Cerpen Terjemahan Entri 19
Artikel/konten yang sedang Anda coba akses ini merupakan bagian dari materi premium yang kami siapkan secara khusus untuk komunitas pelanggan kami. Untuk menjaga nilai dan kualitasnya, kami melindunginya dengan kata sandi.
Ini adalah cara kami untuk memastikan bahwa para pelanggan mendapatkan materi terbaik dan paling mendalam yang tidak tersedia di tempat lain.
.
Air PerakAmy Bloom
Suara kakakku seperti air pegunungan di dalam kendi perak; kejernihan
dan keindahannya yang dingin mampu menenangkan sekaligus mengangkatmu melampaui
panas dan tubuhmu sendiri. Setelah kami menonton La Traviata, saat dia
berusia empat belas tahun dan aku dua belas, dia menyenggolku di tempat parkir
dan berkata, “Dengar ini.” Ia membuka mulutnya lebar-lebar secara tidak wajar,
dan suaranya keluar begitu jernih dan bercahaya hingga semua penonton opera
yang hendak pulang berhenti di tempat. Mereka tidak bisa mengeluarkan kunci
atau membuka pintu mobil sampai ia selesai bernyanyi, dan setelah itu mereka
bersorak dengan riuh.
Itulah yang kusukai untuk kuingat, dan itulah kisah yang selalu
kuceritakan kepada semua terapisnya. Aku ingin mereka mengenalnya, agar mereka
tahu bahwa orang yang mereka lihat bukanlah seluruh dirinya. Sebelum suaranya
hanya terdengar di iklan dan jingle makanan cepat saji, ia pernah menyanyikan
Puccini dan Mozart, serta lagu-lagu rohani yang begitu indah dan kuat hingga
kau seakan-akan mengira Yesus akan turun dari salib dan bertepuk tangan.
Sebelum tubuhnya menjadi gundukan lemak akibat obat-obatan, berjalan goyah di
lorong rumah sakit dengan atasan hamil dari nilon dan celana olahraga, ia
adalah gadis tercantik di Sekolah Dasar Arrandale, gadis idaman di SMP
Landmark. Mungkin ada gadis lain yang juga cantik, tapi aku tidak melihat
mereka. Bagiku, Rose,pembelaku yang cantik berambut pirang, penuntunku dalam
menghadapi tampon dan perubahan suasana hati ibu, adalah sosok sempurna.
Dia mengalami gangguan psikotik pertamanya saat berusia lima belas
tahun. Awalnya ia sering pulang dengan murung dan mudah menangis, lalu
tiba-tiba tampak bahagia, kemudian ia berhenti pulang sama sekali. Ia pergi ke
hutan di belakang rumah dan tidak kembali sampai ibu menjemputnya menjelang
senja, melangkah pelan di antara semak dan pepohonan muda, lalu menariknya
keluar dengan wajah kosong, sweater biru pucatnya dipenuhi dedaunan kering, dan
celana jins putihnya berlumur tanah. Setelah tiga minggu seperti itu,
ibuku,seorang musisi yang dikenal eksentrik, berkata kepada ayahku, yang
seorang psikiater sekaligus pria baik dan sedih, “Dia mulai kehilangan
kendali.”
“Itu pendapat profesionalmu?” Ayah mengangkat koran, lalu menurunkannya
lagi sambil menghela napas. “Maaf. Aku tidak bermaksud membentakmu. Aku tahu
ada yang mengganggunya. Kau sudah bicara dengannya?”
“Untuk apa? David, dia mulai gila. Dia tidak butuh curhat dengan ibunya,
dia butuh rumah sakit.”
