Cerpen Terjemahan Entri 14
Artikel/konten yang sedang Anda coba akses ini merupakan bagian dari materi premium yang kami siapkan secara khusus untuk komunitas pelanggan kami. Untuk menjaga nilai dan kualitasnya, kami melindunginya dengan kata sandi.
Ini adalah cara kami untuk memastikan bahwa para pelanggan mendapatkan materi terbaik dan paling mendalam yang tidak tersedia di tempat lain.
.
Kisah Satu JamKate
Chopin
Karena Nyonya Mallard
menderita sakit jantung, kabar kematian suaminya disampaikan dengan hati-hati
dan sehalus mungkin.
Josephine, sudarinya,
membisikkan kabar itu dengan terputus-putus, penuh isyarat, separuh
menyembunyikan dan separuh mengungkap. Richards, sahabat suaminya, juga di
dekatnya. Dialah yang pertama kali melihat berita kecelakaan kereta di surat
kabar, di mana nama Brently Mallard tercantum paling atas dalam daftar korban
tewas. Ia segera memastikan kebenarannya dengan telegram kedua, lalu bergegas
untuk mendahului teman lain yang mungkin kurang berhati-hati dalam menyampaikan
kabar duka.
Louise Mallard tidak menerima
kabar itu seperti kebanyakan perempuan lain, yang biasanya membeku dan sulit
percaya. Tanpa kendali, ia langsung menangis keras dalam pelukan Josephine.
Setelah badai kesedihan itu mereda, ia masuk ke kamarnya, menyendiri, dan
menolak ditemani siapa pun.
Di dekat jendela terbuka,
berdiri sebuah kursi besar empuk. Ia menjatuhkan tubuh ke sana, dipaksa duduk
oleh rasa letih yang menindih tubuh dan seakan menembus jiwa. Dari jendela, ia
melihat pucuk pepohonan berguncang-guncang ditiup semangat musim semi. Udara
segar membawa aroma hujan. Di jalan, pedagang asongan berteriak menawarkan
dagangan. Samar-samar, terdengar lagu seseorang di kejauhan. Burung-burung
gereja bercicit ramai di atap rumah. Dari balik tumpukan awan di barat, muncul
celah langit biru, kecil tapi jelas.
Ia duduk diam, kepalanya
tertengadah ke sandaran kursi. Hanya sesekali tubuhnya tersentak oleh
sesenggukan, seperti anak kecil yang tertidur lelah tetapi masih terisak dalam
mimpi.
Louise masih muda. Wajahnya
lembut, tenang, dengan garis-garis yang menandakan pengekangan sekaligus
kekuatan. Namun, kini matanya kosong dan tatapannya menembus jauh ke arah
secuil langit biru. Itu bukan pandangan berpikir, melainkan pandangan kosong, tanda
pikirannya berhenti bekerja.
Ada sesuatu yang tengah
mendatanginya, dan ia menunggu dengan cemas. Apakah itu? Ia tidak tahu. Terlalu
halus, terlalu samar untuk disebutkan. Tapi ia merasakannya merayap turun dari
langit, menembus suara, aroma, dan warna yang memenuhi udara.
Dadanya mulai naik turun
keras. Ia mulai mengenali sesuatu yang hendak merenggut dirinya. Ia mencoba
melawannya, tetapi sia-sia, seperti tangan putih dan ramping yang tak mungkin
menahan gelombang besar. Ketika akhirnya ia menyerah, bibirnya yang terbuka
berbisik pelan, "Bebas, bebas, bebas!"
Tatapan kosong dan takut
perlahan hilang. Sorot matanya menjadi tajam berkilau. Detak nadinya kencang,
aliran darahnya membuat tubuhnya hangat dan rileks. Ia tidak bertanya apakah
kegembiraan itu wajar atau mengerikan. Kesadaran jernih membuatnya menganggap
pertanyaan itu tak penting.
Ia tahu dirinya akan menangis
lagi ketika melihat tangan suaminya yang lembut terlipat dalam kematian; wajah
yang pernah menatapnya dengan kasih kini pucat dan kaku. Tetapi ia juga melihat
melampaui saat pahit itu; ia melihat deretan panjang tahun-tahun di depan,
seluruhnya miliknya sendiri. Ia menyambut tahun-tahun itu dengan tangan
terentang.
Di masa depan itu, ia akan
hidup sendiri dan tak ada lagi orang yang hidup untuknya. Tak ada lagi kehendak
lain yang membebani dan membelokkan keinginannya seperti keyakinan buta pria
dan wanita bahwa mereka berhak memaksakan kemauan pada orang lain. Bagi Louise,
baik itu niat baik maupun jahat, tetap saja seperti kejahatan dalam pencerahan
singkatnya itu.
Namun, ia memang pernah
mencintai suaminya. Kadang, dan lebih sering tidak. Tapi apa peduli? Apa
artinya cinta, misteri yang tak terpecahkan itu, dibandingkan penemuan baru
ini, dorongan kuat untuk hidup demi diri sendiri.
"Bebas! Tubuh dan jiwa
bebas!" ia berulang kali berbisik.
Josephine berlutut di depan
pintu kamar yang terkunci, bibirnya menempel ke lubang kunci. Ia memohon,
"Louise, buka pintunya! Tolong, buka! Kau akan membuat dirimu sakit. Apa
yang kau lakukan di dalam? Demi Tuhan, bukalah pintunya!"
Louise menjawab,
"Pergilah. Aku tidak akan membuat diriku sakit."
Tidak, justru ia sedang
meneguk eliksir kehidupan dari jendela terbuka itu. Imajinasi liarnya berlarian
menyambut hari-hari yang menanti. Hari-hari musim semi, musim panas, segala
macam hari, semua miliknya sendiri. Ia bahkan berdoa agar hidupnya panjang.
Padahal kemarin ia sempat bergidik membayangkan hidup panjang.
Akhirnya ia bangkit dan
membuka pintu. Sorot matanya penuh kemenangan, tubuhnya tegak tanpa sadar bagai
Dewi Kemenangan. Ia merangkul pinggang Josephine dan mereka turun bersama ke
lantai bawah. Richards menunggu di sana.
Seseorang sedang membuka
pintu depan dengan kunci. Brently Mallard, suaminya, ternyata sekonyong-konyong
masuk dengan badan agak berdebu karena perjalanan, dan tenang-tenang saja
sambil membawa tas dan payung. Tampaknya, ia bahkan tak tahu bahwa ada kecelakaan
karena ia jauh dari lokasi. Ia berdiri heran mendengar jeritan Josephine,
melihat gerakan Richards yang buru-buru mencoba menghalangi pandangan istrinya.
Tapi terlambat.
Mereka lalu menelepon dokter.
Setelah datang, dokter berkata, “Dia meninggal karena sakit jantung.”
Orang-Orang
mengira ia dihantam serangan jantung karena kematian Brently, suaminya–yang
ternyata sehat walafiat. Tak ada yang tahu bahwa ia meninggal lantaran
kegembiraan yang mematikan.
.jpg)