Gema yang Tak Kembali - Jenny Seputro
Juara 1 Event Timira
Gema yang Tak KembaliJenny Seputro
Setiap malam Jumat selepas isya, selalu terdengar
langkah-langkah pelan sepanjang jalan berbatu menuju rumah paling ujung di Desa
Kalibarijo. Diterangi lampu minyak, warga desa yang mendapat giliran membawa
tampah berbungkus kain putih dan bertabur bunga kenanga.
Tampah itu berisi buah dan sayuran
segar, hasil panen terbaik, juga telur dan beras. Bila ada rezeki lebih, mereka
menyediakan seekor ayam atau sekilo daging. Ada pula yang membawa tumpeng nasi
lengkap dengan ayam goreng, urap, kering tempe, perkedel, dan sambal. Apa pun
layak dipersembahkan asal disertai ketulusan hati.
Utusan itu akan mengetuk tiga kali,
lalu langsung masuk karena pintu tidak pernah dikunci. Suasana rumah temaram,
sehelai tikar terbentang di ruang tengah. Wangi dupa terhidu meskipun tidak ada
yang menyambut. Dia meletakkan sesajen di meja khusus, lalu pulang. Tugasnya
selesai hingga nanti semua keluarga lain di desa kebagian giliran.
Malamnya, Ratu Imamah akan membawa persembahan
itu ke Gua Panangit, tidak jauh di mulut hutan. Hanya dia yang boleh ke sana. Karena
hanya kepada dia seorang, Dewa berkenan bersabda.
Pada Sabtu pagi, seperti biasa warga
berkumpul di balai desa untuk pembacaan wahyu. Pak Lurah dan segenap aparat
desa telah menyiapkan mimbar sederhana. Ratu Imamah, tokoh yang disucikan
sebagai perantara suara Dewa, melangkah anggun dengan selendang tenun lurik
tersampir di pundaknya. Wanita berusia enam puluhan itu berdiri tenang, lalu
perlahan mengangkat tangan kanannya.
“Dewa Panangit bersabda, wahyu telah
diturunkan.”
Hening. Ibu-ibu yang tadi
berkasak-kusuk seketika bungkam. Semua orang menunduk, menunggu.
Ratu Imamah melanjutkan, “Dewa
menghendaki pernikahan dilangsungkan antara Larasati binti Sulaiman dengan
Rudin bin Hastanta. Sekiranya dilakukan sebelum musim hujan tiba.”
Warga geger. Biasanya wahyu hanya
seputar pembagian hasil panen ke lumbung desa atau jenis sayuran yang harus
ditanam. Perkara perjodohan si bunga desa dengan pemuda sekelas Rudin sungguh
mengguncang semua orang.
Di pinggir kerumunan, Laras membeku. Minah,
ibunya, cepat merangkul pundaknya. Tak ada kata-kata terucap. Gadis delapan
belas tahun itu hanya menggigit bibir. Tubuhnya gemetar seolah-olah baru mendengar
vonis hukuman mati. Sejujurnya, bila boleh, dia memilih mati.
Ujung mata Laras menangkap sosok
Rudin. Pemuda tambun dengan wajah penuh jerawat itu tidak terlihat kaget. Dia
justru menatap ke arah Laras sambil tersenyum penuh kemenangan. Laras membuang
muka.
Ratu Imamah telah meninggalkan
mimbar. Pak Lurah naik, meminta warga tenang. “Saya harap semua bersedia
membantu kelancaran persiapan pernikahan Rudin dan Laras, sesuai wahyu yang
kita terima. Pertemuan dibubarkan.”
Kasak-kusuk kembali meletup. Di
warung, di pasar, di sawah, di kandang ternak, juga di balik dinding-dinding
bambu. Untuk pertama kalinya orang-orang bertanya-tanya, bagaimana bisa Dewa
menginginkan pernikahan sepasang manusia yang bagaikan bumi dan langit?
Laras yang cantik begitu mandiri
karena telah yatim sejak usia sepuluh tahun. Dia tidak segan menolong tetangga
dan siapa pun yang membutuhkan bantuan. Dia menyelesaikan sekolah hingga SMA
sambil bekerja membantu ibunya menggarap lahan peninggalan ayahnya. Lahan itu
luas dan menjadi tempat banyak warga Desa Kalibarijo dan desa-desa sekitarnya
mencari nafkah.
