Kertas Lakmus - Hening R

Naskah Pilihan Event Cerpen Alih Wahana


Kertas Lakmus
Hening R 



Namaku Rati. Status resmi di KTP-ku adalah Warga Negara Penuh Uji. Kadang aku ingin menempelkan KTP itu di jidat pejabat dan berkata, "Pak, ini bukan identitas, ini adalah kutukan.”

Dari kecil, hidupku dipenuhi dengan lembar jawaban. Ujian masuk TK, ujian masuk SD, ujian nasional, ujian CPNS, sampai ujian iman tiap harga beras naik. Bahkan waktu bapakku meninggal, aku masih ditanya orang kampung, “Mbak Rati, gimana perasaannya? a. Ikhlas, b. Nggak ikhlas?” tanya Bu Jumi, tetangga yang suaranya mirip toa masjid.

Aku mendengus. “Kalau aku jawab c. nangis seharian, itu boleh nggak, Bu?” “Lho, itu jawaban tidak tersedia, Mbak. Hidup ini pilihan ganda.” Aku ingin menjitak kepalanya pakai cobek. Aku pun menghembuskan napas panjang, bukan karena marah, tapi karena lelah yang sudah menebal sampai tak tahu lagi cara menangis.

Kini tawa yang keluar adalah kebiasaan, bukan karena senang apalagi bahagia. Perasaan pun tak luput dengan ujian. Singkat kata, kalau hidup alien penuh dengan harapan, maka hidup kami penuh kolom pilihan ganda.

Di negeri ini ada satu kitab suci paling laris dan wajib dimiliki oleh seluruh pelajar. Buku itu adalah Buku Ajaib Lulus Ujian. Tebalnya nggak seberapa, tapi isinya bikin mabuk. Halaman pertama berbunyi, “Hidup sudah adil, asal kamu rajin bersyukur.” Dan ketika aku bersyukur, aku menyaksikan tagihan listrik yang naik tiap bulan. Apakah aku akan mendapat diskon? Tidak. Yang ada, meteranku diputus sambil bilang, “Bersyukurlah dalam gelap, Mbak.”

Aku teringat saat Ujian Nasional satu tahun lalu, sebelum aku lulus SMA. Ujian matematika saat itu soalnya cukup gampang, tapi jawabannya sangat sulit. “Eh, Rat, 2+2 jawabannya apa?” bisik Dina di sebelahku. Aku menjawab dengan cepat, “Terima kasih pemerintah.” Dina melongo. “Serius?” “Ya kalau nulis 4, kita remedial sampai kiamat.”

Dina menelan ludah. “Kalau aku jawab 4, bisa salah?” Aku mengangguk. “Salah besar. Jawaban resminya sudah ada, terima kasih pemerintah, terima kasih Tuhan. Kalau nulis 4, itu namanya mencontek dari kenyataan.”

Aku tersenyum tipis waktu menulis jawaban itu, padahal perutku seperti dikikir. Senyum itu untuk menutupi rasa jijik—bukan untuk bersyukur. Di sekolahku waktu itu, sampul bukunya adalah foto pejabat. Dulu, di pelajaran Agama, ada soal yang kuingat sampai sekarang. “Sebutkan tiga alasan kenapa pejabat kita suci dari dosa?”

Pilihan gandanya cukup sulit. a. karena selalu pakai peci. b. karena kalau salah pasti bilang “maaf saya khilaf.” c. karena dosa itu konspirasi oposisi. d. tiga-tiganya benar Waktu guru agama membacakan soal itu, aku nyaris batuk berdarah mendengarnya.

Tiga pilihan semua benar. Aku cuma bisa menulis d. tiga-tiganya benar, sambil berdoa agar Tuhan tidak ikut-ikutan menertawakan jawabanku. Tanganku gemetar waktu mengisi, seperti menulis jawaban ujian yang membunuh logika kecilku.

