Memahami Eliano dalam Distorsi Waktu yang Rumit - Imas Hanifah N

Juara 2 Event Timira




Memahami Eliano dalam Distorsi Waktu yang Rumit
Imas Hanifah N
 


Tepat pada saat usiaku menginjak dua puluh tiga tahun, setelah seminggu sebelumnya demam sialan merontokkan rambut serta daging di pipiku, akhirnya aku menyadari sesuatu. Tubuh ini bukan lagi sepenuhnya milikku. Dan kedua orang tuaku tanpa ragu-ragu mengakui itu, “Ya, benar. Kami memang telah menjualmu kepada anak buah iblis.”

 

Sebenarnya, selama demam, aku sering memimpikan hal-hal yang tidak pernah aku saksikan, meskipun masuk akal jika keanehan-keanehan kerap menghampiri tidurnya orang sakit, tapi ini lain. Sungguh lain. Aku melihat angin bermata naga, kuali dengan tinja yang mendidih, dan ruangan yang dipenuhi dengan bubuk opium. Aku pikir, ini mungkin akibat dari keresahanku setelah menonton film-film hantu, tapi mana ada hantu yang pakai obat terlarang dan menari-nari di kuali penuh kotoran? Tidak ada. Mungkin akan ada, jika aku sudi menciptakannya sekarang juga.

 

Ayah dan ibuku tidak percaya kepada Dokter. Mereka juga sering melakukan ritual demi ritual dan bernyanyi dengan bahasa yang tidak kumengerti. Rumah kami jauh dari keramaian, terpencil, dan anti terhadap lampu. Selalu gelap, selalu dingin, hampir sepanjang waktu.

 

Mereka jarang berbicara, tapi sering meyakinkanku tentang masa depan yang menurut mereka akan terjadi, di setiap ritual yang selesai dilakukan. “Suatu hari, kau akan menemui orang yang sama sepertimu dan kalau kau bersamanya, melakukan apa yang memang seharusnya kau lakukan, kau akan menyelamatkan kami.”

 

“Kalian mendapatkan apa, dari menjualku?” tanyaku suatu ketika, sembari menatap kepala anjing hitam yang berlumuran darah di meja, di halaman belakang, bersamaan dengan kencangnya angin petang yang menendang-nendang pintu dapur dengan kasar.

 

“Ketenangan, dan kita tidak perlu ke neraka.”

 

Aku bisa melihat senyum Ibu, senyum Ayah, senyum orang sakit. Tak tahu sejak kapan mereka bersikap sedemikian janggal, tapi aku ingat sekali, pertama kali Ayah mengajak Ibu melakukan ritual adalah ketika salah satu Paman yang sudah lama tinggal di Inggris, untuk pertama dan terakhir kalinya berkunjung menemui kami. Saat itu, rumah kami masih ada di lokasi yang dekat dengan pusat kota. Ramai, hangat, selalu terang.

 

Sebagai anak perempuan yang sejak kecil selalu dilimpahi kasih sayang, bahkan ketika saat-saat sulit pernah menimpa keluarga kami, seperti ketika Ayah menghilang dalam waktu yang cukup lama, tanpa aku tahu ke mana, atau saat Ibu terus menangis dan tak pernah memberitahuku apa alasannya, aku tidak pernah benar-benar bisa atau berkeinginan untuk kabur. Meninggalkan dua orang tercinta yang kehilangan jiwa mereka perlahan-lahan, adalah dosa yang besar, tentu saja. Aku menganggapnya demikian.

 

Tidak ada ponsel untukku dalam masa yang cukup panjang. Hanya Ayah yang boleh menggunakannya. Uang datang dari Paman, dan makanan bisa dibeli tanpa harus keluar rumah. Ayah dan Ibu sering mengurungku di kamar seharian, dan memperbolehkanku keluar hanya ketika ritual berlangsung atau sesudahnya.