Sementara Rudin, memanfaatkan statusnya
sebagai anak lurah, tetap pengangguran di usia dua puluh tahun. Usia prima itu
hanya dia gunakan untuk berpelesir dan berjudi. Dia bertingkah kasar,
mengabaikan sopan santun, dan memandang semua orang dengan sebelah mata.
Akan tetapi, wahyu tetaplah wahyu.
Sudah demikian turun-temurun sejak dari
sononya. Menurut buku pelajaran sekolah dan cerita para tetua, pada tahun
1730 Gunung Sumbing meletus. Begitu dahsyat hingga kawah di sisi timur laut
hancur dan tampak seperti bibir sumbing.
Berhari-hari Gunung Sumbing
memuntahkan laharnya, menghancurkan desa-desa kecil di lerengnya. Manusia,
ternak, hutan, semua hangus dalam lautan api. Namun, satu desa di kaki gunung
selamat beserta sebuah gua kecil di dekatnya. Gua Panangit yang diyakini
masyarakat dilindungi oleh penunggu, mungkin roh leluhur, yang disebut Dewa
Panangit. Dia yang membelokkan aliran lahar hingga Desa Kalibarijo terhindar
dari malapetaka.
Sejak itu, warga desa dari generasi
ke generasi tunduk pada setiap perintah sang Dewa. Mereka tidak menyembahnya
sebagai tuhan, tetapi menghormatinya sebagai junjungan, pelindung, dan entitas
yang tahu segala hal terbaik bagi semua orang. Mereka tidak mempertanyakan
keputusan Dewa yang disampaikan lewat Ratu Imamah, perempuan suci yang
didampingi Pak Lurah selaku wakil suara Dewa.
Dalam kamarnya yang sempit, Laras
mengurung diri. Dia menolak makan sejak pulang dari pembacaan wahyu. Terkenang
ketika masih SMP, satu-satunya yang membuatnya tidak betah bersekolah adalah
Rudin. Kakak kelasnya itu bukan hanya tidak sedap dipandang, tingkahnya juga
seburuk prestasi akademisnya.
Laras ingat suatu hari ketika sedang
mengantre di warung, seseorang tiba-tiba menangkup dan mencubit pantatnya.
Laras terpekik dan Rudin terbahak. Bukan hanya sekali itu dia dilecehkan. Dan
ternyata, bukan hanya dia seorang yang mendapat cubitan pantat itu. Namun,
tidak ada yang berani bersuara. Rudin anak Pak Lurah yang di Kalibarijo,
mempunyai kuasa lebih dari semua orang lain. Kepala sekolah dan para guru
tunduk kepadanya.
“Laras.” Minah mengetuk pintu, lalu
membukanya perlahan. Di tangannya ada semangkuk sup ayam.
Laras yang sejak tadi meringkuk di
ranjang menegakkan tubuhnya. Dia bukan anak manja, tetapi dia luluh setiap kali
ibunya memanjakannya seperti itu. Apalagi dia memang lapar.
“Ibu tahu perasaanmu, Ras. Tapi itu
sudah jadi wahyu Dewa. Kita tidak bisa membantah.”
“Aku tidak mau menikah dengan Rudin,
Bu. Disuruh apa saja aku mau, asal bukan itu,” sahut Laras kukuh. “Lebih baik
aku … pergi saja.” Dia nyaris menyebut kata ‘mati’, beruntung dia sempat
menahan lidahnya. Kata-kata seperti itu akan sangat menyakiti ibunya.
“Kalau kamu pergi, lantas Ibu
bagaimana?”
Laras menatap serius wajah ibunya.
“Kalau aku menikah dengan Rudin, sama saja aku hilang, Bu. Dia tidak mungkin
membolehkan aku sering pulang. Dan aku bekerja bukan lagi membantu Ibu, tapi
menutupi utang yang dibuatnya setiap hari.”
Minah menghela napas berat. Tangannya
meremas ujung jarik. Setiap ke pasar, dia mendengar orang-orang menggunjing
soal Rudin. Sebagian menerka-nerka perempuan sial mana yang kelak menjadi
pendamping hidupnya. Sebagian mengkhawatirkan masa depan. Sesuai tradisi
Kalibarijo, lurah desa dijabat turun temurun dan bukan melalui pemilihan
demokrasi. Demikian karena merupakan kehendak Dewa Panangit.