Sejak Buku Ajaib itu mewabah, negeri kami jadi seperti kebun binatang. Bukan kebun binatang yang tiketnya murah dan bisa piknik sekeluarga, tapi kebun binatang politik, penuh binatang buas yang giginya runcing, cakarnya panjang, dan ludahnya bisa membakar ladang.

Mereka tidak sekadar muncul di hutan, melainkan di layar TV setiap malam, tersenyum manis sambil bilang, “Kami bekerja untuk rakyat.” Padahal kenyataannya, rakyat cuma jadi kelinci percobaan.

Kurikulum sekolah kami disebut Kurikulum Uji Ajal. Bukan main-main. Ujian biologi bukan lagi soal sel dan jaringan, tapi: “Bagaimana cara bertahan hidup dengan gaji UMR dan harga minyak goreng naik tiga kali lipat?” Nilainya tergantung seberapa sabar kau menghela napas sebelum pingsan.

Di rumah sakit, obat-obatan sering kadaluarsa. Petugas kesehatan yang mencoba protes justru dicap monster, katanya mengganggu stabilitas. Ironisnya, kalau bom meledak di kota sebelah, pemerintah dengan bangga bilang, “Tanda-tanda kita makin kuat, karena sudah terbiasa menghadapi ujian.” Bayangkan, ujian kami bahkan termasuk lolos dari serpihan paku dan sekrup yang berhamburan.

Saking seringnya diuji, aku merasa tubuhku bukan lagi manusia, tapi lembar jawaban. Setiap luka di kulit seperti titik-titik pilihan ganda A. luka lama, B. luka baru, C. luka menganga, D. semua benar.

Hari demi hari soal-soal itu menumpuk di kepalaku — soal harga, soal rumah yang dirampas, soal obat kadaluwarsa. Aku merasa jawabanku telah habis, yang tersisa cuma amarah yang disimpan rapi di saku.

Suatu hari saat aku membuka lembar-lembar buku ajaib itu, aku menemukan halaman kosong di lembar terakhir. Aku iseng menulis seolah menjadikannya buku harian. “Kenapa sawahku terbakar? Dan kenapa aku juga mendapati obat di puskesmas sudah kadaluwarsa? Kenapa aku menyaksikan sendiri anak-anak SD belajar di kelas bocor? Sementara para pejabat pesta pora di hotel bintang lima?”

Keesokan harinya, aku mengumpulkan kembali buku itu tanpa ingat pernah mencoret-coret di halaman terakhir. Dan aku langsung dipanggil oleh Pengawas Negeri. Ruangan itu dingin, tapi keringatku menetes.

Pengawas Negeri menatapku seperti hakim agung. “Saudara Rati, anda diduga menulis hoaks dan mencontek dari kenyataan. Itu pelanggaran berat!” Aku menelan ludah. Rasanya pahit, seperti menelan soal ujian yang jawabannya cuma bikin sakit perut.

Aku mencoba membela diri, “Tapi, Pak… kalau semua ujian hanya selalu menguji kesabaran kami, lalu kapan giliran kalian diuji oleh kami?” Kalimat itu seperti bom. Bukan bom yang biasa diledakkan diam-diam, tapi bom kata-kata.

Pengawas menatapku, tapi aku merasa bayangan rakyat di belakangku menatap lebih tajam. Ternyata aku tidak sendiri. Di luar, kudengar riuh kecil, seseorang menutup bukunya, ada juga yang berbisik menanyakan halaman kosongnya.

Mata-mata itu menatapku lewat jendela. Mereka bukan untuk menakutkan, melainkan untuk meminta kode agar berani menulis. Banyak orang juga menemukan halaman kosong di buku mereka, lalu menuliskan hal yang sama. Tentang sawah yang dirampas, tentang obat yang kadaluarsa, kurikulum yang membodohkan, juga tentang pejabat yang sibuk berpesta pora.

