Suara yang Akhirnya Menolak Bungkam - Myre Jane

Naskah Pilihan Event Cerpen Alih Wahana




Suara yang Akhirnya Menolak Bungkam
Myre Jane

Tiada yang berbeda dengan keadaan hari itu. Ia masih selalu sama layaknya 21, 25, bahkan juga enam bulan yang lalu. Di rumah Nasrun, duka itu hanya bertamu beberapa hari—mungkin 2 hari, atau 3 hari. Sebab rumah kontrakan itu terlalu sempit untuk menampung terlalu banyak kesedihan. Sesak itu telah lumrah, seakan tidak ada yang bisa membuatnya lebih sesak lagi. Bahkan pun ketika ia kehilangan istrinya 20 hari yang lalu.

Seperti enggan menumpuk gelisah yang tak pernah mengenal kata sudah, Nasrin lantas mati dalam diam yang tampaknya berusaha ia pertahankan sampai ia benar-benar bungkam. Tidak ada yang benar-benar meyakini penyebab kematiannya. Semua hanya menerka-nerka lalu mengangguk-angguk seakan berusaha saling meyakini satu sama lain. Sesekali ada yang menyanggah, lalu mengangguk lagi meskipun alasan-alasan itu tidak sepenuhnya meyakinkan. Mereka hanya bicara sebentar, lalu diam dan melupakan seorang wanita bernama Nasrin pernah hidup di antara mereka.

Sehari setelah kematian istrinya, suara-suara sumbang terus berdatangan menyumbangkan beban di telinga Nasrun: tentang kemiskinan; keprihatinan yang tulus juga mengejek; serta sebab-akibat yang dicetuskan entah oleh siapa. Tetapi, Nasrun masih tetap sama: tidak banyak bicara.

“Mag kronis.” Nasrun hanya menjawab dengan dua kata itu saja tiap-tiap kali suara-suara itu menghampiri telinga Nasrun dengan nada tanya yang lebih mirip penghakiman baginya. Senyum Nasrun getir.

“Tidak pernah dibawa ke dokter?”

Pertanyaan itu lebih mirip seperti desisan ular yang diletakkan di dalam sebuah tas beludru: terasa begitu lembut, tetapi juga bisa mematikan tatapan seketika.

Nasrun diam. Mengalihkan pandangannya pada kerikil-kerikil yang tidak pernah melewatkan—meski satu hari—untuk menusuk kakinya yang telanjang.

Telah 20 hari, orang-orang sudah berhenti membicarakan kematian Nasrin yang terlalu tiba-tiba. Begitu pula Nasrun, ia menjadi semakin diam.

***

“Kami boleh bodoh, tetapi anak kami tidak boleh bodoh! Mereka harus menjadi orang berilmu yang bisa menangkap masa depan lebih cerah! Mereka harus sekolah, bahkan juga kuliah!”

Seorang laki-laki separuh baya berorasi dengan suara yang begitu lantang dan tanpa ragu. Semangatnya berkobar, ia telah meninggalkan segala takut dan tunduknya dalam sebuah amplop yang berisi surat pemberitahuan dari sekolah anaknya, bahwa putranya akan dikeluarkan dari sekolah jika ia tidak membayar biaya sekolah tepat waktu.

Sekelompok ayah dan ibu yang anak-anak mereka terancam putus sekolah karena biaya yang semakin menjulang, enggan pula jika hanya menonton dan mendengar suara lantang itu saja. Mereka turut andil menjadi bagian dari rakyat yang menagih janji. Mereka bersorak, berteriak, bahkan beberapa dari mereka membakar seragam sekolah sebagai bentuk protes.

Kantor Bupati yang biasanya ramai, hari itu lebih mirip seperti rumah tak berpenghuni. Pagarnya digembok, pintunya tertutup rapat. Seakan berusaha menambah kehampaan pada perut-perut lapar yang terus kehilangan jalan rezeki mereka dari waktu ke waktu. Sawah-sawah dilanda kekeringan, mata pencaharian berkurang, anak-anak berganti tempat upacara pagi—bukan lagi di halaman sekolah, melainkan di halaman agen-agen koran juga asongan.

Orasi atau keluhan, pidato atau anggapan, bahkan juga permohonan, semua terdengar sama. Tak berbeda jua tangis yang mengiringi kesah dalam helaan napas yang semakin pendek-pendek. Suara-suara itu semakin serak, ia bergetar, tetapi lama-kelamaan tak lagi lantang. Suara itu berganti nyaring tong kosong yang terlambat ditertawakan.

Kardi pulang, menggenggam orasinya yang sebelumnya berapi-api, memasukkannya ke dalam tas sekolah Nasrun yang telah sobek-sobek. “Suara Bapak sudah habis, Nak,” katanya. “Tapi, bahkan gerbang kantor Bupati itu sedikit pun tidak bergerak.”

Nasrun yang kala itu bertelanjang dada, untuk yang ke-sekian kalinya berusaha menaikkan celananya yang berkali-kali melorot. Bocah itu hanya diam mendengarkan ocehan bapaknya yang sedikit pun tidak ia pahami maknanya.