“Barangkali kalau sudah menikah, dia
insaf dan mau membantu kita di ladang.” Minah tahu dia hanya berusaha menghibur
diri sendiri.
Laras tertawa pahit. “Jangankan
digarap, Bu. Aku yakin lahan itu akan dijualnya buat bayar utang.”
Minah terdiam. Kemungkinan Laras
benar. Lahan itu adalah yang terbesar di desa. Aset yang bisa berpindah
kepemilikan bila Laras menikah. Dia tidak begitu paham hukum perdata. Dia hanya
tidak bisa membayangkan lahan peninggalan almarhum suaminya diambil dan
dijadikan penutup utang judi, lalu hilang begitu saja. Diraihnya tangan Laras.
“Kita banyak berdoa, Ras. Siapa tahu, Dewa berubah pikiran.”
***
Dua minggu setelah wahyu pernikahan
Laras dan Rudin dibacakan, tiba giliran keluarga Laras menyiapkan seserahan.
Pagi itu, Minah telah menata buah-buahan dan sayur-sayuran aneka warna yang
dihiasnya dengan kertas emas. Sengaja dibeli untuk keperluan itu. Sekalipun
kecewa terhadap titah Dewa, kepercayaan dan rasa cinta yang telah dipupuk
seumur hidup tidak serta-merta goyah. Dia tetap ingin mempersembahkan yang
terbaik untuk sang junjungan.
Beberapa kali Minah tampak mengusap
keningnya.
“Ibu kenapa? Pusing?” tanya Laras.
“Sedikit. Semalam tidur tidak
nyenyak, mungkin salah bantal.”
“Istirahat saja. Itu sajen sudah
cantik.” Dulu, Laras antusias setiap kebagian giliran. Dia bersemangat menghias
tampah itu dan berusaha memberikan persembahan tercantik untuk Dewa. Semakin
dia dewasa, semakin pudar keinginan itu. Giliran persembahan dirasanya sebagai
pekerjaan, tanggung jawab, dan … beban. Ladang mereka tidak menanam buah.
Setiap kali ibunya membeli buah-buahan terbaik yang tidak murah.
Tepat saat itu, pintu depan diketuk
dengan kasar. Laras membuka pintu dan mendapati orang yang paling tidak ingin
dilihatnya. “Ada perlu apa?” tanyanya dingin.
“Hei, bukan begitu cara menyapa calon
suamimu.” Rudin menyeringai. “Ibumu ada?”
Laras terpaksa membuka pintu lebih
lebar dan mempersilakan pemuda itu masuk. Ketika Rudin melewatinya, Laras dapat
mencium aroma keringat yang bercampur deodoran murahan, membuatnya mual.
“Pagi, Bu Minah,” sapa Rudin, bergaya
seolah-olah di rumah sendiri. “Saya datang disuruh Nyai Imamah. Mau
mengingatkan hari ini giliran Ibu buat sajen.”
“Saya ingat. Itu sudah siap.” Minah
menunjuk tampah di meja makan.
“Ah, soal itu. Kata Nyai, belakangan
semua bawa buah dan sayuran. Sudah lama tidak ada yang bawa tumpeng. Kebetulan
kan, tumpeng Bu Minah paling enak sekabupaten.” Rudin tersenyum lebar. “Nyai
bilang, tolong malam ini siapkan tumpeng.”
Laras melihat paras ibunya memucat.
Tahu begitu, tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk tampah buah mahal.
Sekarang, dia terpaksa membeli lagi bahan-bahan untuk tumpeng. Kenapa
akhir-akhir ini Dewa begitu menyebalkan?
“Tidak bisakah lain kali saja
tumpengnya? Ibu sudah terlanjur menyiapkan tampah istimewa,” kata Laras tanpa
menyembunyikan kekesalannya.
Rudin menyunggingkan senyum khas yang
membuat Laras selalu ingin meninju pipi tembam itu. “Kurasa membuat Dewa senang
adalah hal yang bijak, bukan begitu, Bu Minah? Jangan sampai Dewa kesal lalu
menurunkan wahyu, menyuruhku langsung mengambil dua istri, hahaha.”
Setelah itu Rudin berpamitan, tawanya
yang membuat Laras jijik terus menggema di telinga gadis itu.
“Apa-apaan sih, ini? Kenapa Dewa jadi
cerewet begitu?” seru Laras begitu pintu tertutup.
“Hus, jangan ngomong sembarangan,
Ras. Tidak elok.”
