Ada Monster Bersemayam di Darah Kami - Erlyna

Naskah Pilihan Event Cerpen Alih Wahana



Ada Monster Bersemayam di Darah Kami
Erlyna


“Jakarta sudah sampai sini!” Wanita tua itu berseru dengan tubuh gemetar sambil memeluk batang pohon pisang, “dia membawa teman-temannya!”

Saat itu penghujung Desember, malam retak dan dari celah-celahnya mengalir air legam solar, menyerbu kampung seperti kerbau-kerbau liar yang mengoyak dinding-dinding rumah, menarik potongan baliho caleg dari kota yang bercampur dengan bangkai ayam dan tikus. Tetua desa melolong-lolong dari langgar, kentungan dipukul berkali-kali, tetapi banjir seolah-olah tidak peduli. Lagaknya ia sudah hafal betul lorong-lorong kampung ini, paham rumah mana yang tanpa pagar dan tahu pintu mana yang gampang dijebol.

Dan sialnya rumah saya salah satunya.

Air sudah setinggi dada ketika saya membuka mata. Kaki kanan yang berselonjor di ranjang saya pindahkan dengan payah. Awalnya saya mengira sedang bermimpi buruk, tetapi suara-suara di sekeliling berdengung-dengung begitu nyata, menggema-gema, tergesa-gesa, seperti hantu yang sedang menyalip malaikat.

Air makin menyesap ke dalam pori-pori, tubuh saya semakin berat. Ingatan pun berloncatan perihal bagaimana semua ini berawal. Selepas Ashar saya hanya bermalas-malasan hingga tanpa sadar tertidur. Saya sempat terbangun beberapa menit sebab terkejut oleh suara hujan deras, lalu berbaring miring dan beringsut menempatkan anggota tubuh dalam posisi yang lebih nyaman.

Di ruang depan sayup-sayup terdengar percakapan Kakung dan Mbah Rekso, dukun kampung yang rambutnya seputih kapas randu. Saya mencuri dengar keduanya sedang membicarakan makhluk mengerikan bernama Jakarta yang katanya tidak punya mata, tetapi bisa mengendarai bus antar kota dengan wajah kosong, mendahului truk-truk tebu di tikungan lalu meninggalkan bangkai-bangkai di jalanan. Jakarta adalah monster besar yang bermukim di aliran darah tubuh manusia, menendang-nendang perut lapar, menjarah nasi yang baru ditanak, juga memberangus mimpi-mimpi muda.

Saya mengerjap-ngerjap linglung. Mereka pasti terlalu sering menonton berita.

Akan tetapi, siapa menyana  malam itu sang monster mengerikan datang dalam wujud banjir yang airnya telah menerobos kamar tidur tanpa salam sapa, menyapu tikar pandan, menenggelamkan kitab-kitab yang diwariskan leluhur, lalu tidur telentang di ruang depan seperti tamu tidak tahu diri. Orang-orang terus berupaya membangunkannya dengan doa, dengan gamelan kecil yang dipukul di langgar, dengan tabuhan kentungan, tetapi Jakarta hanya mengorok panjang, seperti sedang bermimpi tentang umat manusia yang pelan-pelan tenggelam lalu mati.

Dua bulan sebelumnya, jalanan sempit yang biasanya hanya dilewati becak dan pedati mendadak meraung-raung tanpa henti. Motor-motor berbaris seperti kawanan serangga, asap hitamnya melompat-lompat masuk jendela, membuat perih mata dan panas dada. Dari kejauhan, showroom baru di pinggir sawah bersinar benderang merupa singgasana raja. Di sanalah utang-piutang tumbuh seperti jamur beracun. Lelaki-lelaki muda berdatangan, menekan tanda tangan di atas kertas panjang lalu pulang dengan motor kinclong dan kepercayaan diri yang condong-mondong.

Sawah-sawah yang baru saja menguning diinjak-injak, padi-padi panen muda tersungkur, batangnya patah, butirannya rontok ke lumpur. Petani menjerit-jerit, tetapi suaranya tenggelam oleh klakson yang memenuhi udara. Itulah awal mula Jakarta menyelinap ke kampung kami tanpa disadari.

Di jalan raya kecil, mobil-mobil mewah meluncur. Mereka melaju di jalur tanpa rambu-rambu seakan-akan aspal adalah karpet milik pribadi. Angin pegunungan yang biasanya segar ikut terperangkap di kabin mesin pendingin. Mobil-mobil pelat putih menyalip mikrolet dan bus antarkota yang kini dikemudikan iblis buta.