 

Namun, keanehan yang paling tak pernah kubayangkan, yang tidak bisa kupercaya, terjadi bertahun-tahun kemudian. Ayah dan ibuku mulai menua, mulai lemah, tapi aku tidak. Aku tetap berusia dua puluhan, saat aku meneliti diriku sendiri di depan cermin. Tidak ada yang berubah. Lalu, tidak lama setelah itu, mereka lenyap pada suatu malam. Aku lupa persisnya bagaimana. Mereka mati, tapi tanpa acara penguburan. Sekeras apa pun aku mencoba mengingat apa yang terjadi, aku tidak mampu. Aku tidak dilanda kesedihan seperti anak yang kehilangan orang tua pada umumnya. Dan semua itu menimbulkan banyak pertanyaan besar. Ke mana mereka? Apa yang terjadi? Bagaimana bisa? Mengapa?

 

Demam pun kembali datang. Kali ini, ada satu nama yang kudengar berulang-ulang, bukan mimpi buruk seperti yang terakhir kali. Satu nama. Eliano. Dan nama itulah yang membuatku memutuskan untuk keluar dari rumah, untuk mencari, untuk menemukan jawaban dari setiap keresahan dan rasa penasaran yang kumiliki selama ini.

 

Ganjil, tapi juga terasa biasa. Tidak mengejutkan. Kakiku melangkah, naik kereta, dan dengan matanya yang tersembunyi, angin membawaku pergi ke tempat yang hendak kutuju. Angin yang sama juga terus membisikkan namanya selama di perjalanan, “Eliano, Eliano, Eliano ….”

 

Seperti seekor anjing kecil, aku tidak punya pilihan lain. Aku menuruti perintah demi perintah yang begitu saja terlintas di kepalaku. Tidak peduli itu memang adalah bisikan dari iblis atau bukan, aku tidak tahu apa-apa, dan merasa tak punya siapa-siapa.

 

Rumah itu besar, dua lantai, tampak tua, dan untungnya, tidak terpencil. Cukup terang pula. Aku tidak cemas atau takut, aku hanya ragu.

 

Seorang lelaki seusiaku keluar dari pintu, padahal aku tidak mengetuknya. Ia seperti sudah tahu.

 

“Hari yang tepat untuk kedatangan seorang tamu. Masuklah,” katanya. Senyum laki-laki ini manis dan hangat, sehingga aku merasa baik-baik saja untuk bersikap akrab.

 

“Aku Nima," ucapku. Ia tampak tak terlalu peduli.

 

“Baik. Aku Eliano.”

 

“Ya. Aku tahu,” jawabku dengan nada yang sedikit angkuh. Hanya mencoba bercanda.

 

Ia lagi-lagi tersenyum. Mungkin, ia juga sudah tahu namaku.

 

“Sudah berapa lama kau hidup?” tanyanya sambil melangkah ke dapur, lalu membawa dua gelas es jeruk.

 

“Aku? Aku tidak yakin. Mungkin empat puluh tahun? Kalau kau?”

 

“Sudah cukup lama. Sangat lama. Mungkin tujuh puluh atau delapan puluh?” Oh, rupanya ia juga tidak ingat. Kesimpulan yang bisa ditebak. Dan aku merasa lega karenanya.

 

Menghirup udara di sekeliling yang seperti terasa hambar, menunjukkan bahwa Eliano betul-betul tinggal seorang diri. Aku meminum es jeruk yang ia suguhkan, walaupun rasanya tidak enak. Es jeruk itu seperti sudah basi.

 

“Apa rencanamu?” ucap Eliano lagi.

 

Entah mengapa, tapi ia betul-betul tidak mau diam. Sejak masuk ke dalam rumah, ada saja yang Eliano lakukan. Misalnya setelah ia menyuguhkan minum, ia berjalan lagi dan membetulkan lukisan-lukisan yang terpasang di dinding, lalu saat ia bertanya barusan, ia tiba-tiba saja menggelar kanvas dan kursi kayu di hadapanku. Ia mulai melukis.

 

“Aku tidak tahu. Aku hanya ingin tahu semuanya. Ke mana orang tuaku pergi? Kenapa aku tidak menua, dan apa yang harus kulakukan?”

 

“Itu pertanyaan mudah. Mana mungkin kau tidak tahu? Orang tuamu pasti sudah tidak ada. Tapi tidak pergi ke mana-mana juga. Mereka menunggumu melakukan beberapa hal. Mereka tidak ingin ke neraka.”

 

“Kenapa mereka setakut itu? Aku tidak paham.”