“Tapi ini keterlaluan, Bu. Kita belum
punya bahan apa-apa untuk bikin tumpeng. Mana sudah mau siang.”
“Pasar buka sampai sore. Sudah, kamu
jangan marah-marah terus.”
“Ibu kurang sehat. Biar aku yang ke
pasar.”
Dengan muka manyun, Laras berangkat.
Sejak wahyu turun, Laras kurang nyaman berada di keramaian. Perkara
pernikahannya menjadi gosip paling seru dan paling laris hingga telah muncul
berbagai spekulasi tentang alasan Dewa menyatukan mereka. Benar saja begitu
tiba di pasar, Laras merasa semua mata tertuju kepadanya.
“Duh, Neng Laras. Ibu ini patah hati,
lho. Sudah lama kamu pingin kujadikan menantu.”
“Laras, kamu yang tabah ya, Nak.
Kalau itu anakku, sudah kubawa kabur dari desa.”
Belum lagi tatapan para pemuda yang
kecewa. Selama ini mereka menyimpan harap karena Laras tidak pernah dekat
dengan laki-laki mana pun.
Seorang kakek penjaga toko kelontong
bergumam, “Dulu Dewa tidak pernah mengurusi soal jodoh. Kenapa sekarang jadi
begini?”
Laras berjalan cepat, mengabaikan
semua bisik-bisik di sekitarnya. Dia segera mencari semua bahan tumpeng dan
sebelum pulang, mampir ke toko obat. Dia membeli sebotol kecil obat pencahar
bubuk.
Sepanjang siang hingga sore, Laras
membantu ibunya menyiapkan tumpeng cantik. Bagi Minah, tumpeng bukan hanya soal
rasa, tetapi harus indah dilihat.
“Bu, apakah Dewa benar-benar ada di
gua itu dan makan semua persembahan ini?” tanya Laras sambil melipat kertas
dekorasi di sekitar tampah.
“Hmmm. Seharusnya tidak sungguhan,
ya?”
“Kalau begitu, ke mana semua
persembahan kita selama puluhan tahun? Tidakkah gua itu penuh dengan buah dan
makanan busuk?”
“Ada-ada saja yang kamu pikirkan,
Ras. Itu urusan Dewa. Kita hanya perlu taat.” Minah terdiam sejenak, lalu
melanjutkan, “Masuk akalnya, saat membawa sesajen baru, Nyai Imamah akan
membuang yang lama.”
“Sayang sekali semua makanan dan
hasil bumi terbaik dibiarkan membusuk dan dibuang begitu saja.”
“Sangat layak ditukar dengan
perlindungan dan keselamatan desa kita, Ras. Kamu lihat, tidak pernah ada
bencana terjadi di sini. Padahal di berita, desa-desa lain sering ketiban
sial.”
Laras tidak menjawab. Namun, saat
ibunya tidak melihat, dia menaburkan bubuk pencahar yang tadi dibelinya ke
dalam sambal dan urap. Pembalasan kecil itu membuat Laras tersenyum untuk
pertama kalinya hari itu.
Keesokan harinya, pada saat pembacaan
wahyu, Pak Lurah yang berdiri di sebelah Ratu Imamah tampak pucat dan lemas.
Berdirinya juga gelisah.
“Wahyu telah diturunkan,” kata Ratu
Imamah. “Sawah di sebelah utara hendaknya ditanami tomat. Sepertiga hasilnya
disetorkan ke lumbung desa.”
Beberapa warga terdengar mengeluh
tertahan. Mereka para pemilik sawah di utara. Sudah dipastikan dalam tiga bulan
ke depan, sepertiga penghasilan mereka tenggelam di lumbung desa.
Laras tidak langsung pulang bersama
ibunya. Dia mencari Pak Tejo, asisten lurah yang dikenalnya baik.
“Mas Rudin mana, Pak?” tanya Laras.
“Kok, tidak kelihatan?”
“Masih di puskesmas, Neng Laras,”
jawab Tejo. Kedua alisnya mengerut seperti sedang menyampaikan berita yang
sangat serius. “Dari sebelum subuh mencret bolak-balik. Itu Pak Lurah juga,
tapi Den Rudin lebih parah.”
“Waduh, semoga cepat sembuh, ya.”
Laras berpura-pura khawatir sementara dalam hati dia tertawa puas.