Mereka berdebat bolak-balik, dan akhirnya ayah duduk bersama Rose selama
beberapa jam. Rose hanya duduk diam, menjilat bulu-bulu halus di lengannya,
pertama ke satu arah, lalu ke arah sebaliknya. Ibu berdiri di lorong, pucat
tanpa air mata, mengamati mereka. Ia sudah menyiapkan koper Rose, dan ketika
tiga teman ayah datang untuk memberikan konsultasi dan rekomendasi gratis, ibu
dan koper Rose sudah berada di dalam mobil. Ibu memelukku dan berkata mereka
akan pulang malam itu, tapi tidak bersama Rose. Ia juga berkata, seolah menebak
ketakutanku yang terdalam, “Kamu tidak akan seperti dia, sayang. Beberapa orang
memang kehilangan kewarasannya, tapi banyak juga yang tidak. Kamu tidak akan
mengalaminya.” Ia tersenyum dan mengelus rambutku. “Bahkan ketika kamu ingin
menyerah sekalipun.”
Rose tinggal di berbagai rumah sakit, besar maupun kecil, selama sepuluh
tahun berikutnya. Ia memiliki banyak terapis yang buruk, dan hanya beberapa
yang baik. Di salah satu rumah sakit, tidak ada gambar di dinding, tidak ada
jendela, dan semua pasien mengenakan sandal bertanda lambang rumah sakit. Ibu
bahkan tidak mau masuk ke bagian pendaftaran. Ia langsung memutar badan Rose,
dan mereka berdua pergi begitu saja, sementara ayah mengikut dari belakang,
meminta maaf kepada rekan-rekannya.
Ibu tidak pernah peduli pada psikiater, pekerja sosial, atau perawat. Ia
memainkan musik Handel dan Bessie Smith untuk para pasien dengan piano apa pun
yang tersedia. Di beberapa tempat, ada keluarga yang bersyukur,atau mungkin
penuh harapan, yang mendonasikan piano Steinway untuknya. Di tempat lain, ia
harus menabuh lagu “Gimme a Pigfoot and a Bottle of Beer” di atas piano
tua penuh goresan yang tidak pernah disetel sejak masih ada dokter berbahasa
Inggris di sana.
Ayah berbicara dengan nada serius dan penuh apresiasi kepada para kepala
unit dan administrator, berusaha bersahabat dengan siapa pun yang menangani
kasus Rose. Kami semua membenci terapis keluarga.
Terapis keluarga terburuk yang pernah kami temui duduk di ruang berwarna
hijau pucat bersama kami. Ia terlihat menilai penampilan ibu—kecantikan
halusnya, kaus biru pudar, dan celana jins ukuran kecil—juga jas ayah yang
kusut dengan dasi bernoda, serta gayaku yang tak terbaca, khas remaja berusia
tujuh belas tahun. Rose saat itu sudah tak peduli pada mode, mengenakan smock
bergambar beruang menari dan celana olahraga Celtics ukuran ekstra besar.
Pak Walker membaca berkas Rose di depan kami, lalu menatap dengan panik
ketika Rose mulai bernyanyi lembut dengan suara indah, sambil perlahan memijat
payudaranya. Ibu dan aku langsung tertawa, bahkan ayah pun tersenyum. Itu
memang cara khas Rose memperkenalkan diri kepada terapis baru.
Pak Walker berkata, “Aku penasaran, kenapa semua orang tampak terhibur
melihat Rose bertingkah tidak pantas seperti ini.”
Rose bersendawa, dan kami semua kembali tertawa. Itu adalah terapis
keluarga ketujuh yang kami temui, dan tak ada satu pun yang bertahan lama.
Sayangnya, Pak Walker tampak bertekad untuk memperbaiki kami.
“Apa pendapatmu tentang perilaku Rose, Violet?” katanya. Kadang mereka
melakukan ini. Dalam buku panduan mereka mungkin tertulis, ‘Jika orang
tuanya terlalu aneh, coba bicara dengan adiknya.’
“Aku tidak tahu,” jawabku. “Mungkin dia ingin Anda berhenti
membicarakannya seolah dia tidak ada di sini.”
“Bagus sekali,” kata ayah.