***

Nasrun berziarah ke kuburan istrinya setelah hari ke-40 kematiannya. Laki-laki kurus itu hanya duduk dan diam. Ia bahkan tidak lagi menangis seperti 37 hari yang lalu saat terakhir kali ia mendatangi tempat itu.

“Nasrin, aku datang hari ini. Aku merindukanmu. Aku tahu. Tapi, kau juga tahu bukan itu alasan aku datang. Kau bisa melihat dari atas sana, bukan? Orang-orang terus membicarakanku. Mereka mengira aku tidak peduli kepadamu setelah kau tidak ada. Mereka bilang aku jarang menemuimu. Padahal, datang ke tempat ini pun tidak bisa membuatku bertemu denganmu. Sekarang aku justru berbicara pada gundukan tanah dan batu dengan tulisan yang sudah pasti adalah namamu.”

Nasrun menjadi banyak bicara untuk pertama kalinya. Ia tampak semakin kumal dengan jenggot dan kumis yang mulai tumbuh di wajahnya.

“Kau pasti tidak tahu, atau mungkin kau tahu? Hari ini mereka akan berdemo lagi. Ya, masih persoalan yang sama. Mereka ingin pendidikan layak dan murah. Syukur-syukur bisa gratis.” Nasrun terkekeh, lalu menghela napas panjang. “Kemarin aku tidak peduli, tetapi sepertinya hari ini aku akan datang dan ikut melihat. Aku masih merasa bersalah kepadamu. Hari ini rasa bersalahku semakin besar dan semakin menyesakkan. Aku tidak tahu kenapa. Padahal aku tidak begini hari itu.”

Seakan telah menghabiskan semua kata-katanya, Nasrun mendadak diam. Ia hanya menatap kosong, lalu matanya mulai berkaca-kaca. Laki-laki itu beranjak pergi tanpa suara. Bahkan juga tanpa mengucap pamit kepada istrinya yang sebelumnya begitu banyak ia curahkan kata-kata.

Kaki Nasrun berhenti pada kerumunan yang tampak lebih padat dari yang terakhir ia lihat. Orasi telah terdengar lantang walau sesekali tertiup desau angin yang seakan berusaha menyejukkan hati-hati yang tengah memanas. Nasrun menatap anak-anak bertelanjang dada—seperti dirinya dulu. Pedagang asongan tak lupa ambil kesempatan. Semuanya tampak sama seperti masa lalu, kecuali pintu gerbang yang kali ini perlahan dibuka, dan pejabat yang menghuni Kantor Bupati itu tampak berjalan ragu dan sangat menjaga jarak.

Kaki Nasrun bergerak seperti tiba-tiba. Ia terus melangkah meskipun dirinya sendiri tidak yakin dengan hatinya. Laki-laki itu mengambil mikrofon, menatap Pak Bupati yang saat itu tampak takut-takut menatap matanya.

“Kami boleh bodoh, tetapi anak kami tidak boleh bodoh! Mereka harus menjadi orang berilmu yang bisa menangkap masa depan lebih cerah! Mereka harus sekolah, bahkan juga kuliah!”

Nasrun diam sejenak, orang-orang juga terdiam. Semua menatap laki-laki yang tengah berbicara di mikrofon itu seakan-akan tengah berusaha meyakinkan hati mereka sendiri bahwa laki-laki itu adalah benar-benar Nasrun yang selama ini mereka kenal.

“Saya ingin bercerita. Tidak, bukan. Saya ingin mengaku. Hari ini adalah hari ke-40 kematian istri saya. Saya sangat mencintainya. Tetapi saya bodoh, itulah sebabnya istri saya meninggal. Saya membawa istri saya ke klinik sehari sebelum dia meninggal. Petugas yang saat itu di sana mengatakan istri saya kena mag kronis. Tentu saja, kami miskin, makan kadang sehari hanya satu kali. Kadang-kadang juga tidak makan. Lalu istri saya diberikan obat. Nasrin enggan minum obat, tetapi malam itu saya memaksanya. Paginya, Nasrin meninggal, mulutnya berbusa.”

Nasrun menjeda kalimatnya, seakan berusaha mengumpulkan keberanian untuk setiap kata-kata yang hendak ia keluarkan. Semua hening. Menunggu Nasrun melanjutkan cerita, atau pengakuan?

“Saya membersihkan mulut Nasrin. Tidak ada yang tahu ia mati dengan mulut berbusa. Lalu, saat membantu saya membereskan rumah untuk tempat tamu, tetangga saya membuang obat yang sebelumnya saya berikan kepada Nasrin. Katanya, obat itu sudah kadaluwarsa. Pak Bupati, saya tidak bisa membaca. Saya tidak tahu tanggal kadaluwarsa.”

Nasrun menghentikan kalimatnya. Semua hening. Rasa tidak menyangka tampak jelas di wajah sebagian dari mereka—terutama tetangga Nasrun. Mereka menunggu, tetapi Nasrun tidak melanjutkan kalimatnya. Laki-laki itu mengembalikan mikrofon kepada siapa pun di dekatnya, lalu menjauh dari kerumunan. Orang-orang menjadi riuh, tetapi Nasrun bergeming. Dia pergi dan tak pernah menoleh walau sekali.

Tamat.

Narmada, 3 Oktober 2025.


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url