Begitu tiba di rumah, Laras langsung
menarik tangan ibunya, mengajak duduk di meja makan. “Ibu tahu, ternyata Dewa
itu hanya rekayasa Pak Lurah?”
Minah melongo. “Kamu ngomong apa,
Ras?”
Dengan semangat, Laras menceritakan
eksperimen kecilnya dan dampaknya pada keluarga lurah. “Masuk akal Rudin yang
paling parah karena dia paling rakus.”
“Astaga, Laras. Keterlaluan sekali
kamu ini, mencemari persembahan suci!”
“Astaga, Ibu! Setelah semua itu, Ibu
masih percaya omong kosong soal Dewa? Sudah jelas-jelas kita semua dimanfaatkan
selama ratusan tahun!”
“Hus! Hati-hati bicara, Laras.
Dinding pun punya telinga.”
Kata-kata Minah tidak salah. Sore
itu, Laras yang terlalu bersemangat telah membongkar sebuah konspirasi tingkat
dewa menceritakan penemuannya kepada Tari, sahabatnya, dengan pesan jangan
bilang-bilang ke orang lain. Namun, dalam beberapa hari seluruh desa gempar
dengan berita itu. Minah panik, takut dihukum Dewa. Laras bingung, antara takut
dan senang.
Pak Lurah kebakaran jenggot. Malam
itu, dia memanggil Ratu Imamah ke pendopo kelurahan.
Pendopo sudah sepi. Angin semilir
berembus menimbulkan gemerisik semak-semak di sekitarnya. Ratu Imamah duduk di
lantai sementara Pak Lurah mondar-mandir di depannya seperti macan terluka.
“Ini tidak bisa dibenarkan, Nyai.
Gara-gara seorang gadis bau kencur, orang-orang mempertanyakan kepercayaan
ratusan tahun. Keponakan saya sendiri tadi bertanya, kenapa Dewa suka sekali
rendang, tapi tidak doyan daging kambing.”
Imamah menunduk, mengulum senyum.
“Mereka hanya bertanya, Hastanta. Bukan berarti berhenti percaya.”
Pak Lurah mendekat. “Ini warisan
luhur yang kita jaga, Nyai. Aku tidak mau semuanya rusak hanya karena seorang
gadis yang sok tahu.”
“Kalau memang warisan luhur, kenapa
kita memanfaatkannya untuk menipu warga? Mungkin Dewa memang menghendaki kau
berhenti mengambil keuntungan seperti itu.”
Sekarang Pak Lurah berjongkok di
hadapan Imamah, menatapnya lekat. “Apa Nyai lupa, rumah, makanan, dan
kehormatan yang kaumiliki selama ini juga berasal dari mulut gua itu? Dewa juga
bisa menghentikan semuanya.”
Hening sesaat, lalu Pak Lurah kembali
bangkit. “Kalau kau mulai ragu, Nyai, mungkin sudah waktunya Dewa memilih suara
baru sebagai perantaranya.”
Imamah tersenyum tipis. “Kalau
demikian kehendak Dewa, aku tidak akan melawan. Tapi ingat, Hastanta ….” Dia
menatap lurus punggung Pak Lurah. “Suara dari gua itu bisa berbalik arah.”
***
Jumat pagi, sepulang dari pasar,
Laras mendapati ibunya berwajah masam.
“Tadi Pak Tejo ke sini,” kata Minah
sebelum ditanya. “Kamu dipanggil Pak Lurah, disuruh ke kantor kelurahan.”
“Soal apa, Bu?”
“Pak Tejo tidak bilang, tapi ya sudah
pasti perkara gosip itu. Duh, kenapa kamu harus cari masalah begini, Laras?”
Minah meremas jariknya.
“Kenapa Ibu harus ketakutan begitu?
Kalau Pak Lurah tidak salah, seharusnya dia tidak terpengaruh gosip.”
“Dia calon mertuamu, Ras. Apa jadinya
kalau dari sekarang dia sudah menganggapmu pembangkang yang suka bikin ulah?”
Laras menelan ludah. Sekarang dia
hampir yakin wahyu pernikahannya dengan Rudin hanya akal-akalan Pak Lurah dan
itu membuatnya makin muak. “Aku tidak mau menikah dengan Rudin, Bu. Terserah
kalau Dewa marah.”