“Memang,” sambung ibu.
“Benar banget,” ujar Rose sambil terkekeh.
“Nah, tampaknya keluarga ini sepakat,” kata Pak Walker, mencoba
bertingkah seolah dia memahami, atau setidaknya menyukai kami.
“Itu bukan intervensi yang berhasil, Wajah Musang,” kata Rose tajam. Ia
memang cenderung lebih bisa berfungsi ketika sedang marah. Dan memang, pria itu
berwajah seperti musang pirang. Kami pun tertawa lagi. Bahkan ayah, yang
biasanya mencoba memberi kesempatan kepada para terapis karena alasan
profesional, akhirnya menyerah juga.
Setelah empat belas menit, Pak Walker memutuskan sesi sudah selesai dan
keluar ruangan, meninggalkan kami tersenyum satu sama lain. Rose tetap gila,
tapi setidaknya kami sempat bersenang-senang sedikit.
Terapis keluarga terbaik yang pernah kami temui sebenarnya juga memulai
dengan buruk. Kami menakuti seorang residen hingga kabur, lalu mengusir
supervisornya juga, sebelum akhirnya mereka mengirimkan Dr. Thorne kepada kami.
Ia adalah pria besar—tiga ratus pon daging, cabai khas Texas, roti jagung, dan
bir Lone Star—dengan sepatu bot hitam besar dan dasi tali kecil yang melingkar
di sekitar lehernya yang lebar.
“Oh, hari yang menakjubkan, datanglah Kacang Besar,” seru Rose dengan
gembira. Ia langsung berhenti memijat payudaranya.
“Hai, Kacang Kecil.” Hanya pria sebesar itulah yang berani memanggil
kakakku “kecil.”
Ia lalu memberi kami semua julukan
“Dan ini Dokter Kacang yang baik,” katanya sambil menunjuk ayah, “dan
Nyonya Kacang Kayu, karena kalian berdua adalah kacang paling keras untuk
dipecahkan,” katanya kepada ibu, “dan di sini, yang memakai overall dan tidak
banyak bicara, adalah Kacang Milik Siapa Pun,” sebuah julukan yang merangkum
sekaligus kewarasanku dan kesepianku. Kami semua tertawa dan mulai merasa rileks.
Dr. Thorne benar-benar baik bagi kami. Rose pindah ke rumah singgah, dan
kepala rumah itu begitu menyukai “Kacang Besar” sehingga ia tetap mengizinkan
Rose tinggal meski Rose sempat melalui masa di mana ia tidur dengan siapa saja
yang melewati kamarnya. Ia sedang dalam kegelisahan yang hebat waktu itu,
mencoba membungkam suara-suara di kepalanya dengan berhubungan seks tanpa
henti.
Suatu hari, Dr. Thorne berkata, “Sayang, aku tidak bisa. Aku tidak bisa
bercinta dengan setiap wanita cantik yang kutemui, dan lagi, aku tidak bisa
melakukan itu sambil tetap menjadi terapis kamu. Sayang sekali, tapi aku yakin
kamu bisa menemukan pria baik yang memperlakukanmu sebaik dan semanis aku kalau
aku beruntung jadi kekasihmu. Jangan mau menerima yang lebih buruk dari itu.”
Setelah itu, Rose berhenti menggoda para pecandu narkoba, pemabuk, dan
tunawisma. Kami semua mencintai Dr. Thorne.
Ayah mengurangi pasien kaya dan mulai membantu di klinik jalanan milik
Dr. Thorne seminggu sekali. Ibu menyelesaikan rekaman konserto Mozart dan
bermain di acara amal untuk rumah singgah Rose. Aku kembali kuliah dan menjalin
hubungan dengan seorang pemain sepak bola asal Texas. Di tempat tidur, aku
kadang memintanya memanggilku “sayang.”
