Cerpen Terjemahan Entri 1
Kaktus karya O’Henry
Trysdale gagal memperoleh wanita yang dicintainya karena keminter, terlalu angkuh untuk mengakui kebodohannya, dan terlalu sombong untuk mencari kejelasan ketika kesalahpahaman terjadi.
Hal paling
mencolok tentang waktu adalah sifatnya yang relatif. Menurut kesepakatan umum,
banyak kenangan menghampiri seseorang yang tenggelam. Bahkan, mudah dipercaya
bahwa orang bisa mengenang seluruh kisah cintanya hanya sambil melepas sarung
tangan.
Itulah yang
dilakukan Trysdale, berdiri di samping meja di apartemennya. Di atas meja,
berdiri tanaman hijau aneh dalam pot tanah liat merah. Tanaman itu sejenis
kaktus, dengan daun-daun panjang menyerupai tentakel, selalu bergoyang ringan
tertiup angin.
Teman Trysdale,
kakak dari pengantin wanita, berdiri di dekat bufet sambil mengeluh karena
dibiarkan minum sendirian. Keduanya mengenakan pakaian malam. Pita putih di jas
mereka berkilau di tengah kegelapan apartemen.
Sambil membuka
kancing sarung tangan, Trysdale tiba-tiba teringat peristiwa beberapa jam
terakhir. Aroma bunga-bunga yang bertumpuk di gereja seolah masih tercium di
hidungnya. Di telinganya, terngiang suara rendah dari ribuan suara sopan,
gemerisik pakaian rapi, dan, yang paling terus-menerus muncul, kata-kata
pendeta yang dengan tegas menyatukan wanita yang ia cintai itu dengan pria
lain.
Trysdale masih
berusaha mencari alasan mengapa dan bagaimana ia kehilangan wanita itu. Fakta
pahit itu mengguncangnya, memaksanya menghadapi dirinya sendiri yang telanjang
dan tanpa topeng apa pun. Ia melihat semua keangkuhan yang selama ini ia
kenakan hancur menjadi kain usang memalukan. Ia bergidik memikirkan orang lain
yang mungkin telah lama melihat jiwanya yang compang-camping. Kesombongan dan
keangkuhan? Itulah celah di baju zirahnya. Namun, wanita itu selalu bebas dari
sifat-sifat itu.
Lalu, mengapa
semua berakhir begini?
Tadi, saat
wanita itu berjalan menuju altar, Trysdale merasakan kegembiraan yang tak
pantas. Harapan kecilnya sirna. Ketika ia melihat tatapan penuh makna yang
diberikan wanita itu kepada pria lain, saat wanita menggenggam tangan pria lain
itu, Trysdale tahu dirinya telah dilupakan. Dulu, tatapan serupa pernah
ditujukan kepadanya, dan ia memahami artinya. Tapi kini kesombongannya runtuh.
Mengapa semua
berakhir seperti ini?
Untuk kesekian
kali, ia mencoba mengingat kembali peristiwa beberapa hari terakhir sebelum
segalanya berubah drastis.
Wanita itu
selalu memuja Trysdale, menempatkannya di atas pedestal, dan Trysdale menerima
pemujaan itu dengan sikap agung. Puji-pujian itu bagai wewangian manis;
sederhana, polos, dan penuh kekaguman, bahkan (wanita itu pernah bersumpah)
tulus. Wanita itu menghiasi Trysdale dengan berbagai sifat mulia, keunggulan,
dan bakat yang hampir supernatural, dan Trysdale menyerap semua pujian itu
seperti gurun yang menyerap hujan tanpa janji bunga atau buah.
Saat Trysdale
dengan getir membuka jahitan sarung tangan terakhirnya, kenangan paling
menyakitkan tentang kesombongannya yang terlambat disesali muncul kembali. Itu
adalah malam ketika ia meminta wanita itu untuk naik ke pedestal bersamanya dan
berbagi keagungannya. Ia tak bisa, karena terlalu menyakitkan, mengingat
kembali kecantikan wanita itu malam itu. Rambutnya yang tergerai alami,
kelembutan dan pesona polos dalam pandangan serta kata-katanya. Namun, itu
semua cukup untuk membuatnya bicara. Dalam percakapan mereka, wanita itu
berkata, “Kapten Carruthers bilang kau fasih bahasa Spanyol. Mengapa kau
sembunyikan bakat ini dariku?”