Minah hanya mengelus dada. Dia tahu
watak anaknya. Namun, yang lebih membuatnya gentar adalah kemungkinan bahwa
Laras benar. “Pergilah, temui Pak Lurah. Bicara baik-baik, jangan memperkeruh
suasana.”
Laras berjalan gontai menuju kantor
lurah. Pikirannya tidak berhenti merancang kata-kata yang tepat untuk
menyampaikan penolakannya atas perkawinan itu. Waktunya juga dirasa tepat.
Mumpung Pak Lurah sedang marah karena dia cari-cari perkara. Tentu Pak Lurah
tidak ingin anaknya menikah dengan perempuan penyebar gosip macam dirinya.
Tiba di kantor, Laras melihat Pak
Lurah sudah menunggu.
“Laras!” sambut Pak Lurah semringah.
“Ayo, duduk. Mau teh, kopi, pisang goreng? Biar Pak Tejo siapkan.”
“Tidak usah, Pak. Terima kasih.”
Laras bisa menduga alasannya dipanggil. Namun, sikap Pak Lurah yang ramah sekaligus
mengintimidasi membuatnya gugup.
Pak Lurah mengempaskan tubuhnya ke
sofa di hadapan Laras. “Saya dengar desas-desus kurang enak akhir-akhir ini.
Orang-orang mempertanyakan apakah Dewa benar-benar nyata. Terus terang saya
menganggap itu sangat, sangat konyol. Setelah ratusan tahun, kenapa tiba-tiba
meragukan sebuah kebenaran?”
Sejenak Pak Lurah berhenti bicara.
Dia mengambil sebatang rokok, menyelipkan ke bibir dan menyulutnya. Laras
memperhatikan laki-laki seusia ibunya itu menghirup kretek dalam-dalam hingga
memerah bara di ujungnya, lalu mengembuskan asap dari mulut dan hidungnya
seperti seekor naga api.
“Lalu akhirnya saya tahu, calon
menantuku sendiri yang menyebarkan gosip-gosip tidak bermutu itu.”
“Itu bukan gosip, Pak. Itu kenyataan.
Bapak tahu persis siapa yang membodohi warga desa.” Laras kaget sendiri dengan
keberaniannya.
“Kamu gadis cerdas, Laras. Kamu tentu
tahu semua orang bergantung pada Dewa.” Pak Lurah mencondongkan tubuhnya ke
arah Laras, suaranya rendah dan pelan. “Kamu juga tahu apa hukuman bagi mereka
yang menentang Dewa.”
Laras tidak menjawab. Hanya debur
jantungnya yang makin kencang.
Pak Lurah kembali bersandar di
kursinya. “Kamu boleh pulang. Dan ingat, Laras. Dewa tidak suka orang sok tahu
dan keras kepala.”
Laras meninggalkan kantor kelurahan
dengan debur jantung memburu dan napas tertahan. Dia bukan hanya gagal
menyampaikan penolakan. Dia sadar selain masa depannya, nyawanya juga sedang
dipertaruhkan.
Malam itu, selepas magrib, Laras
menyusuri jalan berbatu menuju rumah paling ujung. Yang dibawanya bukan tampah
persembahan, melainkan hati yang kalut, kemarahan yang menumpuk, dan berbagai
pertanyaan yang mendengung di kepalanya.
Angin bertiup cukup kencang. Lampu
minyak yang tergantung di teras berayun-ayun, menimbulkan bayangan-bayangan
aneh di dinding.
Laras mengetuk pintu tiga kali.
Seperti biasa, tidak ada jawaban. Laras membuka pintu yang tidak terkunci dan
masuk. “Permisi,” katanya pada ruang kosong.
“Laras.” Ratu Imamah muncul dari
dapur dengan kendi air di tangannya. “Apa yang membawamu kemari? Duduklah.”
Dua perempuan itu duduk di tikar,
berhadapan. Untuk sesaat mereka hanya diam, seolah-olah saling menunggu.
“Apa Nyai tahu alasan saya datang ke
sini?” Laras membuka percakapan.
Imamah tersenyum. “Aku hanya bisa
menebak.”
“Tolong jawab dengan jujur, Nyai.
Apakah memang Dewa yang menghendaki saya dan Rudin menikah?”
Selagi Imamah masih terdiam, Laras
melanjutkan, “Karena ini wahyu paling tidak masuk akal yang pernah saya dengar
seumur hidup. Apa salah saya hingga Dewa menghukum saya seperti itu?”
“Laras, aku hanya perantara.”