Rose mulai rutin minum obat, berat badannya turun sekitar lima puluh
pon, dan ia mulai bernyanyi di Gereja A.M.E. Zion, tidak jauh dari rumah
singgahnya.
Awalnya, para anggota paduan suara kebingungan melihat wanita besar
berkulit putih itu berdiri di pintu saat latihan, tapi ketika Rose menyanyikan
beberapa bait lagu “Precious Lord,” direktur paduan suara merasa seperti
mendengar suara Tuhan sendiri. Dengan bantuan anak Tuhan yang manis itu,
katanya, Paduan Suara Prospect Street akan melangkah jauh sampai ke Olimpiade
Gospel.
Di antara lautan wajah berwarna krem, cokelat, dan tembaga, Rose
berdiri, lebih besar, lebih pirang, dan lebih terang daripada dua wanita kulit
putih sekaligus. Bersama kontralto paduan suara, Addie Robicheaux, Rose menenun
suara emas dan perak mereka menjadi jalinan sehalus sutra dan sekuat baja. Kami
semua menangis saat Rose dan Addie, dengan jubah merah anggur yang berkibar,
berdiri berdampingan, saling menggenggam tangan sampai nada terakhir melayang
ke langit, lalu mereka tersenyum kepada kami dari atas panggung.
Sesekali Rose masih mengalami kambuh, dan suara-suara dalam kepalanya
menyuruhnya melakukan hal-hal buruk. Namun Dr. Thorne, Addie, atau Ibu biasanya
bisa menenangkannya dan membawanya kembali. Setelah lima tahun yang baik, Dr.
Thorne meninggal dunia. Ia sedang makan hot dog isi cabai di kantor tanpa
pendingin udara, di tengah musim panas bulan Juli, ketika pembuluh darah di
kepalanya pecah dan ia meninggal seketika dengan cara yang sebesar dirinya.
Rose bertahan selama tujuh hari. Ia tetap minum obat, mengikuti latihan
paduan suara, dan menata ulang kamarnya berkali-kali. Pemakamannya menjadi
semacam Lourdes bagi orang-orang sakit jiwa. Siapa pun yang psikotik,
borderline, depresi berat, atau sekadar sulit diajak bergaul, semuanya datang.
Orang-orang yang tangannya gemetar karena bertahun-tahun mengonsumsi obat berat
sampai jatuh dari bangku gereja. Orang-orang berpegangan tangan, menangis,
bergumam, berbicara sendiri; yang gila dan yang tidak terlalu gila berkumpul
bersama, seperti anak-anak anjing di tempat penampungan.
Setelah itu, Rose berhenti minum obat, dan rumah singgah menolak
menampungnya lagi setelah ia mendorong pasien lain hingga jatuh dari tangga.
Ayah menghubungi perusahaan asuransi dan baru tahu bahwa jaminan psikiatri Rose
yang baru akan berlaku dalam empat puluh lima hari. Aku mengemas semua barang
Rose ke dalam kantong sampah, dan kami meninggalkan rumah singgah itu. Rose
sempat mengedipkan mata pada anak laki-laki di sofa yang sedang mengiler.
“Akan sulit,tidak sepenuhnya buruk, tapi sulit, bagi seluruh keluarga,
dan aku pikir kita harus membicarakan harapan masing-masing. Aku sendiri punya
beberapa kekhawatiran,” kata Ayah, mengadakan pertemuan keluarga segera setelah
Rose selesai menata tiga puluh boneka beruangnya satu per satu di tempat
khusus.
“Tidak ada obat,” kata Rose pelan, menundukkan kepala, jemari pendeknya
yang dulu pernah mengepang rambutku dan melukis bunga tulip di pipiku, menarik
ujung smock kotornya dengan kuat.
Ayah memandang ke arah Ibu dengan putus asa.
“Rosie, mau mengendarai mobil baru?” tanya Ibu.