Sementara itu, di gang-gang sempit warga semakin sering melihat malaikat. Namun, malaikat di kampung kami kerap bergonta-ganti rupa: terkadang dalam wujud perempuan tua dengan gigi tinggal satu dua, kadang menjelma lelaki muda dengan tato di dada. Mereka menumbuh-potongkan alat kelaminnya seperti sulap, membuat kami bingung apakah harus percaya atau menutup mata.

Bahkan para nabi pun berkeliaran membawa keranjang-keranjang doa. Bungkusan doa itu dijajakan di pinggir jalan: dibeli dengan uang, ditukar dengan darah, ada pula yang dibayar dengan tubuh seorang anak. Saat itulah saya mulai merasa doa bukan lagi milik langit, ia sudah bermukim di pasar-pasar, menjadi barang dagangan yang bisa ditawar-tawar.

Dan kitab-kitab pun huruf-hurufnya berubah tajam dan meledak begitu dibuka. Percikannya mengenai sekolah, diskotek, gedung parlemen, bahkan rumah Tuhan. Api itu tidak padam, ia justru diwariskan kepada anak-anak kampung yang dipaksa mengimani ayat-ayat kebencian. Sungguh kacau bukan buatan.

Air terus naik. Saya masih melamun, tubuh saya terasa berat dan pikiran begitu kacau. Kakung mendekat dengan wajah datar. Ia menyerahkan tongkat saya yang tadi sempat hanyut. “Jangan ke mana-mana,” katanya singkat.

Saya hanya mengangguk pelan. Lagi pula apa yang bisa saya lakukan?

Arus air mengalir semakin deras bersamaan dengan terdengarnya irama kidung yang jauh sekali, tetapi terasa dekat. Bulu kuduk saya meremang ketika mengenali siapa pemilik suara itu. Sudah lama benar ia tidak menampakkan diri, terakhir kali saya mendengar suaranya ketika ibu mati dan mayatnya dijadikan persembahan kepada sang monster yang juga telah merenggut kaki kiri saya.

Air terus naik. Bau lumpur dan bangkai menyatu seakan-akan seluruh tubuh kampung ini sedang membusuk bersama-sama. Dari sudut langit-langit, cecak-cecak berlarian panik kehilangan tempat berpijak. Saya menatap jendela yang hampir sepenuhnya terendam, seperti menatap kacamata raksasa yang menahan dunia luar untuk masuk. Namun, sia-sia saja sebab air telah lebih pintar: ia menyusup melalui celah-celah tidak kasatmata, melintasi lubang kecil, mengubah tubuhnya menjadi ribuan tangan yang meraih apa saja.

Saya memeluk tongkat yang diberikan Kakung. Tongkat itu terasa begitu dingin. Di bagian kepalanya terukir garis-garis halus yang telah memudar. Saya tidak tahu apa fungsinya selain menyangga tubuh saya yang pincang, tetapi Kakung memberikannya dengan serius seolah-olah itu adalah senjata terakhir miliknya.

“Bertahanlah,” katanya lirih nyaris tanpa nada, “jangan sampai monster itu menelanmu.”

Saya tidak menjawab, tetapi kata-kata itu mengendap dalam, berputar-putar di kepala dan membuat pandangan kabur. Apa yang bisa diperbuat tubuh rapuh ini melawan banjir yang sudah menelan berlembar-lembar nyawa? Saya hanya merasa seperti onggokan sampah yang terseret arus.

Di luar rumah orang-orang terus berteriak. Ada suara perempuan menjerit-jerit kehilangan anaknya yang terlepas dari genggaman, suara lelaki memanggil kambing-kambing yang terbawa arus, juga suara anak-anak yang terdengar seperti percampuran tawa dan tangis. Semua itu menyatu membentuk orkestra yang bertalu-talu di rongga dada. Setiap nada yang terdengar seperti hendak meremas segala yang tersisa hingga binasa.

Lalu, di antara hiruk-pikuk itu saya mendengar lagi kidung itu. Suara perempuan yang begitu bening dan tipis, tetapi menusuk telinga seolah-olah datang dari relung terdalam. Saya mengenalinya. Itu suara Ibu. Suara yang dahulu saya dengar tepat sebelum napas terakhirnya. Saya ingat betul tubuh kurusnya diusung oleh para tetua, dijadikan persembahan demi keamanan kampung dari amukan sang monster. Namun, nyatanya, momok mengerikan itu tidak pernah benar-benar pergi. Ia terus saja membayang-bayang dalam wujud yang berupa-rupa.