“Perantara siapa? Kalau memang Dewa
itu nyata dan tahu yang terbaik untuk warga desa, dia tidak mungkin mewahyukan
itu. Atau … selama ini kami semua menggantungkan hidup pada suara yang tidak
pernah ada?”
Imamah tertegun. “Kamu gadis cerdas
dan berani, Laras. Kamu punya masa depan yang cerah. Aku sungguh merasa berdosa
bila ikut menghancurkannya. Maafkan aku, tapi aku tak punya pilihan.” Suaranya
bergetar. Tangannya sibuk meremas kendi air yang sedari tadi belum diletakkan.
“Apa Nyai juga diancam oleh Pak
Lurah?”
Imamah menatap Laras sesaat, lalu
kembali menunduk. “Hampir empat puluh tahun lalu, aku membawa Ningsih, putriku.
Umurnya baru dua tahun. Kami terlunta-lunta, hidup dari belas kasihan orang. Lalu,
kami bertemu Pak Damurdi, ayah Hastanta. Saat itu dia yang menjabat lurah. Dia
kasihan melihatku.
“Kami membuat perjanjian kecil. Dia
mengizinkan aku dan anakku tinggal di rumah ini dan menjadi perantara suara
Dewa, menyampaikan wahyu dengan tujuan mulia, kesejahteraan semua penduduk
desa. Pak Damurdi menyadari, hanya kepada Dewa warga desa sepenuhnya tunduk.
Dan terbukti tidak pernah ada kekacauan.
“Saat itu sesajen dilakukan sukarela.
Namun, setelah Hastanta menjabat, dia membuat peraturan-peraturan baru yang
menguntungkan baginya. Aku pernah protes, tapi dia mengancam melemparku kembali
ke jalanan. Dan aku terlalu lemah untuk menentangnya.”
“Tapi selama itu warga desa hidup
dalam kebohongan.”
“Terkadang yang dibutuhkan orang
bukan kebenaran, Laras. Mereka hanya perlu rasa aman dan ketertiban.”
“Sekalipun dimanfaatkan?”
Imamah mengangguk. “Ya.”
Laras menarik napas panjang. “Di mana
Ningsih sekarang?”
“Menginjak remaja, dia tahu yang
kulakukan. Dia menentang, ingin kami pergi saja dan mengadu nasib ke tempat
lain. Hidup halal, katanya. Tapi aku tidak bisa. Akhirnya dia memilih pergi,
mencari budenya. Dia mengirimiku surat, hanya sekali, mengabarkan telah
diterima keluarga budenya. Sejak itu dia tidak pernah membalas surat-suratku
lagi.”
Laras meraih tangan Imamah dan
meremasnya pelan. “Nyai, seandainya ibu saya melakukan hal yang sungguh tidak saya
sukai, mungkin saya juga akan pergi seperti Ningsih. Tapi bukan berarti saya
tidak merindukan Ibu.”
Imamah tersenyum pahit. “Sudah
terlambat, Laras.”
“Tidak ada yang terlambat selama
masih ada napas di badan. Carilah dia, Nyai. Kalau bukan untukmu sendiri,
lakukanlah demi Ningsih.”
Mata Imamah berkaca-kaca. “Terima
kasih, Laras,” katanya lirih.
Malam itu, mereka berpisah dengan
masing-masing membawa perasaan yang sedikit lebih ringan.
Keesokan paginya, pada saat pembacaan
wahyu, Laras melihat Ratu Imamah tampil berbeda. Bukan sebagai wanita suci yang
diagungkan, tetapi sebagai manusia biasa. Kecantikannya bukan karena riasan
berlebih, melainkan karena kesederhanaan dan sorot matanya yang teduh.
Sebelum Imamah naik ke mimbar, Pak
Lurah berbisik di telinganya, “Percepat pernikahan Rudin dengan Laras. Harus sebelum
bulan baru!”
Imamah tidak menjawab. Dia melangkah
anggun ke mimbar. Pandangannya menyapu seluruh warga desa yang berkumpul,
seolah-olah ingin mengabadikan wajah-wajah itu. Perlahan dia mengangkat tangan
kanannya.
“Dewa telah bersabda. Wahyu telah
diturunkan,” katanya. “Dewa menghendaki pernikahan Larasati dan Rudin ditunda.
Saatnya belum tepat.”