Wajah Rose langsung berseri. “Aku mau banget! Aku akan mengemudikannya
ke California. Aku ingin melihat beruang di Kebun Binatang San Diego. Aku akan
mengajakmu, Violet, tapi kamu kan benci kebun binatang. Ingat waktu kamu
menangis di Kebun Binatang Bronx saat tahu hewan-hewan di sana tidak boleh
pulang saat jam tutup?” Rose menepuk tanganku dengan lembut. “Kasihan Vi.”
“Kalau kamu mau minum obatmu, nanti kamu bisa mengendarai mobil itu. Itu
perjanjiannya: obat, lalu mobil,” kata Ibu dengan suara tenang tapi hati-hati,
agar tidak memicu kecurigaan Rose.
“Kita sepakat, sayang,” jawab Rose dengan lembut.
Saat itu aku tinggal satu jam dari rumah, mengajar bahasa Inggris di
siang hari dan menulis puisi di malam hari. Aku pulang setiap beberapa hari
untuk makan malam, dan menelpon setiap malam.
Ayah berkata pelan, “Ini sangat berat. Tapi aku rasa kami masih bisa
bertahan. Rose berjalan pagi-pagi bersama ibumu, dan menonton televisi
seharian. Ia tidak mau ke rumah sakit rawat jalan dan tidak mau kembali ke
paduan suara. Temannya, Nyonya Robicheaux, sempat datang beberapa kali—wanita
yang sangat baik—tapi Rose tidak mau bicara. Ia hanya duduk menatap dinding
sambil bersenandung. Jadi sebenarnya kami tidak baik-baik saja, tapi kami
mencoba. Maaf, Sayang, aku tidak bermaksud membuatmu sedih.”
Ibu berkata tegas, “Kami baik-baik saja. Kami punya rutinitas dan kami
menjalaninya, dan kami baik-baik saja. Kamu tidak perlu sering pulang, tahu?
Cukup datang hari Minggu. Jalani hidupmu, Vi. Dia juga menjalani hidupnya.”
Aku menuruti Ibu. Aku tidak pulang sampai hari Minggu, takut menerima
telepon, tapi juga berterima kasih atas ketenangan dan jarak emosionalnya, dua
hal yang dulu membuatku marah saat kecil.
Aku datang pada hari Minggu, siang hari, untuk membantu Ayah berkebun,
sesuatu yang selalu kami nikmati bersama. Kami mencabuti rumput liar,
menegakkan batang tomat, dan membasmi kutu daun, sementara Ibu dan Rose sedang
pergi ke danau. Aku baru masuk rumah pukul empat untuk mengambil segelas air.
Seseorang telah memecah bangku piano menjadi lima bagian dan menumpuknya
rapi di tempat bangku itu biasa diletakkan.
“Kami sebenarnya sedang bersenang-senang, aku tak tega membahasnya,”
kata Ayah dari ambang pintu, berhati-hati agar sepatu bot kebunnya tidak
mengotori dapur.
“Apa kata Ibu?” tanyaku.
“Ia hanya berkata, ‘Lebih baik bangkunya daripada pianonya.’ Dan kakakmu
lalu berbaring di lantai dan menangis sejadi-jadinya. Setelah itu, Ibu
membawanya ke danau. Ini tidak bisa terus begini, Vi. Masih ada dua puluh tujuh
hari tersisa, Ibumu tidak tidur karena Rose juga tidak bisa tidur. Andai aku
bisa membayar dua puluh tujuh ribu dolar untuk menahannya di rumah sakit sampai
asuransinya berlaku, sudah kulakukan.”
“Baiklah, lakukan saja. Kirim dia kembali ke Hartley-Rees, itu tempat
paling indah, dan dia suka terapi seni di sana,” kataku.
“Aku mau, kalau bisa. Tapi polisnya mengatakan dia harus bebas gejala
selama empat puluh lima hari sebelum jaminan berlaku. ‘Bebas gejala’ berarti
tidak boleh dirawat di rumah sakit.”
