kepada kebaikan hanya akan melahirkan kejatuhan yang canggih."

 

Prosesor Hint tetap diam. Sekalipun di kepalanya langkah kaki Dolan terdengar lembut dan penuh keputusan, seakan-akan kepastian mengambil wujud menjadi seekor burung yang lalu meninggalkan sarang keraguannya.

 

Lelaki tua itu baru mengangkat kepala setelah terpekur agak lama. Dia menatap hujan salju lewat kaca pintu. Selama ini segala sesuatu telah menjadi seperti kabut di matanya, tapi kini ada secercah terang.

 

"Sepertinya aku tak sepenuhnya gagal mendidik manusia, jika murid seperti kau yang menjadi acuan keberhasilan mengajar," gumam profesor Hint. Napasnya mengeluarkan asap. Dia mengambil surat dari Eka, turun dari kursi goyang, lalu membakar surat itu di perapian.

 

Di ingatannya kembali terbayang perkataan Dolan ketika berpamitan dulu, seperti teledrama di puncak episode.

 

"Kau mau menjadi apa, Nak? Kau terlalu lamban seperti keledai untuk menjadi apa pun."

 

Dolan tidak marah. Dia hanya menyunggingkan senyum, melawan tatapan Profesor, lalu menggelengkan kepala. “Bukan keledai, Prof. Aku cuma ngengat yang kadang merasa sedang mencari cahaya, kadang juga merasa sudah menemukan cahaya itu tapi malah terbakar di dalamnya. Aku tidak tahu apa-apa. Mungkin kebijaksanaan semesta terlalu agung untuk ditelan manusia berotak sempit sepertiku."

 

Curugkembar, 21 Juli 2025.


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url