Carruthers
adalah orang bodoh yang mengagumi Trysdale. Sebagaimana kebiasaannya, mungkin
Trysdale pernah pamer pribahasa Spanyol kuno yang ia catut dari kamus. Kepada
wanita itu, Carruthers pasti melebih-lebihkan pengetahuan Trysdale yang
meragukan itu.
Namun, pujian
wanita itu begitu manis dan menyanjung. Trysdale tak membantah tuduhan itu.
Tanpa protes, ia membiarkan wanita itu memahkotainya dengan keilmuan Spanyol
palsu. Ia membiarkan mahkota itu menghiasi kepalanya, tanpa menyadari bahwa
kelak duri-duri di mahkota itu akan menyakitinya.
Betapa wanita
itu gembira dan malu-malu. Ia seperti burung yang terperangkap saat Trysdale
mengungkapkan cintanya. Trysdale bersumpah bahwa wanita itu akan menerima
cintanya, meski belum memberi jawaban langsung.
“Aku akan kirim
jawabanku besok,” kata wanita itu.
Trysdale, yang
merasa sebagai pemenang, tersenyum dan mengizinkan penundaan itu.
Keesokannya,
Trysdale menunggu jawaban itu di kamarnya. Siang hari,seorang pelayan datang,
meninggalkan kaktus aneh dalam pot tanah liat merah dari wanita itu. Tak ada
catatan, tak ada pesan, hanya label dengan tulisan asing yang sulit dimengerti.
Trysdale menunggu hingga malam, tapi jawaban tak kunjung tiba. Harga diri dan
kesombongannya yang terluka menghalanginya untuk mencari wanita itu.
Dua malam
kemudian, mereka bertemu di jamuan makan. Mereka saling menyapa hambar, dan
wanita itu memandangnya dengan napas tersengal, penuh keheranan dan harapan.
Trysdale tetap sopan namun dingin, menunggu penjelasan dari wanita itu. Namun,
wanita itu berubah menjadi dingin seperti salju. Sejak saat itu, mereka semakin
menjauh.
Di mana
kesalahannya? Siapa yang salah? Kini, dengan rendah hati, Trysdale mencari
jawaban di antara reruntuhan kesombongannya.
Pria lain di
apartemennya mengeluh dengan nada kesal, mengusik lamunannya.
“Trysdale, apa
sih yang salah denganmu? Kau terlihat murung. Lihat aku, aku datang dua ribu
mil dengan kapal penuh bawang dan kecoa dari Amerika Selatan untuk datang ke
pernikahan ini. Dia adik perempuanku satu-satunya, dan sekarang dia pergi.
Ayolah, kita minum sesuatu untuk menenangkan hati.”
“Tidak, terima
kasih,” jawab Trysdale.
Pria lain itu
membalas, “Brandi-mu benar-benar buruk. Mampirlah ke Punta Redonda, coba
minuman kami yang diselundupkan Garcia tua.”
Pria lain itu
lalu melihat kaktus yang tegak di meja. “Dari mana kau dapat kaktus ini?”
“Hadiah. Dari
teman. Kau tahu jenisnya?” tanya Trysdale.
“Pasti. Ini
tanaman tropis. Aku lihat banyak di Punta. Ini, namanya ada di labelnya. Kau
paham bahasa Spanyol, Trysdale?”
“Tidak,” kata
Trysdale dengan senyum pahit. “Jadi, itu bahasa Spanyol?”
“Iya. Penduduk
lokal menganggap daunnya yang melambai-lambai seolah-olah memanggilmu. Mereka
menyebutnya Ventomarme. Dalam bahasa Inggris, artinya ‘Datang dan ambillah
aku.’”
.jpg)