“Ya Tuhan, Ayah. Bagaimana bisa mengambil polis seperti itu? Kakak
bahkan tidak bisa bebas gejala empat puluh lima menit!”
“Itu satu-satunya asuransi yang mau menanggung gangguan jiwa jangka
panjang.” Ia menutup mulutnya dengan tangan, menahan kata-kata, lalu kembali ke
kebun. Aku tidak bisa melihat apakah ia menangis.
Ia tetap di luar, dan aku di dalam, sampai Ibu dan Rose pulang dari
danau. Celana olahraga Rose basah dan digulung sampai lutut, membawa seember
kerang dan batu abu-abu, yang akhirnya berhasil dibujuk Ibu untuk ditinggalkan
di teras belakang. Ibu mencium pipiku pelan dan menyuruh Rose mengganti
celananya.
Mata Rose membesar. “Tidak! Aku tidak akan pernah…” Ia mulai
membenturkan kepalanya ke lantai dapur berulang-ulang, dengan tenaga penuh. Ibu
memeluk pinggangnya, berusaha menahannya, tapi Rose menepisnya tanpa melihat ke
belakang. Ibu terlempar ke lantai, di dekat kulkas.
“Violet, tolong…”
Aku menjatuhkan diri ke lantai dapur, menempatkan diriku tepat di tempat
yang dibenturkan Rose. Ia berhenti hanya beberapa milimeter dari perutku.
“Oh, Vi. Ibu. Maaf. Aku minta maaf, jangan benci aku.” Ia berdiri
sempoyongan dan berlari ke kamarnya sambil menangis.
Ibu berdiri dan mencuci wajahnya cepat-cepat, lalu mengeringkannya
dengan kain dapur. Ayah yang mendengar suara tangisan segera masuk, melepas
sepatu bot karetnya di pintu.
“Galen, biar kulihat,” katanya lembut sambil memegang kepala Ibu,
mencari memar di wajahnya yang pucat dan kecil. “Apa yang terjadi?”
Ibu memandangku. “Violet, apa yang terjadi? Di mana Rose?”
“Rose panik, lalu saat berlari ke atas, dia tak sengaja mendorong Ibu,”
jawabku. Itu adalah kebohongan besar kedua dalam hidupku.
“Ia pasti merasa sangat bersalah, apalagi mendorong ibunya sendiri. Tapi
aku tahu ia tidak bermaksud begitu.” Ayah membuatkan teh untuk Ibu. Semua kasih
sayang yang ia miliki, meskipun sering terhalang kemarahan diam dan tatapan
kosong Ibu, mengalir lewat teko itu, menghangatkan cangkir dan tangan kecil
Ibu. Ia berdiri di sisinya, dan Ibu menyandarkan kepala ke pinggulnya. Aku
memalingkan pandang.
“Sekarang kita masak makan malam, lalu Ayah akan memanggilnya turun.
Atau kau saja yang memanggil, David, mungkin dia ingin melihat wajahmu dulu,”
kata Ibu pelan.
Makan malam berjalan dengan penuh jeda dan usaha Rose yang keras untuk
menahan diri. Ia hampir tidak makan, dan terus-menerus bersenandung lagu tema
McDonald’s, berhenti hanya untuk menumpahkan jus ke bajunya lalu menangis lagi.
Ayah memandang Ibu, lalu menyerahkan serbetnya ke Rose. Ia mengelap bajunya
dengan lemah, tapi tangisnya berhenti.
“Aku mau tidur, aku mau ke tempat tidur, dan masuk ke dalam kepalaku.
Aku mau tidur di ranjangku dan di dalam kepalaku dan memakai merah. Karena
merah adalah warna yang dipakai bayiku, dan memang benar, ya, benar, jangan
pakai merah malam ini, jangan pakai merah malam ini, karena merah adalah
warna—”
“Oke, Rose. Sudah, tidak apa-apa. Ayo, Ayah antar kamu ke atas,
siap-siap tidur. Nanti Ibu menyusul ke kamar dan bilang selamat malam, ya.”