Kerumunan warga bergemuruh. Wajah Pak
Lurah memerah, napasnya tersengal menahan amarah. Di tengah kegaduhan, Laras
mematung. Imamah menengok ke arahnya, tersenyum samar. Laras membalas dengan
anggukan kecil.
Orang-orang mengerumuni Pak Lurah.
Sebagian mempertanyakan sikap Dewa yang tidak konsisten. Sebagian masih
penasaran tentang keberadaan Dewa. Tidak ada seorang pun memperhatikan Ratu
Imamah turun dari mimbar dan pergi meninggalkan tempat itu.
Sore hari, Pak Lurah hendak melabrak
Imamah di rumahnya. Tanpa mengetuk, dia membuka pintu yang tidak terkunci.
Namun, langkahnya segera terhenti.
Tikar masih tergelar di ruang tengah.
Kendi air tetap ada di meja dapur. Selendang lurik tergantung pada paku dekat
pintu. Namun, tidak ada aroma dupa. Tidak ada suara langkah. Tidak ada Ratu
Imamah. Pada meja persembahan, hanya tergeletak setangkai kenanga yang mulai
mengering.
Pak Lurah bergeming. Dia tahu Imamah
bukan sekadar keluar rumah. Setelah puluhan tahun, rumah itu benar-benar sunyi.
***
Akhir pekan itu, Desa Kalibarijo
digemparkan dengan kedatangan seorang pria dari desa sebelah bersama putrinya
ke rumah Pak Lurah. Mereka tidak berusaha menyembunyikan maksud kedatangan dan
dengan lantang meminta pertanggungjawaban Rudin yang telah menghamili anak
gadisnya. Yang makin membuatnya berang, Rudin justru dikabarkan hendak menikahi
gadis lain.
Pak Lurah terpojok sementara Rudin
yang ketakutan bersembunyi di kamarnya, tidak berani keluar. Pak Lurah terpaksa
mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk sementara meredam kemarahan ayah
gadis itu sambil merencanakan pertemuan lain guna membahas kelanjutannya.
Warga desa gaduh. Mereka tahu sepak
terjang Rudin, tidak heran dengan kasus itu, tetapi belum bisa mengerti Dewa
menjodohkan laki-laki sebusuk itu dengan gadis sebaik Laras.
Kisah aib Rudin, gosip yang makin
santer beredar, ditambah menghilangnya Ratu Imamah benar-benar mengguncang
kepercayaan warga.
Malam Jumat berikutnya, tidak ada
yang membawa tampah persembahan. Bila ditanya perihal wahyu dan suara Dewa, Pak
Lurah hanya menyuruh mereka menunggu Dewa memilih wakilnya yang baru.
Sabtu pagi, orang-orang berkumpul
bukan karena ingin mendengar wahyu, tetapi penasaran siapa penerus Ratu Imamah.
Laras dan ibunya berada di antara mereka.
Seorang wanita tambun naik ke mimbar
diiringi Pak Lurah. Dia Mbok Narni, dukun beranak desa yang beberapa tahun ini
sepi karena kebanyakan orang lebih suka melahirkan di rumah sakit kota
kecamatan. Penampilannya sangat jauh dari kesan anggun dan sakral Ratu Imamah.
Mbok Narni mengangkat tangan
kanannya, gelambir di lengannya ikut berayun. Di tangan kirinya ada secarik
kertas, sesuatu yang tidak pernah dilakukan Ratu Imamah.
“Dewa telah bersabda. Wahyu telah
diturunkan,” kata Mbok Narni dengan suara berat dan ragu-ragu, mirip anak
sekolah yang membacakan tugas rumahnya di depan kelas. “Dewa murka karena semua
yang terjadi belakangan ini. Pada kalian, warga desa yang tidak percaya.”
“Tapi Dewa masih berbelas kasih,” lanjutnya sambil
berkali-kali melirik Pak Lurah, seolah-olah meminta persetujuan. “Kalian
diminta berpuasa selama seminggu, memperbaiki niat dan cara berpikir. Atau
bencana akan turun atas desa ini.”
Warga berkasak-kusuk. Wajah mereka
tidak lagi penuh keyakinan. Laras tahu, mereka akan tetap patuh. Bukan karena
percaya, melainkan karena tidak tahu cara hidup tanpa rasa takut. Yang mereka
ikuti bukan lagi suara Dewa, melainkan gema dari sebuah gua kosong.
21 Juli 2025