 

“Ayahmu pernah membunuh orang. Ibumu pernah memberikan kesaksian palsu. Kau masih terlalu muda untuk tahu kejadian itu. Mereka melakukan perjanjian dan kau adalah jaminannya. Kau ingin mereka selamat?”

 

Oh, akhirnya aku tahu apa yang terjadi saat Ayah menghilang dan Ibu kerap berteman dengan tangis. Seperti potongan yang hilang, jawaban Eliano menambal lubang yang hampir tak akan pernah tertutup itu. Atas pertanyaannya, aku tidak mengangguk. Tidak, sebenarnya aku sangat ingin berkata tidak. Di dunia ini, impian dan keinginan hanya boleh dimiliki oleh yang hidup, bukan yang telah tiada.

 

“Melihatmu seperti ini, aku jadi sadar. Kau belum jadi apa-apa. Kita, orang-orang seperti kita, semakin lama hidup, akan semakin yakin dengan apa yang harus dilakukan. Kita akan jadi sesuatu yang mungkin tidak pernah kau bayangkan. Lebih dari sekedar hidup selamanya.”

 

Masih tak bisa kucerna kata-kata Eliano. Sampai malam tiba, aku hanya memperhatikannya melukis. Kanvasnya terisi coretan abstrak, tidak berbentuk. Tidak bisa kuterjemahkan gambarannya.

 

Di tengah-tengah keheningan kami, suara berisik terdengar dari rumah sebelah.

 

“Jangan cemas. Mereka memang sering berpesta.”

 

Aku tak menanggapi. Tak mau ambil pusing dan berencana untuk menanyakan adakah ruang untuk tidur, tapi sebuah ketukan pintu mendahului niatku.

 

“Mereka pasti mengirim sup kaki lagi.”

 

Sup kaki?

 

Eliano beranjak membuka pintu dan kembali datang dengan mangkuk besar. Ia pun buru-buru meletakkannya di meja.

 

“Kau mau? Aku tidak yakin kau akan mau di usiamu yang sekarang. Aku juga sebenarnya tidak suka. Aku pernah menghadiri pesta mayat yang mereka adakan. Itu menggelikan.”

 

Apakah yang dikatakan Eliano hanya bualan? Aku mendekat. Membuka tutup mangkuk dan menyaksikan dua potong kaki dari betis hingga telapak. Ini mimpi? Ini mimpi buruk? Atau bukan?

 

“Kau bisa makan yang lain. Di kulkas.”

 

Aku menelan ludah, menyembunyikan rasa mual sekuat tenaga dan mengangguk.

 

***

 

Semalaman, aku tidak bisa tidur, walaupun ruangan yang kutempati terasa cukup nyaman. Aku terus mengingat sup kaki sialan yang berwarna pucat dan beraroma seperti belum matang betul. Aku rasa, tak ada satu pun jenis makanan yang bisa masuk ke dalam perutku untuk satu minggu ke depan.

 

Susah payah, aku menuruni anak tangga. Lagi, aku bangun untuk menyaksikan Eliano terus bergerak. Ia sepertinya sudah menghasilkan beberapa lukisan dalam satu malam saja. Ia mungkin tidak tidur, entahlah.

 

“Oh, halo. Hari yang tepat untuk kedatangan seorang tamu.”

 

Aku membeku.

 

“Apa maksudmu?”

 

“Oh, maaf. Kau datang kemarin, ya? Baiklah. Aku lupa. Aku jadi sering lupa. Semakin lama, aku banyak melupakan hal-hal penting. Kau juga akan sepertiku nanti. Tapi tenang, kita juga akan terus muda, kita akan abadi.”

 

Eliano kembali melukis. Saat kemudian aku melihat lebih detail, lukisan-lukisan yang ia buat betul-betul banyak. Berjejer dari ruangan satu ke ruangan lain. Namun, tak ada yang terlihat jelas. Semuanya hanya coretan-coretan yang tidak beraturan. Tidak memiliki pola. Bikin pusing kepala kalau melihatnya lama-lama.

 

“Kau tidak makan?” tanyaku saat melangkah dan membuka kulkas. Perutku terus berbunyi, meskipun sebenarnya aku masih merasa mual.

 

“Sudah. Aku makan sup kaki. Kau pasti tidak suka, ya?”