Ayah mengulurkan tangannya, dan Rose menggenggamnya. Mereka berjalan keluar
dari ruang makan, lengan panjang Ayah melingkari pinggangnya.
Ibu duduk sejenak, wajahnya tertutup tangan, lalu mulai membereskan
meja. Kami bereskan semuanya tanpa bicara, Ibu bersenandung lagu nina bobo
Schubert tentang hutan dan sungai yang memanggil anak kecil untuk tidur, lagu
yang selalu ia nyanyikan untuk kami saat kecil.
Ayah turun kembali dan memberi isyarat. Ibu naik, lalu beberapa menit
kemudian mereka turun bersama.
“Ia sudah tidur,” kata mereka, dan kami duduk di beranda, mendengarkan
jangkrik. Aku tidak mengingat sisa malam itu, hanya ingat suasananya yang sunyi
dan sedih, serta pemandangan langka: kedua orang tuaku berpegangan tangan,
duduk di atas meja piknik, menatap matahari terbenam.
Aku terbangun pukul tiga dini hari, merasakan udara dingin menembus
selimut. Aku keluar kamar untuk mengambil selimut tambahan, dan entah kenapa,
melihat ke kamar Rose. Ia tidak ada. Aku mengenakan celana jins dan sweter,
lalu turun ke bawah. Ada sesuatu yang membuatku bisa merasakan
ketidakhadirannya. Aku keluar rumah dan melihat jejak kakinya di rumput yang
basah menuju hutan.
“Rosie,” panggilku lirih, agar tidak membangunkan orang tua kami, dan
agar tidak membuat Rose terkejut. “Rosie, ini aku. Kamu di sini? Kamu baik-baik
saja?”
Aku hampir tersandung tubuhnya. Ia tampak besar dan pucat di bawah sinar
bulan, smock bermotif bunga yang ia pakai tampak pudar, celana olahraganya
basah seluruhnya. Kepalanya terkulai ke belakang, leher putihnya terbuka
seperti pilar Yunani yang patah.
“Rosie. Rosie—” bisikku. Napasnya pelan, bibirnya tidak secerah
biasanya, kelopaknya bergetar.
“Sudah waktunya,” ia berbisik. Aku yakin itulah yang ia katakan.
Aku duduk di sisinya, melihat botol pil putih di tangannya, dan menatap
bintang-bintang yang perlahan memudar.
Saat bintang-bintang lenyap dan matahari mulai menghangatkan udara, aku
kembali ke rumah. Ibu berdiri di teras, berselimutkan kain, menatapku. Setiap
langkah terasa berat; aku bisa membayangkan Ibu menamparku atau bahkan
menembakku karena membiarkan putri kesayangannya mati.
“Ratu-ratu pejuang,” katanya sambil memelukku erat. “Aku membesarkan
ratu-ratu pejuang.” Ia menciumku dengan keras, lalu berjalan sendiri ke arah
hutan.
Tak lama kemudian, ia membangunkan Ayah, yang tidak sanggup masuk ke
hutan. Beberapa waktu kemudian, ia menelepon polisi dan rumah duka. Setelah
menutup telepon, ia berbaring di tempat tidur dan tidak bangun lagi sampai hari
pemakaman. Ayah yang memberi kami makan, menghubungi semua orang, dan memilih
peti mati Rose seorang diri.
Saat Ibu bermain piano dan Addie menyanyikan nada-nada emas murni
miliknya, aku memejamkan mata dan melihat kakakku di usia empat belas tahun,
dengan rambut seperti surai singa dan matanya terpejam kuat di bawah cahaya
lampu parkir. Suara indah itu memeluk kami erat, mengalir di sekitar kami,
berputar di hati kami, naik… terus naik.
.jpg)