Tubuh saya menggigil tepat ketika kidung berakhir. Sekujur saya terasa panas luar biasa dengan tangan dan kaki terasa kaku. Saya kerasukan.

Air sudah mencapai leher. Kakung yang kembali mendekat dengan perlahan berdiri kaku di dekat pintu, wajahnya pucat dengan sorot mata kosong.

“Tidak! Jangan lagi!” Saya memohon dalam hati.

Saya tidak tahu apa yang beliau lihat di luar sana, tetapi tubuhnya bergetar hebat seperti tersengat listrik. Tiba-tiba Kakung membenturkan kepalanya ke kusen pintu. Sekali. Dua kali. Suaranya begitu keras memecah riuh banjir. Darah segar mengalir di pelipis, menetes ke air yang berlumpur. Saya menjerit-jerit, tetapi suara saya hilang ditelan gemuruh arus. Saat tubuhnya jatuh perlahan, wajahnya menoleh ke arah saya, tersenyum—senyum yang tidak akan pernah saya lupa.

“... dia haus darah,” gumamnya.

Kakung bergerak menjauhi pintu, membiarkan arus mengempas tubuh rentanya, menyeret begitu jauh, semakin jauh, hingga hilang dalam hitam air.

Saya melolong-lolong tanpa suara. Dunia saya hanyut.

Bertahan atau mati. Saya hanya punya dua pilihan yang tidak bisa lagi ditawar. Dengan perasaan remuk redam saya memejamkan mata sembari menenangkan diri. Kidung itu terdengar lagi, lebih nyaring dan terasa begitu menusuk-nusuk sanubari. Dalam kegelapan itu saya melihat Ibu dalam tubuh saya sendiri, pakaiannya berkibar-kibar, rambutnya panjang menjuntai-juntai, bibirnya bergerak-gerak seperti sedang menuntun saya mengucapkan sesuatu. Ketika saya membuka mata, monster itu menyeringai tepat di depan mata, tubuh besarnya terbuat dari aspal, kabel listrik, baja, dan asap-asap. Wajahnya begitu kosong dan hitam tanpa mata. Meski begitu, saya bisa merasakan ia sedang menatap saya dengan tajam, tertawa-tawa dan gemanya mengguncang-guncang segala yang ada di sekelilingnya.  

Monster itu adalah Jakarta.

Sosoknya tidak hanya hadir sebagai luapan banjir, mewah kendaraan atau utang-utang. Ia menjelma bagian tidak terpisahkan dari tubuh manusia, sebagai kerak yang tumbuh di otak, rasa lapar yang tidak mengenal kata kenyang. Sosoknya adalah parasit yang menyerap dirinya ke darah manusia.

Tubuh saya terasa seperti ditarik semakin dalam sebelum sempat melawan.

Lalu, tiba-tiba, tongkat di tangan saya bergetar-getar. Ukiran-ukirannya menyala samar, seperti bekas luka yang kembali terbakar. Saya menggenggamnya lebih erat. Entah dari mana datangnya kekuatan itu, saya mengentakkan tongkat ke air berkali-kali. Seketika riak berputar-putar membentuk pusaran besar.

Dari dasarnya suara-suara orang kampung menggema-gema dan menyatu dengan deru air: jerit, tawa, ratap, semua berkelindan, seolah-olah tengah memanggil-manggil jiwa yang telah lama berkalang tanah untuk bangkit kembali.

Saya tertegun. Apakah tongkat ini yang memanggil mereka? Atau apakah darah Kakung yang tumpah menjadi isyarat bagi semua orang untuk melawan?

Mereka, jiwa-jiwa orang mati itu, benar-benar bangkit dalam wujud bayangan abu-abu yang samar, berdiri mengelilingi saya dengan pandangan tertuju ke arah sang monster.

Dan saat itu, saya mendengar lagi suara Ibu. Kali ini lebih jelas.

“Lawanlah, engkau tidak sendirian.”

Tubuh saya bergetar. Perlawanan seperti apa yang bisa dilakukan oleh orang yang bahkan tubuhnya tidak utuh lagi? Namun, tatapan mereka semua tertuju kepada saya, seakan-akan di situlah segala pergerakan mereka berpusat.