Sejak hari itu, halaman kosong berubah jadi lembar perlawanan. Rakyat menulis, menggambar, mencoret, bahkan ada yang bikin puisi berjudul “Binatang Buas di Balik Kursi Empuk.” Buku ajaib itu pun kehilangan kesaktiannya, karena kebohongan yang dihafal yang dihafal kalah indahnya dari kenyataan yang ditulis.

Di alun-alun, orang-orang mulai berkumpul. Buku dengan lembar kosong itu menjadi bendera, lembarannya berkibar di tiang bambu. Mereka menulis bersama-sama, menjadikan tulisan itu senjata. Kata-kata berubah menjadi batu, kalimat berubah jadi palu.

Bahkan anak-anak yang dulu dicekoki kurikulum uji ajal kini berani berteriak, “Kami bukan kelinci percobaan lagi!” Binatang-binatang buas yang dulu berkeliaran di layar kaca mendadak gelagapan. Taring mereka tumpul oleh ejekan, cakar mereka patah oleh tawa rakyat. Ludah api yang biasanya membakar sawah kini padam.

Dan anehnya, semakin keras rakyat tertawa, semakin ciut binatang-binatang itu. Ternyata selama ini mereka hanya monster tanpa rupa, hidup dari rasa takut yang ditanamkan. Begitu rakyat tak takut lagi, monster itu runtuh jadi bayangan, tipis, hambar, dan memalukan.

Taring mereka gemelutuk, cakar mereka mencakar meja, ludah api mereka tak lagi panas—hanya meleleh seperti ingus. Monster tanpa rupa itu akhirnya ketahuan, mereka tak pernah belajar, hanya pintar menyuruh orang lain belajar sabar.

Malam itu, ketika aku kembali ke kamarku, bayanganku di dinding tak lagi tersenyum sinis. Ia menunduk hormat, seakan berkata, “Akhirnya, giliran mereka yang retak.”

Beberapa hari setelah buku Pedoman Bertahan Hidup tersebar, ada fenomena baru. Para pejabat yang dulu digambarkan sebagai monster tiba-tiba ikut-ikutan menulis di halaman kosong. Ada yang menulis, “Aku cinta rakyatku, asalkan rakyatku jangan cerewet.” Ada yang menulis, “Korupsi? Itu hoaks, yang ada hanya dana siluman yang baik hati. Ada pula yang menulis, “Jangan marah pada kami, kami juga manusia. Manusia yang sedikit lebih butuh vila, mobil, dan istri simpanan.” Aku membaca tulisan itu, lalu aku tertawa sampai perutku kram. Ketika seorang pejabat menulis, “Korupsi? Itu hoaks,” seorang ibu penjual gorengan di sebelahku ngakak sampai minyaknya tumpah. “Hoaks? Lalu duit kami dirampas siapa, tuyul?” celetuknya.

Dan untuk pertama kalinya, kami tidak marah. Karena jawaban itu lebih memalukan daripada semua tuduhan yang pernah ada.

Berkat perlawanan itu, aku sudah tidak lagi menyaksikan kurikulum Uji Ajal yang menodai dunia pendidikan. Meski sekarang negeri ini belum sepenuhnya pulih dari rengekan pejabat. Aku merasa keadaan ini lebih baik daripada mengandalkan buku ajaib itu.

Aku masih ingat saat itu, ketika rakyat bersatu dan menulis kebenaran di halaman kosong. Saat itu, aku merasa bahwa kami telah menemukan kekuatan yang sebenarnya. Bukan kekuatan untuk melawan dengan kekerasan, tapi kekuatan untuk melawan dengan kata-kata dan kebenaran.

Dan aku yakin, suatu hari nanti, negeri ini akan menjadi tempat yang lebih baik untuk hidup. Tempat di mana rakyat tidak lagi menjadi kelinci percobaan, tapi menjadi manusia yang bebas dan berani menyuarakan kebenaran.

Kokok Beluk, 30 September 2025


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url