 

Mendengar kalimat itu, kuputuskan kembali menutup pintu kulkas. Memilih meminum segelas air putih saja.

 

“Kau suka? Sup kaki itu?” Aku bertanya, memastikan jawaban Eliano, heran atas perubahan pikirannya yang begitu singkat.

 

“Dulu, tidak. Ya, sepertinya tidak. Tapi lama-lama, aku suka. Kau juga akan begitu.”

 

“Kenapa? Kenapa aku akan begitu? Aku akan lupa? Aku akan suka sup kaki? Kenapa?”

 

Eliano masih tak melepaskan pandangannya dari kanvas. “Karena memang kau akan begitu. Tubuhku bukan milikku. Tubuhmu juga bukan milikmu. Kita akan jadi makhluk paling jahat. Kau mungkin tidak tahu, tapi  kadang-kadang iblis tidak terlihat seperti memakai jubah yang hitam dan menakutkan. Ia mungkin memakai jas dan gaun yang cantik.”

 

“Apa yang harus kita lakukan?” tanyaku lagi. Mendadak, aku merasa harus pasrah.

 

“Rasanya kita tidak perlu mencari tahu. Kau bisa melihatku. Aku jadi lupa, aku makan sup kaki, entah apa yang terjadi selanjutnya. Aku akan terus melepaskan sifat-sifat manusiawi. Perlahan-lahan.”

 

Mata Eliano beberapa detik menatapku tajam. Namun, ia segera pergi setelahnya. Melakukan apa pun. Terus bergerak. Tidak pernah tidur. Menakutkan memang, tapi aku tetap tidak mau pergi dari rumahnya.

 

Kembali menjalani satu hari lainnya, dengan pernyataan dan sikap Eliano yang membingungkan. Ia terkejut melihatku turun dari tangga, seolah itu pertemuan pertama kami dan seolah-olah ia memang tidak mengharapkan kehadiranku. Ia kembali menerima sup kaki dari tetangga misterius yang tak berwujud dan mempertanyakan hal serupa. “Kau suka sup kaki?”

 

Aku jadi terbiasa melihat sup tersebut. Aku jadi sangat terbiasa dan mulai penasaran. Mulai mencicipi kuahnya.

 

Enak.

 

Kau juga akan begitu.

 

Aku tersentak. Eliano berdiri tepat di hadapanku yang antara sadar dan tidak, telah menghabiskan sepotong kaki yang terasa lezat dan penuh dengan lemak itu.

 

“Kau harus melihat lukisanku,” katanya.

 

Aku tidak peduli. Aku tak menanggapinya dan terus makan. Aku lapar.

 

***

 

Tidak ada sup kaki hari ini. Eliano memakannya sampai habis. Aku marah, tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Aku berkeliling saja, melihat lukisan. Satu demi satu. Dari yang terbaru, sampai yang terlama.

 

Kau harus melihat lukisanku.

 

Tidak jelas, tidak jelas, tidak jelas. Lukisan demi lukisan yang Eliano buat, hanya abstrak, hanya tubrukan warna-warna gelap yang aneh.

 

Namun, di ruangan paling ujung, lukisan-lukisan yang berdebu, hampir rusak, tampak lebih baik. Beberapa memperlihatkan bahwa lukisan Eliano sebelumnya adalah lukisan wajah demi wajah, entah siapa.

 

Hampir semuanya adalah orang-orang yang sudah tua dan seperti sedang dalam keadaan sekarat yang amat menyakitkan. Kecuali satu lukisan yang memperlihatkan dua orang gadis yang mencekik satu sama lain, tapi mereka tidak terlihat kesakitan. Mereka justru tampak bahagia.

 

Aku didorong rasa penasaran yang samar, tapi amat mengganggu. Perlahan menjauhi lukisan-lukisan itu dan kembali melewati sisa lukisan lainnya yang kian tak berbentuk, tak memiliki makna apa-apa.

 

Aku kembali hanya untuk menyaksikan Eliano mengasah pisau.

 

“Untuk apa?” tanyaku.

 

“Pesta.”

 

“Mereka mengundangmu?”

 

Eliano mengangguk.

 

Aku menahan tangannya. Tangan Eliano yang sedingin es, membuatku seketika menjauhkan tanganku darinya. Eliano hanya menatap, tidak bersuara, tapi aku bisa mendengar kalimat yang tak pernah bosan ia ucapkan.