Saya mengangkat tongkat. Ujungnya berkilat-kilat. Seolah-olah mendapat titah, bayangan-bayangan itu ikut mengangkat tangan mereka, mengacungkan tangan kosong yang di mata saya penuh akan senjata: cangkul, arit, papan kayu, juga palu. Suara kidung berubah menjadi raungan penuh kemarahan, yang perlahan-lahan menyelinap dalam kekejaman banjir yang terus meninggi.

Saya melihat bayangan-bayangan itu melawan dengan cara aneh: ada yang sengaja menenggelamkan diri, tubuhnya meletup jadi cahaya. Ada yang merobek dadanya sendiri, dari robekan itu muncul jilatan api. Ada yang saling berpelukan hingga tubuh mereka menyatu, menjelma raksasa baru.

Jakarta terperanjat, lalu tubuh besarnya bergetar hebat. Getarannya merobohkan rumah-rumah yang sekuat tenaga bertahan, meratakan pohon-pohon yang dijadikan pegangan, juga menyebabkan retakan-retakan semakin lebar dan menelan apa saja yang ada di sekelilingnya. Sama seperti surga yang bisa didapat setelah kematian, segala bentuk perjuangan baru akan nampakkan hasil setelah selesai dengan kehilangan.

Saya mencari pegangan, mengangkat tongkat tinggi-tinggi lalu menghantamkannya berkali-kali ke tubuh monster itu, menembus lapisan aspal, baja, dan kabel-kabel yang melilit-lilit. Dari dalam tubuhnya keluar cairan hitam, lebih pekat dari legam solar yang terus mengalir.

Bayangan-bayangan abu-abu itu juga terus memukul-mukul, menjerit-jerit, memanggil-manggil nama-nama orang yang pernah dikorbankan atas nama keselamatan. Nama-nama itu menghunjam serupa peluru yang memelesat tajam lalu meledak di kedalaman.

Monster itu meronta-ronta. Tubuhnya tercerai-berai, memperlihatkan wajah-wajah yang tidak asing: pejabat-pejabat korup yang tersenyum sinis, pedagang-pedagang yang penuh muslihat, sopir bus yang menabrak dan melarikan diri, juga wajah-wajah yang pernah kami kenal, tetapi telah direnggut oleh kekejaman kota. Saya melihat wajah seorang ibu: wanita yang menangis tersedu-sedu setelah mengalami kecelakaan, bayi dalam pelukannya berlumuran darah dan kehilangan sebelah kakinya.

Perlawanan kami tidak berhenti sampai akhirnya tubuh sangat besar itu berkecai-kecai.

Air mendadak surut. Banjir menyusut dengan cepat, menyisakan lumpur tebal dan bangkai-bangkai binatang. Tubuh-tubuh orang kampung ambruk, tergeletak, sebagian tidak bergerak lagi. Namun, wajah mereka memejam dalam damai. Saya masih berdiri menggenggam tongkat di tangan dengan napas terengah-engah dan dada bergetar-getar.

Saya menatap langit. Awan-awan hitam perlahan-lahan berarak-arak pergi, menyisakan sedikit cahaya purnama.

Jakarta tidak benar-benar hilang, saya tahu itu. Ia masih akan menyelinap lagi, mungkin dalam wujud lain. Akan tetapi, malam ini, untuk pertama kalinya kami tidak hanya pasrah. Kami berani melakukan perlawanan.

Dan saya tahu, perjuangan ini tidak akan selesai. Ia akan terus hidup, dari darah ke darah, dari anak ke anak. Seperti yang pernah dikatakan Kakung bahwa darah lebih kental daripada air.  Begitulah cara manusia melawan keadaan.

Saya menggenggam tongkat erat-erat. Kayu itu terasa basah dan berat, tetapi juga hangat. Di balik telapak tangan saya bisa merasakan benda itu berdenyut-denyut.

Saya menatap sekeliling. Kampung porak-poranda. Dinding-dinding runtuh, atap-atap tercerai dan lumpur menutup jalan. Namun, dari reruntuhan itu terdengar suara bayi menangis. Pelan saja, lalu disahut tangisan lain yang berlapis-lapis. Di tengah segala kehancuran, darah yang tumpah menjelma kelahiran baru.

Saya tersenyum tipis. Dan untuk pertama kalinya sejak sekian lama, dada saya terasa lega.

Purworejo, 03 Oktober 2025


Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url