 

“Kau juga akan begitu.”

 

Eliano pergi. Membawa pisau, berjalan ke rumah sebelah. Aku hanya menunggu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Kebingungan dan lagi-lagi tenggelam dalam ketidaktahuan akan apa yang semestinya aku lakukan. Aku hanya lapar. Menginginkan sup kaki yang penuh dengan lemak. Dan itu membuatku ngeri, pertama kalinya aku takut pada diriku sendiri.

 

Aku anjing kecil yang penurut. Namun, untuk beberapa saat, tak ada perintah. Tidak ada yang memerintahkanku melakukan sesuatu atau memberikan petunjuk. Aku menyadari hal-hal menjadi kian rumit. Aku sedikit ingat, tapi selebihnya banyak melupakan.

 

Apa yang harus aku lakukan?

 

Tujuan awalku kemari. Aku tidak berniat menyelamatkan orang tuaku atau siapa pun. Tidak juga ingin hidup selamanya. Selama berjam-jam, aku hanya melamunkan hal-hal yang tak bisa kuterima seutuhnya.

 

Eliano akhirnya tiba. Membuka pintu, membawa mangkuk besar. Di saku celananya, pisau yang tadi menyembul, memperlihatkan darah segar. Ia tersenyum kepadaku, senyum yang menenangkan, seolah berkata, “Ini, makanan kita telah tiba.”

 

Aku ingin memeluknya. Sebenarnya, aku ingin memeluknya.

 

“Ada dua gadis di dalam lukisan. Mereka saling mencekik, tapi mereka tersenyum,” ucapku. Eliano sibuk membersihkan potongan tangan dan kaki di wastafel.

 

“Mereka yang menolak. Mereka menolak menjadi kita.”

 

Jawaban Eliano tegas. Apa ia sedang mengingat kebenaran di masa lalu?

Aku hanya tertegun. Lama. Sampai Eliano mendidihkan air. Aku melihat ke pisau yang belum dicuci di meja. Mengambilnya dengan perlahan. Aroma darah menjadi tak asing di penciumanku. Terhidu sebagai sesuatu yang justru agak menyenangkan. Hatiku berdesir, tapi tanpa tarah.

 

Eliano tampaknya tahu kalau ada yang tidak beres. Ia melihatku.  “Apa yang akan kau lakukan?”

 

Aku bergegas, mencari. Pisau lain di rak piring. Memberikannya kepada Eliano dengan tangan yang gemetar. Namun, ia malah tertawa untuk beberapa saat. “Percuma saja. Kita tidak akan pernah diterima oleh surga.”

 

Aku mendekat, sangat dekat, sampai hampir tak berjarak dengan Eliano. Tangan Eliano turun ke bawah, dan ia menjatuhkan pisaunya.

 

Aku memaksa, meraih tangan Eliano. Menempelkannya ke dada. “Ada yang berdetak, bukan? Dan ini percuma. Hidup, tapi di dunia yang seperti neraka. Jantung ini percuma. Hidup, tapi kita tidak memiliki hidup itu sendiri.”

 

Eliano melepaskan tanganku dengan kasar.

 

Beberapa saat kemudian, aku tersenyum saat ia mau mengambil pisau yang tadi sempat jatuh. Ia pun menarik napas panjang. Sementara itu, suara air yang bergolak dari rebusan kaki dan tangan di sebelah kami, tak membuatku melepaskan pandangan tajam dari Eliano.

 

“Cobalah, berusahalah, sebelum aku yang lain melenyapkan kesempatan ini. Kau tidak tahu, kita tidak tahu kapan aku ingat, kapan aku lupa.”

 

Sial, rasanya aku tak akan sanggup. Namun, tak lama setelah Eliano memberi peringatan, aku melihat matanya berubah menghitam. Dan dari sanalah aku mendapatkan keberanian untuk membunuhnya. Untuk menusuk jantungnya, untuk memprovokasinya dengan mata manusia yang tersisa ini, agar melakukan hal yang sama terhadapku.

 

Kita tidak abadi, Eli. Tidak akan pernah abadi.

 

(*)

 

 

Tasikmalaya, 2025

 


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url